karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa.
4. Alat Keempat: Mencatat Detail
Semua hal dicatat secara terperinci, yaitu: perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah,
perjalanan wisata, makanan, cara merawat rumah, hubungan dengan anak-anak, dengan pembantu, teman sebaya, atasan,
bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain.
II.2 Teori Komunikasi Antarbudaya
Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter 1972 bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam
kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh
kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to
bring with them different experiential backgrounds that reflect a long- standing deposit of group experience, knowledge, and values.
Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang
menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan
Universitas Sumatera Utara
mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap
proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi
dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward
T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk
mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma komunikasi yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan,
kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar
belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal
ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi
dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan,
Universitas Sumatera Utara
tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot”
pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok- kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam
identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi antarbudaya ditentang secara aktif.
Dalam setiap kebudayaan selalu ada pandangan hidup, kosmologi dan ontologi. Kehadiran tiga komponen itu seolah-olah hanya bisa diterima
namun tidak dapat dipahami atau dimengerti. Manakala seseorang dapat memahami pandangan hidup, kosmologi dan ontologi suatu masyarakat, dia
memprediksi perilaku dan motivasi tiap dimensi itu. Setiap studi antarbudaya selalu berusaha menggambarkan dan menerangkan perbedaan-
perbedaan tiga faktor itu dalam kebudayaan masing-masing Liliweri, 2003:115.
Dalam setiap struktur individu selalu terbentuk hirarki ontologi yang mengakui: 1 ada wujud tertinggi; 2 bersifat supernatural; 3 ada norma
yang mengatur masalah kemanusiaan; 4 ada bentuk-bentuk rendah kehidupan; 5 ada objek-objek bukan manusia tentang relasi individu
dengan unsur-unsur tersebut tersusun pada suatu hirarki berdasarkan atas kepentingan terhadap unsur itu, yakni kepercayaan, sikap dan nilai. Tiga
unsur ini selalu dikenal dalam setiap uraian tentang ontologi-kebudayaan. Sebagian pola-pola perilaku kebudayaan yang sering terjadi,
sebenarnya menggambarkan betapa tingginya orientasi budaya individu.
Universitas Sumatera Utara
Melalui orientasi budaya individu, setiap individu dapat menerima semua bentuk situasi apa pun yang melibatkan pertemuan antarbudaya.
Perbedaan antara dua atau lebih orientasi budaya sering menimbulkan konflik antarbudaya. Hal ini disebabkan karena setiap individu tidak
mengetahui sejauh mana bentuk, jenis, tingkat harapan terhadap suatu nilai tertentu. Perbedaan ini merupakan hal utama yang menyebabkan komunikasi
antarbudaya Tionghoa dengan individu lainnya tidak dapat dijalin dengan baik. Banyak prasangka dan stereotipe yang terjadi di antara hubungan
keduanya. Hal ini dapat sangat mempengaruhi setiap individu dalam kegiatan pergaulan sehari-hari.
http:smartpsikologi.blogspot.com2007 Sama halnya seperti yang dikatakan oleh Tarrant, Feinberg dan
Tanofsky 1994: 204-205: “Kita cenderung mencap atau menentukan tipe orang lain
walaupun baru pada pertemuan pertama. Membuat cap dan menentukan tipe orang ini sangat mempengaruhi dan menguasai
diri kita dalam berhadapan dengan orang lain. Menentukan tipe dapat menyesatkan dan berbahaya jika kita melakukan perkiraan
yang dangkal dan terlalu mudah mengenai orang yang tidak begitu kenal dengan baik. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan
mengapa begitu banyak hubungan dengan orang luar tidak begitu terjalin dengan baik”
Untuk tidak terjebak dengan stereotipe yang menyesatkan itu, sebaiknya tiap individu memiliki keterbukaan untuk menerima seseorang
dengan tanpa terlebih dahulu dibebani dengan stereotipe yang belum tentu kebenarannya. Apabila suatu individu sudah bisa berpikir secara terbuka,
maka suatu individu pun pasti akan mampu bertindak dan berpikir dengan berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan semata-mata didasari oleh
emosi. Adapun stereotipe etnis Tionghoa adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. rasa sosial terhadap sesama etnis tinggi
b. pelit
c. berjiwa dagang dan suka bekerja keras
d. bersahabat
e. kurang suka bergaul
f. eksklusif mengisolasi diri dari masyarakat kelas bawah
Beberapa faktor lain yang menyulitkan asimilasi antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia adalah :
a. Perbedaan ciri-ciri badaniah
b. In-group feeling yang sangat kuat sehingga mereka tetap
mempertahankan identitas sosial dan kebudayaan mereka yang dianggap eksklusif oleh bangsa Indonesia.
c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap tinggi
hati. Dominasi ekonomi ini bersumber pada fasilitas-fasilitas yang dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda dan juga
karena kemampuan teknis dalam perdagangan serta ketekunan mereka dalam berusaha.
Hal tersebut di atas dapat terjadi antara lain merupakan akibat politik pemerintah penjajah Belanda sewaktu menjajah bangsa Indonesia. Penduduk
Indonesia Hindia Belanda kala itu mereka bagi dalam 3 golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing dan Bumiputera Indonesia.
Hak-hak orang Tionghoa Indonesia yang mulai bermigrasi ke Indonesia dari abad XVI sampai kira-kira pertengahan abad XIX dari
wilayah Fukien dan Kwangtung serta memiliki 4 bahasa yang saling berbeda
Universitas Sumatera Utara
yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan bahasa Kanton yang tergabung dalam golongan Timur Asing lebih menguntungkan daripada golongan
Bumiputera. Sebagai salah satu sebab politiknya adalah golongan Tionghoa mendapat fasilitas-fasilitas tertentu yang memungkinkan mereka menduduki
lapisan lebih tinggi di atas rakyat Indonesia. Ini dimungkinkan oleh peraturan-peraturan yang mengangkat mereka secara ekonomis menjadi
lebih kuat. Fakta-fakta lain yang mempertajam masalah ini adalah sewaktu
perang kemerdekaan nasional, di mana tidak banyak orang Tionghoa yang memihak Indonesia, namun lebih memilih memihak Belanda.
II.3 Analisis Wacana Kritis