b. Perbuatan yang tidak memasukkan suatu unsur luar ke dalam lingkungan atau
milieu, tetapi berupa merusak lingkungan itu sendiri, seperti misalnya pembabatan hutan, penebangan kayu, pengerukan pasir sungai, gangguan suara,
dan lain sebagainya. Berkenaan dengan masalah kerugian sebagai akibat dari perbuatan melawan
hukum terhadap pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, Komar Kantaatmadja, membagi bentuk-bentuk kerugian sebagai berikut :
a. Kerugian langsung, yaitu merupakan kerugian yang terjadi pada saat atau
beberapa saat setelah pencemaran terjadi, bukan hanya menghitung angka-angka pengeluaran riil yang dilakukan selama pencegahan, melainkan juga
penanggulangan sampai saat pada kerugian yang tampak dapat dihitung. b.
Kerugian tidak langsung, yaitu kerugian yang baru diketahui atau ditetapkan beberapa waktu setelah terjadinya pencemaran.
167
2. Jenis dan Bentuk Ganti Rugi
UUPLH tidak menguraikan atau menjelaskan secara rinci tentang ganti rugi yang dapat dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum terhadap
pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup. Namun demikian, sebagaimana telah dikemukakan di atas, penegakan hukum lingkungan tidak terlepas dari
167
Kantaatmadja, Komar, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, Bandung: Alumni, 1981, hal. 102.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
penerapan kaidah-kaidah hukum perdata, sehingga penerapan ganti rugi dapat mempedomani kaidah-kaidah hukum perdata dengan menggunakan analogi.
Pasal 1365 KUH Perdata tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kerugian dan ganti rugi, dan juga tidak memberikan pengaturan
mengenai besarnya kerugian ataupun ketentuan mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa di dalam praktek peristiwa
perbuatan melawan hukum terhadap pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, pengertian kerugian tidak hanya mencakup kerugian secara konkret dalam
bidang harta kekayaan materil saja, tetapi juga meliputi kerugian immateriil atau ideele schade, seperti misalnya kehidupan yang tenang, kesehatan, kenikmatan udara
yang bersih dan sebagainya.
168
Akan halnya dengan bentuk dan besarnya serta kondisi-kondisi lainnya yang berkenaan dengan ganti rugi sehubungan dengan
perbuatan melawan hukum terhadap pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, juga tidak ada memperoleh pengaturan di dalam UUPLH.
Berkaitan dengan itu, NHT. Siahaan mengemukakan beberapa bentuk ganti rugi, yakni sebagai berikut:
a. pemeliharaan kesehatan dan ganti rugi berupa biaya pengobatan;
b. ganti rugi atas cacat badan;
c. ganti rugi atas yang selamat;
d. ganti rugi berupa lumpsum untuk yang selamat;
e. ganti rugi atas biaya anak-anak;
168
Lotulung, Effendi, Paulus, Op.Cit., hal.28.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
f. biaya pengobatan;
g. biaya pemakamanperabuan.
169
Sementara itu, pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum terhadap pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, dalam hal konpensasi dan upaya
pemulihan atas kerugian yang timbul, terdapat dua jenis konpensasi, yaitu: a.
Konpensasi atas kerugian manusia atau kebendaan private compensation. b.
Konpensasi yang diberikan oleh negara akibat lingkungannya tercemar atau rusak biaya pemulihan lingkungan public compensation.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan kerugian, dapat berpedoman kepada kaidah-kaidah hukum perdata, walaupun ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang
berkenaan dengan terjadinya wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung ke dalam suatu peristiwa yang didasarkan atas perbuatan melawan hukum, namun tidak
dilarang untuk mempedomani kaidah-kaidah tersebut dengan jalan analogi. Kaidah- kaidah hukum perdata yang bekenaan dengan ganti rugi serta dapat dipedomani atau
diterapkan dengan jalan analogi dalam peristiwa perbuatan melawan hukum terhadap pencemaran lingkungan hidup, dapat dilihat pada Buku Ketiga Bab Kesatu Bagian
Kedua, Bagian Ketiga dan Bagian Keempat, mulai dari Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1252 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Pasal 1236 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan-perikatan untuk memberikan sesuatu menetapkan sebagai berikut:
169
Siahaan, NHT, Op.Cit., hal. 245.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
“Si berhutang debitur adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang kreditur, bila ia membawa dirinya dalam keadaan tak
mampu untuk menyerahkan kebendaan atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.
Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu juga menetapkan
sebagai berikut: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, bila
si berhutang debitur tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan
bunga”. Berdasarkan Pasal 1236 dan Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka bila terdapat debitur yang wanprestasi atau berprestasi buruk, debitur itu wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga, yang sering disebut sebagai
remedies. Subekti menjelaskan arti biaya rugi dan bunga, sebagai berikut :
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh satu pihak. b.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh si kreditur.
170
Bunga adalah kerugian berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh si kreditur, yang dinamakan “expectation damages”.
Bila besarnya tuntutan ganti rugi didasarkan pada suatu ketentuan dalam perjanjian, maka ganti rugi dinamakan “stipulated liquidated damages”. Sedangkan tuntutan
ganti rugi berdasarkan pada keuntungan yang didapatkan tergugat debitur atas batalnya perjanjian karena wanprestasi itu disebut “restitution damage”. Penggantian
biaya dan rugi dijadikan satu dengan sebutan reliance damages, yaitu penggantian bagi pengeluaran atau kerugian yang terjadi karena batalnya perjanjian itu. Reliance
damages dapat dituntut bila keuntungan transaksi atau expectation damages tidak terbukti.
171
Ganti rugi materiil pada umumnya dilakukan dengan pembayaran sejumlah uang. Di samping itu, juga dikenal adanya ganti rugi dalam wujud lain, yaitu
khususnya berupa “pemulihan dalam keadaan semula”, baik dengan jalan meniadakan apa yang telah diadakan secara melawan hukum, ataupun dengan
mengadakan lagi apa yang telah ditiadakan secara melawan hukum.
22
Jika orang tidak melaksanakan hukuman untuk mengembalikan segala sesuatu dalam keadaan semula, yang bersangkutan lantas dapat dikenakan
pembayaran suatu jumlah uang pemaksa sebagai tambahan. Begitu pula halnya
170
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Cetakan Kesebelas, Jakarta : PT. Intermasa, 1987, hal. 47.
171
Ibid
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
dengan kerugian yang bersifat ideal immateriil, dapat dituntut ganti rugi immateriil seperti halnya peniadaan atau pengurangan kenikmatan yang ditimbulkan oleh
perbuatan-perbuatan melawan hukum, yang diharapkan ada pada seseorang berdasarkan hak-hak yang melekat pada harta kekayaannya. Berdasarkan Pasal 34
ayat 2 UUPLH, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan uang paksa dwangsom sebagai sanksi perdata atas keterlambatan penanggungjawab usaha
danatau kegiatan dalam melaksanakan penyelesaian tindakan hukum tertentu yang diputuskan oleh hakim pengadilan.
Mengenai besarnya kerugian yang harus diganti, pada dasarnya adalah bersifat utuh volledig, termasuk juga kerugian yang akan diderita dalam waktu yang
akan datang in de toekomst. Namun kewenangan hakim untuk menguranginya tetap ada, yaitu manakala pemberian ganti rugi secara penuh berdasarkan keadaan-keadaan
yang ternyata dari hasil pemeriksaan akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Keadaan-keadaan yang perlu diperhatikan adalah mengenai :
a. Sifat pertanggungjawaban de aard van de aansprakelijkheid, seperti misalnya
tingkat kesalahannya tidak terlalu besar. b.
Kemampuan membayar dari masing-masing pihak dedraagkracht van beide partijen, seperti misalnya besarnya biaya-biaya yang harus dipikul.
172
172
Kameo, Jeferson, Pertanggungjawaban Hukum Kasus Lapindo, Ph D dosen FH-UKSW Salatiga, alumnus The School of Law, Faculty of Law and Financial Studies Glasgow University,
Scotland. Makalah, hal. 3.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
Seperti halnya dalam gugatan ganti rugi pada umumnya, juga dalam masalah lingkungan hidup ini, besarnya ganti rugi yang dikabulkan dapat didasarkan
pada rasa kepantasan dan keadilan ex aequo et bono. Pertanggungjawaban hukum perdata terhadap korporasi dalam bentuk ganti
rugi kepada korban pencemaran danatau peruskan lingkungan dapat dilihat pada
tragedi semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo atau lebih populer dengan istilah
“lumpur Lapindo” yang merupakan bentuk kejahatan korporasi.
173
Kerugian yang ditimbulkan oleh malapetaka itu diperkirakan mencapai Rp 50 triliun, belum lagi
kerugian lingkungan hidup lainnya. Oleh sebab itu masyarakat telah mengajukan tuntutan yang dilakukan oleh pihak Wahana lingkungan Hidup Walhi bahwa
pemerintah harus menghentikan operasi PT. Lapindo Brantas. Selain itu para pemilik saham, direksi perusahaan, termasuk BP Migas dan
Menteri ESDM harus diperiksa secara hukum dan dimintakan pertanggungjawabannya, yakni usaha untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian
yang diderita oleh pihak yang menjadi korban dari semburan lumpur yang telah berlangsung hampir 2 tahun tersebut.
Secara umum dasar pertanggungjawaban hukum PT Lapindo dimaksud adalah wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban pertama
berkaitan dengan kewajiban perjanjian dari PT Lapindo. Kedua menyangkut tindakan yang bertentangan dengan kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan
173
Merdeka, Suara, Pertanggungjawaban PT. Lapindo Brantas terhadap Lumpur Panas Lapindo, Tanggal 19 Agustus 2006.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
dari PT Lapindo maupun pihak-pihak yang terkait. Dalam kaitan itu hampir dipastikan empat syarat untuk pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melanggar
hukum terpenuhi. Pertama, korban harus mengalami kerugian; kedua ada kesalahan atau kelalaian. Di sini di samping perorangan dalam hal ini direksi Lapindo, para
komisaris atau pemegang saham PT, dan pihak terkait bisa bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian yang ditimbulkan oleh orang yang berada di bawah
kendalinya. Ketiga harus ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan. Keempat perbuatan itu melawan hukum.
Muara dari pertanggungjawaban adalah kebahagiaan happiness. Karena hukum adalah sumber kebahagiaan bagi yang terhimpit dan menderita kubangan
Lumpur panas the law is the source of happiness, dimana harapan masyarakat korban lapindo adalah ditegakkannya hukum terhadap kasus ini.
174
Pertanggungjawaban karena kesalahan fault liability merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban hukum dimaksud. Demi kebahagiaan hukum memaksa
setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut. Demi kebahagiaan, hukum pun mendikte setiap orang bertanggungjawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Di dalam kebahagiaan hukum,
seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
174
Kameo, James, Op Cit. hal. 5.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang yang berada di bawah tanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang properties, termasuk
hak-hak yang berada di bawah pengawasannya. Dalam proses pembuktiannya terdapat persoalan beban pembuktian sekitar
pertanggungjawaban hukum. Dalam bentuk tanggungjawab secara umum korban atau penderita kerugian dalam hal ini negara juga telah menjadi korban - harus
membuktikan kesalahan atau kelalaian PT. Lapindo, BP Migas, dan Menteri ESDM. Bisa jadi karena politisasi, muncul kesulitan pembuktian kesalahan atau
kelalaian dan sikap kurang hati-hati pihak-pihak dalam kegiatan eksplorasi migas oleh PT. Lapindo. Namun hukum yang menjadi the source of happiness harus dapat
menghadapi taktik politisasi dari pihak-pihak yang akan mengintervensi kasus ini. Hukum diharapkan mampu menyeret semua pihak yang bertanggungjawab terhadap
tragedi ini. Solusi yang harus dilakukan adalah dengan melakukan sistem pembuktian terbalik.
175
Hukum memaksa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan perbuatan orang yang berada di bawah tanggungjawabnya atau
175
Ibid, hal. 7.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
disebabkan oleh barang-barang properties, termasuk hak-hak yang berada di bawah pengawasannya.
Alasan yang ada di balik jalan keluar bagi para korban lumpur Lapindo adalah bahwa PT. Lapindo, BP Migas dan Menteri serta aparat terkait mudah
memperoleh pendapat para ahli dalam bidang eksplorasi minyak dan gas. Selain itu kesulitan terhadap beban pembuktikan dapat pula diatasi dengan menggunakan titik
tolak dalam prinsip hukum fakta berbicara sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.
Jadi di sini berlaku praduga bersalah presumption of fault or negligence. Mengingat kejadian tersebut tidak akan terjadi dalam keadaan normal tanpa adanya
kealpaan di pihak PT. Lapindo, BP Migas dan Menteri. Dalam hal ini mereka adalah pihak-pihak yang bertanggungjawab dan dapat dijadikan tergugat.
Untuk menentukan PT. Lapindo sebagai pelaku perbuatan melanggar hukum yang harus membayar ganti rugi haruslah terdapat hubungan yang erat antara
kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. Untuk memecahkan problema kausalitas antara kesalahan dan kerugian pembuktian adanya hubungan kausal antara perbuatan
dan kerugian dapat disimpulkan sebagai sebab yang paling mungkin. Selain itu kerugian hanya merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum kalau kerugian
tersebut menurut akal manusia yang sehat dapat diharapkan merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum tersebut.
Lagipula, kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum yang dapat diduga semula. Lihat misalnya analisis dalam studi Amdal dan
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
lain sebagainya. Akhirnya kerugian tersebut menurut pengalaman dapat diharapkan merupakan akibat perbuatan melanggar hukum. Hakim dapat secara leluasa
menggunakan upaya mengangkat ahli dan menyuruh mereka mengumpulkan bukti- bukti bahan-bahan.
Fakta hukum lain yang perlu dicermati di sini adalah kelalaian sebagai terjemahan dari negligence dalam arti umum bisa jadi mirip suatu kejahatan.
Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak tak acuh, tak peduli, tidak memperhatikan kepentingan orang lain dan lingkungan sebagaimana lazimnya. Jadi
meski ada pemikiran bahwa hukum tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang sepele, namun apabila kelalaian itu sudah mencapai tingkat tertentu sehingga tidak
mempedulikan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu berubah menjadi serius, sehingga bersifat kejahatan.
Hal inilah yang dapat mengatakan bahwa lumpur Lapindo merupakan kejahatan korporasi. Mengingat semburan lumpur Lapindo telah merugikan atau
mencelakakan orang lain dan lingkungan, apalagi jika akibatnya telah merenggut nyawa orang, maka oleh hukum diklasifikasi sebagai kelalaian berat.
Oleh karena itu PT. Lapindo sudah barang tentu harus melakukan “ganti rugi” kepada masyarakat terkena dampak langsung atau tidak langsung yang
didasarkan tidak hanya sekedar ganti rugi sebesar angka Rp 50 triliunan. Namun pemerintah dalam hal ini lembaga peradilan harus dapat menjunjung tinggi hukum
sebagai the source of happiness tidak membiarkan persoalan lapindo ini pertanggungjawaban hukumnya berlarut-larut.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
Kemudian Penulis juga memberikan contoh penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dilakukan secara perdata terhadap PT. Pupuk Iskandar Muda.
PT. Pupuk Iskandar Muda merupakan perusahaan yang memproduksi pupuk urea yang dalam kegiatannya menimbulkan pencemaran lingkungan hidup pada tahun
1986 yang menyebabkan kerugian bagi penduduk Desa Tambon Baroh. Akibat kelalaian PT. Pupuk Iskandar Muda telah mengeluarkan gas amonia,
gas beracun sehingga gas tersebut menyebar ke lokasi permukiman penduduk. Masyarakat yang menghirup langsung mengakibatkan jatuh pingsan, mual-mual,
muntah, mabuk, pening dan mata terasa pedih. Akibat kejadian tersebut diperkirakan 602 jiwa dirawat di puskesmas-puskesmas setempat serta rumah sakit umum di
lhokseumawe. Dalam kasus pencemaran lingkungan hidup ini, pertanggungjawabannya
dibebankan kepada PT. Pupuk Iskandar Muda sebagai korporasibadan hukum. Pertanggungjawaban PT. Pupuk Iskandar Muda dimintakan berdasarkan kepada
gugatan perdata masyarakat ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe dengan pendaftaran nomor perkara 45Pdt.G1989PN Lsm, tanggal 1989.
Namun gugatan tersebut ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri Lhouksemawe, kemudian banding ke Pengadilan Tinggi dan kemudian gugatan
ditolak oleh pengadilan tinggi dengan alasan bahwa kebocoran gas amonia ada terjadi tetapi tidak bersifat mencemarkan, kemudian masyarakat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung RI No. Reg. 2886.KPDT1990 tanggal 15 September 1990, hasil putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan terdahulu. Penolakan gugatan kasasi
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
ini karena pengguggat dianggap dalam melakukan gugatan telah terjadi kesalahan prosedur.
Berdasarkan penyelesaian kasus pencemaran tersebut, maka PT. Pupuk Iskandar Muda sebagai pelaku pencemaran pada saat itu harus membayar ganti rugi
kepada semua korban bukan hanya sebagian saja. Hal ini berkaitan dengan asas pertanggungjawaban ganti rugi Pasal 1365 KUHPerdata, adapun unsur-unsur
perbuatan melawan hukum onrechtsmatigedaad adalah : 1.
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum; 2.
Terdapatnya kesalahan pada pelaku; 3.
Timbul kerugian; 4.
Terdapat kausalitas antara perbuatan dengan kerugian. Kemudian dasar hukum pertanggungjawaban PT. Pupuk Iskandar Muda
untuk membayar ganti rugi kepada semua korban kebocoran gas amonia didasarkan kepada Pasal 20 ayat 2 UU Nomor 4 Tahun 1982. Kemudian jika dikaitkan dengan
UUPLH maka diatur pada Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 35 UUPLH. Kedua pasal ini menganut 2 dua sifat pertanggungjawaban yang bersifat biasa dan
pertanggungjawaban yang bersifat khusus. Dengan demikian PT. Pupuk Iskandar Muda dapat dibebani tanggungjawab mutlak kerugian yang ditimbulkan akibat
pencemaran dan diwajibkan untuk membayar ganti kerugian. Apabila PT. Pupuk Iskandar Muda dapat membuktikan bahwa pencemaran tersebut bukan karena
kelalaian yang dilakukan maka PT. Pupuk Iskandar Muda dapat dibebaskan dari segala membayar ganti kerugian kepada korban pencemaran tersebut.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu :
1. Tanggungjawab korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat berbentuk
pertanggungjawaban pidana, perdata dan administrasi. Pertanggungjawaban ini dapat dimintakan karena korporasi paling banyak berperan dalam usaha
pemanfaatan lingkungan hidup yang dapat mengakibatkan dampak terhadap lingkungan hidup, baik berupa pencemaran danatau kerusakan lingkungan.
Perseoran Terbatas yang besar sebagai subjek dari pengelolaan lingkungan hidup wajib memiliki izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan danatau UKL-
UPL dalam melakukan usaha danatau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan melakukan audit lingkungan yang akan memberikan manfaat atau
keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan operasional dan Perseroan Terbatas dalam jangka panjang yang tetap mengacu
kepada ketentuan-ketentuan pokok yang termuat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, yang menyangkut masalah tuntutan besarnya kerugian danatau kerusakan yang
ditimbulkan akibat perbuatan pencemaran danatau perusakan lingkungan.
Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008