Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

4. Penerapan sanksi terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan. 5. Pertanggungjawaban korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi atau para pengurus corporate executive officers yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan power of decision dan keputusan kekuasaan tersebut telah diterima accepted oleh korporasi tersebut. 84 Demikian pula kenyataan bahwa pencemaran danatau perusakan lingkungan di samping dilakukan oleh orang-perorangan sebagai subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban, dapat juga dilakukan oleh badan hukumkorporasi sebagai subjek hukum corporate liability. Oleh karena itu, Sangat tepat rumusan ketentuan Pasal 41 sd Pasal 47 UUPLH yang secara khusus memberikan ruang dan kemungkinan pemberian tanggungjawab pidana terhadap badan hukum, yang lebih sering berwujud perusahaan industri tanggungjawab orang perorangan, badan hukum yang melakukan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup. Adapun bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup, dibagi atas 3 tiga bagian, yaitu :

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dan 84 Lihat pendapat Muladi yang dikutip dalam Syahrin, Alvi, Op.Cit., hal.240. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnva. Dalam kaidah hukum perdata civil law, jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merupakan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggungjawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi corporate criminal liability merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporasi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Di samping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan. Baik dalam sistem hukum common l a w maupun civil law sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu actus reus atau g u i l t y a c t serta membuktikan unsur mens rea criminal intent atau guilty mind dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia meskipun undang-undang sudah mengatur, seperti UU Tentang Pemberantasan Korupsi, UU Pengelolaan Lingkungan Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Hidup, dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. 85 Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden atau yurisprudensi bagi lingkungan peradilan di Indonesia. Jika melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum pertanggungjawaban pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, dalam bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Pandangan ini bahkan sudah dikenal lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana dapat dengan mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal pada pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang sering kali berbentuk korporasi. Namun, terlepas dari itu dalam perkembangan 85 Nasution, Bismar, dalam L.C. Soesanto, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia,, Universitas Diponegoro, http:.aic.gov.aupublications12soesanto.pdf. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah yang menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada “pengemban” hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi. Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi maka beranjak dari sistem perundangundangan yang ada “korporasi” juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai “pelaku”. Di Belanda kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening peraturan tentang tata guna dan lalu lintas perairan yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak di samping kali atau saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan kewajiban vang diancam dengan sanksi pidana apabila dilalaikan. 86 Ketentuan pidana lingkungan hidup diatur dalam UUPLH, dan peraturan perundangan di luar KUHP dan UUPLH. Mengingat ketentuan hukum pidana yang hendak melindungi lingkungan hidup tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan dalam berbagai cabang ilmu, maka aturan hukum tersebut perlu di integrasikan dalam bentuk sistem hukum. UUPLH menempatkan dirinya sebagai umbrella act di bidang lingkungan hidup. 86 Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 100. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Berkaitan dengan tindak pidana lingkungan, ada beberapa asas yang perlu diperhatikan, yaitu asas legalitas, asas pembangunan berkelanjutan dan asas pencegahan dan pengendalian. Asas legalitas di dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan kejelasan serta ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana, khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the environment. Dalam hal ini terkait dengan akurasi proses kriminalisasi dengan segala persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah adanya korbankerugian yang jelas dan sifat enforceable dari perumusan tersebut. Asas legalitas perlu dipahami dalam pola pikir baru yakni dari asas legalitas yang bersifat formal Pasal 1 ayat 1 KUHP ke asas legalitas yang bersifat materiil yang memungkinkan kepada hukum yang hidup dan berkembang dalam masyrakat sebagai sumber hukum pidana. Karena setiap kejadian atau peristiwa konkrit dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sekitarnya. Asas pembangunan berkelanjutan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pembangunan berkelanjutan merupakan standar yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan melainkan juga bagi kebijakan pembangunan. Asas pencegahan dan pengendalian bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah perusakan danatau pencemaran Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 lingkungan hidup, baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Tindak pidana lingkungan diatur di dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 UUPLH dan Bab IX UUPLH. Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH memuat ketentuan tindak pidana materil, Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH memuat ketentuan tindak pidana formil, sedangkan ketentuan tindak pidana yang diatur di dalam Bab IX UUPLH merupakan kejahatan. 87 Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, tindak pidana lingkungan berupa: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan: 1 pencemaran dan atau 2 perusakan lingkungan hidup Pasal 31 UUPLH; b. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat Pasal 41 ayat 2 dan Pasal 42 ayat 2 UUPLH; c. melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: 1 melepaskan atau membuat zat, energi danatau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk ke atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan; 2 impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan danatau perusakan 87 Syahrin, Alvin, op.cit., hal.235. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum Pasal 43 ayat 1 dan Pasal 44 ayat 1 UUPLH; d. melakukan perbuatan berupa: 1 memberikan informasi, atau 2 menghilangkan informasi, atau menyembunyikan informasi, atau merusak informasi, yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran danatau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain Pasal 43 ayat 2 dan Pasal 44 ayat 1 UUPLH. e. melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat Pasal 43 ayat 3 dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH. UUPLH sendiri telah menetapkan jenis-jenis sanksi yang akan diterapkan terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, yaitu sebagai berikut: a. Pidana penjara; b. Pidana denda; c. Tindakan tata tertib, terdiri atas: 1 Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 2 Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaaan; dan atau 3 Perbaikan akibat tindak pidana; dan atau 4 Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau 5 Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau 6 Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tiga tahun. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Dalam UUPLH mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan badan hukum diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46. Selanjutnya ketentuan hukum pidana dalam UUPLH diatur dalam Pasal 41 dan 42 yang merupakan delik materil dan Pasal 43 dan 44 UUPLH yang merupakan delik formil. Penerapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana terkait dengan asas- asas umum hukum pidana yang memainkan peranan penting, yakni asas legalitas dan asas kesalahan. Penyimpangan terhadap asas legalitas dan kesalahan dalam kasus lingkungan hidup karena adanya Rechtguternotstand dengan harapan problematika kasus lingkungan dapat pecahkan akan terjebak pada kebebasan politik yang terlalu luas, yaitu penetapan tersebut dibuat lebih berdasarkan pada kekuasaan daripada kenyataan. 88 Rechtsguternostand merupakan bilamana ada kemungkinan objek-objek hukum penting tertentu terancam dan perlindungan hanya diberikan dengan cara menjatuhkan pada badan hukum. Menerapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan- tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindakan yang dilakukan bersangkutan dalam rangka pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang karyawan perusahaan yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. 88 Bapedaldasu, Panduan dan Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Sumut, Medan : 2001, hal. 80 Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya. Selanjutnya juga menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Secara faktual badan hukum mempunyai wewenang mengaturmenguasai danatau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Badan hukum dalam kenyataannya kurangtidak melakukan danatau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Bertolak dari asas kesalahan, maka dalam pertanggungjawaban pidana tidak dimungkinkan adanya pertanggungjawaban mutlak yang sering dikenal dengan strict liability atau absolute liability, walaupun ada pendapat yang mengemukakan strict liability bukanlah absolute liability. 89 Secara teoritis sebenarnya dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap asas kesalahan dengan menggunakan strict liability atau vicarious liability. Terlebih memang tidak mudah untuk membuktikan adanya kesalahan pada tindak pidana lingkungan dan kesalahan dari badan hukumkorporasi. 89 Arief, Nawawi, Barda, Kebijakan Legislatif mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Lingkungan, Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1997,hal. 4-5. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Berkenaan dengan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup, menurut Yahya Harahap penerapan Strict Liability merupakan pengecualian terhadap jenis tindak pidana biasa are an exception to normal type of offence dari terdakwa hanya dibutuhkan secara terbatas bentuk mens rea require of defendant a more limited from of mens rea, oleh karena : a. Pada umumnya bersifat larangan berdasarkan ketentuan undang-undang, antara lain, larangan yang berbentuk anti social dan polusi, perilaku jahat dalam perdagangan. b. Dalam bentuk pidana yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan saja dugaan atau pengetahuan dari pelaku sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana terhadapnya. c. Tidak dipersoalkan adanya unsur mens rea, sehingga disebut no mens rea artinya, tidak perlu ada unsur sengaja, kelalaian atau kehendak.Unsur pokok dari strict liability crime, yaitu actus reus, dengan demikian yang harus dibuktikan hanya actus reus,bukan mens read an tindak pidana yang disebut sebagai absolute prohibition yaitu criminal liability without fault tanggungjawab pidana tanpa kesalahan atau yang disebut juga strict responsibility. 90 Dalam membicarakan tentang masalah pertanggungjawaban pidana badan hukumkorporasi, maka perlu diperhatikan adalah sistem perumusan yang menyatakan bahwa badan hukum itu sendiri dapat dipertanggungjawaban dalam hukum pidana. Motivasi dari adanya sistem pertanggungjawaban badan hukum korporasi ini adalah didasarkan kepada perkembangan akhir-akhir ini terutama dalam bidang lingkungan hidup dan ekonomi. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa badan hukumkorporasi tidak lagi melakukan tindak pidana, karena diperlukannya untuk mempidana badan hukum. 90 Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 33-35. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Menetapkan badan hukumkorporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan badan hukumkorporasi, juga termasuk dalam hal orang karyawan perusahaan yang secara sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. 91 Dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban korporasi yang merupakan salah satu bentuk dari korporasi adalah Perseroan Terbatas, menurut Muladi menyatakan bahwa atas dasar pengalaman pengaturan hukum positif dan pemikiran yang berkembang serta memperhatikan pula kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup hendaknya memperhatikan : a. Korporasi mencakup baik badan hukum legal entity maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; b. Korporasi dapat bersifat privat privat juridical entity dan dapat bersifat publik public entity; c. Apabila di identifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah manager, egent, employess dan korporasi dapat dipidana, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bipunishment provision. d. Terdapat kesalahan management dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision; e. Pertanggungjawaban badan hukum terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil di identifikasikan, dituntut dan dipidana; f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal dengan apa yang dinamakan corporate death penalty dan untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan- pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha; g. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknva memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalul kebijakan pengurus atau para pengurus 91 Syahrin, Alvi, Asas-Asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan : Pustaka Bangsa, 2002, hal. 13. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 corporate executive of . ficier yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan power of decision} dan keputusan tersebut telah diterima accepted oleh korporasi tersebut. 92 Di dalam UUPLH, mengenai pertanggungjawaban korporasi ditegaskan dalam Pasal 46 ayat 1 UUPLH yang menjelaskan bahwa apabila suatu korporasi badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya, melakukan tindak pidana terhadap lingkungan, maka ada empat kemungkinan yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, yaitu: a. Korporasi itu sendiri; b. Yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana; atau c. yang bertindak sebagai pemimpin untuk melakukan tindak pidana; d. terhadap kedua-duanya. Pasal 46 ayat 2 UUPLH merumuskan mengenai kapan suatu badan hukum dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Dan rumusan ini dapat dilihat bahwa suatu Perseroan Terbatas, dapat dikatakan nnelakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut melakukan sesuatu yang menurut UU tersebut adalah tindak pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Pasal 27 yang berbunyi : 92 Muladi, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 8. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban perusahan industri untuk melaksanakan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta mencegah timbulnya kerusakan danatau pencemaran lingkungan hidup. Karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar kewajiban perusahan industri untuk melaksanakan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta mencegah timbulnya kerusakan danatau pencemaran lingkungan hidup. Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara pengurus suatu Perseroan Terbatas yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup, maka harus ditelusuri dokumen AMDAL, izin lisensi dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada Perseroan Terbatas tersebut. Penelusuran dari dokumen ini akan menghasilkan data informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauh mana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan oleh Perseroan Terbatas terhadap dampak tersebut. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban para pengurus Perseroan Terbatas tersebut untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Dan penelusuran inilah dapat ditentukan apakah pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup itu dilakukan secara sengaja atau kelalaian, serta dapat ditentukan siapa-siapa dari pengurus yang dapat diminta pertanggungjawabannya. 93 Untuk menetapkan suatu Perseroan Terbatas sebagai pelaku tindak pidana, maka dapat dilihat dari : 93 Syahrin, Alvi, Op Cit, hal.7. Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 a. Berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas danatau pencapaian berbagai tujuan Perseroan Terbatas tersebut. Perseroan Terbatas dianggap sebagai pelaku tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuannya. Hal ini juga termasuk dalam hal orang karyawan Perseroan Terbatas dan secara faktuil melakukan tindak pidana tersebut atas inisiatif sendiri dan bertentangan dengan instruksi yang diberikan dan ini diatur dalam Pasal 55 KUHP. Namun dalam hal yang terakhir ini, tidak menuntut kemungkinan Perseroan Terbatas mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya. b. Dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada Perseroan Terbatas tersebut. Secara faktual, Perseroan Terbatas mempunyai kewenangan untuk mengatur atau menguasai danatau memerintah pihak yang dalam kenyataannya melakukan kejahatan. c. Dalam upaya pengelolaarn lingkungan hidup, Perseroan Terbatas mempunyai kewajiban yang dituangkan dalam kebijakan atau langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu : d. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan; e. merumuskan rangkaian atau struktur organisasi yang layak pantas serta menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut. f. Merumuskan instruksiaturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktivitas-aktivitas yang mengganggu lingkungan, dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai- Sriwaty: Penerapan Sanksi Perdata Terhadap korporasi Dalam Sengketa Lingkungan hidup, 2007. USU e-Repository © 2008 pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami berbagai instruksi yang diberlakukan oleh perusahaan yang bersangkutan. g. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. 94 Jika terhadap berbagai kewajiban di atas, Perseroan Tebatas tidak atau kurang berupaya atau kurang memfungsikan dengan baik, maka hal ini merupakan alasan untuk mewajibkan bahwa Perseroan Tebatas tersebut kurang berupaya atau kurang keras dalam mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan terhadap lingkungan. Oleh karena itu Perseroan Tebatas tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2. Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup