IV.2 Diskusi dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan berdasarkan paradigma kritis dengan menggunakan metode analisis wacana kritis melalui model penelitian
Teun A. van Dijk. Paradigma kritis memandang bahwa media adalah sarana dimana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok media. Media yang
mempunyai modal yang kuat dan pengaruh yang luas di masyarakat cenderung dapat melakukan dominasi dengan cara memberikan penafsiran
tunggal terhadap suatu fenomena, isu-isu ataupun aktor-aktor tertentu lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan, media secara tidak langsung
membentuk pemahaman dan kesadaran kepada khalayak mengenai sesuatu. Analisis wacana kritis melalui pendekatan Teun A. van Dijk sering
disebut sebagai kognisi sosial, Menurut van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya
hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang
dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Model ini berdasarkan pada tiga konsep utama, yaitu Struktur Makro,
Super Struktur, Struktur Mikro. Dengan konsep ini dapat dilihat bagaimana suatu pihak ditampilkan dalam suatu pemberitaan. Dimensi teks akan
dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata
ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Novel Dimsum Terakhir sebagai salah satu karya jurnalisme sastra
menggunakan pemakaian gaya fiksi untuk mengemas laporan jurnalistik dan
Universitas Sumatera Utara
memunculkan fenomena baru dalam hal fakta, perubahan defenisi, proses pengamatan dan pencariannya. Begitu pula dalam kaitannya penyajian serta
perubahan konvensi bentuk dan gaya penulisan. Dalam novel ini, pengarang mengemas laporan yang berkaitan dengan isu-isu etnis Tionghoa yang
terjadi pada masa Orde Baru hingga kini.
Pada bagian Prolog selain tematik dan skematik, maka terdapat
elemen semantik yaitu latar dan maksud. Dalam hal ini pengarang ingin menyampaikan latar yang membawa khalayak masuk ke budaya-religi
masyarakat Cina. Bahwa setiap kebudayaan harus memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan sistem kepercayaan di mana semua
pengikutnya berkiblat. Dalam wacana ini suku bangsa Cina ditampilkan sebagai individu-individu yang telah memberikan penghormatan yang besar
terhadap orangtua baik pada saat mereka sudah mati. Rasa hormat yang besar terhadap orangtua dan leluhur inilah yang telah membentuk dasar etika
orang-orang Cina hingga saat ini. Maksud yang ingin disampaikan pengarang dituliskan secara implisit, terlihat dari latar yang digunakan.
Pada Bab I terdapat elemen tematik dan skematik. Juga terdapat
elemen semantik, sintaksis dan retoris. Pada elemen semantik yaitu menggunakan unsur maksud, dimana gagasan yang ingin disampaikan
pengarang ditampilkan secara eksplisit. Pengarang dengan jelas menampilkan bahwa orang Cina merasa bahwa mereka merupakan
kelompok minoritas. Menjadi kelompok minoritas adalah hal yang sangat membuat orang-orang Cina cenderung khawatir akan kehidupannya. Unsur
koherensi yang terdapat pada elemen sintaksis adalah dimana alasan tertekan
Universitas Sumatera Utara
batinlah yang menyebabkan orang Cina akan masuk neraka. Di sini orang Cina ditampilkan sebagai korban dan pihak pribumi ditampilkan sebagai
pihak yang bersalah akan akibat tersebut. Kemudian pada bab ini juga terdapat elemen retoris, yakni metafora. Dalam wacana ini menggunakan
latar belakang budaya masyarakat Tionghoa, oleh karena itu elemen metafora yang digunakan pun berhubungan dengan budaya Tionghoa.
Elemen yang digunakan pada Bab II adalah adanya komentar yang
termasuk dalam elemen skematik. Komentar pertama berasal dari orang pribumi yang menyudutkan posisi orang Cina, sedangkan komentar kedua
mewakili komentar dari orang yang membela dan tidak memandang suku. Komentar pertama lebih mendominasi daripada komentar pihak kedua.
Posisi komentar dari pihak pertama menguntungkan karakter pribumi. Komentar yang diberikan pihak pertama sangat mencerminkan
stereotipe yang selama ini melekat pada diri seorang Tionghoa. Orang Tionghoa ditampilkan sebagai orang yang sok kaya, sok borjuis dan pelit.
Kemudian terdapat juga unsur detil yang mengarahkan peristiwa cerita ini pada masa pemerintahan Soeharto. Elemen maksud ditampilkan secara
eksplisit, dalam hal ini ingin disampaikan bahwa orang Cina saat ini sudah berani angkat bicara, walau hanya dalam skala kecil. Adanya unsur
praangapan bahwa saat ini tidak semua masyarakat pribumi selalu memandang streotipe terhadap etnis Tionghoa.
Koherensi menjelaskan bahwa suatu masalah akan menjadi rumit jika pihak yang terlibat adalah orang Cina. Dalam hal ini orang Cina juga
ditampilkan sebagai individu yang harus berhati-hati jika terkena masalah.
Universitas Sumatera Utara
Bab III memiliki strategi wacana semantik yakni praangapan. Warga