BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa yang masing-masing memiliki identitas kebudayaan sendiri.
Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar semenjak berpuluh-puluh
tahun yang silam. Banyaknya suku bangsa di Indonesia saat ini telah bertambah satu, yaitu dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu
etnis di Indonesia. Perkembangan yang sangat baik adalah dengan adanya pengakuan
dan pembauran etnis Tionghoa yang kini lebih terasa nyata. Pengakuan etnis ini secara resmi diberlakukan sejak pemerintahan Presiden Gus Dur. Hal ini
memberi angin segar bagi seluruh warga Tionghoa di Indonesia, terutama kebebasan mereka dalam merayakan tahun baru Imlek dengan lebih leluasa.
Tahun baru Imlek pun sudah menjadi libur nasional pada saat itu. Dengan adanya pengakuan inilah etnis Tionghoa semakin memiliki keberanian untuk
bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia. Bukti bahwa mulai membaurnya etnis ini dengan masyarakat
Indonesia lainnya dapat kita lihat dari beberapa acara di televisi, seperti ajang Indonesian Idol, beberapa peserta seperti Delon dan Helena terlihat
jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa waktu lalu, salah satu stasiun televisi swasta di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia baru saja menggelar ajang penyanyi bahasa Mandarin yang kontestannya sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa. Dari sinilah
terpancar bahwa adanya kerjasama yang dijalin antar etnis. Dan faktor ini akan semakin memperkuat keberadaan etnis Tionghoa di negara Indonesia.
Sebelum masa reformasi representasi terhadap etnis ini seringkali tidak seimbang, mereka banyak direpresentasikan sebagai orang sukses,
pelit, eksklusif dan kaya. Hal ini menunjukkan seakan-akan ada suatu perbedaan yang sangat besar dengan etnis lain di Indonesia.
Representasi etnis Tionghoa yang berbicara mengenai cerita-cerita tradisional, sebagian besar dapat dilihat dalam sinema Indonesia, seperti
film Sam Pek Eng Tay 1931, Gadis Jang Terdjoeal 1937, Oh Iboe 1938, Penjelundup 1952, dan Di Balik Awan 1963. Setelah tahun 1966,
representasi etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil. Representasi etnis, apalagi etnis Tionghoa merupakan hal yang sangat
sensitif di Indonesia. Film pertama pada masa Orde Baru yang dengan terbuka mengungkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan
1971, kemudian diikuti oleh film Ca Bau Kan yaitu film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998 dan film Gie 2005. Lalu
film yang terakhir yaitu Berbagi Suami 2005 yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal.
Banyaknya representasi etnis Tionghoa yang diangkat dalam sinema Indonesia, membuat pihak media massa lainnya untuk ikut berpartisipasi
dalam merepresentasikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari munculnya novel-novel Indonesia
Universitas Sumatera Utara
dengan tema kaum keturunan Tionghoa sejak tahun 1960-an sampai 1990- an. Saat itu novel-novel tersebut lebih banyak membahas isu-isu
diskriminasi antara pribumi dan non pribumi. Tetapi pada kenyataannya, saat ini sudah banyak pencitraan yang
telah dilakukan media massa tentang keadilan ras dan etnis Tionghoa. Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara sukarela dan
setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Hal inilah yang telah dilakukan oleh
Clara Ng, seorang novelis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mencoba untuk membeberkan persoalan seputar kaum keturunan Tionghoa tanpa prasangka
melalui novelnya Dimsum Terakhir. Clara Ng ingin memberikan suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama dalam masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu novel Dimsum Terakhir lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala persoalannya. Konflik-konflik
antarsaudara kembar meluncur karena perbedaan karakter di antara mereka. Meski tidak adanya perbandingan antara hitam-putih, Clara Ng
membuat satu deskripsi yang detail dari sisi fisik hingga perilaku tokoh- tokohnya.
Setiap media memiliki cara tersendiri dalam merepresentasikan sebuah isu yang kemudian akan ditampilkan dalam teks-teks berita.
Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat pada teks akan membentuk pengertian sendiri di benak pembaca. Media memiliki peranan penting
dalam kehidupan manusia yang berperan untuk mengkonstruksi nilai dan sikap masyarakat terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Begitu kuatnya
Universitas Sumatera Utara
pengaruh media terhadap pengetahuan manusia maka baik itu karena kebutuhan maupun kewajiban, manusia tetap akan dihadapkan dengan isi
media. Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra, memiliki pandangan
subjektif yang berasal dari pengarangnya sendiri. Clara Ng memiliki gaya penulisan yang tentu saja berbeda dengan novelis lain yang juga banyak
merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Clara Ng menulis untuk memberikan sudut pandang baru, pencerahan, dan cara
berpikir yang kreatif buat pembaca, agar setiap pembaca yang selesai membaca karyanya dapat terhibur dan terinspirasi.
Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam bangsa multikultur, karena itu sikap untuk membiarkan semuanya akan
berjalan sendiri, bukan sesuatu yang bijaksana. Kemauan untuk terus belajar menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini.
Hal yang sangat menarik di sini adalah bahwa novel ini tidak lagi bercerita tentang tuntutan bagaimana seorang Tionghoa ingin diperlakukan,
tetapi lebih memfokuskan kepada bagaimana warga Tionghoa mampu menghadapi kesulitan-kesulitan mereka sebelum era reformasi, bahwa
bagaimana kepercayaan yang akhirnya muncul sebagai sebuah masalah baru bagi seorang keturunan Tionghoa. Hal-hal seperti ini tidak biasanya
dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena hal tersebut masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Bahwa tata bahasa yang digunakan dalam
novel Dimsum Terakhir ini apakah dapat merepresentasikan bagaimana kehidupan sebuah keluarga keturunan Tionghoa dalam menghadapi segala
Universitas Sumatera Utara
macam bentuk konflik dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai representasi etnis Tionghoa dalam
novel Dimsum Terakhir di mana suatu gambaran sekelompok individu minoritas yang tidak lagi mempermasalahkan identitas mereka.
1.2 Perumusan Masalah