Pengaturan Arbitrase dalam dunia penyiaran

Disamping 2 aliran tersebut, ada suatu perkembangan yang bersifat sempalan yang sangat berlawanan dengan aliran pacta sun servanda seperti yang diputus oleh mahkamah agung nomor 1851 KPdt1984. Disini Pengadilan Negeri tetap menyatakan berwenang mengadili dan Mahkamah Agung membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius istilah Pengadilan Negeri yang bersangkutan: “Dalam hati para pihak tidak ada niat untuk menggunakan arbitrase”. 28 Dalam undang-undang AAPS, sengketa yang bisa diselesaiakan secara arbitrase adalah sengketa-sengketa di bidang bisnis, perburuhan, sepanjang sengketa tersebut menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak 29 Pasal 5 ayat 1 undang-undang AAPS menyebutkan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melaui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Secara penafsiran argumentum a contratio, objek sengketa yang menjadi kewenangan lembaga arbitrase sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. 28 Ibid, h.21 29 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia Jakarta: Rajawali Press, 2009 h.238 Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat voorwaardelijke verbentenis karenanya, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. 30 Dalam hukum arbitrase dikenal klausula pactum de compromintendo. Pengaturan bentuk klausula pactum de compromintendo ini dapat dijumpai dalam Pasal 27 undang-undang AAPS, yang menyatakan bahwa “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara merek untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Juga dapat dijumpai dalam pasal II Ayat 2 Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan “…the parties undertake to submit to arbitration all or any differences …which may arise between them….”. 31 Pasal 10 undang-undang AAPS menegaskan suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan: a. Meninggalnya salah satu pihak b. Bangkrutnya salah satu pihak c. Novasi d. Insolvensi salah satu pihak e. Pewarisan f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok\bilamana pelaksanaan perjanjian dialihtugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melkukan perjanjian arbitrase tersebut atau g. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menyatakan pula putusan arbitrase dapat dimohonkan pemeriksaan pada peradilan kedua, oleh salah satu 30 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional Jakarta: Grasindo, 2002h.22 31 Ibid, h.24 dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat dimohonkan ulangan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung. Putusan MA ini merupakan putusan tingkat kedua dan terakhir.Ini berarti tiada kasasi maupun peninjauan kembali yang dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase. 32 32 Ibid h.98