Bab III memiliki strategi wacana semantik yakni praangapan. Warga
Tionghoa di Indonesia saat ini ditampilkan tidak fasih berbahasa mandarin ataupun dalam dialek lain. Kemudian unsur pengingkaran disampaikan
secara implisit, yaitu makna bahwa orang Cina yang hidup di Indonesia dengan di Hong Kong pastilah berbeda. Dan hal tersebut akan terlihat dari
pengaruh bahasa dan aksen yang digunakan di negara masing-masing. Unsur metafora yang terdapat dalam bab ini juga ingin menampilkan bahwa orang
Cina pada awalnya menganut sistem kepercayaan budaya-religi. Sehingga dalam wacana ini pengarang ingin menampilkan bahwa masih banyak orang
Cina di Indonesia ini mempertahankan budaya-religinya itu. Dan tidak sedikit pula yang sudah memutuskan untuk berpindah agama.
Dalam wacana ini terdapat pula elemen semantik dan stilistik. Hal ini
dapat dilihat dalam Bab IV. Unsur latar yaitu menampilkan perkampungan
Tionghoa yang identik dengan lingkungan yang kumuh, tua dan kotor. Unsur detil yang ingin disampaikan adalah bagaimana karakter orang-orang
di daerah Pecinan. Kemudian terdapat unsur leksikon yang menampilkan bahwa orang Cina-Medan sering direpresentasikan sebagai orang yang tidak
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari sehingga dalam bermasyarakat penggunaan dan pemilihan kata cenderung yang bersifat
negatif. Contohnya yaitu kata mati yang didefinisikan meninggal.
Bab VI terdapat unsur latar yang menggambarkan karakter orang-
orang Cina yang tinggal di pecinan. Unsur detil yang lebih banyak membicarakan mengenai penguasaan bahasa Indonesia menampilkan bahwa
orang-orang muda keturunan Tionghoa saat ini sudah mampu berasimilasi
Universitas Sumatera Utara
dengan lingkungannya yakni, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Perbedaan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan
karakter orang-orang Cina yang masih hidup berkelompok di daerah pecinan. Unsur koherensi yang ingin ditampilkan dalam wacana ini adalah
alasan seperti apa sehingga orang Cina sangat identik dengan kesuksesan. Unsur pengingkaran menampilkan bahwa orang Cina sangat ingin diakui
menjadi seorang Indonesia tetapi pada saat itu hal tersebut sangat sulit sekali. Unsur leksikon juga ingin menekankan bahwa kognisi individu etnis
Tionghoa sudah banyak yang berubah, hidup lebih modern dan membaur bersama kelompok-kelompoknya yang juga sudah berpikir lebih maju.
Elemen semantik, sintaksis dan retoris terdapat dalam Bab VII.
Elemen semantik menampilkan makna yang eksplisit. Bahwa etnis Cina dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 banyak dirugikan, terutama dalam hal
materi. Elemen sintaksis mencerminkan bahwa banyak etnis Tionghoa yang tidak lagi mengikuti aturan dalam tradisi makan sayur saat ce it. Kemudian
elemen metafora yang menampilkan bahwa awalnya tradisi orang Cina dimulai dari cerita-cerita rakyat Cina, yang akhirnya cerita tersebut menjadi
tumpuan mengapa orang Cina merayakan tradisi tersebut.
Unsur latar, detil dan metafora terdapat dalam Bab IX. Unsur latar
ingin menampilkan bahwa orang Cina tidak pernah lupa balas budi terhadap apapun dan siapapun yang membantu. Detil dalam wacana ini menampilkan
bahwa warga Tionghoa yang tinggal di Indonesia tidak mendapatkan hak yang sama dengan penduduk asli Indonesia. Dalam detil juga dijelaskan
secara eksplisit bahwa begitu kentalnya diskriminasi antara masyarakat
Universitas Sumatera Utara
pribumi dengan etnis Tionghoa pada masa pemerintahan Soeharto. Unsur metafora adalah mencerminkan bahwa orang Cina mendapatkan berkat
dengan mempercayai feng shui.
Dalam Bab 10 terdapat elemen skematik, sintaksis dan retoris.
Elemen skematik menampilkan warga Tionghoa yang tinggal di Indonesia tidak diakui sebagai warga negara di Indonesia pada zaman Orde Baru.
Elemen sintaksis menggambarkan bahwa orang Cina memiliki sederetan daftar panjang untuk menyampaikan protesnya, tetapi hal itu tak pernah
dilakukan oleh warga Tionghoa. Elemen retoris selalu dimunculkan dalam wacana ini, terutama unsur metafora yang ingin menampilkan suatu nilai-
nilai kepada pembacanya.
Hanya terdapat unsur detil dalam Bab XII. Strategi wacana
menggunakan detil yaitu dalam menampilkan akibat dari kerusuhan Mei 1998. Peristiwa kerusuhan diceritakan melalui kacamata warga Tionghoa
yang menjadi korban penjarahan.
Dalam wacana Bab XV unsur metafora sangat mendominasi. Dan yang terakhir adalah pada Bab XVI terdapat unsur latar, detil,
pengingkaran, maksud dan metafora. Unsur latar menggambarkan bagaimana suasana dan situasi perkuburan orang-orang Cina. Unsur detil
menampilkan hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk melakukan kewajiban seorang keturunan Tionghoa. Maksudnya yaitu bahwa orang Cina
mempercayai bahwa roh leluhur akan selalu bersama mereka dan unsur metafora yang banyak menampilkan budaya-religi etnis Tionghoa dalam
upacara kematian.
Universitas Sumatera Utara
Tabel IV.2.1 Rangkuman Perbandingan Representasi Etnis Tionghoa pada Masa Orde Baru
dengan Masa Sekarang
Representasi Masa Orde Baru
Masa Sekarang
Minoritas Tidak ada libur Imlek
pada masa pemerintahan Soeharto
Imlek sudah menjadi hari libur nasional
Stereotipe Orang Cina pelit,
belagu, sok kaya, dan sok borjuis
Berjiwa dagang dan suka bekerja keras
Rasa sosial masyarakat antara
pribumi dengan non pribumi masih kurang,
kurang adanya rasa toleransi
Orang Cina pelit, belagu, sok kaya dan sok
borjuis Berjiwa
profesionalisme dan pekerja keras
Adanya rasa sosial dari sebagian masyarakat
pribumi terhadap masyarakat non pribumi,
ada saling kerjasama
Legalisasi
Harus adanya surat bukti kewarganegaraan,
SKBRI bahkan sampai surat ganti nama demi
menyatakan diri sebagai orang Indonesia
Harus adanya surat bukti kewarganegaraan,
SKBRI bahkan sampai surat ganti nama demi
menyatakan diri sebagai orang Indonesia
Labelisasi
Sebutan Amoy untuk keturunan Cina. Akan
tetap ada anak-anak keturunan Cina yang
dilecehkan dengan kata “amoy”
Menjadi orang Indonesia dengan embel-
embel kata “keturunan”
Kekuasaan Adanya budaya diam
dalam masyarakat Tionghoa dalam
menyampaikan pendapat Berani mengungkapkan
pendapat
Kebudayaan
Orang Cina selalu menghormati leluhur.
Adanya tradisi yang dilakukan sebagai batu
pengingat ada yang tidak
Kepercayaan
Orang Cina mempercayai akan
budaya-religi Telah berpindah agama,
kebanyakan menganut Kristen atau Katolik
Bahasa
Penghilangan unsur bahasa, baik itu dari
aksara Cina maupun pelarangan
menggunakan tiga suku nama Cina menjadi
nama Indonesia Orang Cina yang hidup
di Indonesia tidak mampu berbahasa Cina. Mereka
lebih menguasai bahasa Indonesia
Nama menjadi lebih Indonesia
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN