Artinya: “Wanita-wanita  yang  kamu  khawatirkan  nusyuznya,  Maka  nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka dengan  pukulan  yang  tidak  membahayakan,  kemudian  jika  mereka
mentaatimu, Maka
janganlah kamu
mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya.” QS. An-nisa: 34
d. Suami nusyuz
 
 
 
 
 
 
 
 
 
,,
Artinya: “Dan  jika  seorang  wanita  khawatir  akan  nusyuz  atau  sikap  tidak  acuh dari
suaminya,  Maka  tidak  mengapa  bagi  keduanya  mengadakan  perdamaian  yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.” QS. An-nisa:
128
e. Syiqaq
 
 
 
 
 
 
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah  seorang  hakam  dari  keluarga  laki-laki  dan  seorang  hakam  dari keluarga perempuan.” QS. An-nisa: 35
Suami maupun istri mempunyai  hak untuk mempergunakan  harta  yang telah diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan
persetujuan  dengaan  kedua  belah  pihak.  Hal  ini  berbeda  dengan  harta  bawaan yang  keduanya  mempunyai  hak  untuk  mempergunakannya  tanpa  harus  ada
persetujuan  dari  keduanya  atau  masing-masing  berhak  menguasainya  sepanjang para  pihak  tidak  menentukan  lain,  sebagaimana  yang  diatur  dalam  UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 35.
10
Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta gono-gini antara suami istri, sebagaimana  tertuang  dalam  UU  Perkawinan  pasal  35  ayat  1.  Namun,  bukan
berarti  dalam  perkawinan  yang  diakuianya  harta  gono-gini,  sebab,  berdasarkan KHI  pasal  85  dinyatakan  bahwa  ”Adanya  harta  bersama  dalam  perkawinan  itu
tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing suami atau istri”. Sebagaimana  telah  dijelaskan,  harta  gono-gini  dalam  perkawinan  adalah
”harta  suami  yang  diperoleh  selama  dalam  ikatan  perkawinan,  baik  dengan  cara sendiri-sendiri  maupun  secara  bersama  tanpa  mempersoalkan  atas  nama  siapa
harta  itu  terdaftar.  Karena  itu  semua  harta  yang  diperoleh  selam  perkawinan
10
Hilma Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, Cet. IV, 1999, h. 155
menjadi  milik  bersama  suami-istri.  Pengelolaan  harta  tersebut  harus  memperoleh izin dari keduanya”.
11
Pasangan  calon  suami  istri  tersebut  juga  diperbolehkan  menentukan  dalam perjanjian  perkawinan  bahwa  yang  tidak  termasuk  dalam  harta  gono-gini  adalah
harta  pribadi  yang  dibawa  pada  saat  perkawinan  dilangsungkan,  seperti  harta perolehan.  Hal  ini  diatur  dalam  KHI  pasal  49  ayat  2,  ”Dengan  diperjanjikan
mengurangi  ketentuan  tersebut  pada  ayat  1  dapat  juga  diperjanjikan  bahwa percampuran  harta  pribadi  yang  dibawa  pada  saat  perkawinan  dilangsungkan,
sehingga  percampuran  ini  tidak  meliputi  harta  pribadi  yang  diperoleh  selama perkawinan atau sebaliknya ”.
12
3. Pembagian Harta Bersama a. Menurut Fiqih
Harta  bersama  atau  gono-gini  yaitu  harta  kekayan  yang  dihasilkan  bersama oleh  pasangan  suami  istri  selam  terikat  oleh  tali  perkawinan,  atau  harta  yang
dihasilkan  dari  perkongsian  suami  istri.    Untuk  mengetahui  hukum  perkongsian ditinjau  dari  sudut  Hukum  Islam,  maka  perlu  membahas  perkongsian  yang
diperbolehkan  dan  yang  tidak  diperbolehkan  menurut  pendapat  para  Imam Madzhab.  Dalam  kitab-kitab  fiqih,  perkongsian  itu  disebut  sebagai  syirkah  atau
syarikah  yang  berasal  dari  bahasa  Arab.  Para  ulama  berbeda  pendapat  dalam membagi macam-macam syirkah. Adapun macam-macam syirkah yaitu :
11
Muhammad zaid, Mukhtar al shodiq, Copyright2005 Grahacipta All right reserved
12
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, h. 13
1.  Syirkah  Milk  yakni  perkongsian  antara  dua  orang  atau  lebih  terhadap sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian.
2.  Syirkah  Uquud  yaitu beberapa orang  mengadakan  kontrak  bersama  untuk mendapat sejumlah uang. Syirkah ini berjumlah 6 enam macam yakni :
a.  Syirkah  Mufawadhah  bil  Amwal  perkongsian  antara  dua  orang  atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan.
b. Syirkah ‘Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan atau segala macam perniagaan.
c.    Syirkatul  ‘Abdan  Mufawadhah  yaitu  perkongsian  yang  bermodal tenaga.
d. Syirkatul ‘Abdan ‘Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah.
e.  Syirkatul    Wujuh  Mufawadhah  yaitu  perkongsian  yang  bermodlkan
kepercayaan saja. f. Syirkatul Wujuh ‘Inan ialah perkongsian kepercayaan tanpa syarat.
Syirkah  ‘Inan  disepakati  oleh  ulama  tentang  bolehnya,  sedangkan  syirkah mufawadhah hukumnya boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki, Hambali. Tetapi
menurut  madzhab  Syafi’i  tidak  boleh.  Abu  Hanifah  mensyaratkan  sama  banyak modal  antara  masing-masing  peserta  perkongsian.  Untuk  Syirkah  Abdan  boleh
menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali dan tidak boleh menurut madzhab
Syafi’i.  Bedanya  Imam  Malik  mensyaratkan  pekerjaan  yang  mereka  kerjakan harus  sejenis  dan  setempat.  Syirkah  wujuh  boleh  menurut  Ulama  Hanafiah  dan
Ulama Hanabilah dan menurut Imam Maliki dan Syafi’i tidak boleh.
13
Alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan Syirkah mufawadhah  karena nama perkongsian  itu  percampuran  modal.  Imam  Malik  berpendapat,  bahwa  dalam
syirkah  mufawadhah  masing-masing  kongsi  telah  menjualkan  dari  sebagian hartanya  dan  juga  mewakilkan  kepada  kongsinya  yang  lain.  Tetapi  Imam  Syafi’i
menolak  pendapat  ini,  bahwa  perkongsian  bukan  jual  beli  dan  bukan  pula memberikan  kuasa.  Alasan  Imam  Syafi’i  tidak  membolehkan  syirkah  abdan
karena  perkongsian  hanya  berlaku  pada  harta, bukan  pada    tenaga.  Alasan  Imam Malik  membolehkan  perkongsian  tenaga  karena  orang  yang  berperang  sabil  juga
berkongsi tentang ghonimah.
14
Dari macam-macam syirkah  serta adanya perbedaan pendaat dari para Imam madzhab  dan  melihat  praktek  gono-gini  dalam  masyarakat  Indonesia  dapat
disimpulkan  bahwa  harta  gono-gini  termasuk  dalm  syirkah  abdanmufawadhah. Praktek  gono-gini  dikatakan  syirkah  abdan  karena  kenyataan  bahwa  sebagian
besar  dari  suami  istri  dalam  masyarakat  Indonesia  sama-sama  bekerja membanting tulang berusaha mendapatkan  nafkah hidup keluarga sehari-hari dan
sekedar  harta  simpanan  untuk  masa  tua  mereka,  kalau  keadaan  memungkinkan
13
Abd.Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Alal Madzaahibil Al-Arba’ah Jilid III, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, 1990 M1410 H, h. 71
14
Ibnu Rusyd Al Qurtuby Al andalusy, Bidayatul Mujtahid Juz 2, Darul Fikr, Beirut, tt, h. 192
juga  untuk  meninggalkan  kepada  anak-anak  mereka  sesudah  mereka  meninggal dunia.  Suami  istri  di  Indonesia  sama-sama  bekerja  mencari  nafkah  hidup.  Hanya
saja  karena  fisik  istri  berbeda  dengan  fisik  suami  maka  dalam  pembagian disesuaikan  dengan  keadaan  fisik  mereka.  Selanjutnya  dikatakan  syirkah
mufawadhah  karena memang perkongsian suami  istri itu tidak terbatas. Apa saja yang  mereka  hasilkan  selama  dalam  masa  perkawinan  mereka  termasuk  harta
bersama,  kecuali  yang  mereka  terima  sebagai  warisan  atau  pemberian  khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua.
15
Pada  perkongsian  gono-gini  tidak  ada  penipuan,  meskipun  barangkali  pada perkongsian  tenaga  dan  syirkah  mufawadhah  terdapat  kemungkinan  terjadi
penipuan.  Sebab  perkongsian  antara  suami  istri,  jauh  berbeda  sifatnya  dengan perkongsian  lain.  Waktu  dilakukan  ijab  qobul  akad  nikah,  perkawinan  itu
dimaksudkan  untuk  selamanya.  Perkongsian  suami  istri  tidak  hanya  mengenai kebendaan tetapi juga meliputi jiwa dan keturunan.
16
Kitab  Bidayatul  Mujtahid  menerangkan  bahwa  alasan  Imam  Syafi’i  tidak membolehkan  perkongsian  tenaga  dan  perkongsian  kepercayaan  ialah  karena
pengertian  syirkah  menghendaki  percampuran,  dan  percampuan  itu  hanya  dapat terjadi  pada  modal,  sedang  pada  perkongsian  tenaga  dan  kepercayaan  tidak  ada
modal. Dalam hal ini hanya madzhab Imam Syafi’i saja yang tidak membolehkan.
15
Ismuha, Pencaharian Harta Bersama Suami Istri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 11, 1978, h. 78-79
16
Ibid, h. 102-103