sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai
direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah
bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,
kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan encode
sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan.
Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika
kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.
a. Bahasa
Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias
terjadi pertama-pertama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dan
dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi di sini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Proses ini mau tidak
mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak.
Universitas Sumatera Utara
Ada dua proses yang dilakukan media untuk memaknai realitas yaitu pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi
bahwa wartawan tidak mungkin, melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang
dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuansi foto dan gambar
apa, dan sebagainya. Proses pemilihan fakta mau tidak mau sangat berhubungan dengan
pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik, tetapi
bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa yang dalam hal ini umumnya pilihan kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu
kepada khalayak. Kenneth Burke mengatakan bahwa kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tapi juga
membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu.
b. Misrepresentasi
Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi: ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seorang, suatu
kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagai mestinya atau adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita
mendengar, membaca, atau melihat bagaimana kesalahan representasi itu terjadi.
1.Ekskomunikasi Excommunication
Universitas Sumatera Utara
Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Di sini
misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia tidak dianggap alien, bukan
bagian dari kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak
kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain. Oleh karena itu, ada dua konsekuensi penting dari
ekskomunikasi ini. Pertama, partisipan wacana hanya dibatasi pada pihak sendiri pihak kita. Pihak lain bukan tidak ditampilkan
tetapi ditampilkan dalam melalui perspektif mereka sendiri. Salah satu strategi utama dalam pemberitaan dan bagaimana
ekskomunikasi dilakukan adalah dengan penghadiran dan penghilangan presence and absence suatu kelompok dan
berbagai identitasnya. Kedua, umumnya terjadi penggambaran yang simplifistik, dan menggambarkan pihak lain selalu dalam
kerangka kepentingan pihak kita.
2. Eksklusi Exclusion
Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi
mereka dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Di sini, ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang menyatakan
bahwa kita baik, sementara mereka buruk.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Foucault, pengucilan suatu kelompok atau gagasan dapat dilakukan melalui berbagai prosedur. Pertama, melakukan
pembatasan apa yang bisa dan tidak boleh membicarakannya. Kedua, eksklusi sesuatu wacana publik juga dilakukan dengan
membuat klasifikasi mana yang baik mana yang buruk, mana yang bisa diterima dan mana yang tidak bisa diterima.
3. Marjinalisasi
Praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi, terjadi
penggambaran yang buruk kepada pihakkelompok lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusiekskomunikasi, di sini tidak terjadi
pemilahan antar pihak kita dengan pihak mereka. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana
dari marjinalisasi ini. Pertama, penghalusan makna eufemisme. Kata eufemisme barangkali yang paling banyak dipakai oleh
media. Kata ini pertama kali dipakai dalam bidang budaya, terutama untuk menjaga kesopanan dan norma-norma. Kedua,
pemakaian bahasa pengasaran disfemisme. Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme
sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar. Ketiga, Labelisasi. Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan
oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan- lawan. Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah
kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif tetapi
Universitas Sumatera Utara
umumnya negatif dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, sterotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan
sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif.
4. Delegitimasi
Kalau marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok digambarkan secara buruk, dikecilkan
perannya, maka delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi
berhubungan dengan pertanyaan apakah seseorang merasa absah, benar, dan mempunyai dasar pembenar tertentu ketika melakukan
suatu tindakan. Praktik delegitimasi itu menekankan bahwa hanya kelompok
sendiri kami yang benar, sedangkan kelompok lain tidak benar, tidak layak, dan tidak absah.
II.4 Ideologi