Pembagian Harta Bersama a. Menurut Fiqih

juga untuk meninggalkan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal dunia. Suami istri di Indonesia sama-sama bekerja mencari nafkah hidup. Hanya saja karena fisik istri berbeda dengan fisik suami maka dalam pembagian disesuaikan dengan keadaan fisik mereka. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadhah karena memang perkongsian suami istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua. 15 Pada perkongsian gono-gini tidak ada penipuan, meskipun barangkali pada perkongsian tenaga dan syirkah mufawadhah terdapat kemungkinan terjadi penipuan. Sebab perkongsian antara suami istri, jauh berbeda sifatnya dengan perkongsian lain. Waktu dilakukan ijab qobul akad nikah, perkawinan itu dimaksudkan untuk selamanya. Perkongsian suami istri tidak hanya mengenai kebendaan tetapi juga meliputi jiwa dan keturunan. 16 Kitab Bidayatul Mujtahid menerangkan bahwa alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan perkongsian tenaga dan perkongsian kepercayaan ialah karena pengertian syirkah menghendaki percampuran, dan percampuan itu hanya dapat terjadi pada modal, sedang pada perkongsian tenaga dan kepercayaan tidak ada modal. Dalam hal ini hanya madzhab Imam Syafi’i saja yang tidak membolehkan. 15 Ismuha, Pencaharian Harta Bersama Suami Istri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 11, 1978, h. 78-79 16 Ibid, h. 102-103 Secara logika perkongsian itu boleh karena merupakan jalan untuk mendapatkan karunia Allah, seperti dalam fiman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi :                 Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” QS. Al-jumu’ah: 10 Mengingat perkongsian itu banyak macamnya terjadilah selisih pendapat tentang hukumnya. Perkongsian yang menurut ulama tidak diperbolehkan yaitu yang mengandung penipuan. Dalam kaitannya dengan harta kekayaan disyari’atkan peraturan mengenai muamalat. Karena harta bersama atau gono-gini hanya dikenal dalam masyarakat yang adatnya mengenal percampuran harta kekayaan maka untuk menggali hukum harta bersama digunakan qaidah kulliyyah yang berbunyi : ةد ﺎﻌﻟا ﻤﻜﺤﻣ ﺔ “adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”. 17 Dasar hukum dari qaidah di atas yaitu firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat 233 yang berbunyi : ..          ,, Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf.” QS. Al-baqarah: 233 Dalam ayat itu Allah menyerahkan kepada urf penentuan jumlah sandang pangan yang wajib diberikan oleh ayah kepada istri yang mempunyai anaknya. Qaidah Al-‘Adatu Muhkamah dapat digunakan dengan syarat-syarat tertentu yaitu sebagai berikut : 1. Adat kebiasaan dapat diterima oleh perasaan sehat dan diakui oleh pendapat umum. 2. Berulang kali terjadi dan sudah umum dalam masyarakat. 3. Kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, tidak boleh adat yang akan berlaku. 4. Tidak ada persetujuan lain kedua belah pihak, yang berlainan dengan kebiasaan. 17 Hasbi Ash.Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 1, 1976, h. 88 5. Tidak bertentangan dengan nash. 18 Hukum Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi dalam hal ini hukum Qur’an memberi kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami istri sebelum diadakan perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan hadits. 19 Masalah harta bersama ini merupakan masala Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada. Masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 agar umat Islam di Indonesia memiliki pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi. Peradilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam 18 Ibid, h. 477 19 Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi perbandingan, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. 11, 1986, h. 113 menetapkan porsi harta bersama untuk suami istri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu.

b. Menurut Perundang-undangan di Indonesia

Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dalam pasal 1 mengatakan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.” 20 Dalam pasal tersebut tersimpul adanya asas, bahwa antara suami istri terdapat ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, ikatan yang nampak dari luar atau ikatan terhadap dasar benda tertentu yang mempunyai wujud, tetapi meliputi ikatan jiwa, bathin atau ikatan rohani. Jadi menurut asasnya suami istri bersatu, baik dalam segi materiil maupun dalam segi spiritual. 21 Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang menentukan : a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 20 UUP No 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya, h. 1 21 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Cet.1, 1991, h. 185-186 b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut BW yaitu bahwa dalam satu ke;uarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami istri. Menurut UU No.11974 kelompok harta yang mungkin terbentuk adalah a. Harta bersama Menurut pasal 35 UU No.1 tahun 1974 harta bersama suami istri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai seorang diantara mereka cerai mati, maupun karena perceraian cerai hidup. Dengan demikian, harta yang telah dimiliki pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. 22 Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah : 1 Hasil dan pendapatan suami 2 Hasil dan pendapatan istri 22 Ibid, h. 188-189 3 Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. Dengan demikian, suatu perkawinan paling tidak bagi mereka yang tunduk pada hukum Adat yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, paling- paling, kalau suami istri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil. 23 b. Harta pribadi Harta yang sudah dimiliki suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi suami istri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari : 1 Harta bawaan suami istri yang bersangkutan. 2 Harta yang diperoleh suami istri sebagai hadiah atau warisan. Apa saja yang dimaksud dengan “harta bawaan”, dalam Undang-undang maupun dalam penjelasan atas UU RI nomor 11974 tentang perkawinan tidak ada penjelasan lebih lanjut tetapi mengingat apa yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang dimaksud di sini adalah harta yang dibawa oleh suami istri. Jadi yang sudah ada pada suami dan atau istri ke dalam perkawinan. 23 Ibid , h. 192 Adanya pemisahan secara otomatis demi hukum antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan atau sebelumnya dapat menimbulkan banyak masalah dikemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian perceraian. Adalah sangat menguntungkan, kalau dikemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami istri. Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan suamiistri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja. 24 Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang dianut dalam BW yang menyebutkan bahwa harta yang suami atau istri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan masuk ke dalam harta persatuan kecuali bila ada perjanjian lain. Pasal lain dalam UU No.1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36 dan 37 yang berbunyi : Pasal 36 24 Ibid , h. 193-194 1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII. Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No.1 tahun 1974. Mengenai harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97. 1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. 2. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami menjadi hak dan dikuasai penuh olehnya. B. Asas Contra Legem dan Aliran Hukum

1. Pengertian Asas Contra Legem

Yang dimaksud dengan Asas Contra Legem yaitu wewenang seorang hakim untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. 25 Lebih lanjut mengemukakan bahwa sesuai dengan tugas dan sumpah jabatannya, maka hakim Peradilan Agama berkewajiban mengadili dan memutuskan perkara yang menjadi wewenangnya berdasarkan hukum Islam dan peraturan yang berlaku. Jadi, kedudukan hakim agama adalah hakim negara dan sama dengan hakim dalam lingkungan peradilan lainnya, tidak ada perbedaan dan tidak ada diskriminasi. Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang mempertanyakan apakah hakim agama termasuk juga hakim negara? Sehubungan dengan hal ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga 25 K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Ghalia Indonesia, Cet.4, 1981 dalam ketentuan instruksi tersebut, apabila berstatus sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji dari kas negara. Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA0011983 dan Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama, sehingga pengadaan eksistensi Hakim Peradilan Agama sebagai hakim negara tidak perlu dipersoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di lingkungan peradilan yang lain. 26 Pasca Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menunjukan banyak peran hakim Peradilan Agama yang harus dilaksanakan antara lain sebagai berikut :

a. Sebagai Penegak Hukum

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar. 26 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana, Cet.1, 2007, h. 176 -177 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, seorang hakim dapat berijtihad dengan sempurna apabila : 1 memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu hukum dan ilmu sosial lainnya, 2 harus mengetahui dengan baik kitab Al- qur’an, As-sunnah, ijma’ para ulama, Qiyas, bahasa Arab dan tata aturan ijtihad yang telah diterapkan oleh syariat Islam, 3 mengetahui putusan yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan pelaksanaan hukum di Indonesia ini. Untuk itu harus dipertimbangkan dengan betul untuk dapatnya seseorang diangkat sebagai hakim. Dengan demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum- hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh hukum syara’ , sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot keadilan yang dapat diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.

b. Sebagai Pembentuk Undang-undang atau Penemu Hukum

Oleh karena Undang-undang sering tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya dan menemukan makna normatif hukumnya. Penemuan hukum rechtsvinding lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengikat peristiwa konkret. 27 Tidak selamanya asas Statute Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasuistik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai Hukum yang terjadi. Mekanisme yang ditempuh oleh Hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan. diantaranya yaitu : 1. Didasarkan pada Alasan kepatutan dan kepentingan umum Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yusrisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai Hukum dan keadilannya dari peraturan-peraturan undang-undang, meski didasarkan atas “kepatutan” dan “perlindungan kepentingan umum”. Hakim harus menguji dan menganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai Hukum yang terkandung dalam yurisprudensi yang bersangkutan jauh potensial bobot kepatutan dan perlindungan kepentingan umumnya dibanding dengan nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini Hakim harus mampu secara”komparatif analisis” mengkaji antara nilai kepatutan dan 27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suara Pengantar. Yogyakarta: Liberty, h. 135-137

Dokumen yang terkait

Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/Pa.Jp)

1 29 86

HAK SUAMI SEBAGAI AHLI WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

1 6 104

Penerapan Asas Contra Legem Dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/Pa.Bbs Di Pengadilan Agama Brebes

2 23 110

Penyelesaian Harta Bersama Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)

2 18 0

Hak Suami Sebagai Ahli Waris Dalam Komplikasi Hukum Islam (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

0 11 104

Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

1 12 0

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172

Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

0 32 143

View of Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian: Studi Kasus di Pengadilan Agama Bekasi

0 0 20

Studi Tentang Pelaksanaan Pembagian Har Ta Bersama Di Pengadilan Agama Sukoharjo (Studi Putusan No.0910/Pdt.G/2010/Pa.Skh )

0 1 82