Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Konsep

macam bentuk konflik dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai representasi etnis Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir di mana suatu gambaran sekelompok individu minoritas yang tidak lagi mempermasalahkan identitas mereka.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah etnis Tionghoa direpresentasikan dalam novel Dimsum Terakhir?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah: 1. Penelitian akan dilakukan terhadap novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. 2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang ada di balik penyajian tata bahasa tersebut. 3. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut. Universitas Sumatera Utara

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana wacana yang dipakai dalam menyampaikan representasi etnis Tionghoa. 2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks. 3. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya. 1.4.2 Manfaat penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana. 2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media. 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

1.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori Singarimbun, 1995:37. Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang Universitas Sumatera Utara menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti Nawawi, 1991:40. Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk konsep, definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu Rakhmat, 2000:6. Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah : 1.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru. Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976. Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu yang lain. Universitas Sumatera Utara Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama. Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru, karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat dan lengkap, sehingga menuntut wartawan mencari kaitan peristiwa satu sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak tempat pada waktu yang sama. Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain, seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga memiliki kelebihan dan daya tarik tersendiri. Universitas Sumatera Utara 1.5.2 Teori Komunikasi Antarbudaya Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter 1972 bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long- standing deposit of group experience, knowledge, and values. Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, Universitas Sumatera Utara dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma komunikasi yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan, tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok- kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi antar budaya ditentang secara aktif. 1.5.3 Analisis Wacana Kritis Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” what, analisis wacana lebih Universitas Sumatera Utara melihat pada “bagaimana” how dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks Eriyanto, 2001:15. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto 2001:4-6, pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman- pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka. Konstruktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu Universitas Sumatera Utara berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaranketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis. Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan. Dalam Analisis Wacana Kritis Critical Discourse AnalysisCDA, wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi. 1.5.4 Representasi Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi. Universitas Sumatera Utara Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.” Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan encode sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Universitas Sumatera Utara Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut. 1.5.5 Ideologi Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi Van Zoest, 1991: 70 dalam Sobur, 2004: 60. Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya Sudibyo, 2001:12. Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya Lull, 1998: 1. Raymond William Eriyanto, 2001: 87 mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun Universitas Sumatera Utara ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat. Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat - ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, ahli retorika, yang dapat mewakili semua bidang dalam ilmu humaniora dan sosial Lull, 1998: 2. Menurut Sukarna Sobur, 2004: 64 secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like sesuatu yang ada di dalam pikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini dari kata legein berarti to speak berbicara. Selanjutnya kata logia berarti science Universitas Sumatera Utara pengetahuanteori. Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya.

1.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk

Model ini sering disebut sebagai kognisi sosial, menurut van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Perlu dilihat bagaimana sesuatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu Eriyanto, 2001:222. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah Eriyanto, 2001:224. Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga dari suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat juga bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada Universitas Sumatera Utara dalam masyarakat dan bagaimana kognisipikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi: teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan assertion, pertanyaan question, tuduhan accusation, atau ancaman threat. Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi. Dalam wicara atau percakapan conversation, bentuk-bentuk wacana interaksional juga relevan untuk dianalisis.

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. van Dijk. Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu : 1. Struktur Makro merupakan makna globalumum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Universitas Sumatera Utara 2. Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. 3. Struktur Mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati dan bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

1.7 Operasionalisasi Konsep

Dokumen yang terkait

Motif Etnis Tionghoa Bekerja sebagai Pegawai Negeri Studi Kasus pada PNS dan Polisi di Sumatera Utara)

1 45 135

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Peran Partai Politik Dalam Pemenangan Pilkada (Studi Analisis Partai Golkar Sebagai Kendaraan Politik dalam Pilkada Kabupaten Rokan Hilir 2006)

2 42 102

Eksistensi Bisnis Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis China Penjual Spare part Sepeda Motor di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun)

0 56 88

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96

Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

0 17 158

Analisis Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel 'Dimsum Terakhir' Karya Clara Ng : Tinjauan Psikologi Sastra.

0 3 9

REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir).

3 7 93

DISKRIMINASI TOKOH PEREMPUAN ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG.

1 11 132

CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)

0 0 21