konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah dimunculkan
pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita
semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-
benturan antar kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
d. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi, yang
dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama
yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.
e. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Adapun jika dijadikan bagan akan terlihat seperti gambar di bawah ini.
36
Klimaks
Inciting Forces Denouement,
Pelarian
d. Latar cerita
Abrams dalam Nurgiantoro menyebutkan bahwa latar atau setting atau yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,
36
Burhan Nurgiantoro, Op.Cit., h. 209-210
hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan.
37
Latar memberikan pijakan secara jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan
suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
38
Unsur latar dalam Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu,
dan sosial. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin
berupa nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial-budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.
39
e. Gaya bahasa
Bahasa adalah bahan mentah sastrawan.
40
Persoalan gaya bahasa sastra bukanlah tentang efisiensi dan efektifitas penggunaan bahasa, melainkan
tentang cara penggunaan bahasa untuk menghasilkan efek tertentu. Gaya bahasa sastra tidak saja dalam arti keindahan, melainkan juga dalam arti
kemantapan pengungkapan. Efektivitas dan efisiensi berkaitan dengan tata
37
Ibid., 302
38
Ibid., h. 303
39
Ibid., h. 314-322
40
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 217
bahasa. Dalam analisis sastra, unsur fonetik bahasa tidak dapat dipisahkan dari makna.
41
Sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, dan sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana
bahasa.
42
G. Hakikat Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.
43
Dari segi etimologi,
sosiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata „sosio‟ Socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman yang bermakna masyarakat dan
„logi‟ atau logos yang artinya ilmu.
44
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.
45
Jadi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan masyarakat.
Sastra dari aka r kata „sas‟ Sanskerta berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran „tra‟ berarti alat, sarana. Sastra dapat dikatakan kumpulan alat untuk mengajar atau buku petunjuk. Maka
kesusastraan artinya kumpulan hasil karya yang baik. Sesungguhnya antara sosiologi dan sastra merupakan dua ilmu yang
memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat.
46
Hakikat sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah
objektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang. Jadi, dasar pemikiran yang mengitari konsep sosiologi sastra
adalah keterkaitan sastra dengan masyarakat.
41
Ibid., h.220
42
NI Nyoman Karmini, Op.cit., h. 72.
43
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013 h. 1.
44
Ekarini Saraswati, Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal, Malang: UMM Press h. 2.
45
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979 h. 7
46
Nyoman Kutha Ratna, Op.cit., h. 2.
Munculnya sebuah karya sastra merupakan gambaran dari masyarakat itu sendiri, sebab sastra merupakan refleksi hubungan seseorang dengan orang
lain atau dengan masyarakat.
47
Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan
situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.
48
Untuk meneliti sebuah karya sastra dalam penelitian ini khususnya drama sangat berkaitan dengan masyarakat, sehingga untuk mendeskripsikan
sosial yang terjadi dalam masyarakat dibutuhkan ilmu sosial. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari
kenyat aan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia
subjektif manusia.
49
Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara
mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di
sekitarnya.
50
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak
terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semua itu tercermin dalam karya sastranya. Oleh karena itu, seluruh situasi yang
berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra.
Hill dalam Pradopo menyebutkan karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk memahaminya haruslah karya sastra
47
Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002, h. 151.
48
Ibid.,
49
Wellek dan Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 109.
50
Nyoman Kutha Ratna, Op.cit., h. 25.
dianalisis.
51
Sedangkan Goldman dalam Faruk mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yaitu, 1 bahwa karya sastra
merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan 2 bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan
semesta tokoh, objektif, dan relasi secara imajiner.
52
Konsep tersebut menandai bahwa sosiologi sastra akan meneliti sastra sebagai 1 ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai sebuah cermin,
2 karya sastra memuat aspek sosial budaya, yang memiliki fungsi siosial berharga. Aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup
bermasyarakat.
H. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra dapat diterapkan disemua jenjang sekolah mulai dari SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi yang tentunya harus disesuaikan dengan
kompetensi yang hendak dicapai. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra.
53
Dalam pembelajaran sastra peserta didik dapat diajak untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran seperti, membaca, memahami,
menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Sastra sesungguhnya dapat memperhalus perasaan dan jiwa para siswa. Lewat sastra, mereka akan
mengenal hidup, toleran, dan anti kekerasan.
54
“Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan
mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap
masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Siswa diharapkan mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan
51
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 108.
52
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, h. 71.
53
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 168.
54
Taufik Ismail, “Pelajaran Bahasa Indonesia Harus Tekankan Apresiasi Sastra”,
Kompas,2001 h. 9
karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa”.
55
Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
56
I. Penelitian yang Relevan
Penelitian relevan digunakan untuk menghindari adanya praktik plagiarisme. Untuk menghindari hal tersebut penulis akan paparkan beberapa
penelitian sebelumnya untuk dijadikan perbandingan dan penelitian relevan. Penelitian relevan tersebut antara lain:
Skripsi berjudul “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, ini karya Yunita Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia pada tahun 2014. Penelitian tersebut mendeskripsikan pandangan hidup seorang tokoh dalam drama Umang-umang atawa Orkes Madun II Karya Arifin
C.Noer. Hasil penelitian tersebut meliputi: pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi diperlukan cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat
lemah dan tidak bergairah dalam hidup. Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia menikah dan memiliki
keluarga. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang bagianya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap
waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat, adalah pandangan hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong, berharap sama saja
55
Martono, “Pembelajaran Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural”; Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media; Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXI Himpunan
Sarjana Kesusatraan IndonesiaSurabaya: Unair, 2010, h. 458.
56
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1988, h. 16.