ini tidaklah mengherankan mengingat Arbitrase memang pada mulanya ditujukan bagi pelaku bisnis yang tidak mengenal batas-batas negara, yang
menjalankan bisnis sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional. Kita hampir tidak menemukan
perbedaan yang prinsip antara undang-undang AAPS dengan New York Convention
atau UNCITRAL Model Law atau ICC Rules on Arbitration, begitu pula dengan Peraturan Acara Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia, BANI, dan banyak lembaga Arbitrase lainnya.
Di samping peraturan perundang-undangan, pengadilan di Indonesia dan Mahkamah Agung sebenarnya juga banyak memberikan
dukungan terhadap
Arbitrase domestik
maupun asing,
baik penguatanpengakuan terhadap Perjanjian Arbitrase, penegasan terhadap
kompetensi absolut Arbitrase, dan juga pelaksanaan putusan Arbitrase.
Berdasarkan uraian di atas, Arbitrase dan putusannya telah mendapatkan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan
maupun pengadilan di Indonesia, dan bahwa ketentuan mengenai Arbitrase di dalam undang-undang AAPS, Peraturan Acara BAPMI, BANI dan
lembaga Arbitrase nasional di Indonesia sudah sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional,
sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi.
Sebagai alternatif penyelesaian sengketabeda pendapat yang dapat memenuhi tuntutan pelaku bisnis di Indonesia, yaitu penyelesaian secara
cepat, efisien, murah, mandiri dan adil. Prinsip Dasar Arbitrase menurut Felix Oentoeng Soebagjo yaitu:
23
1. Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian
2. Terjamin kerahasiaan sengketa
3. Terhindar dari kelambatan karena prosedural dan administratif
4. Arbiter yang memiliki wawasan dan pengalaman
C. Pengaturan Arbitrase dalam dunia penyiaran
Dalam perkembangan hukum Indonesia saat ini belum terdapat pengaturan yang jelas mengenai arbitrase dalam dunia penyiaran. Baik
undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tentang Penyiaran maupun Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Swasta juga tidak membahas sedikitpun tentang arbitrase sebagai suatu bentuk penyelesaian sengketa penyiaran.
Dikatakan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia KPI Muzayyad, kewenangan KPI terbatas di etika penyiaran dan kaidah-kaidah penyiaran
yang bersangkutan dengan kepentingan publik. Sedangkan status kepemilikan saham, KPI tak memiliki hak dan kewenangan untuk itu.
24
Keberadaan KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili
23
Felix Oentoeng Soebagjo, Materi Diskusi Kuliah Tanggung Jawab Profesi Arbiter
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
24
http:poskotanews.com20141210kpi-tak-mau-campuri-konflik-di-tpi dilihat pada 16
April 2015
kepentingan masyarakat. Yang menarik adalah kedudukan lembaga KPI baik dari sisi Hukum maupun politik, dimana KPI diposisi dan didudukkan sebagai
lembaga kuasi negara atau auxilarry state institution. Posisi tersebut menyetarakan posisi KPI dengan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK,
Lembaga Arbitrase, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, ataupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPI juga merupakan lembaga yang berfungsi
sebagai limited transfer authority karena selama ini pengelolaan penyiaran merupakan hak eksklusif pemerintah.
25
Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan
antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian,
operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara
lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya
pelanggaran yang oleh undang-undang Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam
menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada
umumnya.
25
Judhariksawan, Hukum Penyiaran, Jakarta: Rajawali Press, 2010 hal. 9
Bahwa sebagai lembaga quasi negara, seharunya KPI memiliki kewenangan mengeluarkan keputusan layaknya lembaga extra yudisial
lainnya, seperti lembaga arbitrase, KPPU, ataupun BPSK.
26
Namun kelemahan sistem arbitrase dalam bidang penyiaran ini masih belum bisa
diperbaiki hingga waktu yang tidak dapat diketahui kapan.
D. Gugatan Perkara Yang Didalamnya Terdapat Klausula Arbitrase
Ada dua mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, apakah bisa dikesampingkan oleh para pihak yaitu:
27
1. Aliran yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan public policy. Putusan
Hoge Raad Belanda, 6 Januari 1952 misalnya. Disini ditegaskan, sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang
mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan karena kalusula arbitrase bukanlah openbaar orde.
2. Aliran yang menekankan asas “pacta sunt servanda” pada klausula
arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para
pihak.
26
Artikel ditulis
oleh Rocky
Marbun dan
di unduh
pada alamat
https:www.academia.edu5625128peranan_komisi_penyiaran_indonesia pada tanggal 21 april
2015
27
Ibid, h. 20
Disamping 2 aliran tersebut, ada suatu perkembangan yang bersifat sempalan yang sangat berlawanan dengan aliran pacta sun servanda seperti
yang diputus oleh mahkamah agung nomor 1851 KPdt1984. Disini Pengadilan Negeri tetap menyatakan berwenang mengadili dan Mahkamah
Agung membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius istilah Pengadilan Negeri yang bersangkutan: “Dalam hati para pihak tidak ada niat
untuk menggunakan arbitrase”.
28
Dalam undang-undang AAPS, sengketa yang bisa diselesaiakan secara arbitrase adalah sengketa-sengketa di bidang bisnis, perburuhan, sepanjang
sengketa tersebut menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak
29
Pasal 5 ayat 1 undang-undang AAPS menyebutkan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melaui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Secara penafsiran argumentum a contratio, objek sengketa yang menjadi kewenangan
lembaga arbitrase sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
28
Ibid, h.21
29
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia Jakarta: Rajawali Press, 2009 h.238