BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Deskripsi Objek Penelitian
Novel “Dimsum Terakhir” karangan Clara Ng terdiri atas 16 bab cerita, 368 halaman, tebal buku 20 cm. Novel cetakan pertama, April 2006
yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Novel ini berjudul “Dimsum Terakhir”. Dimsum adalah makanan
khas Cina, banyak sudah restoran-restoran Chinese food meyuguhkan
dimsum dalam daftar menunya. Dimsum adalah istilah dari bahasa Kanton
dan artinya adalah makanan kecil. Biasanya dimsum dimakan sebagai sarapan dan dihidangkan dalam keranjang rotanbesek bulat yang terbuat
dari bambu yang disusun secara bertingkat-tingkat. Isinya sendiri beragam, biasanya terdiri atas daging ayam, ceker, hakau, bakpao, siomay, sayuran,
dan lain sebagainya. Semuanya dimasak dengan cara dikukus. Walaupun begitu ada juga yang disajikan dengan sentuhan minyak goreng diatas
wajan. Seperti lumpia goreng. Sebenarnya dimsum tak ada kaitannya dengan ImlekTahun Baru
Cina, namun bagi keluarga Nung Atasana tradisi membuat dan menikmati dimsum adalah tradisi keluarga yang kerap dilakukan saat fajar menjelang
untuk menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Nung Atasana dan istrinya Anastasia adalah keluarga Tionghoa yang memiliki empat anak kembar:
Siska, Indah, Rosi dan Novera. Setelah Anastasia meninggal Nung harus membesarkan keempat putri kembarnya ini. Uniknya keempat putrinya ini
Universitas Sumatera Utara
walau kembar secara fisik, mereka memiliki empat kepribadian dan jalan hidup yang berbeda-beda. Siska, wanita karier metropolis yang tinggal di
Singapura. Indah seorang penulis yang sangat peduli akan keluarganya terutama ketika ayahnya terkena stroke. Rosi, wanita tomboi yang selalu
ingin menjadi laki-laki, pemilik kebun bunga di Puncak. Dan Novera yang tinggal di Yogya sebagai guru TK yang merupakan sosok rapuh yang
mencoba mengatasi kegalauan hatinya dengan bercita-cita menjadi biarawati.
Hanya Indah yang tinggal bersama Nung di Jakarta, hingga akhirnya ketika Nung terkena stroke Indah berinisiatif memanggil ketiga saudara
kembarnya untuk bersama-sama merawat ayahnya. Awalnya mereka enggan meninggalkan kehidupan mereka, ego mereka yang tinggi dan kesibukan
mereka membuat mereka harus berpikir dua kali untuk pulang ke Jakarta. Untunglah Indah berhasil membujuk ketiga saudaranya kembali ke Jakarta
untuk menemani ayah mereka yang mungkin kesempatan ini merupakan kesempatan terakhir bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama ayah
mereka. Dalam sakitnya Nung berpesan pada keempat anaknya agar menikah
sebelum ia meninggal. Tentu saja hal ini bukan hal yang mudah karena mereka ternyata menyimpan suatu rahasia dan masalah yang rumit dalam
kisah percintaan mereka. Siska yang lama tinggal di luar negeri memiliki petualangan cinta yang serba bebas dan tak percaya akan ikatan formal
pernikahan, Novera yang harus hidup tanpa rahim tentu saja merasa tak memiliki harapan untuk memiliki suami, Indah memiliki affair dengan
Universitas Sumatera Utara
seorang pastor sedangkan Rosi takkan sanggup jika harus menikah dengan seorang pria.
Di sela-sela kesibukan mereka merawat ayahnya dan konflik-konflik yang terjadi di antara mereka, keempat saudara kembar ini masih mengingat
tradisi keluarga mereka yang sekian lama tak pernah mereka lakukan. Walau ayah mereka masih berada di rumah sakit, mereka bahu-membahu membuat
dimsum saat fajar tahun baru Imlek menjelang. Mereka tidak tahu apakah saat itu akan menjadi hari terakhir untuk menikmati dimsum. Berhasilkah
mereka memenuhi permintaan ayah mereka untuk segera menikah? Ide cerita dalam novel ini mungkin sederhana dan tak istimewa,
namun Clara Ng membuat tema yang biasa menjadi menarik untuk disimak. Karakter masing-masing tokoh dikupas dengan jelas, berkumpulnya empat
karakter yang masing-masing memiliki kehidupan yang berbeda, menyimpan rahasia yang berbeda dan memiliki ego yang tinggi membuat
konflik-konflik antara keempat saudara kembar ini tersaji dengan menarik. Mau tak mau mereka harus mengorbankan kepentingan dan egonya agar
bisa bersama-sama menemani dan merawat ayah mereka. Uniknya konflik- konflik yang terjadi selama mereka bersatu kembali tak membuat mereka
terpecah, lambat laun masing-masing membuka diri dan kembali mendekatkan diri mereka satu sama lain menjadi satu keluarga yang utuh
sesuai dengan tradisi Tionghoa yang memegang teguh keutuhan keluarga. Selain kisah kehidupan keempat saudara kembar dalam merawat
ayahnya dan berusaha memenuhi keinginan terakhir ayahnya, pembaca juga diajak untuk menyelami kembali masa-masa kecil mereka ketika mereka
Universitas Sumatera Utara
masih tinggal dalam suatu rumah lengkap dengan kehadiran ibu mereka. Secara piawai penulis memasukkan kisah masa lalu para tokoh dalam novel
ini secara tepat sehingga pembaca tidak akan dibuat bingung ketika cerita harus bergerak mundur untuk menyelami masa lalu tokoh-tokohnya. Selain
itu peristiwa masa lalu yang dicetak oleh penerbitnya dengan huruf italic juga sangat membantu pembaca dalam kenyamanan proses membacanya.
Di novel ini selain disuguhkan konflik-konflik dalam keluarga Nung Atasana, pembaca juga akan diperkaya dalam berbagai hal mengenai budaya
Tionghoa yang telah mengakar kuat di Indonesia. Ragamnya tradisi seperti Imlek, Ce It, Cap Go Meh, Ceng Beng, hingga prosesi kedukaan dan
pemakaman terungkap dalam porsi yang pas sehingga tidak mengganggu alur cerita. Imlek mengandung dua unsur di dalamnya, yaitu Tradisi Budaya
dan Tradisi Religi. Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan berikut, yakni: “Bagi etnis Cina, peristiwa ini bukan sekedar peristiwa alamiah saja,
tetapi sebagai bangsa yang memiliki tradisi budaya-religi yang kuat dan kepercayaan agama alam “pantheisme”: ajaran yang menyamakan Tuhan
dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; penyembahan pemujaan kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan. Serta “mistik”:
subsistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan
Tuhan; hal gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang biasa, perayaaan Tahun Baru Imlek melibatkan tradisi budaya dan tradisi religi
yang menyatu yang sebagian besar sulit untuk dipisahkan”.
Universitas Sumatera Utara
Asal mula Perayaan Hari Raya Imlek adalah berasal dari perayaan para petani, karena pekerjaan atau mata pencaharian rakyat Cina kuno yang
pada umumnya, semuanya berprofesi sebagai petani yang dalam kesehariannya sangat tergantung pada alam. Aslinya Imlek atau Sin Jia
adalah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini
juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal
15 bulan pertama. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rejeki lebih banyak,
untuk menjamu leluhur, dan sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Dan karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala
bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Upacara persembahyangan yang tak kalah menariknya adalah
persembahyangan detik-detik Sin Jia pas tibanya Sin Jia pada tanggal 1 bulan 1 ImlekCe it. Upacara yang aslinya sejak dahulu kalanya dilakukan
di kelenteng-kelenteng, tengah malam pas menjelang pagi dini hari, yang tujuan utama dari persembahyangan ini adalah menyampaikan ucapan
terima kasih kepada ThianTuhan Yang Maha Besar dan atau para Sin Beng Malaikat Suci atas segala berkah dan karunia yang telah diterima
sepanjang tahun yang lalu. Serta permohonan agar senantiasa diberikan perlindungan dan bimbingan di dalam memasuki kehidupan di tahun yang
baru.
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 14 malam, sebagaimana juga pada malam besoknya, tanggal 15, dirayakan pesta Goan Sioa. Pesta ini di Indonesia lebih dikenal
dengan nama Cap Go Meh, yang keduanya berarti ‘malam tanggal 15’. Malam tanggal 15 adalah malam pertama dengan bulan sebundar-bundarnya
dalam tahun baru. Pada malam itu semua orang bersuka cita. Lampion berbagai bentuk dan beraneka warnanya, yang berisikan sebatang lilin atau
penerang lain, merupakan hal yang khusus dalam perayaan ini. Tanggal 15 malam ini merupakan hari terakhir orang Tionghoa merayakan hari Imlek.
Mereka menutup perayaan tahun baru dengan menghiasi kota atau tempat mereka tinggal dengan lampion-lampion. Perayaan terakhir ini, mereka
akhiri dengan sukacita dan pesta yang ramai dengan cahaya lampion. Ceng Beng adalah hari raya nyekar dalam tradisi Tionghoa. Kata
Ceng Beng atau dalam pinyin dibaca Qing Ming, dari kata bersih dan terang adalah salah satu dari keduapuluh-empat musim yang ada dalam
penanggalan Tionghoa. Hari raya Ceng Beng jatuh pada hari ke-106 setelah perayaan makan onde dalam tradisi Tionghoa, yakni pada hari titik
pembalikan matahari di musim dingin atau winter solstice. Jadi Qing Ming adalah salah satu hari raya di musim semi di daerah Tiongkok yang
berempat musim. Sehari sebelumnya atau hari ke-105 dalam tradisi Tionghoa dikenal dengan nama Han Shi. Pada hari raya Ceng Beng dalam
tradisi Tionghoa, para anggota keluarga melakukan penyapuan dan pembersihan di kuburan. Kuburan yang sudah tua dilabur lagi, tulisan di
batu nisan yang sudah meluntur dicat lagi. Rerumputan di sekeliling dipotong rapi, kembang belukar di sekeliling dipangkas juga, disusul acara
Universitas Sumatera Utara
penghormatan buat arwah keluarga dan leluhur di dunia akhirat lengkap dengan berbagai sesajen. Sedangkan pada hari raya Han Shi, yang terdiri
dari dua kata berarti makanan dingin, dalam tradisi Tionghoa berarti pantang menggunakan api selama dua tiga hari. Jadi makanan selalu disajikan dalam
keadaan dingin. Ada yang mengatakan bahwa dalam kalender Jepang dan Korea ada juga nama-nama ini, dan ada semacam tradisi serupa dalam
kebudayaan mereka. Di Korea Han Shi ini dikenal dengan nama Hansik. Dalam adat tradisional Tionghoa mengenai kematian memang
banyak pernak-pernik simbolisasi. Pangkat di lengan anggota keluarga yang ditinggalkan bermacam-macam namun pada dasarnya adalah kain goni, kain
polos warna biru tua, biru muda, kuning maupun merah muda. Sebenarnya pangkat di lengan ini adalah penyederhanaan dari pernak-pernik ritual
asalnya. Ini erat kaitannya karena di Indonesia beriklim tropis sehingga tidak cocok mengenakan baju berlapis-lapis. Tradisi ini mulai dilaksanakan 2500
tahun lalu pada zaman Zhou, anggota keluarga yang ditinggalkan harus mengenakan pakaian dari kain goni dan pakaian warna lainnya selama
bertahun-tahun sesuai tingkat hubungan dengan mendiang. Anak kandung harus mengenakan baju berkabung selama 3 tahun berturut-turut, anak
perempuan yang telah menikah boleh menanggalkan baju berkabung setelah 1 tahun, cucu-cucu dan keponakankemenakan boleh menanggalkan baju
berkabung setelah 3 bulan. Seluruhnya ada 5 tingkat dengan jangka waktu dan tingkatan perkabungan yang berbeda-beda. Di masa berikutnya, ritual
ini mengalami penyederhanaan. Sekarang ini, yang sering ditemukan di Indonesia adalah anggota keluarga yang berkabung memakai pakaian putih
Universitas Sumatera Utara
dari kain blacu lalu mengenakan pangkat di lengan. Ada keluarga yang mengenakan dengan aturan laki-laki di kiri, perempuan di kanan, namun
ada pula yang mengenakan secara seragam di kiri atau di kanan saja. Ini adalah penyederhanaan dari ritual ribuan tahun lalu, yang diharuskan
mengenakan baju dari kain goni sebagai tanda berkabung. Ini adalah sebuah peninggalan budaya, ritual budaya, jadi tidak ada hubungannya dengan ritual
keagamaan sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan warisan tradisi ini. Tradisi khas ini menunjukkan bakti dari anggota keluarga yang
ditinggalkan kepada mendiang. Selain itu novel ini juga mengungkap kehidupan etnis Tionghoa
lengkap dengan persoalan-persoalan sosialnya. Walau tak banyak mengungkap hal ini, namun cukup untuk menyadarkan pembacanya bahwa
ada berbagai hal yang harus diperbaiki dalam kehidupan bermasyarakat kita. Satu hal yang agak mengganjal dalam novel ini terdapat di awal-awal
cerita, Indah yang berbohong pada Siska bahwa ayahnya telah meninggal terasa agak berlebihan, bukankah dalam tradisi etnis Tionghoa hormat pada
orang tua merupakan hal yang terpenting dalam keluarga, apapun alasannya berbohong soal kematian orang tua adalah hal yang tabu. Selain itu kisah ini
banyak mengeksplorasi perbedaan antara keempat saudara kembar, padahal saudara kembar biasanya memiliki kesatuan hati karena mereka berasal dari
sel telur yang sama. Soal kesatuankedekatan hati antar keempat saudara kembar ini yang rupanya tak banyak disorot oleh penulisnya, padahal hal ini
pun akan menarik jika diekplorasi lebih jauh sehingga tidak hanya perbedaan-perbedaannya saja yang ditonjolkan.
Universitas Sumatera Utara
Namun terlepas dari hal yang mengganjal diatas, novel ini sangatlah menarik. Tutur kalimatnya lugas memikat, karakter tokoh-tokohnya dibuat
secara manusiawi dan tidak mengada-ada sehingga terasa sangat dekat dengan keseharian pembacanya. Seperti layaknya dimsum yang tersaji
dengan berbagai jenis makanan, demikian pula dengan novel ini. Novel ini tersaji dengan racikan aneka hidangan yang mengenyangkan pembacanya
konflik keluarga, pandangan hidup, tradisi, potret sosial etnis Tionghoa, dan lain sebagainya.
Seperti Dimsum, itulah gambaran novel ini. Sinopsis ini tak dapat menggambarkan secara komplit bahwa betapa nikmatnya mengudap aneka
jenis makanan dalam Dimsum Terakhir.
III.2 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Paradigma kritis sangat menaruh
perhatian terhadap pembongkaran aspek-aspek tersembunyi di balik sebuah kenyataan yang tampak. Dikategorikan dalam penelitian kualitatif yang
bersifat interpretatif dan subjektif. Metode penelitian ini memakai pisau analisis wacana versi Teun A. van Dijk pada level teks.
Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Dengan analisis wacana model van Dijk
ini akan mengungkapkan bagaimana penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.
Universitas Sumatera Utara
III.3 Subjek Penelitian
Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng, yang dibagi dalam 16 bab cerita,
368 halaman, tebal buku 20 cm. Editor oleh Hetih Rusli, desain dan ilustrasi sampul oleh eMTe. Penelitian ini menggunakan novel cetakan pertama,
April 2006 yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
III.4 Unit dan Level Analisis
Unit yang akan dianalisis adalah teks dari seluruh isi cerita dalam novel. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi
tekstual yang dipakai untuk memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau
peristiwa tertentu.
III.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Data Primer, yaitu dimana data unit analisa dari teks-teks yang
tertulis pada novel Dimsum Terakhir. b.
Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan library research, dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai
sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. c.
Wawancara terhadap pengarang yang bersangkutan via e-mail.
Universitas Sumatera Utara
III.6 Teknik Analisis Data
Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini
menganalisis teks pada novel Dimsum Terakhir dengan menggunakan Analisis Wacana. Klasifikasi teks dianalisis dengan kerangka analisis
wacana Teun A. van Dijk, untuk kemudian data disederhanakan ke dalam tabel.
Tabel III.1 Struktur Wacana van Dijk
STRUKTUR WACANA
HAL YANG DIAMATI ELEMEN
Struktur Makro Tematik
Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita
Topik
Superstruktur
Struktur Mikro
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks
berita utuh
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misalnya
dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada
satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi
detil sisi lain Skema
Latar, detil, maksud, praanggapan, nominalisasi
Struktur Mikro Sintaksis
Bagaimana kalimat bentuk, susunan yang dipilih
bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Struktur Mikro Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita
Leksikon
Struktur Mikro
Retoris
Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan
Grafis, metafora, ekspresi
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN