Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
KUHPerdata BW dapat di lihat dari pasal 119 sd pasal 125. Sedangkan menurut Pasal 35 UU. No. 1 tahun 1974 sebagai berikut:
6
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Menurut pasal 119 BW: “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hokum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai
itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”. Apabila memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan seperti
pada UU.No. 1 tahun 1974 beserta juklaknya PP.No.9 tahun 1975 maupun dalam BW., tiada ketentuan yang mengatur berapa bagian pasangan suami istri
yang bercerai. Namun dengan berdasarkan pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Ketentuan ini cukup tegas dan jelas bahwa suami dan istri yang telah bercerai
pembagian harta bersamanya gono-gini adalah dibagi dua sama banyak kecuali ada perjanjian tertentu.
7
Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam menentukan pembagian harta bersama dengan cara separo atau seperdua antara suami dan istri. Pembagian
6
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 56
7
http:cakraarbas.blogspot.com2011_09_01_archive.html, Aspek reform KHI pengaruh adat Harta Bersama, di akses pada tanggal 25 september 2012.
yang demikian terasa adil bila istri seorang ibu rumah tangga alias pekerja “domestic”. Wajar seorang istri mendapatkan bagian seperdua dari harta
bersama karena pada hakekatnya ia juga ikut bekerja, yaitu mengurus rumah tangga, namun bila seorang istri, di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga
bekerja dan mempunyai penghasilan dan penghasilannya melebihi penghasilan suami, maka pembagian seperdua dari harta bersama terasa tidak tepat dan perlu
modifikasi, namun modifikasi terhadap hal seperti ini tidak mempunyai dasar atau aturan yang pasti tentang perbandingan pembagian yang proporsional dalam
membagi harta bersama, kecuali seperdua, sehingga untuk menentukan secara pasti perbandingan yang proporsional sangat sulit.
8
Menelisik beberapa persoalan menyangkut keberadaan harta bersama, sebagaimana tergambar di depan, sebenarnya sejak dini telah diantisipasi oleh
pembuat peraturan perundang-undangan. Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga pada Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 ada diatur institusi yang namanya “perjanjian perkawinan”. Perjanjian perkawinan dipandang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan dalam harta benda dalam perkawinan secara adil, proporsional, efektif dan aplikatif. Pengaturannya pun sebenarnya telah
ditempatkan lebih dahulu dari pada pengaturan mengenai harta bersama, yang
8
M. Taufiq Hz, Kedudukan Harta Bersama Dalam Konteks Kewajiban Nafkah, Suara Uldilag, Vol. II, No. 7 September 2005, h. 100-107.
ini mengindikasikan pendahuluan atau pengutamaan “perjanjian perkawinan” dari pada “harta bersama” agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
9
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada persoalan mengenai pembagian harta bersama yang mana istri lebih banyak mendapatkan
harta bersama dari pada suami. Berdasarkan pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dalam Putusan Perkara Nomor : 1048Pdt.G2009PA-Bbs, Putusan PA Brebes ini
hakim memutuskan bahwa istri mendapatkan 23 bagian sedangkan bagi suami mendapatkan 13 bagian dari harta bersama.
Pada putusan ini hakim sedikit menyimpang dari aturan perundang- undangan dalam arti hakim memakai atau menerapkan asas “Contra Legem”
dalam memutuskan perkara ini. Contra Legem adalah putusan Hakim pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga
Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang-Undang
tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat. Demi terciptanya suatu keadilan, terkadang hakim dapat bertindak Contra
Legem, yang mana sebagai pijakannya adalah: UU N0. 4 tahun 2004 pasal 28 1 yaitu : ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sedang Pasal 2 ayat 1 Undang-
9
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan perjanjian perkawinan pada Bab V sedangkan harta bersama ditempatkan pada Bab VII. Kompilasi Hukum Islam menempatkan
perjanjian perkawinan pada Bab VII sedangkan harta bersama ditempatkan pada Bab XIII.
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan ; ”Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa Demikian juga pada Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tersebut sebagai UU yang baru dan merupakan perubahan UU sebelumnya,
mengenai Kekuasaan Kehakiman, yang isinya tak jauh beda dengan maksud pasal 281 UU.No. 4 tahun 2004 di atas, yang pokoknya wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Akan tetapi jika dibandingkan dengan Asas atau Aliran Legisme sangatlah bertentangan dengan Asas Contra Legem. Asas Legisme adalah suatu aliran yang
beranggapan bahwa hukum adalah undang-undang. Oleh karena itu aliran ini hanya mengakui hukum yang ada di undang-undang saja, maka satu-satunya
sumber hukum adalah Undang-undang.
10
Namun jika dilihat dari aspek hukum Indonesia yang mengadopsi hukum “civil law” maka seharusnya hakim tetap berpegang teguh pada aturan
perundang-undangan yang berlaku, karena memang hukum Indonesia tidak menganut hukum “anglo-saxon” atau “common law”. Memang sedikit kontras
isi dari Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, menarik rasanya untuk
mengkaji lebih dalam serta menganalisis lebih tajam dengan menguraikan
permasalahan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul” Penerapan Asas Contra
10
Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum, jakarta: UIN Jakarta Press, 2003, h.143.
Legem dalam Pembagian Harta Bersama Analisis Putusan perkara Nomor : 1048Pdt.G2009PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes.