Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami berbagai instruksi yang diberlakukan oleh perusahaan yang bersangkutan. g. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. 94 Jika terhadap berbagai kewajiban di atas, Perseroan Tebatas tidak atau kurang berupaya atau kurang memfungsikan dengan baik, maka hal ini merupakan alasan untuk mewajibkan bahwa Perseroan Tebatas tersebut kurang berupaya atau kurang keras dalam mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan terhadap lingkungan. Oleh karena itu Perseroan Tebatas tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2. Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Hukum lingkungan keperdataan secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi korban perusakan danatau pencemaran lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar. Upaya hukum yang dapat ditempuh berdasarkan pada Pasal 34 UUPLH yang memungkinkan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian danatau biaya pemulihan lingkungan. Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugat hukum lingkungan keperdataan secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi korban kerusakan danatau pencemaran 94 Ibid, hal. 8-9. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar. 95 Menurut Koeman sebagaimana dikutip oleh Alvi Syahrin bahwa tindakan perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki 4 empat fungsi 96 , yaitu : a. Penegakan hukum lingkungan melalui hukum perdata, yaitu sarana penegakan hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan demikian gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan keperdataan dapat dilakukan baik oleh warga masyarakat maupun oleh pemerintah untuk memaksa persyaratan lingkungan yang bersifat publik. Gugatan perdata sebagai penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sangat terbatas hanya apabila penegakan hukum administrasi tidak memadai. b. Penetapan norma tambahan, melalui keputusan hakim perdata dengan menetapkan norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin oleh pemerintah tata usaha negara yang berwenang. Hakim perdata dalam hal ini berwenang menetapkan prasyarat atau ketentuan tambahan ke dalam izin pemberian izin apabila ketentuan tambahan nantinya akan diperlukan. Makna 95 Husni, Ahmad, Op.Cit., hal 509. lihat juga Wijaya, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press, 1999, hal 9. 96 Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Dasar Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Press, 2003, hal. 227-228. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 penegakan hukum lingkungan keperdataan dalam penegakan penetapan sanksi dapat memaksakan pentaatan terhadap keputusan sanksi hukum publik. c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian, gugatan ini dilakukan untuk mendapatkan ganti rugi akibat dari pencemaran danatau perusakan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 35 UUPLH yakni adanya “tanggungjawab mutlak”. d. Perlindungan hukum tambahan, perlindungan ini dapat terwujud melalui bantuan hakim-hakim perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintah yang tidak dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, tindakan tersebut antara lain : keputusan-keputusan yang berlaku untuk umum dan tindakan nyata penguasa. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban tanggung gugat akibat timbulnya pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, maka terlebih dahulu diketahui sumber penyebab pencemaran. Pentingnya diketahui sumber penyebab pencemaran berhubungan dengan penentuan pihak yang harus memikul tanggungjawab liability bagi pembayaran ganti rugi terhadap kerusakan yang ditimbulkan dan upaya perbaikannya compesation for pollution damage. 97 Artinya, sumber penyebab pencemaran akan menentukan siapa yang harus memikul tanggungjawab atas perbuatan melawan hukum dan pada akhirnya akan menentukan ganti rugi dan perbaikan atas lingkungan yang telah tercemar dan atau rusak. 97 Arifin, Samsul, Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, USU Press, Medan 1993, hal 222. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Pertanggungjawaban perdata Perseroan Terbatas dalam pengelolaan lingkungan hidup di dalam UUPLH diatur pada Pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang kegiatan danatau usahanya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, yang menggunakan bahan berbahaya beracun, bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika saat terjadi pencemaran danatau perusakan lingkungan. Pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dalam Pasal 34 ayat 1 UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata, pada prinsipnya didasarkan atas adanya kesalahan dari si pelaku, atau disebut juga dengan istilah “pertanggungjawaban atas dasar kesalahan” schuldaansprakelijkheid atau liability based on fault. Dengan prinsip ini, ilmu hukum mengenal 2 dua macam pertanggungjawaban yang mengakibatkan kerugian, yakni: 1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan sengaja. 2. Pertanggungjawaban atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja. 98 Dalam doktrin ini, seorang pelaku yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, baik disengaja maupun karena kealpaan dan tidak disengaja, hanya dapat dibebankan untuk membayar kerugian yang timbul apabila unsur kesalahan dapat dibuktikan di dalam perbuatannya, dan kerugian tersebut harus merupakan akibat dari kesalahan yang merupakan sebab dari akibat tersebut. 98 Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan oleh Drs. Mohammad Radjab, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982, hal. 80. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan” no liability without fault yang dianut di dalam Pasal 34 ayat 1 UUPLH, seorang pelaku atau pembuat pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, bertanggungjawab untuk membayar kerugian yang timbul kepada penderita atau korban akibat kesalahan yang dilakukannya, dimana unsur kesalahan harus dapat dibuktikan di dalam perbuatannya, sedangkan kerugian yang terjadi harus merupakan akibat dari kesalahan si pelaku yang merupakan sebab dari akibat tersebut. Pertanggungjawaban menurut pasal ini didasarkan pada adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum akibat dari kesalahan si pelaku, yang sering juga disebut sebagai perbuatan melawan hukum. Jadi, bentuk pertanggungjawaban yang termaktub di dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 UUPLH terkait erat dengan segi kesalahan liability based on fault, yang sering disebut dengan “negligence rule”. 99 Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan” no liability without fault, sengketa lingkungan hidup yang penuntutannya didasarkan pada Pasal 34 ayat 1 UUPLH harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan melanggar hukum; b. Pencemaran danatau perusakan lingkungan; c. Kerugian pada orang lain atau lingkungan; d. Penanggungjawab usaha danatau kegiatan; dan e. Membayar ganti kerugian danatau tindakan tertentu. 100 99 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Op.Cit., hal. 386. 100 Siahaan, NHT, Op Cit., hal. 310. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Unsur-unsur Pasal 34 ayat 1 UUPLH ini merupakan rangkaian tunggal sebagai satu kesatuan yang mengkonstruksikan keutuhan Pasal 34 ayat 1 UUPLH. Artinya, suatu gugatan lingkungan untuk mendapatkan ganti kerugian dan atau tindakan tertentu harus mengkonstatir adanya “perbuatan melanggar hukum”. Perbuatan yang melanggar hukum ini haruslah berupa pencemaran danatau perusakan lingkungan agar dapat menjadi elemen gugatan lingkungan. Tanpa menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan, suatu perbuatan melanggar hukum saja tentu tidak cukup melahirkan gugatan lingkungan. 101 Pencemaran danatau perusakan lingkungan yang dapat menimbulkan hak untuk mengajukan gugatan lingkungan harus memenuhi kualifikasi “menimbulkan kerugian pada orang atau lingkungan”. Hal ini disebabkan yang dikualifikasikan sebagai korban pencemaran dan atau perusakan lingkungan adalah orang maupun lingkungan. Karena adanya kerugian pada orang atau lingkungan, maka “penanggung jawab usaha dan atau kegiatan” diwajibkan membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu karena ia merupakan pihak yang menimbulkan kerugian pada orang ataupun lingkungan itu. 102 Sistem pertanggungjawaban berdasarkan prinsip kesalahan liability based on fault yang berlaku di dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 34 ayat 1 UUPLH mempunyai konsekuensi beban pembuktian yang pada umumnya memberatkan atau menyulitkan penggugat penderita pencemaran danatau perusakan 101 Syahrin, Alvi, 2003, Op.Cit., hal 231 102 Wijoyo, Suparto, Op. Cit., hal 231 Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 lingkungan. Koesnadi Hardjasoemantri menegaskan bahwa jika tidak terbukti atau tidak dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan berdasarkan Pasal 34 ayat 1 UUPLH, maka tidak akan ada kewajiban untuk memberi ganti kerugian. 103 Hal ini disebabkan prosedur pembuktian dalam penyelesaian ganti kerugian sebagaimana diatur di dalam pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 34 ayat 1 UUPLH meletakkan beban pembuktian pada pihak yang mendalilkan, atau yang menyangkal. Di dalam peristiwa pencemaran danatau perusakan lingkungan, pihak penderita atau penggugat sebagai pihak yang mendalilkan telah terjadinya pencemaran danatau perusakan lingkungan harus membuktikan telah terjadinya pencemaran danatau perusakan. 104 Di samping prinsip “kesalahan” yang dianut di dalam Pasal 34 ayat 1 UUPLH, Pasal 35 ayat 1 UUPLH telah memuat prinsip “resiko” untuk membuktikan telah terjadinya perbuatan melawan hukum berupa pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup. Sistem pertanggungjawaban berdasarkan prinsip resiko yang termuat di dalam Pasal 35 ayat 1 UUPLH merupakan lex specialis dari doktrin tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dianut di dalam Pasal 34 UUPLH. Jadi, hukum positif di bidang lingkungan hidup juga mengenal doktrin risico-aansprakelijkheid strict liability, yang inti ajarannya didasarkan pada pendapat bahwa dengan diciptakannya keadaan berbahaya yang menimbulkan risiko maka beban pertanggungjawaban terletak pada pihak yang 103 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, op.cit., hal. 386. 104 Lotulung, Effendi, Paulus, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 1. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 melakukan perbuatan atau yang melakukan pencemaran, sehingga karenanya diwajibkan untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah kerugian. Tidak mengambil atau melakukan tindakan-tindakan guna mencegah kerugian dengan sendirinya mengakibatkan perbuatannya dikategorikan bersifat melawan hukum. 105 Dengan kata lain, prinsip ini mempunyai ciri utama bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan adanya di dalam suatu perbuatan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup. Cukup dengan adanya bukti bahwa pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup telah terjadi dan menimbulkan kerugian bagi korban atau penderita, maka perbuatan melawan hukum dianggap telah terjadi. Prinsip ini kemudian dikenal dengan istilah “strict liability” atau “absolut liability”, yang sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban mutlak” atau “pertanggungjawaban seketika”. 106 Pertanggungjawaban mutlak atau seketika strict liability atau absolut liability telah diatur secara tegas di dalam Pasal 35 ayat 1 UUPLH. Menurut ketentuan ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan ada dan terpenuhi di dalam peristiwa perkara pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup yang terjadi. Ciri utama pertanggungjawaban mutlak strict liability berdasarkan prinsip resiko adalah tidak diperlukan adanya kesalahan sebagai persyaratan, 107 sehingga sering diistilahkan sebagai “pertanggungjawaban tanpa kesalahan” liability without fault. Dalam doktrin pertanggungjawaban mutlak strict liability, seorang pelaku dapat 105 Hardjasoemantri, Koesnadi, Op. Cit., hal. 386-387. 106 Lotulung, Effendi, Paulus, Op Cit, hal. 3. 107 Ibid., hal. 386-387. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 secara langsung dan seketika dibebani dengan kewajiban ganti rugi tanpa perlu pembuktian adanya unsur kesalahan di dalam perbuatan pelaku pencemaran ataupun perusakan lingkungan hidup tersebut. Hal ini lebih ditegaskan oleh Penjelasan Pasal 35 ayat 1 UUPLH yang menyatakan bahwa pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability adalah berarti bahwa unsur kesalahan si pelaku tidak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian, karena ketentuan pasal ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum. 108 Pembuktian didalam sengketa lingkungan dibebankan kepada pihak pencemar. Jika korporasi yakin tidak melakukan perbuatan melawan hukum di bidang lingkungan hidup, maka korporasi tersebut harus mampu membuktikan bahwa memang perusahaannya tidak melakukan pencemaran. 109 Misalnya, korporasi dapat membuktikan terpenuhinya ketentuan di dalam Pasal 35 ayat 2 UUPLH, yang memuat pengecualian tanggungjawab bagi pelaku apabila dapat membuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan berasal dari bencana alam act of god atau peperangan, keadaan terpaksa force majeure, atau karena tindakan pihak ketiga act of omission of a third party, atau disebut juga act of strager. 110 108 Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Jakarta, 1998, hal. 58. 109 Usman, Rachmadi , Op. Cit., hal. 343. 110 Siahaan, NHT, Op.Cit., hal. 316. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Korporasi yang berhasil membuktikan terpenuhinya pengecualian tanggungjawab excemption system di dalam ketentuan Pasal 35 ayat 2 UUPLH akan terlepas dari pertanggungjawaban langsung dan seketika strict liability. Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 35 ayat 1 UUPLH adalah sebagai berikut: a. Suatu perbuatan atau kegiatan; b. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; c. Menggunakan atau menghasilkan bahan atau limbah berbahaya dan beracun; d. Tanggung jawab timbul secara mutlak; e. Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat pencemaran atau perusakan lingkungan. 111 Terlihat jelas, bahwa unsur kesalahan tidak merupakan bagian dari unsur- unsur untuk terpenuhinya Pasal 35 ayat 1 UUPLH. Oleh karena itu, dalam pertanggungjawaban mutlak strict liability, suatu korporasi sebagai pelaku dinyatakan bertanggungjawab dalam peristiwa pencemaran danatau perusakan lingkungan, meskipun pada dirinya belum dinyatakan bersalah. Hal ini disebabkan dalam strict liability, kesalahan faultschould atau mens rea tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab. Di sini berlaku asas “resipso loquitur”, yaitu fakta sudah berbicara sendiri the thing speaks for itself. 112 Tujuan penerapan asas tanggung gugat mutlak strict liability adalah untuk memenuhi rasa keadilan, menyelaraskan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan, serta mendorong 111 Siahaan, NHT, Op.Cit., hal. 271. 112 Lotulung, Effendi, Paulus, Op Ct, hal. 5. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 badan usaha yang beresiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. 113 Hanya saja sangat disayangkan, Pasal 35 ayat 1 UUPLH hanya menerapkan asas tanggungjawab mutlak strict liability secara terbatas atau limitatif, yakni hanya pada perkara lingkungan akibat kegiatan usaha yang dikualifikasi : a. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun B3. c. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun B3. 114 Pertanggungjawaban mutlak yang bersifat terbatas ini tampak jelas dari rumusan redaksi di dalam pengaturan Pasal 35 ayat 1 UUPLH. 115 Di samping itu, pengaturan tanggungjawab mutlak secara terbatas juga ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, yakni sebagai berikut: a. Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI, yang menegaskan perbuatan pencemaran atau perusakan sumber daya alam di ZEEI memikul tanggungjawab mutlak dan biaya rehabilitasi lingkungan. b. Artikel III Paragraph 1 dan 2 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Ratifikasi International Convention on Civil Liability for Oil Polution Damage, 113 Usman, Rachmadi, Op. Cit., hal. 343. 114 Ibid, hal. 36. 115 Lihat Wijoyo, Suparto, Op.Cit., hal 29. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 1969 CLC, yang mengatur mengenai tanggungjawab perdata pencemaran minyak di laut berdasarkan asas strict liability. c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pasal 28 Undang-undang ini memuat ketentuan yang mewajibkan pengusaha instalasi nuklir untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir dari instalasi nuklir. Prinsip tanggungjawab pada Pasal 28 ini merupakan strict liability, yang ditegaskan di dalam Penjelasan pasalnya. 116 Dengan demikian, pertanggungjawaban mutlak strict liability tidak dapat diterapkan terhadap semua perkara perdata di bidang lingkungan hidup. Di luar ke enam unsur atau kualifikasi tersebut di atas berlaku sistem pertanggungjawaban yang didasarkan atas kesalahan liability based on fault atau schuldaansprakejikheid berdasarkan dalil perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 34 ayat 1 UUPLH jo. Pasal 1365 KUH Perdata. Pada umumnya, penggugat atau korban pencemaran danatau perusakan lingkungan adalah pihak yang berada pada posisi yang lemah dari segi kemampuan pengetahuan maupun dana apabila dibandingkan dengan pelaku pencemar atau tergugat, sehingga kewajiban beban bukti ini tentu saja akan memberatkan bagi 116 Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menyatakan sebagai berikut: “Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggungjawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu. Dalam sistem tanggungjawab mutlak, untuk menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan nuklir.” Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 mereka dalam membuktikan telah terjadinya kesalahan si pelaku yang mengakibatkan pencemaran danatau perusakan lingkungan. Dalam penerapan hukum lingkungan berdasarkan hukum positif di Indonesia, penggugat atau korban sering menjadi pihak yang kalah berperkara dalam penyelesaian sengketa di pengadilan berdasarkan gugatan perbuatan melawan hukum. Kesulitan utamanya adalah pembuktian unsur- unsur yang terdapat didalam Pasal 34 ayat 1 UUPLH jo. Pasal 1365 BW, terutama menyangkut unsur kesalahan schuld dari tergugat sebagai pencemar dan perusak lingkungan. 117 Prinsip kesalahan liability based on fault untuk dapatnya meminta pertanggungjawaban sebagaimana berlaku di dalam Pasal 34 ayat 1 UUPLH jo. Pasal 1365 BW mempunyai konsekuensi beban pembuktian yang pada umumnya memberatkan atau menyulitkan penggugat penderita pencemaran danatau perusakan lingkungan. 118 Pasal 34 UUPLH memungkinkan diajukannya gugatan lingkungan sebagai upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh ganti kerugian dan atau biaya pemulihan lingkungan. Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugatan yang diajukan oleh pihak yang dirugikan korban lazim dikenal dengan istilah “sengketa lingkungan. Tindakan perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki 4 empat fungsi, yaitu: 117 Husni, Ahmad, Op.Cit., hal 509. 118 Hardjasoemantri, Koesnadi, Op.Cit., hal. 386. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 a. Penegakan hukum perdata melalui gugatan perdata, yaitu sarana penegakan hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUHPerdata. Gugatan perdata dapat dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, namun gugatan perdata oleh pihak pemerintah hanya dilakukan apabila penegakan hukum administrasi tidak memadai. b. Penetapan norma tambahan melalui keputusan hakim perdata dengan menetapkan norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin oleh instansi tata usaha negara yang berwenang. c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian yang diajukan akibat dari pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 35 UUPLH mengenai “tanggung jawab mutlak”. d. Perlindungan hukum tambahan, yang terwujud melalui bantuan hakim-hakim perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintah yang tidak dapat digugat melalui PTUN, misalnya menyangkut keputusan- keputusan yang berlaku untuk umum dan tindakan nyata penguasa. 119 Pengambilan keputusan untuk melakukan tuntutan hukum bagi pelanggaran ketentuan lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan hukumkorporasi hendaknya dilakukan secara fleksibel. 120 Setiap kasus yang dihadapi hendaknya harus dilihat menurut kadar dan konteksnya masing-masing dengan pendekatan yang tidak bersifat 119 Koeman, dalam Syahrin, Alvi, Op Cit, hal. 227-228. 120 Syahrin, Alvi , Op Cit, hal. 210. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 kaku, namun harus tetap konsisten untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

3. Pertanggungjawaban Administrasi Korporasi dalam Pengelolaan