Analisis Wacana Novel Dimsum Terakhir

IV.1. Analisis Wacana Novel Dimsum Terakhir

IV.1.1 Prolog PROLOG Kau disebut perawan sebab kau rawan dan harus berhati-hati. Maka, saat kau beranjak dewasa dan tamumu mulai datang, ibumu lalu girang karena “tamu” telah mengetuk pintu putrinya. Darah merah melambangkan kesuburan lalu tuman datang setiap bulan. Per 28 hari, lima sampai tujuh hari, apa yang terjadi? Seperti ayam, telurmu tumbuh dalam tubuh. Ibumu bahagia, bersyukur dan berdoa. Lalu pesannya, “Jagalah bungamu, jangan kau buahi telurmu, Agar kau suci selalu hingga menjadi persembahan paling berarti bagi calon suami.” Pagar ayu-pagar ayu…sesuatu yang rawan sebab kau memang perawan. Sesuatu yang harus dijaga sebab sakral adalah capnya. Lalu kau menyumpahi dirimu karena kau wanita. Tapi kemudian dirimu matang seperti telurmu yang siap panggang. Kau siap menjadi pembawa generasi bagi manusia, dan surga ada di telapak kakimu. dikutip dari Tabula Rasa---Ratih Kumala, Grasindo 2004 Butir-butir keringat Anas berjatuhan di dahi ketika bayi itu akhirnya berhasil meluncur keluar dari rahimnya. Kepalanya terempas ke belakang. Nyawanya seakan lenyap sedetik dari raganya. Tapi Anas masih menangkap seruan gembira dokter kandungan. “Bayi keempat Semuanya perempuan” Universitas Sumatera Utara Aku berdiri di pojok kesayanganku. Televisi menyala di ruang keluarga. Cahayanya berpendar lembut. Suaranya rendah. Aku ingin tahu apakah Nung dapat mendengar suara televisi dari sofa tempatnya berbaring. Mungkin dia tidak terlalu memerhatikan isi berita. Mungkin ada berita lain yang memenuhi kepalanya. Aku tidak tahu. Dari sini aku mengawasi seluruh isi rumah. Tidak banyak yang berubah. Gorden berwarna hijau dengan motif daun-daun tampak masih sama, namun terlihat sedikit kotor karena jarang dicuci. Debu menempel setia disana. Bufet kecil tempat deretan foto berbingkai. Lukisan pemandangan yang menempel di tembok. Beberapa plakat penghargaan tampak usang. Keanggunannya hilang termakan usia. Seluruh permukaan lantai masih dilapisi keramik yang itu-itu saja. Jika ada insinyur menyempatkan diri datang ke rumah ini, aku tahu apa yang akan dikatakannya. Rumah kuno. Tua renta. Ketinggalan mode. Sudah ringkih. Payah. Bla, bla, bla… Aku melempar pandangan seluas-luasnya. Dinding bisu menjadi saksi serangkaian perjalanan hidup beberapa jiwa. Warna catnya sedikit kusam, tapi masih bagus dipandang. Nung pasti belum tertarik untuk mengecat ulang. Di pojok dinding sana, tampak kursi goyang tua yang sampai sekarang masih sering digunakan. Sepuluh tahun telah berlalu. Aku menghela napas. Meja sembahyang terlihat jelas di ruang keluarga. Abu jatuh dari hio yang sedikt lagi habis terbakar, membuat sebagian meja tampak kotor. Patung Dewi Kwan Im berdiri anggun disana, diapit dua api yang menyala oleh minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, disanalah tempat abuku berada. Sejuta kenangan berhamburan turun. Tubuhku perlahan memudar. Dan setitik air mata meluncur turun di pipi. Bip.Bip.Bip. “Ya?” Tanya Siska kesal, menekan tombol speaker phone. Dia sudah berkali-kali memberitahu Donna, sekretarisnya, agar tidak mengganggunya Universitas Sumatera Utara sekarang. Apakah Donna tidak mengerti bahwa dia sedang menerima klien penting? Prospek bisnis masa depan yang buntut-buntutnya akan membayar gaji Donna selama berbulan-bulan. Plus bonus. Dasar sekretaris tidak becus Apa sih susahnya menolak orang? “Maaf, ganggu, Bu. Ini—” Siska menyambar gagang telepon secepat-cepatnya. Giginya gemeletak menahan kekesalan ketika mulutnya mendesis marah, “Tadi saya kan sudah bilang, saya tidak mau diganggu” “Ya, Bu. Tapi---” “Bilang saja saya sedang keluar. Tidak ada di dalam ruangan Mengerti?” “Mengerti, Bu. Saya---” Segerombolan anak muda mengintip dari ujung lorong. Sedari tadi, rupanya mereka sedang mengamati tingkah laku Indah. “Mbak Indah? Mbak Indah Prati?” Indah berhenti melangkah mendengar panggilan itu. Dia menoleh. Senyumnya mengembang lebar ala iklan pasta gigi. “Ya. Ada apa?” Empat anak muda yang semuanya mengenakan jins dan berambut semodel bergegas mendatangi Indah. Senyum keempatnya tampak ceria. “Mbak Indah boleh minta tanda tangannya, ya?” Keempatnya menyorongkan empat buku ke tangan Indah. Senyum membingkai sempurna di wajah Indah yang sumringah. Tangannya merogoh-rogoh tasnya, mencari-cari bolpoin. “Untuk siapa saja?” Tanya Indah. Tutup bolpoin ditariknya dengan gigi. Rosi menutup telepon dengan hati galau. Barusan Indah menelepon, mengabarkan bahwa ayah mereka terserang stroke hari ini. Kesepuluh jari tangan Rosi gemetar hebat sehingga gagang telepon terjatuh keras di pesawatnya. Universitas Sumatera Utara Di luar terdengar suara gonggongan anjing Labrador hitam miliknya yang bernama Bubu. Tidak berhenti, sambung menyambung menjadi satu, seperti sedang kesurupan. Pikiran Rosi tersungkur seketika ketika dia berjalan bergegas melintasi ruangan menuju suara tersebut. Gonggongan anjing yang ribut selalu membuatnya sedikit senewen. Dia menyibak tirai, melongokkan kepalanya di jendela. Tubuh besar Bubu hanya terlihat sebagian. Hanya sepasang tungkai belakangnya yang kokoh serta ekornya yang tidak berhenti mengibas-ngibas liar. Anjing itu sedang menandak-nandak, melompat-lompat, dan menyalak nyaring. Tidak terdengar geraman galak ataupun gonggongan mengancam. Melihat dan mendengar kondisi seperti ini, berarti Bubu dalam keadaan gembira. Rosi berjalan keluar menuju kebun. Hari ini adalah hari pertama awal bulan. Udara lembap, sedikit dingin, menerpa pipinya. Rosi berjinjit, melewati beberapa bagian tanah basah yang terciprat air dan atap rumah. Hujan mengguyur sedikit-sedikit semenjak kemarin. Suhu cuaca turun sedikit, memberikan suasana alam yang kaku, kerasa, serta beku. Pagi itu tidak terlalu berangin, tapi daun-daun kering terlihat melayang tepat di ujung kaki Rosi. “Ayahku kena stroke.” Tangan Tanti berhenti di udara sehingga nyaris menyenggol panik plastik mainan anak-anak yang bertumpuk-tumpuk dari ukuran terkecil sampai yang terbesar. “Apa katamu?” Pernyataan sahabatnya mengejutkan Tanti dari lamunannya. “Ayahku kena stroke ulang Novera tenang. “Kok bisa?” Sejenak Tanti bertanya-tanya sendiri mengapa mulutnya menyemburkan komentar seperti itu. Itu pertanyaan tolol. Tanti menggigit bibir cemas, berharap temannya tidak tersinggung dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya tanpa pikir panjang. Tanpa terpengaruh reaksi Tanti, Novera menggosok hidung sambil mengamati sepotong krayon kuning. Dalam beberapa detik, terasa Universitas Sumatera Utara kekosongan menyelinap di ruangan kelas. Tanti menatap sahabatnya dengan mata sedih dan prihatin mengenai pengumuman tersebut. Aku masih berdiri di pojok kesayanganku. Saat ini Nung tidak berada di sofa favoritnya, tentu saja. Kucing-kucing mengeong-ngeong memelas, mungkin kelaparan karena sudah seharian Nung tidak berada di rumah ini. Kasihan juga melihat mereka. Tapi aku yakin, Nung akan kembali besok. Kucing-kucing manja itu pasti bertahan. Aku tidak terlalu mengkhawatirkan mereka. Menurutku sebaiknya mereka juga diet. Semburat cahaya kuning menembus tirai jendela, menyorotkan bias keemasan ke dalam rumah. Nung pasti akan pulang bersama keempat anak perempuannya. Empat anak perempuan kembarnya… Betapa menyenangkan. Kenangan-kenangan itu kembali. Bagai hantu yang tidak mau pergi. Bagai putaran waktu yang mengkristal. Aku tersenyum tipis. Rumah ini akan kembali ramai. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Prolog Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Situasi hidup 4 orang anak kembar dengan kesibukannya masing-masing dalam lingkup pekerjaan dan tempat tinggal yang berbeda. Kabar sakitnya sang ayah akan membuat mereka berempat untuk berhenti sejenak dari segala kesibukannya. Skematik Story Dimulai dari cerita masa lalu ketika sang ibu, Anas melahirkan 4 anak kembar perempuan. Sang ibu selalu dapat mengawasi seluruh isi rumah dari tempat abunya berada, yaitu di meja sembahyang. Lalu diikuti oleh cerita kehidupan Siska sebagai seorang profesionalisme, kehidupan Indah sebagai seorang penulis, Rosi yang sangat menyukai bunga dan Novera seorang guru TK. Mereka berempat dikejutkan oleh kabar buruk, yakni Nung, ayah mereka terkena stroke. Terutama Indah yaitu satu-satunya anak Nung yang bertempat tinggal di Jakarta, yang seharusnya lebih dulu mengetahui kondisi papanya ketimbang Siska yang sedang bekerja di Singapura, kemudian kembali pada sudut pandang si ibu yang tetap menjaga rumah, ia sangat menantikan kepulangan Nung bersama keempat anak perempuannya. Semantik Latar “Sepuluh tahun telah berlalu. Aku menghela nafas…Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, disanalah tempat abuku berada.” “Sejuta kenangan berhamburan turun. Tubuhku perlahan memudar. Dan setitik air mata meluncur turun di pipi.” Maksud “Aku berdiri di pojok kesayanganku…Dari sini aku mengawasi seluruh isi rumah. Tidak banyak yang berubah. Gorden berwarna hijau dengan motif daun- daun tampak masih sama, namun terlihat sedikit kotor karena jarang dicuci…” “Seluruh permukaan lantai masih dilapisi keramik yang itu-itu saja…Warna catnya sedikit kusam, tapi masih bagus dipandang. Nung pasti belum tertarik untuk mengecat ulang…” Universitas Sumatera Utara Prolog Analisis Tema atau inti pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator adalah mengenai gambaran situasi kehidupan empat anak kembar dengan kesibukannya masing-masing. Hidup dalam lingkup pekerjaan dan tempat tinggal yang berbeda. Kabar sakitnya sang ayah membuat mereka berempat untuk berhenti sejenak dari segala kesibukannya. Tema besar ini dapat dilihat dengan jelas mulai dari penceritaan Siska yang sibuk dengan pekerjaannya, kemudian diikuti dengan penceritaan ketiga karakter selanjutnya. Dalam hal skema atau urutan wacananya, penceritaan dimulai dari peran sang Ibu yang melihat “semuanya”. Sang Ibu yang selalu berdiri di pojok kesayangannya, yaitu meja sembahyang. Dari tempat tersebut, ia mengawasi seluruh isi rumah. Kemudian dilanjutkan dengan kisah kehidupan Siska yang digambarkan menjadi seorang profesional yang berkarakter koleris. Dilanjutkan dengan kisah Indah yang berprofesi sebagai penulis, Rosi yang tinggal di Puncak, menjalankan usaha sekaligus hobinya, lalu Novera yang bekerja sebagi guru TK. Konflik atau masalah bahwa ayah mereka terkena stroke muncul satu-persatu ketika mengisahkan kehidupan mereka masing-masing. Akhir dari paragraf prolog ini pun menceritakan bahwa sang Ibu selalu memperhatikan seisi rumah dan menantikan suami dan keluarganya untuk berkumpul kembali. Makna yang ingin dikedepankan dalam wacana ini dapat dilihat dari elemen latar dan maksud. Latar yang dipilih menentukan kearah mana Universitas Sumatera Utara pandangan khalayak hendak dibawa. Elemen latar dapat dilihat pada kalimat berikut ini: “Sepuluh tahun telah berlalu. Aku menghela nafas. Meja sembahyang terlihat jelas di ruang keluarga. Abu jatuh dari hio yang sedikit lagi habis terbakar, membuat sebagian meja tampak kotor. Patung Dewi Kwan Im berdiri anggun disana, diapit dua api yang menyala oleh minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, disanalah tempat abuku berada.” Pada bagian prolog novel ini, pengarang ingin menyampaikan latar yang membawa khalayak masuk ke budaya-religi masyarakat Cina. Hal ini merupakan latar utama yang digunakan pengarang dalam keseluruhan cerita dalam novel Dimsum Terakhir. “Aku” sebagai sudut pandang orang pertama menyampaikan bahwa si tokoh memiliki peran sebagai orang yang menontonmelihat peristiwa di dalam rumah tersebut. Deskripsi tersebut mengekspresikan bahwa si pengarang tidak ingin menceritakan secara eksplisit bahwa yang sedang berbicara ini adalah roh. “sepuluh tahun telah berlalu” yang berarti sudah sepuluh tahun si tokoh meninggalkan rumah tersebut. Seseorang yang sudah meninggal 10 tahun yang lalu, pastilah salah satu dari anggota keluarga tersebut. Deskripsi mengenai meja sembahyang erat sekali dengan tradisi budaya-religi masyarakat Cina yang mengatakan bahwa pihak bumi dapat berkomunikasi kepada pihak langit orang yang sudah meninggal melalui sesajensembahyang. Hal ini jelas terlihat pada kalimat “Abu jatuh dari hio yang sedikit lagi habis terbakar…” Dalam hal ini manusia yang masih hidup di dunia dapat berkomunikasi dengan leluhur mereka yang sudah lama meninggalkan dunia. Masyarakat Cina mempercayai bahwa para leluhur tetap memperhatikan sanak keluarga Universitas Sumatera Utara mereka yang ada di dunia. Pihak langit berbicara pada pihak bumi melalui Ramalan Kwa Mia Ciam si, dan lain-lain. Kepercayaan kepada arwah- arwah leluhur ini masih terdapat dalam masyarakat Cina dewasa ini. Hal ini merupakan salah satu elemen latar yang ingin ditonjolkan oleh pengarang. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Cina sebelum Khunghucu lahir, sudah menaruh keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan para leluhur yang telah lama meninggalkan dunia tersebut dipandang hidup dalam surga. Oleh karena itu, kisah si tokoh yang bercerita tadi, merupakan gambaran bahwa si tokoh merupakan sosok yang sangat sayang dan perhatian akan orang-orang yang tinggal dalam rumah tersebut. Kalimat yang mengatakan “disanalah tempat abuku berada” merupakan cerminan bahwa seseorang tersebut dikremasi. Sehingga abunya pun diletakan dekat meja sembahyang di ruang keluarga. Maksud dari bagian ini disajikan secara implisit. Terlihat dari latar yang digunakan. Tokoh yang sudah meninggal, tetapi tetap bisa mengomentari kehidupan di bumi. Pengarang tidak secara langsung memaparkan bahwa siapa yang sedang berbicara tersebut. Khalayak dibiarkan untuk menyimpulkan sendiri, karakter mana yang sedang berbicara. Khalayak dapat menyimpulkan hal tersebut dari munculnya kalimat berikut: “Aku berdiri di pojok kesayanganku. Televisi menyala di ruang keluarga. Cahayanya berpendar lembut. Suaranya rendah. Aku ingin tahu apakah Nung dapat mendengar suara televisi dari sofa tempatnya berbaring. Mungkin dia tidak terlalu memerhatikan isi berita. Mungkin ada berita lain yang memenuhi kepalanya. Aku tidak tahu...” Universitas Sumatera Utara Kalimat diatas menjelaskan bahwa tokoh yang sedang berbicara adalah sosok yang dapat melihat segalanya dari satu tempat. Deskripsi ruangan di dalam rumah menandakan bahwa si tokoh sudah lama meninggalkan rumah tersebut. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat berikut: “Dari sini aku mengawasi seluruh isi rumah. Tidak banyak yang berubah. Gorden berwarna hijau dengan motif daun-daun tampak masih sama, namun terlihat sedikit kotor karena jarang dicuci. Debu menempel setia disana. Bufet kecil tempat deretan foto berbingkai. Lukisan pemandangan yang menempel di tembok. Beberapa plakat penghargaan tampak usang. Keanggunannya hilang termakan usia. Seluruh permukaan lantai masih dilapisi keramik yang itu-itu saja. Jika ada insinyur menyempatkan diri datang ke rumah ini, aku tahu apa yang akan dikatakannya. Rumah kuno. Tua renta. Ketinggalan mode. Sudah ringkih. Payah. Bla, bla, bla… Aku melempar pandangan seluas-luasnya. Warna catnya sedikit kusam, tapi masih bagus dipandang. Nung pasti belum tertarik untuk mengecat ulang. Di pojok dinding sana, tampak kursi goyang tua yang sampai sekarang masih sering digunakan.” Dari kalimat “namun terlihat sedikit kotor karena jarang dicuci. Debu menempel setia disana.” mendeskripsikan bahwa rumah itu tidak terlalu diurus dan berantakan. Tidak ada seorang pun yang tinggal disana kecuali Nung. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa Nung adalah seorang pria, dan roh yang sedang berbicara adalah tokoh sang ibu yang sudah meninggal. Kalimat “Dinding bisu menjadi saksi serangkaian perjalanan hidup beberapa jiwa.” menggambarkan bahwa rumah tersebut pernah ditempati oleh beberapa orang, yaitu anak-anaknya. Universitas Sumatera Utara IV.1.2 BAB I SATU PESAWAT Novera baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dengan sempurna. Penerbangan dari Yogyakarta tidak makan waktu lama dan sangat tenang. Tidak ada turbulensi atau guncangan apapun. Novera berdiri bersama-sama penumpang lain. Pesawat tidak terlihat penuh, hanya ada beberapa kursi yang terisi. Secara teratur dia melangkah keluar dari kabin pesawat bersama penumpang-penumpang lain. Dia melangkah cepat dan efisien menuju tempat pengambilan bagasi. Ketika tiba di luar, dia menoleh ke sana kemari mencari tumpangan. Seorang sopir taksi gelap menghampirinya. “Mau kemana, Bu?” Di Bandara dan gerbang kedatangan yang berbeda, pesawat lain baru saja mendarat. Seperti biasanya, penerbangan dari Singapura selalu berlalu dengan mulus. Siska duduk full gaya di kursi penumpang First Class. Kacamata hitamnya tidak lepas membingkai wajahnya. Hari ini dia mengenakan baju serba cokelat. Bahkan tas jinjingnya pun berwarna senada. Tapi Rosi senang mendengar komentar itu. Dia tidak ingin jadi perempuan yang berbentuk lembut dengan lekukan tepat di setiap sudut. Rosi bahagia dengan kondisinya. Rosi bersyukur setengah mati. “Kamu lapar nggak? Bisa kita istirahat sebentar? Kita makan dulu yuk.” Rosi sadar Dharma sedang bolak-balik memandanginya penuh kekaguman. Mata Dharma sarat akan emosi. “Oke aja, Babe. Aku nggak keberatan.” Selain itu, menstruasi Rosi juga terlambat datang. Ketika Siska, Indah, dan Novera mendapat menstruasi pertama pada sekitar usia tiga belas tahun, menstruasi pertama Rosi hadir pada usia dua puluh tahun. Rosi sendiri tidak terlalu peduli pada masalah menstruasi yang terlambat ini. Tapi Universitas Sumatera Utara Mama sangat…sangat peduli. Rosi dibawa ke sana kemari untuk berobat, mencari tahu apa yang salah dengan ritme tubuhnya. Mulailah petualangan medis Rosi berkunjung ke aneka dokter spesialis, sinshe, sampai terapi alternatif. Untunglah akhirnya Rosi mendapat menstruasinya. Diatas semua itu, Rosi menyimpan rahasia besar. Rahasia yang tidak pernah dia ungkapkan kepada siapa pun dalam keluarganya. Meski dia mempunyai keinginan kuat untuk membagi rahasia itu kepada seseorang yang dapat mengerti dirinya, ada kekuatan yang menjaga agar perasaan itu tidak diketahui. Rahasia yang membelitnya membuatnya resah sepanjang usia remaja. Rahasia itu sungguh membingungkan pada permulaan dan menjadi semakin rumit ketika dia bertambah dewasa. Semuanya berawal pada saat payudaranya berhenti tumbuh. Dengan kadar kekacauan emosi tinggi, Rosi tidak merasa dirinya sebagai “dirinya”. Dia tidak merasa tumbuh pada tubuh yang tepat. Justru kebalikannya, Rosi merasa dirinya perempuan. Jiwanya seratus lelaki. Rosi adalah lelaki yang tumbuh dalam fisik perempuan. Jiwanya lelaki. Tapi tubuhnya perempuan. Apa istilah asingnya? Transgender. Transeksual. Cewek macho. Cewek kelaki-lakian. Whatever. Apa arti label? Tidak penting. Yang pasti, Rosi berbeda. Seperti zebra di tengah-tengah kawanan kuda. Seperti gorilla di kawanan simpanse. Dia tampan tapi juga cantik. Dia maskulin di luar tapi hatinya feminin. Dia Yang, yang kuat, yang terang, yang cerah. Tapi dia terlahir sebagai Yin, yang gelap, yang tenang, yang lembut. Segala perbedaan yang kontras itu jungkir balik. Rosi seperti lukisan yang catnya berantakan. Lebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di negara ini. Dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin ini nerakanya neraka. Universitas Sumatera Utara Apakah ini salah? Jika salah, dimanakah letak salahnya? Apakah kesalahan itu terletak pada perasaan Rosi sendiri? Ataukah kesalahan itu benar-benar terjadi pada dirinya, jiwa yang berdiam tidak pada tempatnya? Rosi bingung. Rosi sedih. Rosi depresi. Pelariannya adalah hidup semaunya. Cuek. Tidak peduli. Tidak ingin mendengarkan kata-kata orang… Emangnya gue pikirin? Dia melawan semua peraturan itu apaan sih? Hanya buatan orang-orang sok “normal” saja kok. Masa-masa ceria Rosi sebagai kanak-kanak lenyap seperti kotoran tersiram air di dalam kakus. Masa-masa puber berlalu dengan gamang. Perasaan suka terhadap lawan jenis tidak tumbuh dalam dirinya. Hanya perempuan berlalu lalang. Oh ya, begitu banyak, Beybeh Dengan hura-hura, clubbing, dan pesta-pesta malam yang tiada habis-habisnya, Rosi berharap menemukan kedalaman dalam dirinya. Peace on earth. Peace in heart. Dan perempuan terakhir adalah Dharma… “Saya tidak suka pakai rok” “Tapi kan rok ini pemberian tante Lusi. Apalagi sekarang mereka sekeluarga mau datang kemari. Pakailah sekali-sekali, Rosi. Jangan bikin malu Mama.” “Uuh, Mama juga sih Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.” “Rosi…Rosi…Jangan ngomong begitu. Bagaimana sih kamu ini? Ingat kata A Kong, jangan pernah menolak pemberian orang. Nanti pemali. Nggak punya hoki. Rezeki nggak akan ngalir pada keturunan kita.” “Alaaa, Mama. Masih dengerin kata A Kong yang udah mati. Udah ketinggalan zaman tuh. Uzur. Gitu aja mesti bawa-bawa hoki segala.” “Hus, jangan ngomong kasar seperti itu. Tidak baik. Pokoknya, dengar ya. Kamu harus dengar kata Mama. Kalau Tante Lusi datang, kamu Universitas Sumatera Utara harus pakai rok. Mama nggak mau lihat kamu pakai kaus dan celana panjang yang itu-itu aja. Cari blus yang warna merah. Masa Imlek pakai baju warna ungu? Kelewatan. Kayak sudah jadi janda, padahal masih perawan. Jangan kaus yang itu-itu aja. Dengar, Rosi? Jangan bantah perkataan Mama.” Sambil mengentakkan kaki, Rosi keluar dari dapur. Belum lagi kakinya mencapai ruang tengah, mamanya berteriak lagi. “Bakar hio dan buat persembahan untuk A Kong. Minta maaf karena kamu tadi lancang sama beliau.” Dasar Mama tukang ngatur. Bibir Rosi cemberut ketika menghampiri meja persembahan. Diambilnya tiga batang hio lalu dinyalakannya hati- hati. Pelan-pelan kepalanya menunduk, menghormat kepada arwah A Kong dan seluruh leluhurnya. Ketika dia menancapkan batang hio, matanya melirik ke wajah Siska yang sedang duduk di sofa sambil nyengir lebar. “Pakai kaus ungu bukan kayak janda, tapi kayak baru kehilangan keperawanan.” Tanpa ba-bi-bu, Rosi berlari dan menonjok pipi Siska. BUK Siska terjerembap ke samping sofa. Bukan Siska namanya jika tidak melawan. Dengan kecepatan tinggi, Siska balas menerkam. Menjotos dan mencakar pipi Rosi. Tanpa bisa dihindari, perkelahian langsung terjadi seperti api menyambar minyak. “MAMA MAMA” teriak Novera panik. “ROSI DAN SISKA BERANTEM” Telinga Anas meruncing seketika. Dia datang tergopoh-gopoh dari dapur. “STOP BERHENTI ROSI SISKA ANAK PEREMPUAN NGGAK BOLEH BERANTEM STOP” Buk Krak Rosi menjambak rambut Siska yang panjang. Brak “Aw” BUK-BUK-BUK “BIARIN” Siska membalas menendang perut Rosi. BUK Bret “SAYA BUKAN ANAK----” Kaus Rosi robek di bagian lengan.”---PEREMPUAN” Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 1 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Anak-anak Nung sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk melihat kondisi ayahnya, kecuali Siska. Indah menjadi orang pertama yang bertanggung jawab akan kondisi ayahnya. Skematik Story Dimulai dari kepulangan Novera dari Yogyakarta ke Jakarta. Siska yang meneruskan petualangan bisnisnya ke negri Hong Kong, lalu Indah yang begitu ketakutan akan kondisi ayahnya yang sakit stroke, ditambah oleh kegelisahan bahwa ia harus menjaga ayahnya di rumah sakit sekaligus menjalankan pekerjaannya pagi-pagi sekali. Diteruskan dengan cerita Rosi saat kecil. Semantik Maksud “Lebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula.” Sintaksis Koherensi “Mana yang lebih gawat daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.” Retoris Metafora “…Ingat kata A Kong jangan pernah menolak pemberian orang. Nanti pemali. Nggak punya hoki. Rezeki nggak akan ngalir pada keturunan kita.” “Cari blus yang warna merah. Masa Imlek pakai baju warna ungu? Kelewatan …” “Bakar hio dan buat persembahan untuk A Kong. Minta maaf karena kamu tadi lancang sama beliau.” Universitas Sumatera Utara Bab 1 Analisis Secara tematik, wacana ini ingin mengedepankan tema utama yaitu anak-anak Nung sedang dalam perjalanan menuju Jakarta untuk melihat kondisi ayahnya, kecuali Siska. Indah menjadi orang pertama yang bertanggung jawab akan kondisi ayahnya. Skematik yaitu bagaimana bagian dan urutan cerita diskemakan dalam teks berita utuh yaitu dimulai dari kepulangan Novera dari Yogyakarta ke Jakarta. Siska yang meneruskan petualangan bisnisnya ke negri Hong Kong, lalu Indah yang begitu ketakutan akan kondisi ayahnya yang sakit stroke, ditambah oleh kegelisahan bahwa ia harus menjaga ayahnya di rumah sakit sekaligus menjalankan pekerjaannya pagi-pagi sekali. Diakhir cerita diteruskan dengan cerita Rosi saat kecil. Semantik tidak hanya mendefenisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Dalam wacana ini terdapat elemen maksud yaitu untuk melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau tidak. Hal ini dapat kita amati pada kalimat: “Lebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula.” Di sini pengarang secara eksplisit menyatakan bahwa menjadi seorang Tionghoa merupakan suatu hal yang sangat rumit dan menyusahkan. Umumnya, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Hal ini menjadi suatu alasan logis Universitas Sumatera Utara bagi pengarang yang secara pribadi berasal dari keturunan Tionghoa. Bahwa ia ingin menekankan jika keturunan Tionghoa di Indonesia itu dianggap kaum minoritas. Dan betapa menyedihkan jika ada istilah ‘paling minoritas diantara yang minoritas’. Elemen koherensi untuk menjelaskan pertalian antar kata. Koherensi selain dapat ditampilkan sebagai penjelas juga dapat ditampilkan melalui hubungan sebab akibat. Seperti kutipan pada kalimat di bawah ini: “Mana yang lebih gawat daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di negara ini.” Pada kalimat diatas jelas memberi kesan bahwa tertekan batinlah yang menyebabkan Orang Cina di Indonesia semakin berdosa. Hal ini sangat jelas ketika pengarang memaparkan pendapatnya bahwa orang Cina di Indonesia memiliki tiket gratis ke neraka. Ini mengesankan seolah-olah awalnya orang Cina tidak ada yang bersalah, sebelum masyarakat pribumi yang anti-Cina menekan keberadaan mereka yang keturunan Tionghoa Indonesia. Padahal jika dilihat dari kacamata masyarakat pribumi mungkin saja kebalikannya. Bahwa masyarakat pribumilah yang semakin banyak dosa ketika mereka hidup berdampingan dengan orang Cina. Bahkan masyarakat pribumi juga dapat mengatakan bahwa merekalah yang tertekan karena melihat orang Cina yang tergolong pendatang lebih sukses dan pintar berdagang di tanah air mereka. Pada titik ini marjinalisasi terjadi, karena cenderung merugikan pihak pribumi yang justru sesungguhnya adalah pihak yang menjadi pihak yang merasakan kecemburuan dan kesenjangan sosial di antara hidupnya. Universitas Sumatera Utara Dalam wacana ini, pengarang tidak hanya menyampaikan pesan pokok tapi juga kiasan atau ungkapan. Pemakaian metafora disini menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna dalam teks. Hal ini dapat dilihat dari kalimat berikut: “Ingat kata A Kong jangan pernah menolak pemberian orang. Nanti pemali. Nggak punya hoki. Rezeki nggak akan ngalir pada keturunan kita.” Dalam wacana ini menggunakan latar belakang budaya masyarakat Tionghoa, oleh karena itu elemen metafora yang digunakan pun berhubungan dengan budaya Tionghoa. Dari kalimat “Ingat kata A Kong” merepresentasikan bahwa orang Cina sangat mendengarkan dan mematuhi apa kata leluhurnya. Hal ini menunjukkan bahwa suku bangsa Cina telah memberikan penghormatan yang besar terhadap orang tua baik pada saat mereka masih hidup maupun pada saat mereka sudah mati. Rasa hormat inilah yang telah membentuk dasar etika orang-orang Cina. Ungkapan yang mencerminkan bahwa orang Cina sangat menghormati leluhurnya juga terlihat pada kalimat berikut: “Bakar hio dan buat persembahan untuk A Kong. Minta maaf karena kamu tadi lancang sama beliau.” Kalimat diatas secara eksplisit menjelaskan bahwa alat untuk berkomunikasi antara keturunan di bumi dengan leluhurnya adalah melalui persembahansembahyang. Bila tidak dilakukan maka bukan kemarahan leluhur saja yang muncul tetapi akan mengalami bencana. Biasanya akan muncul dari tanda-tanda alam semesta. Dalam tradisi masyarakat Cina, sebelum mereka melakukan sembahyang di depan meja sembahyang leluhur Universitas Sumatera Utara orangtuanya, terlebih dahulu memberikan penghormatan kepada dewa langit. Dewa langit ini digambarkan sebagai Tuhan di sekitar mereka, yang mengatur segala sesuatunya, meskipun pada akhirnya mereka memuja para leluhur, roh-roh alam, ataupun langit. Selain itu pada kalimat “Cari blus yang warna merah. Masa Imlek pakai baju warna ungu? Kelewatan.” Dalam kalimat ini menyampaikan bahwa pada saat tahun baru Imlek berlangsung, dan sampai pada Cap Go Meh, orang-orang Cina biasa mengenakan baju yang berwarna merah. Warna merah merupakan simbol kebahagiaan. Warna merah mewakili suasana bahagia menyambut tahun yang baru. Ini merupakan suatu kebudayaan yang wajib bagi orang-orang yang beretnis Cina. Selain memakai baju merah, orang-orang Cina juga menghias rumah mereka dengan kertas-kertas merah, yang bertuliskan kata bahagia. Menghias rumah juga merupakan ekspresi akan suasana hati yang bahagia tanpa mengandung unsur religi. Berbagai ekspresi ini dibuat oleh orang- orang Cina dengan harapan agar mendapat kebahagiaan di tahun yang baru. IV.1.3 Bab 2 Universitas Sumatera Utara DUA Indah duduk seperti cacing kepanasan mewawancarai Mira Lesmana. Biarpun dia berusaha fokus, tetap saja pikirannya melayang kemana-mana. Ketika sesi tanya-jawab berakhir satu jam kemudian, Indah merasa sangat lega. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan ponsel dan menghubungi nomor yang telah tersimpan di memori. “Halo?” “Rosi” panggil Indah cepat tanpa basa-basi. “Sudah sampai di rumah sakit?” “Boro-boro” Rosi menjawab. “Aku ada di kantor polisi sekarang.” Otak Indah berkabut seketika. Untuk sementara, dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa. Apa yang dikatakan Rosi barusan? “Hmmm…” “Halo, halo?” Rosi memanggil-manggil, merasa aneh karena Indah tidak bicara. “Ada apa dengan ‘hmm’?” Napas Indah tercekat di tenggorokan. “Kantor polisi?” bisiknya tidak percaya. Informasi Rosi seketika menyengat adrenalinnya. “Sedang apa kamu di kantor polisi sekarang?” “Ceritanya panjang Ruwet.” “Aku minta versi pendeknya.” “Biasalah. Mulanya tabrakan---” “Kamu tabrakan?” Indah membelalak sampai Mira Lesmana berhenti berbicara dengan penata lampu. Merasa tidak enak, Indah mengecilkan suaranya. “Di mana?” tanyanya berusaha terlihat tenang. “Di pasar. Tapi itu sudah tidak penting deh.” Rosi mulai mencerocos. “Yang jelas bukan salahku kok Sungguh, sumpah disambar pocong. Angkot itu yang nyelonong lalu menabrak moncong mobilku. Lalu aku harus berhenti. Benar-benar sialan, dasar sopir angkot bangsat, tidak tahu diri. Masa dia tidak mau mengaku salah. Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua Tapi untung juga, Universitas Sumatera Utara gini-gini aku bisa jadi koboi. Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu… ujung-ujungnya duit. Masa mereka mau mencoba memeras aku---” Indah memijit kepalanya yang mulai berdenyut-denyut. “Ya sudah, kasih duit saja. Berapalah. Daripada ke polisi, kan?” “Iyalah, pasti Aku mau saja kasih duit.” Rosi terus mencerocos di ponsel. “Tapi, baru aku mau ambil dompet, ada yang kasih komentar menyesakkan hati. Katanya, dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat, Ndah Masa aku dibilang Cina sialan Bayangkan padahal aku sudah mau mengalah, mau dikasih duit. Yang menabrak siapa sih? Yang penyok mobil siapa sih? Semuanya kan aku yang tanggung. Tapi ada yang mulutnya seperti ember bocor. Langsung aja aku tantang. Aku bilang, siapa yang mgomong seperti mulut monyet bulukan, maju sini. Jangan jadi banci. Ternyata yang mengata-ngatai aku si kenek. Langsung aja aku tampar---” “KA-KAMU MENAMPAR K-KENEK?” teriak Indah tidak percaya. Edan, kepalanya seketika pusing tujuh keliling. Gagapnya kambuh jika dia berteriak dalam emosi tidak stabil. Sekali lagi Mira Lesmana menoleh ke arah Indah. Kali ini boro-boro Indah memerhatikan. Warna wajahnya menghilang, menjadi pucat seperti lampu sorot di tempat syuting. “Tidak, Non Aku tidak tampar si kenek. Maksudnya aku tampar pintu mobilku. Aku bilang jangan sontoloyo ya. “Kalau nggak mau terima uangku, bilang aja. Nggak usah ngata-ngatain orang. Biar aku Cina, aku punya saudara di ABRI, tahu nggak?” Biasa, Ndah, siap-siap aja, siapa tahu dia mau main beking-bekingan. Aku harus unjuk taring dulu dong. Terus si sopir menengahi, berbicara kepada si kenek yang kemudian kelihatan menjadi lebih tenang, setenang macan yang diinjeksi obat penenang. Aku pikir masalahnya sudah selesai. Ternyata tidak, siapa yang sangka? Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang ngasih komentar dibelakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit. Dengar seperti itu, langsung aja darahku tancap gas ke ubun-ubun. Sialan benar. Aku tersinggung sekali mendengarnya.” Universitas Sumatera Utara “Setelah ramai-ramai, rupanya ada juga lho Melayu yang maju tak gentar membela orang Cina. Eh, maksudnya membela yang benar. Orang ini berteriak, dasar bangsat, sudah mau dikasih duit kok ngeyel. Terus si peneriak ini balas teriak lagi, lu jangan ikut campur urusan Cina. Dasar pembela Cina lu Wah, benar-benar gila, isunya kok jadi rasialis gini? Langsung keadaan menjadi ramai, Ndah. Kamu bisa bayangin nggak? Makin banyak orang berkumpul, makin aku kebat-kebit. Jangan sampai terjadi tindakan anarkis gara-gara aku. Bisa mati deh Tapi apa mau dikata, ada yang berantem beneran. Benar-benar jadi ribut sekali. Aku kepepet di mobilku, pasrah total. Untung kali ini polisi cepat datang, cepat tanggap. Kalau tidak, aku bisa babak belur dan muncul di televisi, berita nasional. Hebat ya” Rosi terkekeh. Sekali lagi kilat menyambar langit. Sedetik Indah terpaku seperti tersambar petir itu, dalam arti yang sesungguhnya. Kilatan cahaya terlihat mengagumkan, membuatnya terpana. Butuh waktu beberapa detik bagi Indah untuk bergerak setelah terguncang melihat kehebatan alam yang mengesankan. Hujan jatuh bergemerencik di kaca depan. Wiper segera dinyalakan setelah mesin mobil menyala. Efek petir itu membuat hati Indah tercekat rasa takjub dan dukacita yang memenuhi seluruh benaknya. Dia memandang tetes-tetes hujan, bagai tirai lebat yang membatasi dirinya dengan kekuatan alam semesta. Indah tidak bergerak di kursi, membiarkan kenangan mengalir sampai ke tulang sumsumnya. Hujan selalu mengingatkannya pada Imlek. “Kenapa kita selalu berharap hujan waktu Imlek, Ma?” tanya Novera. Indah yang sedang duduk memandangi hujan menoleh mendengar pertanyaan yang diajukan kembarannya. Pagi itu adalah pagi pertama tahun baru Imlek. Universitas Sumatera Utara “Karena hujan melambangkan kesuburan, Vera,” jawab Anas. “Bagus dong kalau Imlek terus hujan. Berarti tahun depan kita dianugerahi kemakmuran sepanjang hari.” Indah masih duduk memandangi hujan. Dia tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan yang begitu luar biasa dan fantastis. Pipi Indah memerah, lembap akibat butir-butir embun yang mengodensasi dari perkarangan rumah. ”Tapi saya nggak suka hujan” Terdengar komentar Siska melengking. “Hujan bikin banjir di mana-mana. Bikin banyak orang susah, kebanjiran, apalagi sampai harus mengungsi segala. Hujan juga bikin kita selalu terlambat ke sekolah. Saya bosan dihukum sama Suster Nenek Lampir itu.” “Di Negara tertentu, hujan dianggap sebagai peristiwa alam yang dipuja. Manusia menganggap para dewa sedang bersuka cita. Apalagi jika sudah lama tidak turun hujan. Para petani tentu mengharapkan hujan.” “Tapi saya tidak mengharapkan hujan,” seru Siska keras kepala. “Mungkin kamu tidak. Tapi banyak orang menyukai hujan. Apalagi mereka yang mempunyai jiwa romantis dan sentimental. Sastrawan. Pengarang hebat. Pelukis. Seniman. Banyak yang sudah berhasil menulis hujan dengan demikian puitis. Indah terpaku di tempatnya, tidak sanggup berkata-kata. Ucapan Mama sungguh menggambarkan dengan tepat apa yang sedang dirasakannya. “Ayo,Indah. Jangan bengong di sana. Bantu Mama buat siomay. Kalau tidak cepat, nanti kamu terlambat sekolah.” Jam dinding menunjukkan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi keluarga Nung Atasana, tradisi itu tampak normal-normal saja. Makan dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam karena setelahnya mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 2 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Indah adalah satu-satunya anak Nung yang sangat peduli akan kondisi ayahnya. Disaat genting, Indah tetap melakukan tugasnya dan mendampingi ayahnya di rumah sakit. Sedangkan saudara-saudaranya yang lain belum juga melihat kondisi ayahnya, karena alasan tertentu. Skematik Story Dimulai dari kisah Novera yang lemah, Kemudian Rosi yang bermasalah dengan supir angkot diikuti dengan cerita Indah yang sedang mewawancarai Mira Lesmana, lalu Indah ingat kenangan sewaktu menjelang Imlek. Pembicaraan dengan Dokter Marcel tentang penyakit ayahnya hanya didengarkan oleh Indah seorang. Komentar “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula.” “Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.” “Dasar bangsat, sudah mau dikasih duit kok ngeyel.” “Lu jangan ikut campur urusan Cina. Dasar pembela Cina lu” Semantik Detil “… tradisi itu tampak normal-normal saja. Makan dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam karena setelahnya mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.” Maksud “Kalau nggak mau terima uangku , bilang aja. Nggak usah ngata-ngatain orang. Biar aku Cina, aku punya saudara di ABRI, tahu nggak?” Praanggapan “Setelah ramai-ramai, rupanya ada juga lho Melayu yang maju tak gentar membela orang Cina. Eh, maksudnya membela yang benar.” Sintaksis Koherensi “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua Tapi untung juga, gini-gini aku bisa jadi koboi.” Retoris Metafora “Kenapa kita selalu berharap hujan waktu Imlek, Ma?” “Karena hujan melambangkan kesuburan, Vera.” “Bagus dong kalau Imlek terus hujan. Berarti tahun depan kita dianugerahi kemakmuran sepanjang hari.” Universitas Sumatera Utara Bab 2 Analisis Konsep sentral dan dominan dalam wacana ini adalah Indah, satu- satunya anak Nung yang sangat peduli akan kondisi ayahnya. Disaat genting, Indah tetap melakukan tugasnya dan mendampingi ayahnya di rumah sakit. Sedangkan saudara-saudaranya yang lain belum juga melihat kondisi ayahnya, karena alasan tertentu. Kronologis cerita dimulai dari kisah Novera yang lemah, kemudian Rosi yang bermasalah dengan supir angkot diikuti dengan cerita Indah yang sedang mewawancarai Mira Lesmana, lalu Indah ingat kenangan sewaktu menjelang Imlek. Pembicaraan dengan Dokter Marcel tentang penyakit ayahnya hanya didengarkan oleh Indah seorang. Selain itu terdapat juga subkategori komentar yang menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat memberikan komentar atas suatu peristiwa. Komentar tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut: “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula.” “Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.” “Lu jangan ikut campur urusan Cina. Dasar pembela Cina lu” Ada beberapa komentar dalam wacana ini, yaitu dari pihak yang bertentangan. Pertama komentar langsung oleh supir angkot yang dalam cerita adalah masyarakat pribumi tetapi tidak dijelaskan berasal dari suku apa. Lalu pihak kedua komentar dari orang Melayu yang membela orang Cina. Hal ini dapat dilihat dari kalimat “Dasar bangsat, sudah mau dikasih duit kok ngeyel.” Universitas Sumatera Utara Komentar-komentar yang dimunculkan pada wacana ini didominasi oleh komentar dari pihak pertama yaitu supir angkot yang menyudutkan posisi orang Cina. Posisi komentar dari pihak pertama menguntungkan karakter pribumi. Pihak pribumi dilihat sebagai pihak yang benar atas pendapatnya. Komentar yang diberikan oleh pihak pertama tadi sangat mencerminkan stereotipe yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kalimat “sok kaya, sok borjuis” yang digunakan, seharusnya menggambarkan kalau adanya unsur kecemburuan pihak pribumi terhadap orang Cina. Tetapi jika dilihat dari penggunaan kata “sok” seharusnya ingin mendeskripsikan bahwa selama ini orang Cina banyak yang tidak kaya hanya pura-pura dan ingin kaya. Tetapi faktanya memang banyak yang hidup berkecukupan. Lalu pada komentar selanjutnya dari pihak pertama tiba-tiba saja berubah arah yaitu “Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.” Dari komentar awal, ia mengatakan bahwa orang Cina sok kaya, tetapi kemudian ketika mau dikasih uang malah mengatakan bawa orang Cina pelit. Maksud dari komentar ini sendiri cenderung ke makna yang implisit, ketika mengatakan pelit sebenarnya orang tersebut menginginkan uang tersebut ditambah. Selain itu pelit merupakan salah satu gambaran stereotipe yang paling melekat pada orang Cina. Kemudian komentar orang Melayu yang membela orang Cina, seolah-olah tidak boleh berada di pihak orang Cina. Dari rangkaian komentar yang ditampilkan, pengarang cenderung menampilkan komentar dari pihak pertama. Lalu untuk kejelasan dan Universitas Sumatera Utara keseimbangan wacana maka terdapat komentar kedua yang membela orang yang benar, orang yang membela tanpa melihat suku. Dimensi semantik disini dapat dilihat dari elemen detil, maksud dan praanggapan. Detil merupakan elemen wacana yang mempengaruhi semantik. Terlihat pada kalimat: “…tradisi itu tampak normal-normal saja. Makan dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam karena setelahnya mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.” Detil yang diuraikan adalah merepresentasikan bahwa pada saat pemerintahan Soeharto tidak ada libur Imlek, sehingga tradisi menyantap dimsum pada pagi hari adalah satu-satunya hal yang menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga Nung. Informasi diuraikan secara terang-terangan dan jelas yaitu eksplisit. Hal ini dapat dilihat pada elemen maksud yang terdapat pada kalimat: “Kalau nggak mau terima uangku, bilang aja. Nggak usah ngata- ngatain orang. Biar aku Cina, aku punya saudara di ABRI, tahu nggak?” Orang Cina tersebut berusaha untuk berani melawan dengan kata- kata. Padahal biasanya Orang Cina malas atau dengan kata lain tidak mau berurusan panjang. Jika dapat diselesaikan dengan uang, akan diberikan saja uang tersebut. Sebenarnya upaya sogok menyogok itu dapat ditemui dalam umumnya upacara tradisi Cina dan memang didasarkan pada kepercayaan keseimbangan alam Yin-Yang dimana dihindari adanya konflik dengan cara mencari ‘jalan tengah’. Itulah sebabnya sifat kompromi yang saling menguntungkan mendarah daging dalam budaya Cina. Dari tradisi budaya kuno yang tertananam itu dapat dilihat mengapa masyarakat Cina cenderung Universitas Sumatera Utara menghalalkan sogok-menyogok untuk melancarkan bisnis dan praktek Quanxi koneksikolusi memang merupakan kebiasaan tradisional yang dianggap wajar. Kalimat “punya saudara di ABRI” secara jelas menyatakan bahwa orang Indonesia seringkali main beking-bekingan agar dapat keluar dari masalah tertentu. Dari hal ini dapat dilihat bahwa representasi orang Tionghoa zaman sekarang sudah berani untuk angkat bicara. Walau hanya dalam skala kecil. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat pada: “Setelah ramai-ramai, rupanya ada juga lho Melayu yang maju tak gentar membela orang Cina. Eh, maksudnya membela yang benar.” Pernyataan tersebut mengandaikan bahwa ada juga masyarakat Indonesia yang membela orang Cina. Bahkan dalam kondisi ramai dan umum. Dari titik inilah terlihat bahwa masyarakat Tionghoa percaya bahwa sebenarnya masih ada pihak yang mau membela mereka. Praangapan tidak perlu dipertanyakan lagi karena sudah jelas-jelas pihak yang membela orang Cina tersebut tahu mana yang salah dan mana yang benar. Koherensi dalam taraf tertentu menggambarkan bagaimana pengucilan satu kelompok atau seseorang itu dilakukan. Elemen ini dapat diperhatikan pada kalimat berikut: “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua Tapi untung juga, gini-gini aku bisa jadi koboi.” Universitas Sumatera Utara Penggunaan kata “karena” menjelaskan bahwa suatu masalah akan menjadi tambah rumit jika pihak yang terlibat adalah orang Cina. Terutama pada keturunan Tionghoa yang berwajah sangat oriental. Disini juga dapat disimpulkan bahwa tak semua orang Cina berwajah oriental. Dalam arti bahwa kesan oriental yang tidak lagi kental dalam diri seorang Cina keturunan. Sehingga seolah-olah jika tidak berwajah oriental maka orang Cina akan lebih ‘aman’. Jika dulu orang Cina sangat tertekan akan sikap masyarakat pribumi dan lebih memilih diam. Maka orang Cina pada saat ini sudah mulai berani untuk mempertahankan apa yang menurut mereka benar. Penggunaan elemen metafora yang menggambarkan kepercayaan masyarakat untuk memperkuat pesan utama, dapat dilihat pada kalimat berikut: “Kenapa kita selalu berharap hujan waktu Imlek, Ma?” Tanya Novera. Pagi itu adalah pagi pertama tahun baru Imlek. “Karena hujan melambangkan kesuburan, Vera.” “Bagus dong kalau Imlek terus hujan. Berarti tahun depan kita dianugerahi kemakmuran sepanjang hari.” Pepatah yang dipercayai oleh masyarakat Tionghoa dari sejak zaman leluhur hingga kini yaitu ada berkah yang dibawa hujan pada malam Tahun Baru Imlek. Orang-orang Tiongkok selalu mempercayai bahwa turunnya hujan saat malam pergantian tahun akan membawa hasil yang baik dalam kehidupan. Perayaan Imlek untuk merayakan pergantian musim dari musim dingin ke musim semi. Jadi kalau saat memasuki musim semi ditandai dengan turun hujan, itu berarti masyarakat Tiongkok yang dahulunya banyak berprofesi sebagai petani akan sangat diuntungkan sebab hujan sangat membantu para petani. Universitas Sumatera Utara IV.1.4 Bab 3 TIGA Novera berusaha berdoa. Gambaran wajah ayahnya terukir jelas. Setiap kali dia pulang ke Jakarta, pertanyaan mengerikan selalu hadir: sejak kapan Papa menjadi setua ini? Saat mereka lahir, Papa memang sudah memasukki usia paruh baya setelah bertahun-tahun menunggu kehadiran anak. Ketika mereka dewasa dan terbang mengikuti jalan hidup sendiri-sendiri, usia seolah menelan Papa bulat-bulat, apalagi ketika Anas, mamanya meninggal dunia. Berbagai keluhan yang sudah pasti telah diedit habis-habisan oleh Papa terdengar sedikit demi sedikit. Katarak. Sendi kesemutan. Encok. Pinggang pegal- pegal. Novera mati-matian memejamkan mata, berkonsentrasi dalam doa. Tapi ribuan kenangan masa kecil memerkosa benaknya, teristimewa yang satu ini. “Dibaptis? Novera mengangguk lugu. Siska, Rosi, dan Indah menoleh cepat, menatap adik kembar mereka yang bungsu. Perkataan Novera sangat mengejutkan mereka sekeluarga. “Kenapa dibaptis?” “Karena saya ingin menjadi Khatolik,” jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama berminggu-minggu. “Menjadi Katolik harus dibaptis.” Siska membuka mulut cepat. “Kenapa sih harus menjadi Katolik?” “Katolik adalah agama. Agama bisa menyelamatkan kita,” jawab Novera, tetap tenang. Dalam hati dia mengagumi ketenangan dirinya yang luar biasa, hasil latihan di depan cermin. “Kan kita sudah punya agama?” Kenapa harus ganti agama lagi?” Nah. Ini dia. Pertanyaan ala Siska yang tajam dan menyengat. Taktik Siska untuk mengalihkan perhatian. To the point. Untung Novera sudah Universitas Sumatera Utara mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya. “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…adalah menghormati leluhur dan patuh pada tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut sebagai agama, Siska. Ini adalah…” “Saya nggak pernah percaya agama.” Semua menoleh ke arah Indah. Kata-kata itu diucapkan dengan tenang.” A-a-a-agama itu candu.” “Agama bukan candu, agama itu baik adanya. Semua agama baik. Narkoba itu candu.” “Agama itu candu,” ulang Indah sekali lagi. Keras kepala. “Bukan” “I-IYA” “BUKAN” “Mama tidak setuju kamu dibaptis.” Kali ini seluruh kepala menoleh kearah Anas, lalu terdiam seakan-akan dia mengatakan pernyataan maha penting yang turun dari langit.“Kalau mau ke gereja, pergi saja ke gereja. Tidak perlu baptis-baptisan segala. Mama dengar, kalau kamu sudah dibaptis, kamu tidak boleh pegang hio.” Siska mengangguk mengamini. Anas melanjutkan, “Lihat si Yuli, anak Tante Oni, yang jadi bertingkah setelah dibaptis. Bapaknya meninggal tapi anaknya tidak mau memegang hio sebatang pun. Kelewatan.” “Yang salah bukan agamanya, Ma,” kata Novera membela diri. “Yang salah orangnya. Tidak mengerti apa yang dia lakukan dalam ibadah keagamaannya. Saya akan tetap memegang hio setelah saya dibaptis. Percaya deh, Ma.” Anas merapatkan mulutnya. Bibirnya menipis. “Teman Mama banyak yang mengubah agama karena anak-anaknya mendesak orangtua mereka memeluk agama yang sama dengan mereka. Katanya, kalau tidak, nanti surganya berbeda. Jangan pernah memaksa Mama menjadi Katolik, Vera.” “Agama bukan paksaan,” sahut Novera lemah lembut. “Orang yang memutuskan memeluk agama tertentu harus sepenuh hati menghayati Universitas Sumatera Utara panggilannya. Saya tidak akan pernah mengubah Mama menjadi Katolik kalau Mama sendiri tidak merasa terpanggil.” “Lalu soal surga itu bagaimana?” Rosi nyengir. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli bahkan jika Novera memutuskan dia adalah titisan Dalai Lama. “Surga berada di dalam hati kita masing-masing. Kita dapat mencapai surga bahkan ketika kita hidup di dunia ini.” “Aku tidak mau mengubah agamaku.” Suara Siska terdengar jelas menyerobot percakapan. Dia sedang duduk sambil melipat tangan di dada. “Jangan bikin malu orang Cina. Tidak usah pakai acara baptis-baptisan.” “Agama tidak ada hubungannya dengan mempermalukan Cina, Agama…” “A-a-aku juga tidak mau,” kata Indah pelan. “Tidak mau jadi K- Kristen.” “Papa?” panggil Novera putus asa, mengharapkan Nung memberikan sebaris komentar terhadap keinginannya. Di ujung meja, ayahnya hanya memandanginya dengan dahi berkerut, tapi matanya tampak bersinar. “Kenapa kamu mau jadi Katolik, Vera? Sebenarnya buat apa sih kamu dibaptis?” Bahu Novera rasanya dibebani karena seluruh mata di sekeliling meja sedang memandangnya, menunggu jawaban. “Sebab saya mencintai Tuhan, Papa.” “Hmmm.” Terdengar gumaman rendah dari seluruh orang. Gumaman terkejut, mungkin juga gumaman takjub. “Bisakah kamu tunda dulu urusan baptis ini, Sayang? Mama pikir kamu harus benar-benar yakin dulu.” “Saya sudah yakin, Ma. Saya mengasihi Tuhan di atas segalanya.” Novera menahan napas sambil melirik Nung. Setelah berdetik-detik sepi komentar, suara bariton ayahnya muncul juga. “Menurut Papa, apa yang Vera putuskan itu bukan kejahatan. Jadi soal yang satu ini, semuanya terserah Vera.” Universitas Sumatera Utara Novera memain-mainkan garpunya dalam hening, tapi tidak tahan untuk terus-menerus melirik ayahnya. Rasanya janggal mendengar Papa berkata seperti itu. Pasti Papa juga merasa janggal, kelihatan dari gerakan tangannya yang salah tingkah. Tapi diam-diam rupanya seluruh orang di sekeliling meja makan setuju bahwa pendapat Papa benar dan ucapannya benar-benar mengena. Novera juga sadar sesadar-sadarnya Mama menoleh ke arahnya dengan ekspresi lembut bercampur heran. “Ada yang mau nasi lagi?” suara Papa membuyarkan keheningan yang tidak biasanya terjadi di meja makan. Demikianlah percakapan tentang baptis berakhir di meja makan. Malamnya, Novera mendengar lanjutan percakapan yang tadi terputus antara Nung dan Anas. Diam-diam dia meluncur turun dari ranjang, memasang telinga baik-baik di balik pintu kamar tidurnya yang terbuka secelah. “Kamu yakin Vera boleh dibaptis?” Terdengar suara Anas. “Aku pikir keinginannya sah-sah saja. Tidak ada yang salah menjadi orang Kristen.” “Apa dia benar-benar ingin dibaptis atau ini cuma fase yang bakalan lewat begitu saja? Aku tidak mau dia main-main dengan agama. Pemali nantinya.” “Aku tidak tahu. Tapi dari keteguhan sikapnya, kutebak Vera sungguh serius.” “Vera akan berubah menjadi salah satu orang Cina di Jakarta yang menjadi pemeluk Kristen. Kamu sadar itu?” “Hebat ya? Vera bisa bersikap lebih modern daripada kita,” “Kamu pikir menjadi Kristen berarti menjadi lebih modern?” “Hah, nggak, nggak. Bukan maksudku seperti itu.” “Jadi maksudmu apa sih?” Nung mendesah kalut. “Aku nggak ada maksud apa-apa. Aduh, aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Capek sekali membesarkan empat anak perempuan yang punya kebutuhan aneh-aneh.” Universitas Sumatera Utara Anas tertawa melihat kegugupan suaminya. Nung juga ikutan tertawa. Malam itu Novera tidur sambil tersenyum lebar. Dadanya terasa lapang. Tanpa dia tahu, bertahun-tahun kemudian, agama memang telah menyelamatkannya dari penderitaan hidup. Agama memberikan penguatan iman kepadanya. Dan yang paling penting dari semuanya, agama membuatnya percaya pada pengharapan. Sementara di Hong Kong, beberapa ribu kilometer dari Jakarta, tiga hari telah berlalu. Siska berjalan cepat melewati lautan manusia yang bergegas-gegas berjalan di trotoar. Dia selalu menyukai suasana Hong Kong di waktu malam. Apalagi saat langit sangat bersih dan cerah seperti sekarang. Bintang-bintang kelihatan jelas. Bulan purnama sangat indah. Angin semilir membawa bau masakan ke mana-mana. Rapat-rapat marathon berlalu dengan baik. Siska senang Senang sekali Apalagi lelaki tadi yang selalu hadir di rapat boleh juga tampangnya. Keren. Ganteng. Jabatan oke. Tatapan mata maut. Tinggi di atas rata-rata. Pokoknya, nilainya adalah 9 dari 10 poin. Apa lagi yang kurang? Siska tersenyum-senyum sendiri sambil terus melangkah. Tubuhnya yang lumayan tinggi dan semampai itu tampak semakin langsing dengan sepatu berhak tujuh sentimeter. Sekujur tubuhnya dibekap benda-benda yang tampak glamour. Bermerek tentu saja. Siska sangat pemilih untuk baju, tas, sepatu dan apa pun yang dikenakannya. Kualitas nomor satu. Merek terkenal. Ingatannya melayang pada lelaki ganteng di rapat tadi yang terpaksa harus dienyahkan jauh-jauh dari pikiran. Mubazir memang. Apalagi untuk lelaki setajir dan sekeren itu. Apakah Siska menyesal? Tentu saja dia menyesal. Apalagi Siska melakukannya karena dia mempunyai peraturan penting tentang lelaki yang tidak dapat diganggu gugat. Ya, benar sekali, saudara-saudari sekalian, Siska punya peraturan. Peraturan penting yang dipatuhinya selama bertahun-tahun. Peraturan nomor Universitas Sumatera Utara satu yang tidak pernah dilanggarnya. Peraturan super strict. Sangat istimewa. Maha penting. Mulut siska berbisik kepada dirinya sendiri, “Saya tidak boleh berkencan dengan klien.” Gayanya persis ketika dia dihukum menulis “Saya tidak akan menggunakan eye shadow ke sekolah lagi” selama 999 kali semasa SMP. “Saya tidak boleh berkencan dengan klien.” Di kedai buah-buahan pinggir jalan, Siska berhenti. Mengamat-amati tumpukan jeruk yang kelihatan sedap. Dia memutuskan untuk membeli buah untuk persediannya selama di kamar hotel menonton HBO. Tangannya menunjuk-nunjuk kearah kakek-kakek Cina penjual buah. Siska tidak berani membuka mulutnya. Terus terang dia malu berbicara dalam bahasa Inggris kepada kakek Cina ini. Semua orang yang berwajah sipit dan berkulit putih sedang asyik mencerocos dalam bahasa Kanton, bahasa utama orang-orang Hong Kong. Sementara dia---yang juga bermata sipit berkulit putih---tidak mampu bercakap sedikit pun dalam bahasa Cina, dialek apapun. Siska pun tahu, dibelakangnya pasti klien-klien Hong Kong itu bergosip ria tentang dirinya. Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia. Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina. Aduh. Mirisnya. “Halo?” Siska menjengit. Napasnya nyaris hilang. Si ganteng itu. Si keren dari rapat tadi. Berdiri di depannya, di tengah- tengah kardus tinggi yang isinya tumpukan buah semangka. Senyum lebarnya membingkai wajah yang sedikit miring ke kiri. Ooooh…gantengnya. Bibir Siska terbuka lebar. “Halo juga” sapanya balik. Otaknya berpikir keras. Siapa namanya? Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 3 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Keempat karakter yang sangat berbeda. Perbedaan karakter itu sangat kontras terlihat ketika Siska yang masih bisa bersenang-senang di Hongkong sementara ayahnya jatuh sakit. Skematik Story Diawali oleh kisah Novera yang berdoa di gereja, lalu perlahan-lahan mengingatkan dirinya akan masa lalu yang bercerita tentang penolakan seluruh anggota keluarga tentang keputusannya untuk menjadi seorang Katolik. Kemudian Indah semakin tidak percaya bahwa semua saudara-saudaranya menomorsatukan semua kepentingan mereka sendiri. Siska di Hong Kong, Rosi di kantor polisi, dan Novera di gereja. Semantik Detil “Novera memain-mainkan garpunya dalam hening, tapi tidak tahan untuk terus-menerus melirik ayahnya.. Tapi diam-diam rupanya seluruh orang di sekeliling meja..” Praanggapan “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia. “Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” Pengingkaran “Terus terang dia malu berbicara dalam bahasa Inggris kepada kakek Cina ini. Semua orang yang berwajah sipit dan berkulit putih sedang asyik mencerocos dalam bahasa Kanton, bahasa utama orang-orang Hong Kong. Sementara dia---yang juga bermata sipit berkulit putih--- tidak mampu bercakap sedikit pun dalam bahasa Cina, dialek apapun.” Retoris Metafora “Yang dimaksud dengan agama kita… menghormati leluhur dan patuh pada tradisi Cina” “…Mama dengar, kalau kamu sudah dibaptis, kamu tidak boleh pegang hio…. Bapaknya meninggal tapi anaknya tidak mau memegang hio sebatang pun. Kelewatan.” “…Yang salah orangnya. Tidak mengerti yang dia lakukan dalam ibadah keagamaannya. Saya akan tetap memegang hio setelah saya dibaptis.” “Jangan bikin malu orang Cina. Tidak usah pakai acara baptis-baptisan.” Universitas Sumatera Utara Analisis Bab 3 Tema yang dikedepankan adalah mengenai empat karakter yang sangat berbeda. Perbedaan karakter itu sangat kontras terlihat ketika Siska yang masih bisa bersenang-senang di Hongkong sementara ayahnya jatuh sakit. Story dalam wacana ini diawali oleh kisah Novera yang berdoa di gereja, lalu perlahan-lahan mengingatkan dirinya akan masa lalu yang bercerita tentang penolakan seluruh anggota keluarga tentang keputusannya untuk menjadi seorang Katolik. Kemudian Indah semakin tidak percaya bahwa semua saudara-saudaranya menomorsatukan semua kepentingan mereka sendiri. Siska di Hong Kong dan Rosi di kantor polisi. Detil yang digunakan untuk mendukung cerita ini adalah gerak-gerik Novera dan keluarganya yang diam-diam menerima keputusan Novera untuk menjadi seorang Katolik. Hal ini dapat dilihat pada kalimat berikut: “Novera memain-mainkan garpunya dalam hening, tapi tidak tahan untuk terus-menerus melirik ayahnya. Rasanya janggal mendengar Papa berkata seperti itu. Pasti Papa juga merasa janggal, kelihatan dari gerakan tangannya yang salah tingkah. Tapi diam-diam rupanya seluruh orang di sekeliling meja makan setuju bahwa pendapat Papa benar dan ucapannya benar-benar mengena.” Pada paragraf ini pengarang ingin menonjolkan bahwa adanya keraguan dalam diri masing-masing anggota keluarga, ketika mendengar keputusan Nung mengijinkan anaknya untuk menjadi seorang Katolik. Hal ini terlihat pada kata “diam-diam” yang berarti diam sejenak untuk berpikir sampai akhirnya tetap diam karena sependapat dengan Nung. Universitas Sumatera Utara Selain detil, juga terdapat elemen praanggapan, penulis menyampaikan hal ini secara eksplisit. Seperti pada pernyataan berikut: “Siska pun tahu, dibelakangnya pasti klien-klien Hong Kong itu bergosip ria tentang dirinya. Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia. “Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” Kalimat diatas mendukung gagasan bahwa orang-orang Cina di Indonesia tidak fasih berbahasa Cina. Padahal sebenarnya tidak sedikit orang-orang Cina di Indonesia yang fasih berbahasa mandarin ataupun dalam dialek lain. Tetapi pengarang memaparkan hal tersebut dengan ide common sense, praanggapan yang masuk akal. Karena cerita ini mengambil latar belakang keluarga Tionghoa yang tinggal di Jakarta, jadi pantas saja jika pengarang mengambil anggapan bahwa orang-orang Cina di Indonesia tidak fasih berbahasa Cina. Pengarang juga menyembunyikan apa yang ingin disampaikannya secara implisit, yaitu melalui elemen pengingkaran. Hal ini dapat diperhatikan pada kalimat berikut: “Semua orang yang berwajah sipit dan berkulit putih sedang asyik mencerocos dalam bahasa Kanton, bahasa utama orang-orang Hong Kong. Sementara dia, yang juga bermata sipit berkulit putih, tidak mampu bercakap sedikit pun dalam bahasa Cina, dialek apapun…” Pernyataan diatas ingin menyampaikan bahwa orang Cina yang tinggal di Hong Kong, pastilah berbeda dengan orang Cina yang hidup di Indonesia. Jika di Hong Kong penduduknya adalah mayoritas orang-orang Cina. Maka di Indonesia sendiri terdiri atas berbagai macam suku dan Universitas Sumatera Utara agama. Hal ini pula yang menjadi satu alasan mengapa budaya bahasa itu hampir hilang dalam generasi-generasi mudanya. Terutama di Indonesia. Elemen metafora tertentu digunakan pengarang secara strategis sebagai landasan berpikir bahwa menjadi Katolik dalam keluarga Tionghoa bukanlah suatu hal yang salah. Hal ini terdapat dalam kalimat berikut: “Yang dimaksud dengan agama kita…” “…adalah menghormati leluhur dan patuh pada tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut sebagai agama, Siska. Ini adalah…” Pada kalimat diatas jelas terlihat bahwa dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, tradisi budaya dan religi itu menjadi satu. Kebudayaan cenderung sulit untuk dihilangkan atau ditiadakan. “Yang salah bukan agamanya, Ma,” “Yang salah orangnya. Tidak mengerti apa yang dia lakukan dalam ibadah keagamaannya. Saya akan tetap memegang hio setelah saya dibaptis. Percaya deh, Ma.” Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Novera adalah seorang yang mengerti akan sikap-sikap etika Kristen terhadap kebudayaan, yakni bersikap analitis, selektif dan antisipatif. Sikap analitis berarti gereja harus menyelami dengan seksama benar penyelenggaraan suatu kebudayaan. Sikap selektif berarti gereja harus dapat membedakan kebudayaan yang bertendensi kepada kemuliaan Allah atau kerajaan kegelapan. Sikap antisipatif berarti gereja harus aktif meluruskan, menguduskan kebudayaan. Sikap dan gagasan ini berakar pada alasan teologi bahwa alam semesta ini karya agung Tuhan. Mengenai “memegang hio” adalah termasuk aspek budaya-religi, tetapi tidak lagi terhadap orang yang sudah menjadi seorang Katolik. Bagi yang sudah memeluk agama Katolik “memegang hio” berarti Universitas Sumatera Utara sekedar menghormati tradisi budayanya sendiri. Bukan lagi sebagai suatu kepercayaan. Banyaknya aliran agama Kristen lain yang menentang keras akan kebudayaan Cina inilah yang membuat orangtua sangat was-was akan anak- anak mereka yang berpindah agama. Ada kecenderungan baru dalam menghormati leluhur pada orang Cina, yang ‘dicuci otaknya’ oleh ajaran agama Kristen tertentu. Hasilnya adalah kebanggaan karena tidak lagi merayakan sin jia, memegang hio, sembahyang atau tidak ke vihara. Ada anggapan tertentu bahwa memegang hio itu adalah menyembah orang mati, menyembah setan. Dan jika dilihat dari sisi tradisi budaya Cina mengatakan bahwa tidak sembahyang itu berarti murtad dan durhaka. Kalimat tersebut memiliki makna bahwa ketika orang Cina sudah dibaptis maka dia tidak akan dapat melakukan tradisi budaya-religi seperti sembahyang, misalnya. Tetapi pada wacana ini pengarang telah menjelaskan secara jelas bahwa ada perbedaan pandangan dari subjek yang memeluk agama itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada tulisan “Jangan bikin malu orang Cina. Tidak usah pakai acara baptis-baptisan.” Universitas Sumatera Utara IV.1.5 Bab 4 EMPAT Siska duduk diam di kursi penumpang belakang. Taksi yang membawanya menuju daerah perumahan berjalan lambat. Sepanjang perjalanan, gadis itu tercenung menatap pemandangan mozaik kehidupan. “Pagar cokelat di sana. Stop kiri, Pak” Taksi perlahan melambat. Siska mengumpulkan barang-barangnya dan membuka pintu. Sopir taksi membantu menurunkan koper dan bagasi. Siska menyerahkan uang lalu memutar tubuhnya, menghadap rumah berpagar cokelat. Tatapannya terhenti. Rumah itu masih seperti yang ada di dalam bayangan Siska. Pagar yang tidak terlalu tinggi. Tanaman bugenvil dengan bunga-bunganya yang berwarna kuning. Pintunya bercat hijau pupus bergaya kuno. Di atas pintu terdapat cermin Pa Kua, cermin delapan arah mata angin. Di samping pintu, tempat hio berwarna merah tergantung di dinding. Di dalamnya ada sisa-sisa batang hio yang sudah terbakar. Jendela-jendela besar itu kelihatan berdebu dengan lubang angin yang jadi tempat laba-laba membuat sarang. Pasti tidak ada orang yang sempat membersihkannya. Seekor kucing kampung bergelung di depan teras. Tembok rumah berwarna putih kusam, tidak terawat. Mungkin juga terlalu banyak diterpa debu. Rumah ini berada di daerah Kota yang kumuh, tua, dan kotor. Siska masih berdiri terpaku, menyesap masa lalu. Taksi menderu, meninggalkan dia sendirian dengan debu-debu kering. Terdengar klakson mobil meraung-raung di ujung gang. Siska sudah terbiasa, daerah Kota memang tidak pernah lepas dari debu dan klakson mobil. Siska berjalan dua langkah, menuju pintu pagar. Belum sempat menekan bel, terdengar sapaan ramah. “Siska ya?” Siska menoleh mendengar sapaan itu. Senyumnya terpaksa berkembang lebar memandang tetangganya yang sedang menjulurkan Universitas Sumatera Utara kepala dari balik pagar rumahnya. Tetangganya yang sudah hidup berdampingan selama...Siska mengernyitkan dahi. Dia sudah lupa berapa lama. Yang jelas, semenjak dia duduk di TK, Tante Yu Lan ini sudah menjadi tetangganya. “Apa kabar, Tante?” Siska memutar tubuhnya. Tante Yu Lan balas tersenyum. “Tante baik-baik saja. Lagi libulan? Sudah lama tidak ketemu ya. Kangen lumah Siska?” “Boro-boro liburan, Tante. Ini namanya musibah. Terpaksa harus pulang demi Papa.” “Omongan siska terputus. Tante Yu Lan menunggu jawaban Siska. Diam-diam perasaan ngeri tumbuh dalam diri Siska. Aneh. Ada yang salah di sini. Tante tetangganya ini tidak terlihat sedih atau prihatin. Ya. Sedih dan prihatin. Bukankah ayahnya meninggal? “Iya, ya. Papa lu masuk lumah sakit begitu saja. Untung ada Tante dan Oom Kalau nggak, siapa yang bakal panggil ambulans segala,” kata Tante Yu Lan dengan aksen Cina-Medannya yang kental dan khas. Dia mempunyai kesulitan ucap dalam bahasa Indonesia, khususnya menggetarkan lidah dalam pengucapan konsonan “r”. “Betul juga. Terima kasih ya, Tante. Saya dengar dari Indah apa yang sudah Tante lakukan untuk Papa. Saya yakin Papa pasti juga berterima kasih kepada Tante dari atas sana.” Ekspresi Siska sangat manis. Semanis gula. Bego, makinya dalam hati. Memangnya si tante tidak merasakan basa-basi Siska yang sudah kebablasan banget? Siska tersenyum terpaksa. Kalau si tante ini tidak membantu memanggil ambulans, Papa juga tetap akan meninggal. Apa bedanya meninggal seminggu yang lalu atau kemarin? Toh sama-sama gone. “Dali atas mana?” Siska merutuk dalam hati. Dasar tante-tante jompo. Tidak jelaskah ucapannya tadi? Masa tidak mengerti juga? “Itu, Tante, di atas sana. Di surga. Di langit biru.” Siska terdiam sejeda. Jarinya menunjuk-nunjuk langit. Oh, ini keajaiban untuk seorang Siska yang pada hari-hari normal termasuk tipe manusia tidak sabaran. Universitas Sumatera Utara Dengan segala keramahannya yang dipaksakan, gadis itu ternyata dapat bertahan ngobrol dengan tante-tante pikun. “Di nirwana.” “Hah? Di sulga? Di Nilwana?” Tante itu semakin tidak mengerti. “Di surrrrga. Di nirrrrwana,” kata Siska, sengaja memperbaiki kata- kata Tante Yu Lan. “Papa kan sudah meninggal…” Suara Siska lambat laun menghilang begitu saja. Meskipun pertanyaan Tante Yu Lan dilemparkan tanpa kesan menghina atau pura-pura tolol, nada suara itu tidak dapat mengenyahkan kegelisahan Siska. Apakah ini sekedar imajinasinya? Siska mengamati tetangganya baik-baik, bertanya-tanya dalam hati. Sekejap, dia tahu, ada sesuatu yang salah dan tidak pada tempatnya ketika Tante Yu Lan menjerit bertanya, “Hah? Papa lu meninggal? Kapan?” tetangganya itu terkesiap, mulutnya terbuka lebar. “Lho, Tante tidak tahu Papa meninggal?” tanyanya kaget. Siska berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang dia dengar dan apa yang akan dia dengar sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Tapi semakin memikirkannya, semakin Siska merasa tidak yakin. Perempuan itu menggeleng. Air mukanya pias total. Kasihan, bisa- bisa dia bakalan pingsan di tempat sebentar lagi. “Tante mana tahu? Tante kan Cuma ngantelin papamu ke lumah sakit waktu itu. Kok bisa meninggal? Tante benal-benal nggak tahu” teriaknya histeris. “Masa Tante tidak dengar apa-apa?” Sejeda, Siska sudah bisa memperkirakan pertanyaan ini akan terucap dari bibirnya. Tante menggeleng. “Sama sekali nggak dengal. Benal-benal nggak dengal. Bagaimana bisa? Lumah kelihatan sepi-sepi saja.” Siska berusaha menjaga suaranya agar tetap mantap. “Saya juga tidak tahu, Tante. Saya juga baru dikasih tahu saudara saya yang lain. Saya---” “I YAAAANG LU TAHU NGGAK SI A YUNG MATI?” Siska menghela napas. Suara tetangganya menggelegar kemana-mana seperti angin puting beliung tiba-tiba berkesempatan mampir di daerah Kota. Tak lama kemudian pintu depan rumah Tante Yu Lan menjeblak terbuka. Semuanya dilakukan dengan gerakan dan teriakan superdramatis. Universitas Sumatera Utara Tabel Analisis IV.1.5 Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 4 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Nung menunggu kehadiran Siska, untuk bisa menyampaikan bahwa dia sangat menginginkan anak-anaknya segera menikah. Skematik Story Siska bergegas pulang ke Jakarta karena mendengar kabar buruk dari Indah. Ternyata Indah membohongi kakak kembarnya dengan berita buruk bahwa ayah mereka sudah meninggal. Kemudian Siska marah- marah karena hal tersebut membuat kacau pekerjaannya di Hong Kong. Akhirnya mereka berempat pun berkumpul menjenguk ayah mereka dan mendengarkan permintaan ayahnya untuk terakhir kalinya. Semantik Latar “Di atas pintu terdapat cermin Pa Kua, cermin delapan arah mata angin. Di samping pintu, tempat hio berwarna merah tergantung di dinding. Di dalamnya ada sisa-sisa batang hio yang sudah terbakar. Jendela-jendela besar itu kelihatan berdebu dengan lubang angin yang jadi tempat laba-laba membuat sarang. Pasti tidak ada orang yang sempat membersihkannya. Seekor kucing kampung bergelung di depan teras. Tembok rumah berwarna putih kusam, tidak terawat. Mungkin juga terlalu banyak diterpa debu. Rumah ini berada di daerah Kota yang kumuh, tua dan kotor.” Detil “Suara tetangganya menggelegar kemana-mana seperti angin puting beliung tiba-tiba berkesempatan mampir di daerah Kota. Tak lama kemudian pintu depan rumah Tante Yu Lan menjeblak terbuka. Semuanya dilakukan dengan gerakan dan teriakan superdramatis.” Stilistik Leksikon “I YAAAANG LU TAHU NGGAK SI A YUNG MATI?” Universitas Sumatera Utara Analisis Bab 4 Topik utama dalam bab ini adalah Nung menunggu kehadiran Siska, untuk bisa menyampaikan bahwa dia sangat menginginkan anak-anaknya segera menikah. Topik di sini dipahami sebagai mental atau kognisi pengarang, tidak mengherankan jika semua elemen dalam wacana mengacu dan mendukung topik yang ingin ditekankan. Skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir akan menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti seperti ditampilkan pada topik tersebut. Story dalam wacana ini dimulai dari kisah Siska bergegas pulang ke Jakarta karena mendengar kabar buruk dari Indah. Ternyata Indah membohongi kakak kembarnya dengan berita buruk bahwa ayah mereka sudah meninggal. Kemudian Siska marah-marah karena hal tersebut membuat kacau pekerjaannya di Hong Kong. Akhirnya mereka berempat pun berkumpul menjenguk ayah mereka. Dan mendengarkan permintaan ayahnya untuk terakhir kalinya. Makna yang ingin disampaikan dalam wacana ini dapat dilihat dari elemen latar dan detil. Pada paragraf berikut dapat dilihat latar yang mendeskripsikan kehidupan di daerah Pecinan: “Di atas pintu terdapat cermin Pa Kua, cermin delapan arah mata angin. Di samping pintu, tempat hio berwarna merah tergantung di dinding. Di dalamnya ada sisa-sisa batang hio yang sudah terbakar. Jendela-jendela besar itu kelihatan berdebu dengan lubang angin yang jadi tempat laba-laba membuat sarang. Pasti tidak ada orang yang sempat membersihkannya. Seekor kucing kampung bergelung di depan teras. Tembok rumah berwarna putih kusam, Universitas Sumatera Utara tidak terawat. Mungkin juga terlalu banyak diterpa debu. Rumah ini berada di daerah Kota yang kumuh, tua dan kotor.” Kalimat tersebut menggambarkan daerah Kota yang merupakan perkampungan Tionghoa, yang sering dikenal dengan daerah Pecinan. Daerah Pecinan yang sering kali identik dengan lingkungan kumuh, tua dan kotor. Detil yang digunakan adalah ketika pengarang ingin menceritakan bahwa bagaimana keadaankondisi kehidupan di daerah Pecinan tersebut. Bahwa bagaimana karakter orang-orang di daerah Pecinan. Hal ini dapat dilihat dari gambaran seorang wanita yang heboh akan berita meninggalnya Nung. Penggunaan kata “angin puting beliung” menggambarkan bahwa sikap wanita tersebut akan menggegerkan seluruh tetangga. “Suara tetangganya menggelegar kemana-mana seperti angin puting beliung tiba-tiba berkesempatan mampir di daerah Kota. Tak lama kemudian pintu depan rumah Tante Yu Lan menjeblak terbuka. Semuanya dilakukan dengan gerakan dan teriakan superdramatis.” Pilihan kata yang digunakan pengarang akan menunjukkan suatu ideologi tertentu. Hal ini disebut dengan unsur Leksikon, dapat diamati dari kalimat berikut ini: “I YAAAANG LU TAHU NGGAK SI A YUNG MATI ?” Penggunaan kata “mati” sebenarnya tidak pantas digunakan untuk manusia. Tetapi orang Cina kerap sekali menggunakan kata “mati” untuk mengatakan meninggal. Hal ini karena wanita tersebut berasal dari Medan, yang seringkali menggunakan bahasa Hokkian menjadi bahasa sehari-hari. Penggunaan bahasa Indonesia-nya masih banyak yang kurang. Sehingga ketika ia harus menggunakan bahasa Indonesia, makna satu kata diartikan tanpa melihat subjeknya lagi. Dalam bahasa Hokkian Si = mati angka 4. Universitas Sumatera Utara IV.1.6 Bab 6 ENAM Debu mobil dan suara knalpot bajaj bercampur baur dengan sempurna. Belum lagi ditambah mikrolet yang seenak udelnya menarik- turunkan penumpang di pinggir jalan. Matahari panas memanggang jalan raya yang tampak tua dan kumuh itu. Bau got dan sampah menguar keras. Itulah potret buram daerah Kota. Daerah pecinan yang banyak meninggakan kenangan dan harta karun dalam bentuk budaya dan arsitektur Cina. Kalau di luar negri, daerah ini pasti menyandang nama bergengsi: China Town. Keturunan Cina tersebar di seluruh dunia dan mempunyai prinsip “banyak anak banyak hoki.” Di belahan mana pun di seluruh negri, mereka pasti berkumpul dan hidup bersatu padu seperti kawanan ternak di padang rumput. Keluarga sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Cina. Karena itulah pecinan-pecinan tumbuh subur, bahkan di kawasan megametropolitan di dunia “barat” sana. Mereka hidup berkelompok dan bahu-membahu. Di Jakarta, kawasan Kota harusnya mendapat gelar istimewa sebagai pecinan kota metropolitan. Bahkan dapat dijadikan kawasan wisata. Sayangnya, semua itu hanyalah bagai debu tertiup angin. Keindahan yang bisa jadi objek wisata di Kota tersia-sia dan terabaikan begitu saja. Daerah itu menjadi tua, ringkih, terpinggirkan dan terlupakan. Sama seperti para tetua yang masih mati-matian mempertahankan adat istiadat, bahasa, dan tata cara keagamaan mereka. Sementara keturunan muda mereka sudah emoh tinggal di daerah kusut masai di daerah pecinan. Mereka telah berpencar-pencar. Sama seperti Indah. Dia membeli rumah di wilayah lain yang menurutnya lebih beradab, bersih dan teratur. Orang-orang muda Cina inilah yang berserakan tinggal di Kelapa Gading, Pluit, Sunter, Muara Karang, Tanjung Duren dan berbagai daerah di Jakarta. Mereka juga lebih menguasai bahasa Indonesia daripada bahasa Mandarin. Bahkan tidak menguasai dialek Hokkian atau Kanton atau Khek. Universitas Sumatera Utara Mereka telah berpindah agama, kebanyakan menganut Kristen atau Katolik. Mereka bermata sipit, berkulit putih, berambut lurus hitam panjang. Mereka orang-orang yang katanya Warga Negara Indonesia tapi harus punya surat bukti warga Negara. SKBRI bahkan sampai surat ganti nama. Banyak yang akhirnya menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi, mereka masih dianggap sebagai tuan di negara kelahiran mereka sendiri. Bahkan beberapa puluh tahun lalu, mereka tidak berhak menyandang tiga-nama-Cina. Mereka harus mengubah nama mereka menjadi lebih “Indonesia” Wie menjadi Widjaja. Han menjadi Handojo atau Handoko atau Hanan. Tan menjadi Tanujaya atau Tanuwijaya. Sue menjadi Sucipto. Dan lain-lain. Sebagian lagi tidak memedulikan nama keluarga dalam bahasa Indonesia. Karena itu, tidak heran jika mereka menyebut diri sebagai generasi yang hilang. “Pinjam bacangnya sebentar,” kata Dharma kepada A Phing. Dengan heran, A Phing menuruti perkataan Dharma. Di tangan Dharma, bacang itu diamat-amati dengan seksama. “Ini daging babi?” “He-eh, daging babi. Kalau bacang Nyokap, ada telur asin di dalamnya. Nasinya terbuat dari ketan. Rasanya enak sekali.” Dharma masih mengamati-amati bacang itu. Kali ini dia mengendusnya. Tatapannya penuh kecurigaan. “Ini daging babi? Ini beneran daging babi? Roni menoleh dengan air muka bosan. “Kalau kamu Tanya pertanyaan itu sekali lagi, aku akan menjejalkan bacang ini ke mulutmu” “Eh, aku kan cuma nanya” sahut Dharma pura-pura tersinggung. “Kenapa?” seru A Phing tergelak menonton reaksi Roni. “Memangnya kenapa kalau itu daging babi?” “Dharma nggak makan daging. Dia vegetarian,” jawab Roni datar. Mulut A Phing membulat. “Sejak kapan kamu vegetarian?” Universitas Sumatera Utara “Sejak umur tujuh belas tahun.” Dharma menyerahkan bacang itu kepada Roni. “Aku mencintai alam dan sangat menghormati makhluk hidup. Jadi, menurutku, memakan binatang sama dengan pelecehan kepada alam itu sendiri. Alam telah menyediakan sayur-sayuran yang sehat untuk tubuh manusia. Jadi, pergunakanlah semua itu.” “Wow” A Phing terlihat kagum. “Hebat. Aku selalu kagum pada vegan.” “Ini bukan masalah selera, Phing,” sahut Dharma penuh semangat. Ini masalah kepercayaan dan tekad kuat. Manusia dilahirkan dengan alat-alat pencernaan yang memang diperuntukkan bagi pemakan sayur. Lihat daging ini Dulunya dia bagian dari makhluk hidup yang mempunyai perasaan. Bayangkan apa rasanya jika daging yang kamu makan itu sebenarnya mempunyai rasa lapar, mengantuk, dan keinginan untuk meneruskan keturunan. Sapi selalu menangis sebelum dibantai. Ayam juga tahu ajalnya tiba. Babi gelisah sebelum disembelih. Tegakah kamu memakan mereka, makhluk hidup yang sama seperti kamu? Sama-sama punya nyawa. Lagian, jika kamu kebanyakan makan daging, nanti kamu bisa kena kanker.” A Phing terpana. Diliriknya bacang yang ada di tangannya dengan tatapan tidak berselera. Dia shock. Butiran-butiran daging menonjol keluar, sedikit berjatuhan di daun pembungkus. “Aku nggak lapar,” gumam A Phing tidak berdaya. Nafsu makannya hilang, terpengaruh omongan Dharma. Buru-buru ditutupnya sisa bacang dengan daun pembungkus. Lalu dengan cepat didorongnya ke dalam kantong plastik putih. “Dulu aku juga begitu,” kata Roni sambil terus mengunyah-nguyah bacang. Selera makannya yang besar tidak terpengaruh pidato Dharma. “Dulu?” A Phing menjilat bibirnya. “Mendengar Dharma mengoceh soal nyawa makhluk hidup, aku juga tidak berselera makan daging.” “Kenapa masih makan daging sekarang?” “Karena doyan” Roni terkekeh. Universitas Sumatera Utara Segerombolan kakek-kakek Cina berkaus singlet, berambut tipis, dan berkulit bintik-bintik berjalan memasukki kedai makanan itu. Terdengar suara mereka bercakap-cakap rebut dalam dialek Khek. Ada yang memesan kopi tubruk, sebagian lagi memesan kuotie—semacam pangsit. Seorang kakek Cina yang mengenakan baju kaos bolong-bolong sedang asyik duduk mengangkat kaki, menghisap rokok dan membaca Koran beraksara Cina. Percakapan dilanjutkan dengan membicarakan keadaan politik di Taiwan serta kenangan mereka ketika di masa Orde Baru, kawasan Pecinan Glodok, Pancoran, dan Petak Sembilan pernah bersih tanpa aksara Cina. Sekarang, banyak warung makanan di daerah sana yang bernama dalam aksara Cina, persis seperti di daerah Hong Kong atau Taiwan. “Ngomong-ngomong,” kata A Phing sambil mendorong plastik tempat bacangnya semakin dalam ke tas kanvas besar. Dia sudah biasa dikelilingi kakek-kakek yang sedang kongko-kongko seperti itu. “Bagaimana kabar calon suamimu, Ron? Sudah dapat?” Tatapan Roni langsung keruh. “Calon suami apa?” Tanya Dharma cepat. Tatapannya tajam menatap Roni yang seakan-akan di kepalanya tumbuh pohon. Roni terlihat putus asa. “Itu ide papaku,” katanya perlahan. “Dia hanya mau meninggal jika sudah melihat kami menikah.” Dharma melongo. Seperti ada air keras yang menyiram otakya. Mau meninggal kalau…? Gadis itu dirayapi cemas. Tidak dapat bergerak. “Hanya mau meninggal…” “…Kalau sudah melihat kami menikah.” Roni mengangguk-angguk, menyelesaikan ucapan Dharma. “Meninggal cara apaan tuh” sembur Dharma masam, melipat kedua tangannya di depan dada. “Iya, meninggal cara apaan tuh?” kata Roni dengan suara yang semakin pelan. “Aku juga ngomong begitu.” “Lalu apa?” Dharma menatap Roni seakan-akan Roni berbicara dalam bahasa Planet Merkurius. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 6 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Keempat saudara kembar ini mulai menelusuri satu-persatu hidup pribadi mereka. Skematik Story Cerita dimulai dari pembicaraan masalah Indah dengan Pastor Antonius. Kemudian A Phing, Rosi dan Dharma membicarakan tentang calon suami yang menjadi permintaan ayah Rosi. Lalu muncul juga masalah Novera soal pernikahan dengan seorang single dad. Lalu Siska yang tidak ambil peduli soal pernikahan. Semantik Latar “Daerah pecinan yang banyak meninggalkan kenangan dan harta karun dalam bentuk budaya dan arsitektur Cina.” “Daerah itu menjadi tua, ringkih, terpinggirkan, dan terlupakan. Sama seperti para tetua yang masih mati-matian mempertahankan adat istiadat, bahasa, dan tata cara keagamaan mereka.” “Segerombolan kakek-kakek Cina berkaus singlet, berambut tipis, dan berkulit bintik-bintik…bercakap-cakap rebut dalam dialek Khek. “… ketika di masa Orde Baru, kawasan Pecinan Glodok, Pancoran, dan Petak Sembilan pernah bersih tanpa aksara Cina. Sekarang, banyak warung makanan di daerah sana yang bernama dalam aksara Cina, persis seperti di daerah Hong Kong atau Taiwan.” Detil “Mereka juga lebih menguasai bahasa Indonesia daripada bahasa Mandarin. Bahkan tidak menguasai dialek Hokkian atau Kanton atau Khek.” Sintaksis Koherensi “Keluarga sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Cina. Karena itulah pecinan-pecinan tumbuh subur, bahkan di kawasan megametropolitan di dunia “barat” sana. Mereka hidup berkelompok dan bahu- membahu.” “Sebagian lagi tidak memedulikan nama keluarga dalam bahasa Indonesia. Karena itu, tidak heran jika mereka menyebut diri sebagai generasi yang hilang.” Koherensi kondisonal “Mereka telah berpindah agama, kebanyakan menganut Kristen atau Katolik.” “Mereka bermata sipit, berkulit putih, berambut lurus hitam panjang.” “Mereka orang-orang yang katanya Warga Negara Indonesia tapi harus punya surat bukti warga Negara. SKBRI bahkan sampai surat ganti nama.” “Wie menjadi Widjaja. Han menjadi Handojo atau Handoko atau Hanan. Tan menjadi Tanujaya atau Tanuwijaya. Sue menjadi Sucipto. Dan lain-lain. Pengingkaran “Banyak yang akhirnya menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi, mereka masih dianggap sebagai tuan di negara kelahiran mereka sendiri. Bahkan beberapa puluh tahun lalu, mereka tidak berhak menyandang tiga-nama-Cina. Mereka harus mengubah nama mereka menjadi lebih ‘Indonesia’ ” Stilistik Leksikon “Orang-orang muda Cina inilah yang berserakan tinggal di Kelapa Gading, Pluit, Sunter, Muara Karang, Tanjung Duren dan berbagai daerah di Jakarta.” Universitas Sumatera Utara Bab 6 Analisis Informasi penting dan yang memainkan peranan penting dalam wacana ini adalah keempat saudara kembar ini mulai menelusuri satu- persatu hidup pribadi mereka. Jika topik menunjukkan makna umum dari suatu wacana, maka struktur skematis atau superstruktur menggambarkan bentuk umum dari teks. Bentuk wacana umum itu disusun dalam alur yang dimulai dari pembicaraan masalah Indah dengan Pastor Antonius. Kemudian A Phing, Rosi dan Dharma membicarakan tentang calon suami yang menjadi permintaan ayah Rosi. Lalu muncul juga masalah Novera soal pernikahan dengan seorang single dad. Lalu Siska yang tidak ambil peduli soal pernikahan. Dimensi semantik disini dapat dilihat dari elemen latar dan detil. Latar yang ditampilkan oleh pengarang adalah mengenai daerah Pecinan yang walaupun kelihatan tua dan kotor tetapi para tetua tetap mempertahankan tradisi mereka. Hal ini dapat diamati pada kalimat berikut ini: “Daerah Pecinan yang banyak meninggalkan kenangan dan harta karun dalam bentuk budaya dan arsitektur Cina.” “Daerah itu menjadi tua, ringkih, terpinggirkan, dan terlupakan. Sama seperti para tetua yang masih mati-matian mempertahankan adat istiadat, bahasa, dan tata cara keagamaan mereka.” Dan penggambaran mengenai orang-orang Cina yang tinggal di daerah pecinan adalah sebagai berikut: “Segerombolan kakek-kakek Cina berkaus singlet, berambut tipis dan berkulit bintik-bintik berjalan memasukki kedai makanan itu.” Universitas Sumatera Utara Mereka digambarkan sebagai orang-orang Cina yang memiliki sifat dan sikap konservatif. Hal itu tampak jelas terutama dalam hal berpegang pada kebudayaan yang berasal dari leluhur mereka, khususnya adat-istiadat. Kalimat “Terdengar suara mereka bercakap-cakap rebut dalam dialek Khek.” Mencerminkan bahwa orang-orang Cina di daerah pecinan masih tetap berusaha untuk mempertahankan bahasa yang menjadi kebudayaan mereka. Latar umumnya ditampilkan di awal sebelum pendapat pengarang yang sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat pengarang sangat beralasan, hal ini terlihat dengan adanya kalimat: “Percakapan dilanjutkan dengan membicarakan keadaan politik di Taiwan serta kenangan mereka ketika di masa Orde Baru, kawasan Pecinan Glodok, Pancoran, dan Petak Sembilan pernah bersih tanpa aksara Cina. Sekarang, banyak warung makanan di daerah sana yang bernama dalam aksara Cina, persis seperti di daerah Hong Kong atau Taiwan.” Pengarang menyampaikan maksudnya secara implisit melalui elemen latar, hal ini dapat diamati dari uraian-uraian yang ditulis. Pengarang lebih banyak menuliskan bahwa kawasan pecinan di Jakarta kondisinya memprihatinkan. Pengarang seolah-olah ingin menyampaikan bahwa sebenarnya di kawasan pecinan itulah kita dapat merasakan kebudayaan itu. Karena para tetua masih saja mempertahankan hal tersebut. Hal ini diperkuat dengan latar masa orde baru yang bisa saja benar-benar membumihanguskan semua kebudayaan Cina di Indonesia untuk selamanya. Tetapi untungnya saat ini orang-orang Tionghoa di Indonesia mulai mendapat pengakuan. Dan Universitas Sumatera Utara tidak ada larangan resmi yang menindak orang Tionghoa untuk menghapus kebudayaan itu. Hal ini juga menekankan bahwa pada masa Orde Baru daerah-daerah pecinan harus menghilangkan semua hal yang berhubungan dengan aksara Cina. Namun, sekarang keadaan pecinan jauh lebih baik. Kemudian detil yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu pada khalayak, detil yang pengarang tampilkan adalah mengenai orang- orang muda keturunan Tionghoa yang tidak lagi memperhatikan kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari: “Mereka juga lebih menguasai bahasa Indonesia daripada bahasa Mandarin. Bahkan tidak menguasai dialek Hokkian atau Kanton atau Khek.” Koherensi yang terdapat dalam wacana ini adalah penggunaan kata karena dalam kalimat berikut, yang berarti pecinan-pecinan di dunia Barat menjadi tempat yang populer karena keluarga sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Cina. Seperti yang tertulis dalam kalimat berikut: “Keluarga sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Cina. Karena itulah pecinan-pecinan tumbuh subur, bahkan di kawasan megametropolitan di dunia “barat” sana. Mereka hidup berkelompok dan bahu-membahu.” Hal ini juga secara implisit mengatakan bahwa pecinan-pecinan di Indonesia tidak sebaik kondisi di dunia Barat karena tidak lagi menjunjung tinggi keluarganya. Secara tidak langsung penulis ingin menyampaikan bahwa kebudayaan Cina di Indonesia hampir hilang. Di kemudian hari sejak dihapuskannya peraturan sistem perkampungan Tionghoa, yang dikenal dengan daerah pecinan itu, lambat-laun bentuk-bentuk keluarga tadi Universitas Sumatera Utara telah mengalami perubahan. Hal demikian tampak jelas dalam kehidupan orang-orang Tionghoa yang telah berkenalan dengan pendidikan dan kebudayaan Barat, terutama di antara orang-orang Tionghoa Peranakan. Dalam kalimat “..sebagian lagi tidak memedulikan nama keluarga dalam bahasa Indonesia. Karena itu, tidak heran jika mereka menyebut diri sebagai generasi yang hilang.” Biasanya nama keluarga dapat dilihat dari nama belakang seseorang. Tetapi sekarang banyak yang tidak peduli. Hal ini karena ada sebagian orang-orang Cina yang tidak mau direpotkan dengan nama belakang tersebut. Karena di Indonesia sering kali terjadi diskriminasi. Dengan tidak adanya nama belakang maka memberikan peluang mereka untuk bisa bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya secara adil tanpa adanya diskriminasi. Dalam wacana ini juga terdapat koherensi kondisional, yang merupakan penjelas dari subjek yang ditampilkan. “Mereka telah berpindah agama, kebanyakan menganut Kristen atau Katolik.” “Mereka bermata sipit, berkulit putih, berambut lurus hitam panjang.” “Mereka orang-orang yang katanya Warga Negara Indonesia tapi harus punya surat bukti warga negara. SKBRI bahkan sampai surat ganti nama.” “Wie menjadi Widjaja. Han menjadi Handojo atau Handoko atau Hanan. Tan menjadi Tanujaya atau Tanuwijaya. Sue menjadi Sucipto. Dan lain-lain.” Elemen pengingkaran juga terlihat pada kalimat berikut ini: “Banyak yang akhirnya menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi, mereka masih dianggap sebagai tuan di negara kelahiran mereka sendiri. Bahkan beberapa puluh tahun lalu, mereka tidak berhak menyandang tiga-nama-Cina. Mereka harus mengubah nama mereka menjadi lebih Indonesia.” Universitas Sumatera Utara Sebenarnya penulis ingin menyampaikan pendapatnya bahwa apapun yang orang Cina lakukan demi sebuah pengakuan di negara Indonesia agaknya susah untuk menyandang titel Warga Negara Indonesia. Orang Cina dianggap hanyalah pendatang di negara ini. Jadi walaupun telah mengganti nama mereka, tetap ada pandangan bahwa orang Cina tetap Cina, secara turun temurun dan sukar berbaur dengan ras lain. Orang Cina Indonesia yang telah berganti nama sering ditanya orang Cina lainnya: Shekeluarganya apa? Kandungan elemen Leksikon terlihat pada pemilihan kata yang digunakan dalam kalimat berikut: “Orang-orang muda Cina inilah yang berserakan tinggal di Kelapa Gading, Pluit, Sunter, Muara Karang, Tanjung Duren dan berbagai daerah di Jakarta.” Penggunaan kata berserak maksudnya adalah berhamburan, ingin menyatakan ‘banyak’. Kata berserak terkesan agak negatif dan tidak teratur. Hal ini ingin mencerminkan bahwa di daerah kawasan tersebut orang-orang Cina sudah sangat banyak sekali dan mendominasi. Pada kenyataannya saat ini, tradisi budaya seperti diatas, dapat dilihat dari kebiasaan banyak orang kaya Cina yang membangun rumah dengan mewah dan mahal, mobil yang dipakai cenderung yang mahal dan bila mengadakan pernikahan di restoran yang elit dan mewah. Dan seringkali tinggal pada pusat kota, dimana bidang perekonomian berjalan. Universitas Sumatera Utara IV.1.7 Bab 7 TUJUH Novera melemparkan pandangan ke seluruh dapur. Sayur. Sayur-mayur. Dimana-mana bertumpuk-tumpuk sayur. Seperti sedang buka lapak sayur. Kol, kubis, wortel, sawi putih, bawang Bombay, bayam, kangkung, kacang panjang. Di balik pikiran Novera tentang sayur, ingatannya terbang ke percakapan yang terjadi dengan Oom Sayur…eh, salah. Maksudnya Rafy. “Ketemu dengan papamu?” “Iya. Mau, kan? Papa mau berkenalan dengan…” Novera menelan ludah susah payah. Entah kenapa, ludahnya seret di tenggorokan. “Eh, teman lelaki saya yang dekat dengan saya di Yogya.” Kata-kata itu mengambang keluar. Aduh. Moga-moga lelaki ini mau aja dibohongi. Angin sepoi-sepoi menerbangkan sebagian poni rambut Novera. Daun melayang berputar dan jatuh di dekat kakinya. Daun, apakah seperti itu hidupku? Diterpa angin lalu jatuh berpusing-pusing ke tanah? Tanpa ada kesempatan terbang membumbung tinggi, bersama angin dan burung. “Sekarang cap go ya?” Novera hanya menggumam, membenarkan. Indah berjalan menuju dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina. Penanggalan Lunar. Di sana tertera tanggal lima belas. “SAYUR LAGI? O MY GOD TIDAAAK” Tanpa menoleh pun Novera tahu siapa yang menjerit histeris persis di belakang telinganya. Indah menoleh kepada si pemilik suara. Irama suaranya tenang. “Sekarang cap go, Ros. Nggak boleh makan daging kalau cap go. Udah lupa?” Universitas Sumatera Utara “Cap go, cap go. Kemarin nggak makan daging karena ce it. Sekarang cap go. Kalau begini terus, pasti aku kekurangan gizi, Nek” Rosi mencak-mencak. “Kekurangan gizi apanya?” Suara Novera masih rendah, masih superlembut. Tangannya memasukkan potongan-potongan wortel ke dalam panci mendidih dengan tekun. “Kemarin makan daging. Ingat babi kecap? Kamu yang menghabiskan sisanya, setengah panci besar itu.” “Zaman sekarang mana ada yang nge-cap-go-ce-it. Mana ada selera,” kata Rosi dengan muka masam. Siska masuk, duduk, dan bergabung dengan konfrensi Para Perempuan di Dapur. Topik pembahasan: Cap Go dan Ce It: Apakah Kita Masih Melakukannya sekarang? “Sudahlah, jangan manja. Peraturan adalah peraturan.” Kebiasaan Anas setiap bulan penanggalan Lunar pada tanggal 1 yang disebut ce it dan tanggal 15 yang disebut dengan cap go adalah tanggal- tanggal istimewa ketika mereka sekeluarga tidak menyantap daging melainkan sayur-sayuran saja. Kebiasaan itu berhasil dipertahankan oleh Novera, tapi tidak oleh ketiga kembarannya yang lain. Menurut mereka, tradisi itu tradisi zaman batu. Bukan itu saja. Kata Rosi, makan sayur seharian membuatnya rentan dengan mood jelek, napas bau, dan keringat kecut. Tapi Novera dengan keras kepalanya sukses memutuskan untuk melanjutkan tradisi keluarga. Menurutnya, tradisi adalah tradisi. Apabila saudaranya yang lain tidak berkenan, dia tidak peduli. Dia sang Koki Dapur. Sabdanya keramat di rumah ini. So, siapa yang berani melawan? Toh rumah ini juga benar-benar berbau masa lalu. Seakan-akan rumah ini tidak bergerak menuju masa depan. Waktu di rumah ini membeku, tidak maju sedetik pun. Apapun yang Novera sentuh, lihat dan rasa sepertinya tidak berada dalam dimensi sekarang. Rumah ini mesin waktu untuk kembali ke masa lalu. Universitas Sumatera Utara Dengan ketidaklengkapan dirinya, Novera akhirnya berpaling kepada agama. Tidak ada kekuatan lain yang dapat membantunya pada saat itu. Bukan ayahnya. Bukan pula saudari-saudarinya. Dia membuktikan seluruh hidupnya dalam agama. Pada detik-detik ketidakberdayaannya, agama benar-benar menggapai tangannya dan mengangkat dirinya dari liang kuburannya sendiri. Novera terselamatkan oleh agamanya. Novera menjadi lebih kuat dan bertahan hidup. Agama memberikannya harapan. Agama memberikannya masa depan. Agama memberikannya sebentuk rahim baru. Di dalam rahim baru itu, Novera bermetamorfosis. Dia kembali menjadi janin, dibuai dan dijaga. Tumbuh dengan aman. Mendapatkan semua kebutuhan perkembangannya dari tali plasenta. Novera berkembang. Pada akhirnya, tibalah hari istimewa itu. Hari kelahiran. Hari mahapenting bagi seorang Novera. Dia dikandung kembali oleh bunda dengan sebuah tujuan. Bundanya kali ini adalah agamanya. Novera telah dipanggil untuk satu keputusan mulia. Ya, dia tahu dia akan menjadi biarawati. Seluruh hidupnya telah mengarah menuju satu titik itu. Titik awal sebuah akhir. Pasar Petak Sembilan seperti biasa: kumuh, becek, panas, kotor, dan berdesak-desakan. Di mana-mana terdengar suara orang berteriak satu sam lain. Pernak-pernik dan perlengkapan Cina seperti perlengkapan sembahyang, lampion, batu giok, gelang kristal, mentimun laut alias teripang, kerupuk perut ikan, permen manisan buatan Cina, berjejer dijual. Kedai makanan bakmi pangsit, kuotie, cakue, pioh daging kura-kura, sekba semur babi, swike, bubur ayam, bakpau, rujak mi berdesak-desakan menunggu pembeli. Rosi menatap kerumunan orang dengan pandangan ngeri. Sudah lama sekali dia tidak pergi ke pasar ini. “Awas, air panas Air panas Permisi” Universitas Sumatera Utara “Mangganya, Ci, manis. Manis lho Baru aja datang nih. Lihat, warnanya bagus, kan? Ayo, Ci…” “Ah, yang bener, Ko A Meng Si Fei Fei kasih harganya selalu miring. Kalau sama Ko A Meng selalu ditinggi-tinggiin” “Eh, ingat nggak dulu Mama suka beli nasi campur yang disebelah sana. Ingat nggak? Yang encinya selalu pakai daster batik. Lihat tuh, masih di sana. Masih pakai daster batik. Hihihi…” Rosi meringis, sambil berusaha berjalan agar tidak bertabrakan dengan orang-orang lain yang berjalan dari arah berlawanan. Dari tadi kulitnya bergesekan dengan kulit yang berkeringat. Hiiih. Rasanya dia sudah ingin buru-buru keluar dari pasar ini. “Di ujung sana ada Kelenteng Kim Tek Ie. Ingat nggak? Dulu kita sering ke sana sama mama.” Pada saat ini, yang menjadi pikiran Rosi adalah mendapatkan obat untuk ayahnya. Mengapa tidak ada orang yang berpikiran seperti ini sebelumnya? Obat Cina, betul juga. Mengapa tidak? Bertahun-tahun mereka hidup dengan obat Cina. Sakit tenggorokan. Keseleo. Sakit perut karena keracunan. Diare. Sakit Kepala. Pokoknya, Anas jarang mengajak anak- anaknya mengunjungi Dokter Marcel kalau tidak kepepet. Jika dapat disembuhkan dengan obat Cina, pasti Anas akan melakukannya. Karena itu, rasanya lucu sekali ketika ayahnya sakit keras, tidak ada satu pun anaknya yang teringat untuk mencoba memberikan obat Cina. “Mungkin kita perlu konsultasi dengan sinse dulu. Jangan minum obat Cina sembarangan, nanti malah nggak tambah baik.” “Sinse siapa coba? Yang dulu kan Sinse Xiang Ho, temannya Papa, sudah meninggal dunia. Aku tahu sih tempat sinse yang ada di Gajah Mada, di belakang Furama sana. Tapi dengar-dengar dia juga sudah pindah sejak peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang lalu. Sinse memang banyak bertebaran di Jakarta. Tapi kan kita maunya yang terkenal. Yang terbukti hasilnya ampuh.” Mereka berjalan bergegas ke arah lelaki Cina tua yang sedang duduk berkaus singlet putih sambil mengipas-ngipas dengan koran bekas. Begitu Universitas Sumatera Utara dekat, lelaki tua itu berdiri lalu mencerocos menjual dagangannya, “Pepayanya, ci? Manis-manis lho. Lihat semuanya merah-merah begini seperti habis dikerok. Pepaya Bangkok, spesial impor dari sana. Asli, mana berani jual yang palsu. Baru sampai tadi pagi pakai pesawat. Untuk penglaris, kasih harga murah deh.” “Apa sih bedanya si A Cun dan A Leng Pasti sama. Udahlah masuk sini aja. Si A Leng lagi ramai. Ke toko obat Kwie-Kwie aja” Di balik deretan lemari kaca setinggi dada, tampak seorang lelaki berwajah oriental dan berkemeja biru pudar sedang berdiri menunggu pembeli. Keringat sebesar jagung menempel di pelipisnya. Di belakangnya, tampak lemari-lemari berlaci dengan penuh tulisan aksara Cina. “Coba lihat baik-baik engkoh itu, Ndah” seru Rosi tidak kalah kalap. “Haloooo? Apa dia kelihatan seperti dokter? Kamu sembarangan tanya- tanya tentang obat sama orang yang bahkan kamu nggak tahu dia lulus SD atau tidak Sadar dong, sadar” “Sori, Ci,” kata si engkoh. “Bukan mau ikut campur urusan nih. Tapi saya punya obat Cina yang bagus buat ngobatin penyakit lu pada.” “Gini deh. Kalau lu Tanya sinse mana pun, pasti mereka merekomendasikan yang ini. Di Taiwan, semua orang yang sakit makan obat ini, Ci. Nggak main-main, ini bukan barang aspal. Bisa langsung sembuh Lihat aja, orang yang bukan-kayak-kita-kita-ini ya…,” jarinya menunjuk sepasang perempuan berjilbab yang sedang berdiri di dekat toko obat lainnya,”…mereka juga percaya sama obat-obatan Cina, Ci.” “Apa ini?” Tanya Indah membolak-balik kotak obat itu. Percuma. Tidak ada tulisan dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Semuanya dalam aksara Cina. “Ini obat yang bagus, bisa ngobatin kanker, penyakit darah, AIDS---“ “Semua penyakit Pokoknya pasti bisa ngobatin penyakit papanya Enci deh.” “Ngomong-ngomong, Enci juga harus cobain beli sarang burung walet. Bagus tuh buat orang sakit. Tiap hari harus dikasih,Ci Banyak orang Universitas Sumatera Utara sembuh makan sarang burung walet. Nggak percaya juga? Waaah, si Enci payah nih Coba lu tanya sama…” Dengan cepat tangannya mengorek-ngorek debu diatas meja, hasil dari hancurnya hio yang terbakar. Novera mengambil Koran beraksara Cina, membolak-balik, mencari- cari tanggal penerbitan Koran itu. O, bagus.Koran bekas, bukan Koran baru. Walaupun kemampuan baca-tulis Mandarin-nya nyaris mendekati angka nol, Novera mengenal beberapa kata. Dan itu bukanlah hal yang menakjubkan karena dalam bahasa Mandarin, kamu harus dapat mengenal ribuan kata yang ditulis dalam bentuk beraneka gaya. Ingat cerita tentang bulan, ingat juga tentang kue bulan. Perayaan Pertengahan Musim Gugur yang biasanya dirayakan oleh orang-orang Cina di seluruh dunia. Mooncake Festival. Atau terkadang disebut Lantern Festival. Dimana-mana, dirayakan dengan memakan kue bulan—kue berbentuk lingkaran sempurna. Diadakan pada malam kelima belas bulan kedelapan penanggalan Lunar. Perayaan itu dimaksudkan untuk melambangkan persatuan keluarga. Bulat seperti bulan purnama, seperti itulah keluarga seharusnya. Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan menata beberapa kue bulan dan bakpao. Kata “persatuan” yaitu “yuan” diucapkan sama dengan kata untuk “bulat”. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina, bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah. Pada malam itu, bulan akan berbentuk bundar sempurna. Cahaya peraknya sangat lembut dan indah. Di bawah langit luas bagi kubah, Mama akan banyak bercerita tentang kisah-kisah bulan versi penceritaan tradisional Cina. Ada begitu banyak versi. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 7 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Tradisi makan dimsum ketika perayaan Imlek memang sudah menjadi tradisi keluarga Nung. Tradisi tersebut kerap diingat oleh anak-anaknya. Skematik Story Dimulai dari kenangan Siska dan adik-adiknya mengulang kegiatan pramukanya. Kemudian Novera dan saudara-saudaranya membahas tentang tradisi Cap Go dan Ce It. Kemudian Novera yang mengingat akan penyakit yang membuat dirinya putus asa. Lalu Indah dan Rosi yang mencari obat untuk ayahnya di kawasan Petak Sembilan. Kemudian ketika perayaan Imlek akan segera tiba, maka kenangan-kenangan masa lalu kembali muncul. Tradisi keluarga pun tetap mereka jalankan sampai sekarang. Semantik Maksud “Tapi dengar-dengar dia juga sudah pindah sejak peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang lalu.” Pengingkaran “Kebiasaan itu berhasil dipertahankan oleh Novera, tapi tidak oleh ketiga kembarannya yang lain. Menurut mereka, tradisi itu tradisi zaman batu.” Sintaksis Koherensi Pembeda “Lihat aja, orang yang bukan-kayak-kita-kita-ini ya…, jarinya menunjuk sepasang perempuan berjilbab yang sedang berdiri di dekat toko obat lainnya,”…mereka juga percaya sama obat-obatan Cina, Ci.” Retoris Metafora “Ingat cerita tentang bulan, ingat juga tentang kue bulan. Perayaan Pertengahan Musim Gugur yang biasanya dirayakan oleh orang-orang Cina di seluruh dunia. Mooncake Festival. Atau terkadang disebut Lantern Festival. Dimana-mana, dirayakan dengan memakan kue bulan—kue berbentuk lingkaran sempurna. Diadakan pada malam kelima belas bulan kedelapan penanggalan Lunar. Perayaan itu dimaksudkan untuk melambangkan persatuan keluarga. Bulat seperti bulan purnama, seperti itulah keluarga seharusnya…” “Pagi Imlek itu dirayakan dengan gembira. Siapa yang menyangka ternyata memakan dimsum pagi-pagi bersama keluarga adalah tindakan yang luar biasa fun, fun, fun. Tradisi terus berjalan bertahun-tahun selanjutnya. “Aku juga mau bangun pagi-pagi sekali seperti temanku kalau lagi sahur.” Universitas Sumatera Utara Bab 7 Analisis Tema yang ingin dikedepankan yaitu tradisi makan dimsum ketika perayaan Imlek memang sudah menjadi tradisi keluarga Nung. Tradisi tersebut kerap diingat oleh anak-anaknya. Kronologis cerita dimulai dari kenangan Siska dan adik-adiknya mengulang kegiatan pramukanya. Kemudian Novera dan saudara- saudaranya membahas tentang tradisi Cap Go dan Ce It. Kemudian Novera yang mengingat akan penyakit yang membuat dirinya putus asa. Lalu Indah dan Rosi yang mencari obat untuk ayahnya di kawasan Petak Sembilan. Kemudian ketika perayaan Imlek akan segera tiba, maka kenangan- kenangan masa lalu kembali muncul. Tradisi keluarga pun tetap mereka jalankan sampai sekarang. Maksud yang ingin dikedepankan dalam wacana ini dapat dilihat dari kalimat: “Tapi dengar-dengar dia juga sudah pindah sejak peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang lalu.” Maksud yang ingin disampaikan adalah makna yang eksplisit. Kerusuhan tahun 1998 membuat banyak orang Cina yang harus pindah kemudian memulai hidup mereka kembali. Ras CinaTionghoa adalah ras yang paling banyak dianggap menimbulkan masalah di Indonesia. Sudah lama kebencian atas ras ini menghasilkan konflik berat bahkan berdarah di banyak kota di Indonesia, bahkan mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998 di Medan, Palembang, Solo, Surabaya, dan terutama Jakarta, ribuan obyek ekonomi ras ini dijarah, dihancurkan dan dibakar massa. Universitas Sumatera Utara Elemen pengingkaran yang ditampilkan adalah: “Kebiasaan itu berhasil dipertahankan oleh Novera, tapi tidak oleh ketiga kembarannya yang lain. Menurut mereka, tradisi itu tradisi zaman batu .” Penulis ingin mengatakan pendapatnya bahwa tradisi makan sayur saat ce it adalah aturan yang tidak zaman lagi. Sehingga banyak dari orang Cina sekarang yang tidak melakukan aturan itu lagi. Elemen koherensi pembeda pada wacana ini dapat dilihat dari kalimat berikut: “Lihat aja, orang yang bukan-kayak-kita-kita-ini ya…, jarinya menunjuk sepasang perempuan berjilbab yang sedang berdiri di dekat toko obat lainnya,”…mereka juga percaya sama obat-obatan Cina, Ci.” Penggunaan koherensi pembeda ini menyebabkan kondisi menjadi semakin baik. Dengan adanya membandingkan masyarakat pribumi percaya dengan khasiat obat Cina, ini akan mendorong orang-orang Cina percaya akan obat-obatan yang sudah digunakan oleh para leluhurnya sejak dulu. Adanya unsur metafora dalam wacana ini adalah: “Ingat cerita tentang bulan, ingat juga tentang kue bulan. Perayaan Pertengahan Musim Gugur yang biasanya dirayakan oleh orang- orang Cina di seluruh dunia. Mooncake Festival. Atau terkadang disebut Lantern Festival. Dimana-mana, dirayakan dengan memakan kue. Bulan—kue berbentuk lingkaran sempurna. Diadakan pada malam kelima belas bulan kedelapan penanggalan Lunar. Perayaan itu dimaksudkan untuk melambangkan persatuan keluarga. Bulat seperti bulan purnama, seperti itulah keluarga seharusnya…” Perayaan Mooncke Festival dimaksudkan untuk memperingati yang menyenangkan dalam mendapatkan kebebasan dan kedamaian mereka, orang-orang akan makan kue bulan selama perayaan Pertengahan Musim Gugur. Universitas Sumatera Utara IV.1.8 Bab 9 SEMBILAN Nung dilahirkan pada tahun Monyet, tahun 1932-berdekatan dengan tahun baru Imlek. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Tan Tjin Yung. Anak pertama dari sebelas bersaudara, keturunan pertama yang lahir di Indonesia. Kakeknya tinggal di Cina dan sudah meninggal lama ketika dia berusia empat tahun. Ayahnya, anak terakhir dari tiga belas bersaudara, adalah perantau. Ditinggalkannya desanya di provinsi Fujian untuk mengadu untung di Singapura. Tapi sayangnya, kapal yang ditumpanginya entah mengapa berlabuh di Tanjung Priok. Dari situ, cerita pun dimulai. “Papa mau jeruk peres?” Indah berdiri di depan pintu dengan jeruk berada di gengamannya. Nung mengangguk perlahan. Indah berlalu. Keempat dinding kamar ini berbisik kepada Nung tiap malam. Setiap sisi mempunyai cerita yang berbeda. Satu sisi bercerita tentang hidupnya. Sisi lain bercerita tentang hubungannya dengan istrinya. Sisi lainnya bercerita tentang keempat anak perempuan kembarnya. Dan sisi terakhir bercerita tentang para keturunan dan saudara-saudarinya yang bercerai-berai di delapan penjuru mata angin semenjak abad ke-16 sampai dengan abad ke- 19. Para Cina perantauan. Atau disebut juga dengan huakiau. Ada yang di London. Kuching. Shanghai. New Orleans. Medan. Pontianak. Taiwan. Sydney. Singapura. Montreal. Singkawang. Dan lain-lain. Tersebar di seluruh benua. Dari Eropa ke Asia Tenggara. Dari Rusia ke Amerika Utara. Dari Afrika ke Australia. Para perantau Cina yang berada di Amerika kebanyakan menggeluti bidang professional, seperti profesi akademis dan medis. Sementara mereka yang menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia sangat berhasil di bidang perdagangan dan keuangan. Universitas Sumatera Utara Itulah yang Nung lakukan untuk menghidupi keluarganya. Dia hanya tahu berdagang. Berjualan peralatan elektronik di Glodok. Tokonya lumayan laris. Banyak pelanggan yang kembali datang kepadanya, sekedar menanyakan harga atau membeli untuk kebutuhan rumah tangga. Toko “Sinar Berjaya” tumbuh menjadi lahan yang dapat menghidupi. Nung ingat, pernikahannya telah berusia delapan tahun ketika tidak ada seorang bayi pun hadir di tengah mereka berdua. Bagi orang Cina, keturunan diatas segala-galanya. “ Aku pasrah,” begitu kata istrinya. “ Kalau kamu mau cari istri lain, silahkan.” Tapi Nung bukanlah tipe lelaki seperti itu. Pernikahannya dengan Anas dialasi cinta, bukan perjodohan pada zaman itu lumayan kerap terjadi, khususnya pada keluarga Cina perantauan. Menurut Feng Shui, dia harus menggantung gambar anak-anak di rumahnya, agar energi positif mengalir disana. Setelah mencari kesana kemari, Nung berhasil menemukan gambar seratus anak-anak Cina yang sedang bermain. Dengan bangga dipajangnya gambar itu di ruang makan. “ Lu pernah dengar Suhu Wong? Dia pinter memohon kepada dewa dewi kesuburan.” Nung berangkat ke kelenteng di Singapura. Disana dia didoakan dan diberikan empat patung kecil berupa anak-anak yang harus dirawat dan diletakkan di dekat meja persembahan. Katanya empat patung kecil itu dapat mengeluarkan aura kesuburan bagi pasangan yang infertil. Nung menggosoknya tiap tiga hari sekali dengan cairan pembersih kayu. Setiap kali tangannya mengangkat hio, dia menyerukan permohonan kesuburan kepada dewa langit. Hanya saja sebagai orang Cina egonya tertantang. Harus ada keturunan dari darah daging sendiri. Kalau sampai tidak ada, tidak apa-apa. To be or not to be ada atau tidak ada sama sekali. Nama Cina diberikan oleh Nung. Nama Indonesia diberikan oleh mbok Hetty. Lucu kedengarannya. Tapi Nung dan Anas mempercayakan pembantu setianya untuk memberikan nama terbaik untuk empat putrinya. Universitas Sumatera Utara Empat bayi itu mengingatkan Nung kepada empat patung kecil anak- anak yang diberikan Suhu Wong. Berpuluh-puluh tahun kemudian, empat patung kecil itu masih berdiri tegak sempurna. Tidak pernah jauh dari tempat sembahyang keluarga mereka. “ Kenapa sih nggak dipanggil dengan nama Cina mereka?” Ini dia pertanyaan kelima puluh tiga dari orang kedua puluh delapan. Pilihan kata-katanya sama. Tata bahasanya juga sama. Nadanya apa lagi. Nung selalu tercenung mendengar pertanyaan itu. Di depannya, tetangganya bernama Qian Xen sedang duduk sambil mengangkat kaki dan mengipas-ngipas kepanasan. Dia mengenakan kaus kutang berwarna putih dan celana pendek cokelat. “Anak-anak disini semuanya dipanggil dengan nama Cina mereka. Po Hong. Pei Ing. Yu Lin.” Qian Xen menyulut batang rokok gudang garamnya, lalu mengepul-ngepul santai. “Lu aneh-aneh aja. Anak-anak lu punya nama Cina tapi dipanggil nama Indonesia,” katanya berenergi tinggi. “ Mereka orang Indonesia,” Jawab Nung akhirnya. Sebenarnya dia tidak suka konfrontasi soal nama ini dari tetangganya. Memangnya siapa sih Qian Xen ini ? Datang-datang langsung memberi komentar kepada keluarganya. “Warga Negaranya Indonesia. Passpornya juga nanti passpor Indonesia.” “Passpor Indonesia, tapi tetap harus punya surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Harus punya bukti sebagai warga Negara. Haha” Tawa Qian Xen menggelegar sinis sampai dia nyaris tersedak ludahnya sendiri. “A Yung, A Yung Lu bikin gue shock sampai perlu kopi lagi nih. Boleh tambah lagi ?.” Sudah menjadi kebiasaan untuk membicarakan soal kewarganegaraan Indonesia diantara Cina perantauan dengan nada sinis. Nung sudah kebal. “Xie Xie” Qian Xen menyeruput kopi panas itu. Universitas Sumatera Utara “ Lu udah lupa ya, kalau kita tetap Cina biarpun warga Negara kita Indonesia?” Mulut Qian Xen memang pinter melakukan aksi provokasi. “Cina perantauan,” Jawab Nung singkat membenarkan. Suaranya mulai terdengar defensif. Mulutnya merengut kesal. “ Yang paling penting mereka punya nama Cina.” Dikasih tampang jelek oleh Nung tidak membuat Qian Xen mundur. Malah dengan beraninya, lelaki itu mendelik. Matanya yang sudah sipit semakin sipit. Pipinya yang kempot menggembung sedikit. “ Tapi anak-anak harus dipanggil dengan nama Cina mereka.” “ Kenapa harus ? Tidak ada kata harus.” “ Nama tidak akan mengubah mereka menjadi orang lain. Di dalam darah mereka mengalir darah Cina.” “ Seorang keturunan Cina tidak akan berhenti menjadi Cina…,” Lanjut Nung tajam, ngotot, “…dengan atau tanpa nama Cina mereka.” Hujan badai itu hujan paling parah dan mengerikan yang terjadi di Jakarta pada tahun 1980an. Setidaknya, yang paling lama lima hari berturut-turut tanpa henti, langit mengamuk. Karena terjadi persis pada dua hari menjelang Imlek, banyak orang Cina berusaha meramalkan peristiwa alam ini dengan kejadian-kejadian di masa depan. Ada yang menyatakan hujan ini pertanda baik, awal tahun yang subur dan penuh kedamaian. Lainnya mengatakan ini pertanda buruk, tahun yang tidak diberkati. Sisanya hanya menggeleng-gelengkan kepala, menyatakan bahwa hujan hanyalah perubahan cuaca yang mau tidak mau pasti akan datang dan hilang dengan sendirinya. Anak-anak tidak ingin sekolah dalam cuaca yang tidak bersahabat ini. Dengan gelisah, Nung bolak-balik menatap jendela ruang tamu, termenung memandangi pemandangan di luar. Biasanya keempat putrinya pergi ke sekolah dengan bajaj. Jika hujan yang menggila tidak berhenti turun, bagaimana caranya agar mereka tidak basah kuyup? Sudah dua hari Universitas Sumatera Utara berturut-turut mereka terpaksa ke sekolah menembus hujan. Si bontot Novera sudah nyaris pilek. Hidungnya tersumbat. Kerongkongannya sakit. Menit-menit berlalu. Terdengar suara bersin tiga kali berturut-turut. “Papa,” panggil Novera. “Aku nggak pengin sekolah. Nggak enak badan.” Nung mendesah. Ditatapnya Novera dengan berat hati. Tangannya menyentuh bahu putrinya lembut. Sekali lagi Novera menyedot ingus keras- keras. Ini keputusan yang teramat sulit bagi Nung. “Hari ini kan Imlek, Ver.” Mata Novera seketika berkaca-kaca. “Tapi saya benar-benar sakit, Pa. Bukan pengin bolos. Hari ini nggak ada ulangan kok.” Nung tahu. Tangannya nyaris gemetar memegang pundak Novera. “Pa…,” rengek Novera. “Jangan merengek seperti itu. Hari ini kamu mesti pergi ke sekolah.” “Tapi saya beneran sakit” “Tahan sedikit. Sekolah kan Cuma lima jam. Kalau nggak tahan, kamu nanti bisa minta pulang sama Suster Theresia.” “Nggak mau minta pulang, Pa Suster Theresia galaknya kayak seratus macan Saya sudah pasti nggak dikasih izin. Dia bakalan nggak percaya saya sakit.” “Ayo, Sayang, jangan ngomong seperti itu.” “Papa nggak percaya saya sakit ya?” Nung menghela napas lagi. Bukannya dia tidak percaya pada putrinya. Dia percaya, seratus persen. Hidung Novera yang merah dan ingus yang mengalir terus adalah bukti kelemahan daya tahan tubuh. Tapi dalam hati, terus terang, Nung khawatir. Hari ini Imlek, tahun baru Cina, hari raya besar dalam kebudayaan Cina. Tidak ada bedanya dengan Muslim yang merayakan Lebaran. Pemerintah pada saat itu mengancam setiap sekolah di seluruh Jakarta agar memberikan peringatan keras pada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek. Universitas Sumatera Utara Sekolah Novera beserta yang lain adalah sekolah Katolik yang dipimpin oleh para suster yang membaktikan diri dalam pendidikan. Mereka para konvensionalis yang berpihak kepada pemerintah. Ancamannya adalah skorsing bagi para siswa keturunan Cina yang berani tidak msuk sekolah pada tahun baru Cina. Mereka bilang tindakan itu dikategorikan bolos. Tidak peduli alasan apa pun. Dengan peraturan strict seperti itu, tidak ada yang berani. Siapa yang berani? Perlakuan sinis, pelecehan dan bulan-bulanan selalu menjadi makanan sehari-hari masyarakat keturunan Cina. Bagi Novera kecil, penolakan ayahnya tidak masuk akal. Dengan menahan tangis, akhirnya dia memaksakan diri mengenakan mantel dan berjalan menerobos hujan. Seperti itukah hidup ini ? Yang berjumlah besar yang menjajah mereka yang minoritas. Kata mereka: Alienansi adalah tindakan yang tepat daripada Akulturasi. Sewaktu duduk depan rumahnya, menunggu anak-anaknya pulang dari sekolah, Nung tak henti-hentinya menyesali diri. Lampu-lampu mobil berkelebatan di tengah curah hujan yang deras. Pikiran Nung teraduk-aduk dengan pikiran-pikiran yang lain. Dia lelaki yang lurus, seorang nasionalis, yang bersedia mengikuti peraturan. Yang mencintai Indonesia. Dia mengeraskan hatinya. Novera memang tidak boleh cengeng. Kebetulan saja dia sakit pada hari Imlek, hari ketika tak ada seorang pun yang boleh absen di kelas. Nung nyaris menangis ketika akhirnya sekolah berakhir dan Novera pulang ke rumah. Gadis kecil nya pucat pasi, menggigil kedinginan, dan demam tinggi yang tidak berhenti selama dua hari selanjutnya. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 9 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Jiwa nasionalis tinggi yang dimiliki oleh Nung. Skematik Story Bercerita tentang perjalanan Nung sebagai seorang Cina perantauan. Kemudian kisah keberhasilan Nung dan Anas mendapatkan keturunan dengan cara merawat empat patung kecil pada tahun ketigabelas sejak pernikahan. Kemudian masa-masa Nung mempertahankan jiwa nasionalisnya dengan selalu memanggil anak-anaknya dengan nama Indonesia. Lalu Indah yang merasa tertekan karena belum juga menyelesaikan novel keduanya. Kemudian ingatan kembali pada kenangan masa lalu. Semantik Latar “Berpuluh-puluh tahun kemudian, empat patung kecil itu masih berdiri tegak sempurna. Tidak pernah jauh dari tempat sembahyang keluarga mereka.” Detil “Hari ini Imlek, tahun baru Cina, hari raya besar dalam kebudayaan Cina. Tidak ada bedanya dengan Muslim yang merayakan Lebaran. Pemerintah pada saat itu mengancam setiap sekolah di seluruh Jakarta agar memberikan peringatan keras pada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek.” “Mereka para konvensionalis yang berpihak kepada pemerintah. Ancamannya adalah skorsing bagi para siswa keturunan Cina yang berani tidak masuk sekolah pada tahun baru Cina. Mereka bilang tindakan itu dikategorikan bolos.” “Siapa yang berani ? Perlakuan sinis, pelecehan dan bulan-bulanan selalu menjadi makanan sehari-hari masyarakat keturunan Cina.” “Seperti itukah hidup ini ?” “Yang berjumlah besar yang menjajah mereka yang minoritas.” Komentar “ Tapi anak-anak harus dipanggil dengan nama Cina mereka.” “ Nama tidak akan mengubah mereka menjadi orang lain. Di dalam darah mereka mengalir darah Cina.” Retoris Metafora “Menurut Feng Shui, dia harus menggantung gambar anak-anak di rumahnya, agar energi positif mengalir disana.Nung berhasil menemukan gambar seratus anak- anak Cina yang sedang bermain. Dengan bangga dipajangnya gambar itu di ruang makan.” Universitas Sumatera Utara Bab 9 Analisis Tema yang dikedepankan dalam wacana ini adalah jiwa nasionalis tinggi yang dimiliki oleh Nung. Kronologis cerita dimulai dari perjalanan Nung sebagai seorang Cina perantauan. Kemudian kisah keberhasilan Nung dan Anas mendapatkan keturunan dengan cara merawat empat patung kecil pada tahun ketigabelas sejak pernikahan. Kemudian masa-masa Nung mempertahankan jiwa nasionalisnya dengan selalu memanggil anak- anaknya dengan nama Indonesia. Lalu Indah yang merasa tertekan karena belum juga menyelesaikan novel keduanya. Kemudian ingatan kembali pada kenangan masa lalu. Menggunakan latar untuk menegaskan makna teks, yaitu dalam kalimat berikut: “Berpuluh-puluh tahun kemudian, empat patung kecil itu masih berdiri tegak sempurna. Tidak pernah jauh dari tempat sembahyang keluarga mereka.” Latar tersebut menjelaskan bahwa orang-orang Cina tidak akan pernah lupa balas budi. Empat patung tersebut dianggap berjasa dalam membantunya mendapatkan anak. Oleh karena itu empat patung tersebut tidak pernah lupa disembahyangi oleh Nung. Selanjutnya untuk menjelaskan makna yang ingin ditonjolkan, penulis memberi banyak detil pada tulisannya. Dapat dilihat pada kalimat berikut: “Hari ini Imlek, tahun baru Cina, hari raya besar dalam kebudayaan Cina. Tidak ada bedanya dengan Muslim yang merayakan Lebaran. Pemerintah pada saat itu mengancam setiap sekolah di seluruh Jakarta agar memberikan peringatan keras Universitas Sumatera Utara pada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek.” Dalam kalimat diatas dapat diamati bahwa pada saat penulisan “Tidak ada bedanya dengan Muslim yang merayakan Lebaran” sebenarnya jika tulisan ini tidak dicantumkan juga tidak akan mengurangi arti. Karena intinya tergambar pada kalimat penjelas berikutnya, walaupun makna tersebut digambarkan secara implisit. Detil tersebut guna memperjelas lagi apa maksud si pengarang. Maka dapat dilihat bahwa pengarang ingin menyampaikan bahwa Imlek adalah sama seperti Idul Fitri. Tetapi mengapa pemerintah membedakannya? dan tidak memberikan libur secara nasional seperti halnya ketika menjelang Idul Fitri. “Mereka para konvensionalis yang berpihak kepada pemerintah. Ancamannya adalah skorsing bagi para siswa keturunan Cina yang berani tidak masuk sekolah pada tahun baru Cina. Mereka bilang tindakan itu dikategorikan bolos .” Detil yang ingin diceritakan pada wacana ini adalah begitu kuatnya peraturan dan pengaruh pemerintah pada saat itu. Sehingga tak satu pun pihak yang berani melawan. Bahkan pihak sekolah yang seharusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah. Lalu terdapat juga detil yang memperkuat maksud si penulis. Hal ini dapat dilihat pada kalimat berikut: “Siapa yang berani? Perlakuan sinis, pelecehan dan bulan- bulanan selalu menjadi makanan sehari-hari. Perihnya dengan hidup tanpa makan.” “Lebih menderita lagi, karena yang sudah miskin pun, orang-orang Cina keturunan di sini tidak pernah mendapat pengakuan.” “Kesetaraan sebagai warga Negara. Full pledge citizenship. Menjadi orang Indonesia tanpa embel-embel kata “keturunan.” Detil yang ingin ditonjolkan adalah hal-hal yang menyebabkan orang- orang Cina tertekan hidup di Indonesia pada saat itu. Orang-orang Cina yang Universitas Sumatera Utara tinggal di Indonesia masih saja dianggap bukan Warga Negara Indonesia, tetapi malah disebut dengan Warga Negara Indonesia Keturunan. Sampai kapanpun hal ini akan terus melekat di benak masyarakat Indonesia, detil tersebut jelas sekali terlihat pada kalimat: “Akan tetap ada anak-anak keturunan Cina yang dilecehkan dengan kata ‘amoy’.” Adanya komentar dari dua pihak. Komentar pertama adalah dari tetangga Nung dan pihak kedua adalah Nung. “Tapi anak-anak harus dipanggil dengan nama Cina mereka.” Pengarang banyak menampilkan komentar dari pihak pertama, yaitu tetangga Nung. Dari komentar tersebut tergambar bahwa tetangga Nung merupakan salah satu warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak peduli akan dimana ia tinggal. Yang terpenting adalah tetap hidup sebagaimana tradisi orang Cina terdahulu. “ Nama tidak akan mengubah mereka menjadi orang lain. Di dalam darah mereka mengalir darah Cina.” Dari komentar tersebut tergambar bahwa Nung memiliki jiwa nasionalis yang tinggi. Nung merupakan salah satu keturunan Tionghoa yang sadar akan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia. Mencintai negaranya dan mematuhi segala peraturan yang ada. Dalam wacana ini terdapat unsur metafora yang mencerminkan bahwa unsur fengshui penting dalam kehidupan keluarga Tionghoa. “Menurut Feng Shui, dia harus menggantung gambar anak-anak di rumahnya, agar energi positif mengalir disana. Setelah mencari kesana kemari, Nung berhasil menemukan gambar seratus anak- anak Cina yang sedang bermain. Dengan bangga dipajangnya gambar itu di ruang makan.” Universitas Sumatera Utara IV.1.9 Bab 10 SEPULUH Kelenteng tidak terlalu jauh dari rumah mereka, hanya sekitar beberapa belokan jalan. Siska berjalan menyusuri trotoar sambil menyisir rambutnya dengan jari. Ini penampilan terburuknya selama di Jakarta. Sebenarnya ide pergi ke kelenteng bukanlah ide yang baik untuk melewatkan malam. Siska meringis sendiri. Dia tidak bisa mengingat kenapa dia ingin sekali sembahyang. Ternyata malam itu adalah takdirnya. Malam itu adalah salah satu malam ketika kata-kata tidak dibutuhkan untuk menjelaskan banyak hal. Sudah jam sembilan lewat ketika Siska telah selesai dengan urusannya. Dia berjalan keluar dari pintu kelenteng, meniti tangga turun perlahan-lahan. Asap dupa memenuhi udara malam, menyelimuti dirinya. Kelenteng yang telah berusia ratusan tahun terlihat lebih menyedihan daripada di siang hari. Cat merahnya terlihat pudar, dimakan usia dan angin malam. Debu serta remehan abu menempel di sekitar tembok, membuat gedung itu menjadi suram oleh karena warna abu pekat. Siska mengedarkan pandangan, mengamati bangunan kelenteng yang memberikannya seribu kenangan. Dulu mereka sekeluarga; mama papa dan ketiga adik-adiknya berkunjung, sejak si bungsu Novera memutuskan menjadi penganut Kristen, kepergian mereka ke sana selalu tidak pernah merasa lengkap. Tapi untung juga Novera sungguh-sungguh menepati janjinya. Dia tidak keberatan berkunjung ke kelenteng untuk acara-acara istimewa, seperti Imlek. Melewati jalan protokol, tampak rombongan orang berjalan kaki, sebagian menggunakan bus. Kelompok demonstran yang sedang bergerak menuju istana. Entah apa lagi yang hendak diprotes kepada pemerintah. Siska tidak habis pikir bagaimana orang-orang itu tidak perlu bekerja. Universitas Sumatera Utara Gampang sekali turun ke jalan Tiba-tiba kesadaran menghajarnya. Mereka pasti pengangguran yang tidak punya pekerjaan tetap. Waktu mereka yang bebas merdeka dapat digunakan kapan saja untuk melakukan protes sana- sini atas nama kepentingan ini-itu. Apalagi turun ke jalan bisa dijadikan alternatif pekerjaan. Meniti karier itu penting, Bung Demonstrasi sebagai karier. Pernah dengar, kan? Yang pasti harus ada segepok uang dan nasi kotak. Mungkin perlu dimasukkan dalam agenda “Career Day” yang biasanya diadakan sekolah-sekolah menengah. “Pa, lihat apa yang sedang mereka lakukan.” Siska membuka percakapan kepada ayahnya. Nung diam saja. Entah apakah mereka pernah mendengar ucapan mantan presiden Amerika Serikat, John Fitzgerald Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang bisa Negara lakukan untukmu, tapi tanyakan apa yang bisa kaulakukan untuk negaramu”. Sebagai keturunan Cina di Indonesia, o yeah, baby…Siska punya banyak sekali komplain kepada pemerintah. Saking banyaknya, jika dibuat list, mungkin urutannya bisa lebih panjang daripada permintaannnya kepada sinterklas. Lalu apakah kemudian dia turun ke jalan, berteriak –teriak? Apakah dia sibuk memaki-maki pemerintah, meminta presiden terpilih—yang dia pilih saat Pemilu—meletakkan jabatan? Tidak. Gengsi dong. Memangnya tidak punya harga diri? Siska memilih untuk bekerja keras, melakukan yang terbaik buat dirinya. Tidak menyalahkan siapa pun untuk jalan hidup yang dirintisnya. Seperti pepatah Cina, dia memilih untuk menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Diliriknya jendela samping. Tampak wajah-wajah para demonstran. Terlihat muda-muda dan penuh semangat. Muda? Ya, mungkin saja mereka para mahasiswa. Siska tidak punya masalah sedikit pun dengan para mahasiswa yang turun ke jalan. Tapi seingatnya, ketika dia kuliah di Singapura, boro-boro hidup bersenang-senang, tidak belajar sehari pun tidak dapat dilakukannya. Universitas Sumatera Utara Tugas-tugas kuliah menumpuk dan ambisinya untuk lulus dengan nilai cemerlang menghabiskan waktu pribadinya. Lalu bagaimana mungkin para mahasiswa ini punya waktu untuk turun ke jalan? Apakah mereka tidak punya paper yang harus diketik? Mata kuliah yang harus dihadiri? Diktat pelajaran yang harus dipelajari? Proyek yang harus diteliti? Buku teks yang harus dibaca berulang-ulang? Diskusi atau seminar yang harus didatangi? Siska tidak habis pikir. Dia menggeleng putus asa. Dia tidak mengerti. Bagaimana para mahasiswa ini bisa menjadi lulusan terbaik? Siska termenung. Kalau sudah begitu, sulit dicari ujung benang yang sudah melilit kacau-balau. Sebenarnya semua ini salah siapa? Apakah universitas-universitas tersebut begitu bobrok dalam pemberian pelajaran dan pembelajaran kepada mahasiswa sehingga mereka punya banyak waktu untuk turun ke jalan? Ya mungkin orang lain akan mengatakan Siska makhluk planet lain, atau bahkan Cina keturunan…yang tidak peduli pada keadaan bangsanya. Benarkah demikian? Atau ada hal lain yang perlu dijelaskan olehnya? Siska yakin, orang-orang miskin memang banyak yang menderita di negara ini…sama menderitanya seperti dia, orang-orang Cina keturunan. Tidak mendapat pengakuan di sana-sini sama perihnya dengan hidup tanpa makan. Lebih menderita lagi, karena yang sudah miskin pun, orang-orang Cina keturunan di sini tidak pernah mendapat pengakuan. Siska merenung. Kata keramat itu…Pengakuan. Kesetaraan sebagai warga Negara. Full pledge citizenship. Menjadi orang Indonesia tanpa embel-embel kata “keturunan”. “AmoyAmoy Hei, Amoy, baris disini dong” Novera pura-pura tidak mendengar walau dalam hati, kupingnya panas mendengar panggilan menyebalkan itu. Entah kenapa, gerombolan teman-teman lelaki dari kelasnya senang sekali menggodanya dengan panggilan Amoy. Memang sih, sekali-sekali mereka juga menggoda saudari- Universitas Sumatera Utara saudarinya yang lain. Tapi kalau dihitung-hitung, kelompok anak-anak lelaki itu paling sering menghadang jalannya, menunjuk-nunjuk mata Novera sambil berteriak-teriak seperti orang kesurupan. “Amoy” katanya. Ditambah dengan cekikikan kurang ajar. Novera kesal sekali dan sering bertanya-tanya sendiri. Salah siapa jika mata Novera memang sipit dan berbentuk seperti bulan sabit? Salah siapa jika kulit Novera putih dan bukan berwarna hitam seperti kulit mereka? Salah siapa jika profil wajahnya memang terlihat sangat oriental? Novera menelan kata “amoy” itu bulat-bulat dalam hatinya. Dengan gagah dia berdiri tegak, menatap ke depan lurus-lurus. Dia menutup daun telinganya rapat-rapat. Pagi ini awal hari Senin. Apa lagi kalau bukan upacara bendera? Novera yang mungil berdiri agak depan. Di lapangan upacara, empat siswa berpakaian putih-putih berbaris rapi menuju tiang bendera. Salah seorang siswa menadah bendera merah putih yang terlihat rapi di tangannya. Terdengar bisikan yang menyakitkan lagi. Dari arah belakang. “Amoy Amoy Woi sombongnya si Amoy satu ini” Terus terang, Novera sakit hati. Sekuat tenaga dia menahan perasaan itu sendiri. Dia tahu siapa yang sedang mendesis-desis iseng seperti itu. Bendera merah putih telah terbentang lebar, siap dinaikkan ke atas tiang. Pemimpin paduan suara mengangkat tangannya, memberi tanda kepada seluruh siswa. Bagai koor, bendera naik ke atas diringi lagu Indonesia Raya. Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku Indonesia, kebangsaanku, bangsa dan tanah airku Marilah kita berseru, Indonesia bersatu Universitas Sumatera Utara Novera membuka mulutnya lebar-lebar. Dia bernyanyi kuat-kuat agar suara-suara menyakitkan yang datang dari belakangnya itu dapat lenyap ditelan lagu. “Amoy…Amoy…” Novera bernyanyi sepenuh hati. Matanya panas, hatinya juga. Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku Bangsaku, rakyatku, semuanya Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya “Amoy Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAAWWW” BUK “EH, MONYET, APAAN LU PANGGIL-PANGGIL AMOY? DIA KAN PUNYA NAMA DAN NAMANYA BUKAN AMOY, TAU DASAR KAMPUNGAN GOBLOK IDIOT TAI” BUK BUK Novera berbalik cepat, mulutnya masih setengah bernyanyi. Kesadarannya masih berada di titik terendah. Mulanya dia berbalik karena gerakan refleks saja. Tapi tak lama, air mukanya seketika berubah menjadi pucat ketika melihat pemandangan yang terbentang di matanya. Barisan siswa di belakangnya sedikit tercerai-berai. “SIAPA BILANG DIA BUKAN ORANG INDONESIA? DASAR BEGO OTAK UDANG” Siska berdiri gagah sambil mengayunkan tinju ke arah dua lelaki yang terlihat lebih pendek daripada dirinya. Dua tonjokan mendarat telak di kepala sehingga salah satu mereka terjungkir, mencium tanah dengan sempurna. Satunya lagi terhuyung-huyung ke belakang, nyaris roboh. “LAGIAN LU PADA NGERTI NGGAK ARTINYA AMOY? TOLOL LU SEMUA MAKANYA, JANGAN PANGGIL-PANGGIL NAMA ORANG KALAU KAGAK NGERTI ARTINYA” Universitas Sumatera Utara Anas keluar dari ruang kepala sekolah dengan hati mendidih. Mulutnya bungkam, menahan emosi geram. Suster Meredith, sang kepala sekolah, sebagai biarawati seharusnya membela yang lemah dan tidak berdaya-tidak pernah mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Kejadian itu bukan sekadar pengeroyokan. Anak-anak lelaki tersebut melakukan pemukulan verbal dan perlakuan pelecehan atas nama rasisme. Betapa naifnya suster itu Tapi setelah itu, tidak ada seorang pun dari anak-anak lelaki itu yang berani berteriak-teriak “amoy” di depan hidung putri-putri Nung. Kehidupan berjalan normal kembali. Kata-kata “amoy” masih terdengar di sana-sini, tapi tidak pernah ditujukan kepada Novera. Bagi Novera, ini menyenangkan. Dia bisa bebas tanpa dilecehkan. Tapi bagi Siska, ini sama saja. Akan tetap ada anak-anak keturunan Cina yang dilecehkan dengan kata “amoy”. Nung berbaring diam di ranjang rumah sakit. Di sebelahnya, Siska duduk di kursi. Matanya tidak lepas memandangi televisi. Tampaknya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Siska. Sedari tadi tatapan anak gadisnya itu berbeda. Nung ingin bertanya, tapi tidak jadi. Dia pikir biarlah Siska saja yang memecahkan masalahnya sendiri, apapun yang terjadi. “Siska” panggil Nung. Siska sigap bergerak. “Ya, Papa? Ada apa? Sakit?” “Sakit?” Nung menyeringai geli. Ini pertanyaan ironis. Sakit sudah menjadi bagian dari tubuhnya semenjak dua tahun yang lalu. Sudah tidak dapat dijelaskan lagi apakah definisi sakit itu. “Papa sudah lupa apa arti sakit.” Tadi melewati pintu gawat darurat, ada seorang lelaki tua yang baru saja meninggal. Tampak lelaki dewasa sedang menangisi si tua tanpa malu- malu. Air matanya mengucur deras. Siska bergegas mendorong kursi roda ayahnya agar mereka tidak perlu berlambat-lamabat melihat adegan itu. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 10 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Bahwa bagaimana gambaran seorang Cina keturunan di Indonesia, yang walaupun tertekan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu untuk menyuarakan aspirasinya. Skematik Story Diawali oleh percakapan Rosi dengan Siska tentang masalah dirinya, bahwa ia adalah seorang lesbi. Hal ini mengingatkan Siska akan kejadian masa lalu ketika Novera dan Rosi berebutan mau menjadi seorang papa. Kemudian kenangan masa-masa mereka kecil dilecehkan karena seorang Cina keturunan, kisah bahwa Novera harus tetap sekolah pada hari Imlek padahal Novera sedang sakit. Dan diakhiri dengan pembicaraan Nung dengan Siska. Komentar Novera kesal sekali dan sering bertanya-tanya sendiri. Salah siapa jika mata Novera memang sipit dan berbentuk seperti bulan sabit? Salah siapa jika kulit Novera putih dan bukan berwarna hitam seperti kulit mereka? Salah siapa jika profil wajahnya memang terlihat sangat oriental? “Amoy Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAAWWW” “LAGIAN LU PADA NGERTI NGGAK ARTINYA AMOY? TOLOL LU SEMUA MAKANYA, JANGAN PANGGIL-PANGGIL NAMA ORANG KALAU KAGAK NGERTI ARTINYA” Semantik Latar “Dia berjalan keluar dari pintu kelenteng, meniti tangga turun perlahan-lahan. Asap dupa memenuhi udara malam, menyelimuti dirinya. Kelenteng yang telah berusia ratusan tahun terlihat lebih menyedihkan daripada di siang hari.Cat merahnya terlihat pudar, dimakan usia dan angin malam. Debu Universitas Sumatera Utara serta remehan abu menempel di sekitar tembok,membuat gedung itu menjadi suram oleh karena warna abu pekat.” Sintaksis Pengingkaran “Sebagai keturunan Cina di Indonesia, o yeah, baby…Siska punya banyak sekali komplain kepada pemerintah. Saking banyaknya, jika dibuat list, mungkin urutannya bisa lebih panjang daripada permintaannnya kepada sinterklas.” “Lalu apakah kemudian dia turun ke jalan, berteriak –teriak? Apakah dia sibuk memaki-maki pemerintah, meminta presiden terpilih—yang dia pilih saat Pemilu—meletakkan jabatan?” “Dulu mereka sekeluarga: mama papa dan ketiga adik-adiknya berkunjung, sejak si bungsu Novera memutuskan menjadi penganut Kristen, kepergian mereka ke sana selalu tidak pernah merasa lengkap. Tapi untung juga Novera sungguh-sungguh menepati janjinya. Dia tidak keberatan berkunjung ke kelenteng untuk acara-acara istimewa, seperti Imlek. Praanggapan “Ya mungkin orang lain akan mengatakan Siska makhluk planet lain, atau bahkan Cina keturunan…yang tidak peduli pada keadaan bangsanya. Benarkah demikian? Atau ada hal lain yang perlu dijelaskan olehnya? Siska yakin, orang- orang miskin memang banyak yang menderita di Negara ini…sama menderitanya seperti dia, orang- orang Cina keturunan. Tidak mendapat pengakuan di sana-sini sama perihnya dengan hidup tanpa makan. Lebih menderita lagi, karena yang sudah miskin pun, orang-orang Cina keturunan di sini tidak pernah mendapat pengakuan.” “Kesetaraan sebagai warga Negara. Full pledge citizenship. Menjadi orang Indonesia tanpa embel- embel kata “keturunan.” Akan tetap ada anak-anak keturunan Cina yang dilecehkan dengan kata “amoy”. Retoris Metafora Seperti pepatah Cina, dia memilih untuk menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Universitas Sumatera Utara Bab 10 Analisis Tema atau inti pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa bagaimana gambaran seorang Cina keturunan di Indonesia, yang walaupun tertekan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu untuk menyuarakan aspirasinya. Story diawali oleh percakapan Rosi dengan Siska tentang masalah dirinya, bahwa ia adalah seorang lesbi. Hal ini mengingatkan Siska akan kejadian masa lalu ketika Novera dan Rosi berebutan mau menjadi seorang papa. Kemudian kenangan masa-masa mereka kecil dilecehkan karena seorang Cina keturunan, kisah bahwa Novera harus tetap sekolah pada hari Imlek padahal Novera sedang sakit. Dan diakhiri dengan pembicaraan Nung dengan Siska. Latar yang mempengaruhi semantik terlihat pada: “Dia berjalan keluar dari pintu kelenteng, meniti tangga turun perlahan-lahan. Asap dupa memenuhi udara malam, menyelimuti dirinya. Kelenteng yang telah berusia ratusan tahun terlihat lebih menyedihkan daripada di siang hari. Cat merahnya terlihat pudar, dimakan usia dan angin malam. Debu serta remehan abu menempel di sekitar tembok, membuat gedung itu menjadi suram oleh karena warna abu pekat.” Latar yang digunakan dalam bab ini adalah kelenteng yang sudah berusia ratusan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa begitu tuanya budaya religi yang orang Cina anut. Dalam wacana ini digambarkan bahwa Siska dan keluarganya selalu pergi ke kelenteng ketika ingin berdoa. Apa yang diperbandingkan sering kali merupakan cara yang bagus untuk menyembunyikan maksud si pengarang, hal ini disebabkan karena adanya elemen pengingkaran dalam wacana berikut: Universitas Sumatera Utara “Sebagai keturunan Cina di Indonesia, o yeah, baby…Siska punya banyak sekali komplain kepada pemerintah. Saking banyaknya, jika dibuat list, mungkin urutannya bisa lebih panjang daripada…” “Lalu apakah kemudian dia turun ke jalan, berteriak–teriak? Apakah dia sibuk memaki-maki pemerintah, meminta presiden terpilih—yang dia pilih saat Pemilu—meletakkan jabatan?” Unsur pengingkaran seperti yang terdapat dalam kalimat diatas, jelas terlihat bahwa Siska sebagai keturunan Tionghoa banyak sekali hal yang ingin dia sampaikan kepada pemerintah. Kalimat “…mungkin urutannya bisa lebih panjang daripada permintaannnya kepada sinterklas.” Menggambarkan bahwa ternyata banyak sekali hal-hal yang perlu diperbaiki dalam kehidupan mereka. Jika sudah banyak uneg-uneg pastilah akan segera disampaikan. Unsur pengingkaran sangat kontras terlihat bahwa sebenarnya pengarang berpendapat bahwa budaya diam yang telah lama merasuki masyarakat Indonesia, khususnya warga Tionghoa, selalu menjadi satu alasan untuk menyimpan hak berbicara itu sendirian. Tigapuluh dua tahun di bawah sistem politik represif Orde Baru telah membangun satu budaya diam dalam masyarakat Indonesia. Budaya diam ini, sesungguhnya, merupakan mekanisme pertahanan diri yang pasif—melarikan diri dari realita penindasan itu sendiri. Namun, sekalipun “reformasi” telah mulai digulirkan, budaya ini masih erat melekat dalam masyarakat Tionghoa maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Disini pengarang juga menyinggung soal demonstrasi yang tengah dilakukan mahasiswa, menurut pengarang bahwa masyarakat Indonesia jika memiliki masalah kecil akan dibesar-besarkan sampai mengadakan demonstrasi segala. Sedangkan orang Cina yang memiliki masalah lebih besar daripada itu tidak pernah mengadakan demonstrasi. Universitas Sumatera Utara Dalam wacana ini juga terdapat pengingkaran untuk mengekspresikan pendapat pengarang yang seolah-olah menyetujui sesuatu padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut. Dapat dilihat pada kalimat berikut: “Dulu mereka sekeluarga: mama papa dan ketiga adik-adiknya berkunjung, sejak si bungsu Novera memutuskan menjadi penganut Kristen, kepergian mereka ke sana selalu tidak pernah merasa lengkap. Tapi untung juga Novera sungguh-sungguh menepati janjinya. Dia tidak keberatan berkunjung ke kelenteng untuk acara-acara istimewa, seperti Imlek. Dalam kalimat diatas, kesetujuan dan ketidaksetujuan terhadap adiknya yang pindah agama digambarkan secara eksplisit. Contoh yang paling jelas pada kalimat pertama tidak terdapat pengingkaran tetapi dalam kalimat kedua pengingkaran terjadi. Penulis seakan mengatakan bahwa dulu mereka adalah keluarga yang lengkap. Menjadi satu dalam agama yang sama, tetapi maksud sebenarnya adalah karena Novera pindah agama maka satu keluarga tidak lagi terasa utuh. Karena salah satu dari mereka sudah menjadi Kristen. Lalu untuk menyeimbangkan pengingkaran tersebut maka terdapat kalimat “…untung juga Novera sungguh-sungguh menepati janji…” “Novera kesal sekali dan sering bertanya-tanya sendiri. Salah siapa jika mata Novera memang sipit dan berbentuk seperti bulan sabit? Salah siapa jika kulit Novera putih dan bukan berwarna hitam seperti kulit mereka? Salah siapa jika profil wajahnya memang terlihat sangat oriental?” Komentar seperti ini mencerminkan kegelisahan etnis Tionghoa yang merasa tertekan atas sikap orang-orang pribumi. Sampai-sampai si tokoh Universitas Sumatera Utara tidak tahu harus mengadu pada siapa akan kondisi dirinya. Komentar dari pihak yang bertentangan dalam hal ini dapat dilihat pada kalimat berikut: “Amoy Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy…” Komentar tersebut sangat kental akan makna diskriminasi. Dalam komentar tersebut jelas bahwa masyarakat pribumi menganggap bahwa orang Cina yang hidup di Indonesia itu tidak termasuk orang Indonesia. Komentar tersebut diucapkan ketika Novera masih kecil, hal ini mencerminkan bahwa anak-anak pada zaman itu sudah dicekoki dengan hal- hal yang negatif mengenai orang Cina di Indonesia. Awalnya semua pandangan ini berasal dari arah politik yang rasis. Ini diberlakukan masa pemerintahan Orde Baru. Demikian Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, beberapa dekrit dan keputusan presiden yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa diberlakukan efektif. Beberapa peraturan lain, yang dikeluarkan para menteri menambah panjang daftar peraturan yang rasis di negeri ini. Diberlakukannya peraturan-peraturan itu menciptakan pandangan yang keliru pada etnis lain yang tinggal di negeri ini bahwa etnis Tionghoa itu adalah orang asing, pendatang, orang terbuang yang layak diperlakukan sesuka hati. Unsur metafora selalu dimunculkan dalam wacana ini, hal ini mencerminkan bahwa pengarang juga ingin memberikan suatu nilai-nilai kepada pembacanya. Seperti kutipan berikut: “Seperti pepatah Cina, dia memilih untuk menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan.” Universitas Sumatera Utara IV.1.10 Bab 12 DUA BELAS SUARA ponsel bergetar. Bip.Bip. Indah menatap layar ponselnya. Ada satu SMS masuk. Dari Dini, teman kantornya. Forward-an pesan. Besok waspada karena akan ada demo besar-besaran. Bisa terjadi penjarahan seperti peristiwa Mei 1998 kemarin, Jangan pergi kemana- mana kalau tidak perlu. Matanya kembali ke arah pesan di layar ponsel. Peristiwa Mei 1998 membekas dengan jelas di hati setiap orang, termasuk Indah. Siapa yang menyangka hari itu berakhir dengan begitu banyak darah tertumpah dan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan begitu saja? Papanya yang kehidupan sehari-harinya ditopang dari toko elektronik “Sinar Berjaya” hilang secara misterius. Toko itu terletak di Glodok. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa. Bangkrut mendadak. Dulu, penghasilan “Sinar Berjaya” itu benar-benar berjaya karena mampu menyekolahkan mereka berempat, menjadi sarjana. Jakarta, kota metropolitan, menjadi daerah perang seperti di Bosnia. Kekacauan tersebar rapi di setiap sudut kota. Mereka berempat tercerai- berai. Siska berada di Singapura, menelepon tiada henti, mencari Papa. Novera berada di Denpasar, sedang mengikuti seminar pendidikan. Rosi berada di perjalanan, hendak mengantar bunga ke Rawa Belong. Sorenya, Indah mendapat telepon dari seseorang yang mengaku bernama Bapak Muhammad Syammedi, dipanggil dengan Bapak Syam saja. Beliau bercerita tentang Nung yang sedang terbaring di rumahnya. Tubuhnya terluka di bagian kaki karena kena pecahan kaca. Mendengar berita itu, Indah seketika shock. Tapi ternyata itu belum seberapa. Bapak Syam menyelamatkan Nung dari keroyokan orang-orang mengerikan yang anti-Cina. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 12 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Betapa kecewanya orang-orang Cina akan kejadian Mei 1998 lalu. Skematik Story Dimulai dari cerita penjaharan Mei 1998 lalu. Kemudian Indah akhirnya mengetahui dirinya sedang hamil. Lalu percakapan Siska dan Indah soal anak yang sedang dikandung Indah. Dan diakhiri dengan kisah Rosi bersama Dharma. Detil “Matanya kembali ke arah pesan di layar ponsel. Peristiwa Mei 1998 membekas dengan jelas di hati setiap orang, termasuk Indah. Pada hari itu, dia berada di daerah Karet, sedang melakukan wawancara kerja dengan perusahaan majalah remaja. Siapa yang menyangka hari itu berakhir dengan begitu banyak darah tertumpah dan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan begitu saja?” “Papanya yang kehidupan sehari-harinya ditopang dari toko elektronik “Sinar Berjaya” hilang secara misterius. Toko itu terletak di Glodok. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa. Bangkrut mendadak. Dulu, penghasilan “Sinar Berjaya” itu benar-benar berjaya karena mampu menyekolahkan mereka berempat, menjadi sarjana.” “Beliau bercerita tentang Nung yang sedang terbaring di rumahnya. Tubuhnya terluka di bagian kaki karena kena pecahan kaca. Mendengar berita itu, Indah seketika shock. Tapi ternyata itu belum seberapa. Bapak Syam menyelamatkan Nung dari keroyokan orang-orang mengerikan yang anti-Cina.” Universitas Sumatera Utara Bab 12 Analisis Tema penting dalam wacana ini adalah bahwa betapa kecewanya orang-orang Cina akan kejadian mei 1998 lalu. Alur cerita dimulai dari cerita penjaharan Mei 1998 lalu. Lalu Indah akhirnya mengetahui dirinya sedang hamil. Lalu percakapan Siska dan Indah soal anak yang sedang dikandung Indah. Dan diakhiri dengan kisah Rosi bersama Dharma. Elemen detil merupakan strategi bagaimana pengarang mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detil bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan dengan detil yang besar, maka akan menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh pengarang. Maka detil tersebut dapat dilihat pada kalimat berikut: “Matanya kembali ke arah pesan di layar ponsel. Peristiwa Mei 1998 membekas dengan jelas di hati setiap orang, termasuk Indah…Siapa yang menyangka hari itu berakhir dengan begitu banyak darah tertumpah dan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan begitu saja?” “Papanya yang kehidupan sehari-harinya ditopang dari toko elektronik “Sinar Berjaya” hilang secara misterius. Toko itu terletak di Glodok. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa. Bangkrut mendadak. Dulu, penghasilan “Sinar Berjaya” itu benar-benar berjaya karena mampu menyekolahkan mereka berempat, menjadi sarjana.” Dalam kalimat pertama, dampak terjadinya peristiwa Mei 1998 tidak diuraikan secara detil. Kalimat itu hanya menjelaskan bahwa peristiwa itu memakan banyak korban dan timbulnya rasa sakit hati di tengah-tengah Universitas Sumatera Utara masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pada kalimat kedua dan ketiga hingga seterusnya ada detil yang menguraikan tentang bagaimana perasaan Nung, ayah Indah yang saat itu ikut menjadi korban peristiwa tersebut. Detil tersebut menggambarkan dampak negatif dari peristiwa tersebut. Dalam kalimat “Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh isi toko.” Hal ini bermaksud bahwa hanya dalam hitungan jam maka semua usaha dan kerja keras yang dilakukan orang-orang Cina habis tak bersisa. Selanjutnya detil mengarah bahwa orang Cina telah bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan, tetapi tiba-tiba saja perampasan itu menghancurkan segalanya. Dalam detil ini pengarang ingin menyampaikan bahwa peristiwa ini dapat terjadi sebenarnya karena kesalahpahaman. Penjarahan ini tidak selayaknya terjadi, karena semua harta yang dirampas tersebut adalah hasil dari kerja keras orang-orang Cina itu sendiri. Detil memang tidak menceritakan pihak perusuh, tetapi lebih ke korbannya. Seperti dalam kalimat berikut: “Beliau bercerita tentang Nung yang sedang terbaring di rumahnya. Tubuhnya terluka di bagian kaki karena kena pecahan kaca. Mendengar berita itu, Indah seketika shock. Tapi ternyata itu belum seberapa. Bapak Syam menyelamatkan Nung dari keroyokan orang-orang mengerikan yang anti Cina.” Pengarang ingin mengekspresikan maksudnya melalui deskripsi kejadian, yaitu pecahan kaca. Orang-orang anti-Cina memaksa masuk ke dalam area pertokoan mereka. Tetapi disini juga digambarkan bahwa tidak semua orang pribumi anti-Cina, hal ini dapat dilihat dari ketulusan Bapak Syam yang non-Tionghoa menolong orang Tionghoa ketika dalam kesulitan. Universitas Sumatera Utara IV.1.11 Bab 15 LIMA BELAS “Kalau kita ingin tahu bagaimana kita mati, sama saja dengan belajar bagaimana kita harus hidup.” Aku mengangguk “Jika orang hanya berani mati---tidak berani hidup---matinya akan sia-sia. Demikian juga sebaliknya. Jika orang berani hidup---tapi tidak berani mati---hidupnya juga akan sia-sia.” Novera mulai menangis. “Saya takut, Papa.” Novera terlihat ragu dengan perasaannya sendiri. “Saya takut kehilangan Papa. Saya tidak mau membicarakan masalah kematian ini. Kenapa sih kita harus bicara soal…” “Jangan takut, Vera,” Nung memotong. Dia membelai bahu anak perempuannya. “Cinta itu segalanya. Selama ada cinta, kita tidak perlu takut pada kematian. Kematian tidak akan dapat menghancurkan cinta. Semua cinta yang ada tetap eksis. Kita hidup selamanya dalam jiwa setiap orang yang pernah kita sentuh dengan cinta.” Aku ingat perkataan itu yang entah kudapat dari mana. Semua cinta yang ada tetap eksis. Nung terbatuk-batuk parah. Pandanganku terlempar ke arah kantong air seni yang tergantung disamping ranjang. Ada bercak-bercak darah bercampur dengan air seninya. Nung masih melanjutkan. Suaranya agak lemah dan serak. “Kematian mengakhiri hidup tapi dia tidak mengakhiri hubungan. Karena itu sebagai orang Cina, kita harus selalu menghormati leluhur.” Air mata ikutan menetes, tanpa dapat ditahan lagi. “Selama ada harapan dan cinta, hidup akan berkeriap selama- lamanya.” Universitas Sumatera Utara Aku ingin berkata agar mereka mengganti acara itu dengan menemani Nung di rumah sakit saja. Rasanya tidak pantas merayakan tahun baru ketika ayah mereka tergeletak di rumah sakit, menghitung hari menuju maut. Tapi akhirnya aku tidak jadi mengatakan hal itu. Mungkin tradisi itu memang harus tetap dilakukan, apalagi pada saat mereka nyaris kehilangan ayah. Terkadang, jika kita kehilangan seseorang yang kita sayangi, banyak orang melakukan ritual yang terdengar aneh di kalangan awam untuk dapat menghubungkan mereka dengan kenangan orang tersebut. Tradisi itu penting. Pengulangan itu penting. Menjadi batu pengingat, tonggak kenangan, tali tak kasatmata yang menjadi penghubung. Di depan pintu kamar perawatan, aku tercekat. Sebagai dokter, aku telah melihat begitu banyak kematian. Kematian menjadi bagian sehari-hari profesiku. Kematian begitu lancarnya berada di dalam kamus hidupku, sama seperti tarikan napas. Tidak pernah terasa lagi. Mengalir dengan biasa. Sekarang, sahabatku sendiri sedang berbaring di ranjang, lemah tanpa daya. Semangat hidupnya begitu tinggi, tapi setiap manusia memang harus menyerah kalah terhadap Maut. Aneh, gelombang hangat menyergapku, memenuhi dada. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan ini. Bertahun- tahun bekerja di bidang kedokteran membuatku terkadang imun dengan rasa sedih. Sepertinya, kehidupan dan kematian bagai malam dan siang yang berlawanan. Setia dan selalu datang kembali, bergiliran. Aku tahu banyak tentang penyakit, tapi tidak persis mengerti arti sakit. Aku juga tahu banyak tentang hidup, tapi tidak persis mengerti arti kehidupan. Aku melihat begitu banyak orang mati, tapi tidak persis mengerti proses kematian. Universitas Sumatera Utara Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” Bab 15 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Nung menyelesaikan segala persoalannya anak- anaknya dengan berbicara kepada Dharma, Rafy, Antonius, dan membicarakan kematian dengan Dokter Marcel. Skematik Story Dimulai dari kenangan sebelum Nung meninggal. Pertama, pertemuan Dharma dengan Nung, Rafy, Dokter Marcel, dan yang terakhir dengan Antonius. Retoris Metafora “Kematian mengakhiri hidup tapi dia tidak mengakhiri hubungan. Karena itu sebagai orang Cina, kita harus selalu menghormati leluhur.” “Aku ingin berkata agar mereka mengganti acara itu dengan menemani Nung di rumah sakit saja. Rasanya tidak pantas merayakan tahun baru ketika ayah mereka tergeletak di rumah sakit, menghitung hari menuju maut.” “Tapi akhirnya aku tidak jadi mengatakan hal itu. Mungkin tradisi itu memang harus tetap dilakukan, apalagi pada saat mereka nyaris kehilangan ayah. Terkadang, jika kita kehilangan seseorang yang kita sayangi, banyak orang melakukan ritual yang terdengar aneh di kalangan awam untuk dapat menghubungkan mereka dengan kenangan orang tersebut.” “Tradisi itu penting. Pengulangan itu penting. Menjadi batu pengingat, tonggak kenangan, tali tak kasat mata yang menjadi penghubung.” Universitas Sumatera Utara Bab 15 Analisis Tema dalam wacana ini adalah Nung menyelesaikan segala persoalannya anak-anaknya dengan berbicara kepada Dharma, Rafy, Antonius, dan membicarakan kematian dengan Dokter Marcel. Adapun kronologis cerita tersebut adalah dimulai dari kenangan sebelum Nung meninggal. Pertama, pertemuan Dharma dengan Nung, Rafy, Dokter Marcel, dan yang terakhir dengan Antonius. Dalam wacana ini banyak ditemukan metafora, yaitu ungkapan sehari-hari orang Cina yang dipercaya. Maka dapat dilihat dalam kalimat berikut: “Kematian mengakhiri hidup tapi dia tidak mengakhiri hubungan. Karena itu sebagai orang Cina, kita harus selalu menghormati leluhur.” “Aku ingin berkata agar mereka mengganti acara itu dengan menemani Nung di rumah sakit saja. Rasanya tidak pantas merayakan tahun baru ketika ayah mereka tergeletak di rumah sakit, menghitung hari menuju maut.” “Tapi akhirnya aku tidak jadi mengatakan hal itu. Mungkin tradisi itu memang harus tetap dilakukan, apalagi pada saat mereka nyaris kehilangan ayah. Terkadang, jika kita kehilangan seseorang yang kita sayangi, banyak orang melakukan ritual yang terdengar aneh di kalangan awam untuk dapat menghubungkan mereka dengan kenangan orang tersebut.” “Tradisi itu penting. Pengulangan itu penting. Menjadi batu pengingat, tonggak kenangan, tali tak kasatmata yang menjadi penghubung.” Universitas Sumatera Utara IV.1.12 Bab 16 ENAM BELAS ADA kalanya hidup memberi kita hadiah yang kita idam-idamkan. Nung mendapatkan apa yang dia inginkan.Meninggalkan dunia pada pagi pertama Tahun Baru Cina. Siska datang dari Singapura, mendampingi Nung setiap saat. Keempat putrid Nung berjaga bergantian di sisi ranjangnya di ruang ICU yang steril. Nung sudah masuk dalam keadaan koma selama sepuluh hari. Waktu yang cukup lama. Setiap hari dokter memprediksi dia dapat meninggal pada hari itu juga, tetapi ternyata para dokter itu salah. Nung belum merasa saatnya tiba. Dia melewati sepuluh hari sembilan malam dalam keheningan. Dia bertahan. Pada malam Imlek, keempat putri Nung berembuk. “Kita tidak mungkin m-meninggalakan Papa dalam kondisi koma seperti ini,” bisik Indah. Novera mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia ingin menangis, tapi air matanya nyaris kering. “Kita tidak pernah tahu kapan Papa meninggal.” “Besok Imlek, Ver. Kita harus sembahyang.” “Kita kan nggak harus sembahyang bersama-sama.” Siska melemparkan pandangannya ke sekeliling tembok rumah sakit. Dia merasa lelah. Tapi di atas semua ini akan segera berlalu. “Kita harus melanjutkan tradisi membuat dimsum di pagi hari,” katanya. “Bagaimana jika Papa membutuhkan sesuatu saat kita tidak berada di rumah sakit?” Sambil mencubit hidung, Rosi memulai narasinya. “Yang paling penting sekarang adalah mesin-mesin penopang hidup itu. Papa tidak terlalu membutuhkan kehadiran kita di sana. Aku yakin kalau Papa bisa bicara, pasti Papa menginginkan kita merayakan Imlek bersama-sama.” Universitas Sumatera Utara Angin bertiup sepoi-sepoi di teras rumah sakit. Rumput terlihat basah akibat embun. Langit di atas kepala tampak cerah dengan awan yang berwarna sedikit keruh. Suara orang bercakap-cakap dengan volume rendah terdengar lamat-lamat. Tapi suara itu merusak keheningan yang ada di hati mereka berempat. “Papa akan hadir pada pagi hari besok.” “Rohnya akan hadir di tengah-tengah kita.” “Kamu mengatakan seakan-akan Papa sudah meninggal.” “Roh orang koma tidak selalu ada pada tubuh fisiknya.” “Kita pulang merayakan Imlek. Papa kita tinggalkan sebentar saja.” “Kamu yakin?” “Aku punya perasaan tidak enak,” cetus Indah perlahan. Matanya terasa panas. “K-kupikir besok dimsum kita yang t-terakhir.” “Aku tidak percaya pada dimsum terakhir.” Semuanya membisu mendengar kata-kata Siska. Berjuang melawan air mata yang ingin turun dari tadi. “Papa dan Mama akan selalu hadir dalam perayaan Imlek kita.” Lima menit kemudian, rumah sakit memberikan konfirmasi kepada pihak keluarga. Kematian bagi orang Cina merupakan acara yang tidak dapat begitu saja dilewati secara sederhana. Upacara superlengkap harus diadakan untuk menghormati orang yang meninggal. Apalagi orang yang meninggal itu orang yang dituakan dalam posisi keluarga. Dituakan berarti dihormati. “Kuburkan saja. Kita bisa membuat upacara penguburan lengkap.” “Papa ingin dikremasi, Oom,” “Oom tahu tempat penguburan yang bagus sekali. Sesuai dengan prinsip feng shui pokoknya. Benar sekali kata Oom Xiao Fang. Tempatnya sedikit di luar kota, daerah Bogor. Sebuah tempat pemakaman Cina yang sangat indah dan tenang. Dijaga Gunung Salak yang menjulang tinggi. Tempat pemakaman itu sendiri terletak di atas bukit kecil. Sungai kecil berkelok-kelok di antara Universitas Sumatera Utara pohon-pohon kembang sepatu dan kamboja putih. Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar. Di gerbang depan, tampak patung naga raksasa berwarna merah keemasan dengan mulut menganga terbuka, seperti sedang menyemburkan api. Kaki depannya terangkat ke depan, memegang bola berwarna emas. Tubuhnya bersisik, panjang, berkelok-kelok, membentang utara dan selatan. Naga dianggap sebagai makhluk istimewa dalam tradisi Cina. Simbol naga dapat diartikan sebagai simbol kuat dan keagungan. “Kita bisa melakukan kremasi lalu kita simpan di rumah abu.” Rumah abu adalah tempat penyimpanan abu orang meninggal. Di dalam rumah abu, terdapat deretan kotak tempat penyimpanan abu. Pada kotak-kotak itu, tertera nama almarhum berikut keluarganya. “Ada.” Jari Siska menunjuk kearah patung naga raksasa. “Naga itu bukan sekedar patung besar. Patung naga itu bangunan rumah abu. Kita bisa masuk ke dalam perutnya.” Mereka memutuskan untuk sekalian menyimpan abu Anas berdampingan dengan abu Nung. Ternyata mempersiapkan upacara kematian itu sama repotnya dengan membangun gedung bertingkat. Berhubung Nung tidak mempunyai agama yang dianutnya secara eksklusif, maka upacara kematian tersebut diadakan sesuai dengan prinsip taoisme. Pendeta Tao dipanggil untuk memimpin upaca Tangggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari. Berdasarkan kalender Cina. Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan pantangan untuk melakukan hal-hal duniawi. Beberapa pantangan-pantangan bagi Siska, Indah, Rosi, dan Novera adalah : 1. Dilarang mandi, menyisir rambut, berkaca, berdandan,. Penampilan yang terlihat lusuh menandakan suasana berkabung. Universitas Sumatera Utara 2. Diwajibkan memakai pakaian berduka yang terbuat dari karung goni sebagai “jaket luar”. Baju dalamnya adalah kaus putih dan celana panjang berwarna senada. 3. Dilarang mengenakan sepatu selama mengiringi jenazah, bahkan sampai ke tempat pembakaran. Hanya sepasang kaus kaki putih yang boleh digunakan selama enam hari berturut-turut tanpa dicuci. 4. Kepala diikat secarik kain sederhana yang penuh aksara Cina. Untuk perempuan, mereka harus melapisi lagi dengan jala kasar berwarna cokelat sebagai penutup kepala. 5. Dilarang mengunjungi rumah siapa pun selama empat puluh hari. 6. Tidak boleh berpesta atau berpergian selama setahun tapi peraturan ini dimodifikasi sehingga pelarangan berpesta atau berpergian menjadi empat puluh hari saja. 7. dan peraturan-peraturan lainnya… “Leherku gatal semua,” bisik Roni, mengeluh kepada Dharma. Dharma menggosokkan balsam Vicks ke bintik-bintik merah yang bermunculan di tengkuk Roni. Dia tahu kulit Roni pasti alergi dengan karung goni dan jala kasar itu. “Kapan akan berakhir?” “Masih tiga hari lagi.” Dharma berdecak. Dia menaburkan bedak anti gatal di sekujur punggung Roni. “Tiga hari lagi kamu baru bisa mandi?” “Ya, begitulah.” Roni mengangguk lemas. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung. Suara lonceng dan kerencengan berbunyi nyaring. “Tuh, kamu dipanggil sembahyang.” Roni berdiri, menahan dirinya agar tidak menggerutu. Diambilnya pakaian berkabung dari karung goni itu lalu dikenakannya dengan hati-hati agar kulitnya tidak tergores. Dia tidak menggunakan penutup kepala jala karena benda itu hanya digunakan perempuan. Kepala Roni hanya diikat Universitas Sumatera Utara secarik kain dan topi berbentuk segitiga dari jala. Roni mengenakan seragam duka untuk lelaki. Upacara kematian ini benar-benar meletihkan. Sembahyang dilakukan setiap jam dari pukul enam sore sampai dua belas malam. Setiap hari selama enam hari sebelum upacara kremasi. Upacara kematian Taoisme menuntut penghormatan dari keturunan. Jika almarhum masih memiliki istri, istri yang bersangkutan tidak diikutsertakan dalam ritual sembahyang kematian. Bahkan sang istri pun dilarnag keras mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Pada zaman sekarang, banyak perempuan Cina di Indonesia yang menolak mentah-mentah tradisi kuno ini. Mereka berkeras mendampingi suami hingga ke liang lahat atau tempat kremasi. “Mana benderanya?” Tanya Indah kepada Roni ketika mereka berdiri berderet di depan pendeta. “Oh ya, lupa.” Roni berlari dan mengambil bendera. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung Sekali lagi, upacara dimulai. Keempat putri Nung berlutut, melakukan ritual kowtow. Penghormatan mencium tanah berkali-kali kepada sang ayah. Bagi mereka berempat, masalah bendera ini mulanya adalah masalah besar. Bendera ini hanyalah secarik kain kecil yang bertulisan aksara Cina. Diikat pada sebilah bamboo sederhana dan diarak oleh anak lelaki. Jika almarhum mempunyai lebih dari satu anak lelaki, anak lelaki pertama berkewajiban memegang bendera tersebut. Bendera itu tidak boleh menyentuh tanah, dibawa dengan tangan kanan, disndarkan di bahu. Anak lelaki selalu menjadi pusat rotasi keluarga Cina. Anak lelaki penting dan istimewa. Mereka penerus generasi, pemberi status, pembawa nama keluarga. Dalam ritual Cina apa pun, anak lelaki pasti dilibatkan. Karena begitu pentingnya anak lelaki, maka tidak heran banyak keluarga Universitas Sumatera Utara Cina yang selalu mengharapkan kehadiran bayi lelaki. Tapi dewasa ini, sudah banyak orang Cina yang menganggap pandangan itu terlalu kuno. “Pertanyannya sekarang siapa yang akan membawa bendera?” “Tapi memangnya boleh? Aku khawatir nanti akan membuat heboh keluarga. Belum lagi komentar pedas tentang karma yang buruk atau feng shui yang tidak menguntungkan. Gimana kalau benar-benar terjadi?” “Terjadi apa?” “Karma yang buruk.” Siska dapat merasakan kegelisahan Novera bertambah. “Kita diam- diam saja. Berharap nggak mendengar komentar-komentar seperti itu. Atau pura-pura tuli deh. Terlalu berduka sampai tidak punya waktu untuk mendengarkan hal-hal nonsense seperti itu.” “Lalu selanjutnya apa?” “Berdoa semoga aku salah. Tidak ada karma yang buruk atau feng shui yang aneh-aneh. Lagian aku nggak terlalu percaya sama hal-hal begituan. Dia lelah, kurang tidur, dan berduka. Segala upacara tetek bengek dan ritual asing benar-benar membuatnya sakit kepala. Dulu waktu mama meninggal, dia tidak terlalu terlibat. Hanya papa dan para tetua lainnya. Tapi sekarang, mau tidak mau dia terlibat seratus persen. Sungguh melelahkan ternyata, merampok seluruh energinya. Jenazah Nung disemayamkan di rumah duka yang mempunyai kamar tidur kecil untuk ruangan yang mereka sewa. “Kamu bawa bendera.” Roni nyaris meletup dalam tawa. “Kamu yakin?” Tanpa disadari, bersama-sama dengan seringai senyumnya, matanya berkaca-kaca. Air mata mengambang di pelupuknya. Berita ini membuatnya terharu. Ya Tuhan, kenapa dia tidak dapat menghentikan air mata ini? Dadanya terasa nyeri. “Papa pasti setuju denganku. Kamu anak lelakinya yang pantas memegang bendera itu.” Universitas Sumatera Utara Siska membelai rambut jabrik Roni, merasa heran ternyata rambut pendek yang kelihtannya selalu acak-acakan itu ternyata sangat lembut. Demikianlah, Roni yang mengarak bendera di tengah serbuan pertanyaan dari pihak keluarga. Berdiri di samping siska, dia menggengam bilah bamboo erat-erat. Pada sembahyang pertama, napasnya nyaris tercekat. Punggungnya pasti sedang ditatap heran oleh puluhan keluarga besarnya. Pertama, dia memegang bendera. Kedua, dia mengenakan pakaian duka lelaki. Asap hio mengepul di udara. Wangi, masuk menyelinap di hatinya. Suara kerencengan berbunyi bagai lagu di telinga. Nyanyian aneh berbahasa asing mendayu sempurna. Tang-tung, Tang-tung. Tang-tung. Roni rebah, kepalanya serata tanah. Ini peristiwa istimewa. Ini okestra tantang pengakuan atas seksualitasnya. Masa bodoh apa kata orang-orang. Kremasi Nung dilaksanakan pada hari keenam, pada siang hari yang senyap. Angin sepoi-sepoi meniupkan debu, seperti menerbangkan jelaga kering. Langit cerah dengan awan seputih kapas. Peti mati telah ditutup dan sekarang saatnya untuk dibawa keluar dari ruangan. Anak-anak Nung dilarang keras menatap kearah peti ketika sedang diarak keluar. Menurut tradisi, itu prosesi penghormatan sempurna kepada almarhum. Menurut tradisi, mereka juga tidak boleh berjalan tegak setelah peti diletakkan di luar ruangan. Menurut tradisi, mereka harus merangkak di sekitar peti. Orang-orang yang hadir dalam upacara ini ternyata cukup banyak. Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uang-uangan dari kertas. Menurut kepercayaan Cina, bakar uang-uangan dan emas-emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar almarhum cukup mendapat “dana” dalam perjalanan menuju nirwana. Api yang digunakan untuk Universitas Sumatera Utara membakar uang dan emas kertas tidak boleh dipadamkan selama almarhum belum dibakar atau dikubur. Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumahan besar dari kertas. Di dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel. Televisi. Bahkan DVD player. Semua nya terbuat dari kertas minyak, dengan tongkat-tongkat bamboo kecil untuk membentuk benda-benda tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak benda-benda materi yang bisa dibakar. Roni sempat melemparkan candaan yang tidak bermutu “Memangnya Papa bisa mengendarai motor?” Setelah jenazah dikremasi, maka upacara dilanjutkan dengan pembakaran benda-benda tersebut. Orang Cina percaya benda-benda itu akan berubah menjadi benda-benda yang akan digunakan oleh almarhum di “atas” sana. “Jangan lakukan itu padaku.” “Lakukan apa sih?” Tanya Roni. “Kalau aku mati nanti, bakar saja aku dalam upacara sederhana. Tidak perlu ribet seperti ini,” bisik Siska. “Semuanya tergantung deh.” “Tergantung apa?” “Tergantung warisanmu untukku.” Selanjutnya, abu Nung dimasukkan ke dalam guci keramik khusus. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung. Novera tersenyum ketika pendeta Tao meminta mereka berempat melakukan penghormatan kowtow, rebah mencium tanah di hadapan abu ayahnya. Dia masih tersenyum sampai air matanya meluncur di pipi. Universitas Sumatera Utara TabelWacana IV.1.12 Novel “Dimsum Terakhir” Bab 16 Hal Yang Diamati Elemen Keterangan Tematik Topik Nung meninggal tepat saat menjelang hari raya Imlek dan pada saat itulah mereka merayakan dimsum terakhir. Skematik Story Keempat putri Nung menemaninya di rumah sakit saat koma. Saat itu pada masa menjelang hari raya Imlek, dimana mereka akan melakukan tradisi keluarga yaitu memakan dimsum.Lalu diikuti dengan kabar bahwa ayah mereka meninggal. Latar “Sebuah tempat pemakaman Cina yang sangat indah dan tenang. Dijaga Gunung Salak yang menjulang tinggi. Tempat pemakaman itu sendiri terletak di atas bukit kecil. Sungai kecil berkelok-kelok di antara pohon-pohon kembang sepatu dan kamboja putih. Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar.” “Di gerbang depan, tampak patung naga raksasa berwarna merah keemasan dengan mulut menganga terbuka, seperti sedang menyemburkan api. Kaki depannya terangkat ke depan, memegang bola berwarna emas. Tubuhnya bersisik, panjang, berkelok, kelok, membentang utara dan selatan .” Detil “Rumah abu adalah tempat penyimpanan abu orang meninggal. Di dalam rumah abu, terdapat deretan kotak tempat penyimpanan abu. Pada kotak-kotak itu, tertera nama almarhum berikut keluarganya. “Naga itu bukan sekedar patung besar. Patung naga itu bangunan rumah abu. Kita bisa masuk ke dalam perutnya.” “Diambilnya pakaian berkabung dari karung goni itu lalu dikenakannya dengan hati-hati agar kulitnya tidak tergores. Dia tidak menggunakan penutup kepala jala karena benda itu hanya digunakan perempuan. Kepala Roni hanya diikat secarik kain dan topi berbentuk segitiga dari jala. Roni mengenakan seragam duka untuk lelaki.” “Upacara kematian ini benar-benar meletihkan. Sembahyang dilakukan setiap jam dari pukul enam Universitas Sumatera Utara sore sampai dua belas malam. Setiap hari selama enam hari sebelum upacara kremasi.” Pengingkaran “Upacara kematian Taoisme menuntut penghormatan dari keturunan. Jika almarhum masih memiliki istri, istri yang bersangkutan tidak diikutsertakan dalam ritual sembahyang kematian. Bahkan sang istri pun dilarang keras mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya.” “Berdoa semoga aku salah. Tidak ada karma yang buruk atau feng shui yang aneh-aneh. Lagian aku nggak terlalu percaya sama hal-hal begituan” “Memangnya Papa bisa mengendarai motor?” Maksud “Papa akan hadir pada pagi hari besok.” “Rohnya akan hadir di tengah-tengah kita.” “Kamu mengatakan seakan-akan Papa sudah meninggal.” “Roh orang koma tidak selalu ada pada tubuh fisiknya.” “Kita pulang merayakan Imlek. Papa kita tinggalkan sebentar saja.” “Aku punya perasaan tidak enak,” cetus Indah perlahan. “K-kupikir besok dimsum kita yang t-terakhir.” “Aku tidak percaya pada dimsum terakhir.” “Papa dan Mama akan selalu hadir dalam perayaan Imlek kita.” “Berhubung Nung tidak mempunyai agama yang dianutnya secara eksklusif, maka upacara kematian tersebut diadakan sesuai dengan prinsip taoisme. Pendeta Tao dipanggil untuk memimpin upacara.” Retoris Metafora Kematian bagi orang Cina merupakan acara yang tidak dapat begitu saja dilewati secara sederhana. Upacara superlengkap harus diadakan untuk menghormati orang yang meninggal. Apalagi orang yang meninggal itu orang yang dituakan dalam posisi keluarga. Dituakan berarti dihormati. Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uang-uangan dari kertas. Menurut kepercayaan Cina, bakar uang-uangan dan emas- emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar Universitas Sumatera Utara almarhum cukup mendapat “dana” dalam perjalanan menuju nirwana. Api yang digunakan untuk membakar uang dan emas kertas tidak boleh dipadamkan selama almarhum belum dibakar atau dikubur. Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumahan besar dari kertas. Di dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel. Televisi. Bahkan DVD player. Semua nya terbuat dari kertas minyak, dengan tongkat-tongkat bambu kecil untuk membentuk benda-benda tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak benda-benda materi yang bisa dibakar . Setelah jenazah dikremasi, maka upacara dilanjutkan dengan pembakaran benda-benda tersebut. Orang Cina percaya benda-benda itu akan berubah menjadi benda-benda yang akan digunakan oleh almarhum di “atas” sana. Universitas Sumatera Utara Bab 16 Analisis Tema yang dikedepankan adalah Nung meninggal tepat saat menjelang hari raya Imlek dan pada saat itulah mereka merayakan dimsum terakhir. Story dalam wacana ini adalah Keempat putri Nung menemaninya di rumah sakit saat koma. Saat itu pada masa menjelang hari raya Imlek, dimana mereka akan melakukan tradisi keluarga yaitu memakan dimsum. Lalu diikuti dengan kabar bahwa ayah mereka meninggal. Dimensi semantik disini dapat dilihat dari elemen latar, detil, maksud dan pengingkaran. Latar yang mempengaruhi semantik terlihat pada: “Sebuah tempat pemakaman Cina yang sangat indah dan tenang. Dijaga Gunung Salak yang menjulang tinggi. Tempat pemakaman itu sendiri terletak di atas bukit kecil. Sungai kecil berkelok-kelok di antara pohon-pohon kembang sepatu dan kamboja putih. Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar.” “Di gerbang depan, tampak patung naga raksasa berwarna merah keemasan dengan mulut menganga terbuka, seperti sedang menyemburkan api. Kaki depannya terangkat ke depan, memegang bola berwarna emas. Tubuhnya bersisik, panjang, berkelok-kelok, membentang utara dan selatan .” Elemen detil merupakan strategi bagaimana penulis mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. “Rumah abu adalah tempat penyimpanan abu orang meninggal. Di dalam rumah abu, terdapat deretan kotak tempat penyimpanan abu. Pada kotak-kotak itu, tertera nama almarhum berikut keluarganya.“Naga itu bukan sekedar patung besar. Patung naga itu bangunan rumah abu. Kita bisa masuk ke dalam perutnya.” Dalam kalimat tersebut terlihat bahwa penjelasan mengenai perkuburan orang-orang Cina tidak ditampilkan. Hanya deskripsi Universitas Sumatera Utara lingkungan pemakaman yang bagus dan indah. Detil lebih fokus pada penjelasan rumah abu. Pengingkaran terdapat pada kalimat berikut: “Diambilnya pakaian berkabung dari karung goni itu lalu dikenakannya dengan hati-hati agar kulitnya tidak tergores. Dia tidak menggunakan penutup kepala jala karena benda itu hanya digunakan perempuan. Kepala Roni hanya diikat secarik kain dan topi berbentuk segitiga dari jala. Roni mengenakan seragam duka untuk lelaki.” “Berdoa semoga aku salah. Tidak ada karma yang buruk atau feng shui yang aneh-aneh. Lagian aku nggak terlalu percaya sama hal- hal begituan” Dari kalimat ini terdapat pengingkaran karena diawal kalimat dituliskan mengenai fakta yang sebenarnya, bahwa jika wanita menggunakan penutup kepala jala. Tetapi kemudian pada akhir kalimat terdapat pengingkaran bahwa “Berdoa semoga aku salah. Tidak ada karma yang buruk atau feng shui yang aneh-aneh. Lagian aku nggak terlalu percaya sama hal-hal begituan” Makna yang dimaksud dalam wacana ini dapat dilihat pada kalimat berikut: “Papa akan hadir pada pagi hari besok.” “Rohnya akan hadir di tengah-tengah kita.” “Kamu mengatakan seakan-akan Papa sudah meninggal.” “Roh orang koma tidak selalu ada pada tubuh fisiknya.” “Kita pulang merayakan Imlek. Papa kita tinggalkan sebentar saja.” “Aku punya perasaan tidak enak,” cetus Indah perlahan. “K-kupikir besok dimsum kita yang t-terakhir.” “Aku tidak percaya pada dimsum terakhir.” “Papa dan Mama akan selalu hadir dalam perayaan Imlek kita.” Dari kutipan-kutipan pembicaraan tersebut maka dapat dilihat makna implisit dari wacana ini. Bahwa sebenarnya penulis ingin menyampaikan bahwa “papa dan mama akan selalu hadir dalam perayaan Imlek kita” dari kalimat tersebut dapat ditangkap bahwa penulis ingin mengatakan bahwa Universitas Sumatera Utara dari ucapan-ucapan tersebut secara sadar atau tidak sadar adalah mengenai sesuatu hal yang kita rasakan. Sesuatu yang akan terjadi. Perkataan yang di luar kontrol manusia. Unsur Metafora terdapat dalam wacana ini, dapat dilihat dari kalimat berikut: “Kematian bagi orang Cina merupakan acara yang tidak dapat begitu saja dilewati secara sederhana. Upacara superlengkap harus diadakan untuk menghormati orang yang meninggal. Apalagi orang yang meninggal itu orang yang dituakan dalam posisi keluarga. Dituakan berarti dihormati.” “Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uang- uangan dari kertas. Menurut kepercayaan Cina, bakar uang-uangan dan emas-emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar almarhum cukup mendapat “dana” dalam perjalanan menuju nirwana. Api yang digunakan untuk membakar uang dan emas kertas tidak boleh dipadamkan selama almarhum belum dibakar atau dikubur.” “Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumahan besar dari kertas. Di dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel. Televisi. Bahkan DVD player. Semua nya terbuat dari kertas minyak, dengan tongkat-tongkat bambu kecil untuk membentuk benda-benda tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak benda-benda materi yang bisa dibakar .” “Setelah jenazah dikremasi, maka upacara dilanjutkan dengan pembakaran benda-benda tersebut. Orang Cina percaya benda- benda itu akan berubah menjadi benda-benda yang akan digunakan oleh almarhum di “atas” sana.” Hal tersebut menjelaskan kepercayaan tersebut masih dilaksanakan hingga kini. Walaupun hidup di dunia yang semakin maju, orang Cina tetap berusaha meneruskan tradisi yang dilakukan oleh leluhurnya sejak dulu. Universitas Sumatera Utara

IV.2 Diskusi dan Pembahasan

Dokumen yang terkait

Motif Etnis Tionghoa Bekerja sebagai Pegawai Negeri Studi Kasus pada PNS dan Polisi di Sumatera Utara)

1 45 135

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Peran Partai Politik Dalam Pemenangan Pilkada (Studi Analisis Partai Golkar Sebagai Kendaraan Politik dalam Pilkada Kabupaten Rokan Hilir 2006)

2 42 102

Eksistensi Bisnis Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis China Penjual Spare part Sepeda Motor di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun)

0 56 88

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96

Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

0 17 158

Analisis Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel 'Dimsum Terakhir' Karya Clara Ng : Tinjauan Psikologi Sastra.

0 3 9

REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir).

3 7 93

DISKRIMINASI TOKOH PEREMPUAN ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG.

1 11 132

CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)

0 0 21