Arbitrase di Indonesia Tinjauan Umum Tentang Arbitrase

Arbitrase di Indonesia menjadi favorit dikalangan pelaku bisnis karena mempunyai banyak kelebihan dan begitupun sebaliknya, banyak kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu: 17 1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat 2. Biaya berperkara yang mahal 3. Pengadilan umumnya tidak responsif 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaiakan masalah 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis Sebagai contoh mengenai cepatnya proses arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yaitu dalam waktu 14 empat belas hari sejak negosiasi dilakukan, para pihak sudah harus mengambil keputusan dalam bentuk tertulis. Jika belum menghasilkan kesepakatan maka para pihak meminta pendapat ahli atau menunjuk mediator. Penasihat ahli atau mediator ini diberikan waktu yang sama yakni selama 14 hari untuk menyelesaikan sengketa. Jika tidak juga berhasil maka dapat ditempuh penyelesaian tahap ketiga yaitu menunjuk seorang mediator oleh lembaga arbitrase atas permintaan para pihak yang bersengketa.Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini diharapkan sudah selesai paling lambat 30 hari terhitung sejak usaha mediasi ini dimulai.Putusan kesepakatan pilihan penyelesaian sengketa tersebut dibuat secara tertulis dan bersifat final dan mengikat.Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lambat 30 hari sejak penandatanganan.Selanjutnya 17 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997 h.240-247 dalam waktu paling lambat 30 hari sejak pendaftaran, hasil kesepakatan penyelesaian sengketa tersebut wajib selesai dilaksanakan. Jika cara perdamaian melalui pilihan penyelesaian sengketa ini tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Upaya penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dilakukan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter dibentuk dan pemeriksaannya dilakukan menurut ketentuan yang diatur dalam undang- undang AAPS. 18

B. Prinsip-Prinsip Arbitrase

Agar arbitrase dapat menjadi badan penyelesaian sengketa yang ampuh, seharusnya badan arbitrase menganut beberapa prinsip sebagai berikut: 19 1. Efisien 2. Accessibility 3. Proteksi Hak Para Pihak 4. Final and Binding 5. Fair and Just 6. Sesuai dengan Sence of Justice dari Masyarakat 7. Kredibilitas 18 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional Jakarta: Grasindo, 2002 h.16-17 19 Munir Fuady, Alternatif Penyelesaian Sengaketa Bisnis Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000 h.93-94 Dalam asuransi, kondisi arbitrase juga diterapkan dalam polis sebagai alat untuk penyelesaian perselisihan.Bila tertanggung dirugikan atas keputusan satu arbitrase, dia tidak dapat naik banding sesuai dengan Undang – undang Arbitrase tersebut.Prinsip ini mengacu pada adanya perselisihan khususnya masalah teknis perhitungan ganti rugi. Undang – undang tentang arbitrase di Inggris: Arbitration Acts 1950 dan diamendemen menjadi the Arbitration Act 1979. 20 Arbitrase mepunyai karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta final dan mengikat binding, selain sifatnya yang rahasia confidential di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan- putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri. 21 Bacelius Ruru memberikan pendapat mengenai prinsip-prinsip umum Arbitrase antara lain sebagai berikut: 22 20 http:www.akademiasuransi.org201309prinsip-dan-prosedur-arbitrase.html dilihat pada tanggal 15 April 2015 21 http:www.bani-arb.orgbani_main_ind.html dilihat tanggal 15 April 2015 22 http:www.bapmi.orginref_articles5.php dilihat tanggal 15 April 2015 a. syarat utama Arbitrase adalah adanya kesepakatan para pihak bahwa sengketa akan diselesaikan melalui Arbitrase Perjanjian Arbitrase, tanpa perjanjian tersebut maka Arbitrase tidak berwenang menangani persengketaan dimaksud; b. pengadilan tidak berwenang menangani persengketaan yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase; c. para pihak yang telah terikat oleh Perjanjian Arbitrase tidak mempunyai hak lagi untuk mengajukan perkara ke pengadilan; d. Arbiter berwenang memutuskan perkara, bahkan dalam hal ketidakhadiran salah satu pihak; e. putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat; f. intervensi seminim mungkin dari pengadilan terhadap pertimbangan Arbiter, namun ada dukungan dari pengadilan untuk pelaksanaan putusan Arbitrase; g. Arbiter dipilih oleh para pihak; h. para pihak mempunyai kesempatan yang sama untuk didengar pendirian dan penjelasannya; i. pemeriksaan Arbitrase berlangsung dalam kerangka waktu yang ditetapkan di awal; j. para pihak bebas memilih tempat, acara dan bahasa yang dipergunakan dalam Arbitrase; k. putusan Arbitrase dapat dimohonkan pembatalan dengan alasan tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang Pengakuan terhadap Arbitrase dan AAPS lainnya di Indonesia bisa dilihat pada ratifikasi Indonesia atas New York Convention melalui Keppres Nomor 34 tahun 1981, Pasal 3 ayat 1 undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bagian penjelasan bahwa undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau Arbitrase, dan telah diberlakukannya undang-undang khusus yakni Undang-Undang AAPS sejak tahun 1999. Undang-undang AAPS, sebagaimana halnya negara lain dan lembaga-lembaga APS, mempunyai kesamaan prinsip-prinsip umum. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat Arbitrase memang pada mulanya ditujukan bagi pelaku bisnis yang tidak mengenal batas-batas negara, yang menjalankan bisnis sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional. Kita hampir tidak menemukan perbedaan yang prinsip antara undang-undang AAPS dengan New York Convention atau UNCITRAL Model Law atau ICC Rules on Arbitration, begitu pula dengan Peraturan Acara Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, BANI, dan banyak lembaga Arbitrase lainnya. Di samping peraturan perundang-undangan, pengadilan di Indonesia dan Mahkamah Agung sebenarnya juga banyak memberikan dukungan terhadap Arbitrase domestik maupun asing, baik penguatanpengakuan terhadap Perjanjian Arbitrase, penegasan terhadap kompetensi absolut Arbitrase, dan juga pelaksanaan putusan Arbitrase. Berdasarkan uraian di atas, Arbitrase dan putusannya telah mendapatkan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan maupun pengadilan di Indonesia, dan bahwa ketentuan mengenai Arbitrase di dalam undang-undang AAPS, Peraturan Acara BAPMI, BANI dan lembaga Arbitrase nasional di Indonesia sudah sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional, sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sebagai alternatif penyelesaian sengketabeda pendapat yang dapat memenuhi tuntutan pelaku bisnis di Indonesia, yaitu penyelesaian secara