Penerapan prinsip arbitrase di indonesia dalam studi sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV): analisis putusan MA No. 862 K/Pdt/2013

(1)

(Analisis Putusan MA No. 862 K/Pdt/2013)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Helmi Abdullah

1111048000077

Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat dan salam selalu terhatur bagi junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum, pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini, bukanlah hal yang yang mudah bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini . oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih pada: 1) Bpk. Dr. Asep Saefudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas perkuliahan dan menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas. 2) Bpk. Dr. Asep Syarifudin Hidayat, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing perkuliahan hingga penulis bisa menyandang gelar Sarjana Hukum.

3) Bpk. Dr. Alfitra, SH, MH, selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing karya tulis ilmiah saya berupa skripsi sampai dengan lulus ujian munaqosyah.

4) Bpk. Dr. Pri Pambudi Teguh, SH, MH, selaku Panitera Muda Perdata yang telah memberikan data-data pendukung skripsi ini.

5) Pimpinan Perpustakaan FSH UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

6) Seluruh teman-teman seperjuangan di LDK Syahid, KKN Care-122, HIJAR PUI, Pemuda PUI, CIDES UIN Jakarta dan Keluarga Besar Ilmu Hukum UIN Jakarta yang telah memberikan dukungan dan doa yang berarti bagi penulisan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 10 Juni 2015


(6)

ii

ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang akuisisi yang dilakukan oleh PT. Berkah Karya Bersama terhadap PT. Citra Televisi Pendidikan Indonesia ditinjau dari hukum arbitrase, yang sampai skripsi ini selesai dibuat masih belum selesai perkaranya. Lembaga arbitrase mempunyai kompetensi absolut dalam menangani perkara yang dalam perjanjiannya memuat bahwa cara penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara arbitrase dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang-undang (pasal 11 ayat 2 undang-undang arbitrase dan APS). Namun pihak Sri Hardiyanti alias Tutut sebagai pemilik perusahaan yang di akuisisi merasa akuisisi ini tidak sah dan menggugat ke pengadilan agar kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) atau sekarang disebut MNC TV agar kembali menjadi milik mereka. Disisi lain, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa pihak Hary Tanoe sebagai pemilik sah TPI (MNC TV). Oleh karena itu, pelanggaran yang dilakukan lembaga pengadilan ini dengan tetap menerima perkara yang berklausula arbitrase menjadikan putusannya batal demi hukum.

Kata kunci : Prinsip Arbitrase, Akuisisi, Sengketa Kepemilikan TPI Daftar Pustaka : Dari tahun 1997 sampai 2012


(7)

iii

DAFTAR ISI HALAMAN DEPAN

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ………... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ... 8

E. Kerangka Konseptual ………... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE A. Arbitrase di Indonesia ... 15

B. Pinsip-Prinsip Arbitrase ... 19

C. Pengaturan Arbitrase Dalam Dunia Penyiaran ... 23

D. Gugatan Perkara Yang Didalamnya Terdapat Klausula Arbitrase ... 25

E. Kekuatan Eksekusi Putusan Arbitrase ... 28

BAB III EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE YANG BERLAWANAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN A. Pelanggaran Lembaga Pengadilan Terhadap Prinsip-Prinsip Arbitrase ... 30

B. Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase ... 32


(8)

iv

BAB IV KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS SENGKETA KEPEMILIKAN TPI

A. Kasus Posisi ... 41 B. Analisis Yuridis ... 49

BAB VPENUTUP

A. Kesimpulan ... 55 B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arbitrase menjadi favorit para pelaku bisnis untuk penyelesaian sengketa dibanding lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dibanding yang lain.

Alternative Dispute Resolution hanya didasarkan pada consensus atau mufakat para pihak, sedangkan arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat memutus (adjudicative).1 Harapannya akan lebih memuaskan para pihak karena (secara teori) prosesnya lebih cepat, hemat biaya dan konfidensial. Namun dalam praktiknya, banyak pihak yang tidak terpenuhi harapannya tersebut. Hal ini sebenarnya sudah dapat diminimalisir karena pada saat berlakunya undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternative Penyelesaian Sengketa, masalah-masalah yang ada dalam 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R) , dan Pasal 705 Rechtsreglement Buistengewesten (RBg), dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Bahkan dibandingkan dengan pengaturan dalam arbitrase The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) 1985 (Model Law) yang terdiri atas 36 Pasal, undang-undang No. 30/1999 yang terdiri dari 82 Pasal tersebut telah lebih luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase.2

1

Takdir Rahmadi, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h.11

2

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.18


(10)

Institusi arbitrase ini sebenarnya bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengeta di luar pengadilan. Masih ada beberapa alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga abitrase, misalnya negosiasi, mediasi, konsiliasi, pencari fakta, peradilan mini (mini trial), ombudsman, pengadilan kasus kecil (small claim court) dan peradilan adat.3

Masalah-masalah yang timbul kemudian adalah banyaknya prinsip-prinsip arbitrase yang tidak diindahkan oleh para stakeholder. Misalnya dalam Model Law di bagian ketentuan umum (General Provision) tentang prinsip pembatasan intervensi pengadilan atau limited court involevement yang telah diatur di dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang Arbitrase dan APS, yaitu:

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang-undang” dalam kenyataannya Pengadilan Negeri tetap menerima perkara yang didalamnya telah mengikat para pihak dengan perjanjian berklausula arbitrase. Terlihat dalam beberapa yurisprudensi Pengadilan negeri yang memutus perkara bertentangan dengan prinsip tersebut diantaranya putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor:

012 K/N/1999 yang memenangkan PT Enindo sebagai pemohon pailit terhadap

PT. Putra putri sebagai termohon pailit. Pengadilan Niaga harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang terdapat klausul arbitrase di dalamnya. Asumsinya, hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Niaga yang

3

Munir Fuady, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2000) h.33-60


(11)

merupakan bagian dari Peradilan Umum adalah H.I.R. Pendapat ini dianut oleh hakim-hakim Pengadilan Niaga. Namun, Mahkamah Agung berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam suatu perjanjian tidak dengan sendirinya menyebabkan Pengadilan Niaga dalam masalah kepailitan tidak berwenang mengadilinya.

Menurut Pasal II ayat (3) Konvensi New York 1958, berbunyi:

The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and

void, inoperative or incapable of being performed.”

yang menunjukan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kompetensi absolut terhadap perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase untuk para pihak yaitu sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".4

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

4

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009) h.47


(12)

Penyimpangan ini terlihat pada kasus Bankers Trust (BT) vs. PT Jakarta International Hotel Development (JIHD). Sengketa antara BT vs. JIHD sebenarnya telah sampai pada putusan. Pengadilan Arbitrase Internasional London telah mengeluarkan putusan (award) yang pada intinya menyatakan JIHD telah wanprestasi dan cidera janji. JIHD juga dihukum untuk membayar ganti rugi kepada BT.

Selain itu Pasal III Konvensi, prinsip-prinsip lain yang dilanggar yaitu prinsip bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding dan konsekwensinya,

putusan tersebut dengan sendirinya mengandung “kekuatan eksekutorial” atau “executorial kracht”.5 Itu berarti bahwa kekuatan eksekusi putusan BANI pada November 2014 yang memenangkan pihak PT Karya Berkah Bersama (BKB) telah final dan mengikat.

Namun pada kasus Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk dan Bankers Trust vs. PT Jakarta International Development Tbk, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memberikan eksekusi terhadap putusan Arbitrase London karena mengganggu ketertiban umum. Begitu juga putusan Mahkamah Agung dalam perkara E.D & F. MAN (SUGAR) Ltd vs Yani Haryanto pada tahun 1991 yang menjadi kasus pertama bagi Indonesia untuk menolak pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri berdasarkan ketertiban umum.6

Kenyataan-kenyataan tersebut membangun opni bahwa lembaga arbitrase merupakan tempat untuk menyelesaikan perkara namun tanpa kepastian hukum

5

M. Yahya Harahap, Arbitrase (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) h.25-27 6

Dilihat di http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1905/arbitrase-pilihan-tanpa-kepastian tanggal 16/12/14


(13)

dan apabila kasusnya telah menang namun sesungguhnya itu hanya kemenangan diatas kertas karena tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.

Dalam kasus sengketa kepemilikan PT. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) atau sekarang yang telah berubah nama menjadi MNC TV ini berawal dari diterimanya permohonan pailit Sri Hardiyanti alias Tutut oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam putusannya nomor No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST lalu putusan ini dibatalkan lewat putusan kasasi MA no. 862 K/Pdt/2013 karena MA berpendapat bahwa kasus kepailitan ini bukan kepailitan yang sederhana dan kasus kepailitan yang tidak sederhana tidak bisa diselsaikan di pengadilan niaga. Putusan tersebut telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta No. 629/Pdt/2011. Putusan PT Jakarta tersebut berisi pembatalan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 10/pdt.g/2010 yang memenangkan kubu Tutut. Pada akhirnya MK Menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh PT BKB. Padahal sengketa ini telah berproses di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan dalam hal ini telah mengeluarkan putusan yang memenangkan Pihak Hary Tanoe sebagai pemilik Televisi pendidikan Indonesia.

Sengketa ini menandakan bahwa Pengadilan Negeri tidak mengindahkan kompetensi absolut lembaga arbitrase. Karena pengadilan negeri lah yang pertama-tama menerima gugatan oleh pihak Tutut dengan Gugatan No. 10/Pdt.G/2010 yang dalam petitumnya, Tutut Cs meminta pengadilan agar mensahkan hasil keputusan RUPSLB tanggal 17 Maret 2005. Selain itu, PT Berkah dituntut membayar ganti dugi sebesar Rp3,4 triliun yang terdiri kerugian materil sebesar Rp1,4 triliun dan immateril Rp2 triliun.


(14)

Disisi lain, Indonesia sebagai negara hukum yang mana negara dan masyarakatnya diatur oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Negara Hukum menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai tempat terakhir (The Last Resort)

upaya penegakan hukum, kebenaran dan keadilan7. Oleh karena itu terdapat tumpang tindih kekuasaan untuk memutus suatu perkara.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis, dan untuk mensinkronisasi prinsip-prinsip yang ada pada undang-undang Arbitrase, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut kedalam bentuk skripsi dengan judul “Penerapan Prinsip Arbitrase di Indonesia Dalam Studi Sengketa Kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV) (Analisis Putusan

MA No. 862 K/Pdt/2013)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya pembahsan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yang diteliti dan hanya focus pada Keberlakuan Prinsip Abitrase di Indonesia Dalam Studi Sengketa Kepemilikan TPI (MNC TV). Hukum arbitrase yang telah berlaku di Indonesia baik yang bersumber dari hukum nasional maupun internasional, apakah penerapannya sudah sesuai atau tidak dan apabila dalam kasus yang sama putusan lembaga arbitrase berlawanan dengan putusan pengadilan, yang manakah yang bisa di eksekusi.

2. Perumusan Masalah

7

M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung, Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkra Perdata (Jakarta:Sinar Grafika, 2008) h.5


(15)

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan, dalam kasus kepemilikan TPI (MNC TV) ini, telah terjadi ketidakpastian hukum. Padahal hukum arbitrase telah jelas tujuannya dan itu merupakan kesepakatan keduabelah pihak yang bersengketa. Mestinya ada kesesuaian antara lembaga pengadilan dan lembaga arbitrase.

Untuk mempermudah menjawab masalah tersebut penulis merumuskan masalah sebagai beriut:

a. Bagaimana penerapan hukum arbitrase pada kasus sengketa kepemilikan TPI (MNC TV)?

b. Bagaimana eksekusi putusan arbitrase apabila ada putusan pengadilan yang berlawanan dengan putusan arbitrase tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui penerapan hukum arbitrase pada kasus sengketa kepemilikan TPI (MNC TV)

b. Untuk mengetahui eksekusi putusan arbitrase apabila ada putusan pengadilan yang berlawanan dengan putusan arbitrase tersebut.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:hl a. Manfaat teoritis


(16)

1) Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada seluruh kalangan akademisi bagi perkembangan ilmu hukum. Terutama hukum arbitrase.

2) Bagi penulis, penelitian ini diharapkan menjadi proses dan hasil pengetahuan hukum arbitrase dan berguna sebagai bahan pustaka pada penelitian yang sejenis.

b. Manfaat praktis

1) Semoga penelitian ini bisa menjadi acuan pengadilan terkait penelitian ini agar lebih amanah dalam menjalankan tugasnya

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sejak diberlakukannya undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sudah banyak penelitian mengenai praktik arbitrase di Indonesia. Salah satuya dalam buku yang berjudul

“Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase” yang diterbitkan oleh Kencana dan

penelitian (skripsi) tentang “Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan yang memuat klausul Arbitrase” oleh Shafira

Hijriya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang pada tahun 2011. Penelitian ini mengambil titik focus pada dapat atau tidaknya Pengadilan Niaga dalam menangani perkara kepailitan yang para pihaknya telah terikat perjanjian yang berklausula arbitrase.


(17)

Penelitian selanjutnya adalah penelitian (skripsi) tentang “Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan dengan akta Arbitrase (studi kasus PT Environmental Network Indonesia dan kelompok Tani Tambak FSSP Masserrocinae melawan PT Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation) oleh Nova Kusuma Wardani mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret pada tahun 2009. Sedang penelitian ini penulis focus pada keberlakuan prinsip-prinsip arbitrase pada praktiknya di Indonesia dan yang manakah yang lebih mempunyai kekuatan hukum antara putusan pengadilan atau putusan arbitrase apabila keduanya berbenturan. Jadi penelitian penulis dengan judul “Penerapan Prinsip Arbitrase di Indonesia Dalam Studi Sengketa Kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV) (Analisis Putusan MA No. 862 K/Pdt/2013)” belum pernah dibuat.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin ditelilti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Namun demikian, suatu kerangka konseptua belaka, kadang dirasakan masih bersifat abstrak, sehingga dibutuhkan definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkret


(18)

didalam proses penelitian. Dengan demikian suatu kerangka konseptual dapat pula mencakup definisi-definisi operasional. 8

Definisi yang kiranya perlu dijeaskan pada penelitian ini adalah: 1. Prinsip-Prinsip Arbitrase

2. Alternatif Penyelesaian Sengketa 3. Limited Court Intervention

4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Untuk mengkaji pokok permasalahan, penelitian ini mempergunakan mentode penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sistematika hulum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. 9

2. Metode Pengumpulan Data

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena penelitian ini bersifa yuridis normatif.

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 132-133 9

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) h. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979), h. 15


(19)

3. Sumber Penelitian

Sumber penelitian yang digunakan dalam pnelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data hukum sebagaimana dijelaskan oleh Sri Mamudji dibagi menjadi tiga yaitu10:

a) Bahan hukum Primer yaitu berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan serta mengikat serta berkaitan dengan studi ini.

b) Bahan hukum sekunder, berupa literature-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-makalah serta literature-literatur terkait penelitian ini.

c) Bahan hukum tersier, merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia dan sebagainya

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara library research (studi kepustakaan) yaitu mengumpulkan data-data dari peraturan peundang-undangan, buku, artikel dan media-media online. Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan penulis mengklasifikasi permasalahan untuk dikaji secara komprehensif.

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh bersifat preskriptif karena ilmu hukum pada dasarnya bukan bicara “apa yang ada” (empirik-deskriptif), tapi

10

Sri Mamudji dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005) h.30


(20)

“apa yang seharusnya” (preskriptif).11

Digunakan untuk memberi petunjuk dan sesuai dengan aturan yang berlaku, dihubugkan sedemikian rupa sehingga disajikan penulis secara sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dibuat. Adapun cara pengolahan bahan hukum dianalisis untuk melihat apakah prinsip-prinsip arbitrase teraplikasi dengan baik atau tidak.

6. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

1. BAB I: Pendahuluan

Dalam bab ini diuraikan oleh penulis mengenai latar belakang masalah; identifikasi masalah; pembatasan dan perumusan masalah yang akan diteliti; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan penelitian terdahulu; kerangka konseptual; metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB II: Tinjauan Umum Tentang Arbitrase

Dalam bab ini akan diuraikan oleh penulis mengenai landasan teori arbitrase, prinsip-prinsip arbitrase, pengaturan arbitrase dalam dunia

11


(21)

penyiaran, gugatan perkara yang didalamnya terdapat klausula arbitrase, dan kekuatan eksekusi putusan arbitase.

3. BAB III: Eksekusi putusan arbitrase yang berlawanan dengan putusan

pengadilan

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pelanggaran lembaga pengadilan terhadap prinsip-prinsip arbitase, dan ketidakpastian hukum putusan arbitrase.

4. BAB IV: Kasus Posisi dan Analisiss Yuridis Kasus Sengketa Kepemilikan

TPI (MNC TV)

Bab ini berisi kasus posisi dan analisis yuridis kasus sengketa kepemilikan TPI atau saat ini bernama MNC TV. Dikaitkan dengan teori-teori mengenai hukum arbitrase di Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Analisa dari kasus-kasus tersebut dilihat dari dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan , apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan hukum arbitrase yang berlaku dan juga telah sesuai dengan yurisprudensi yang ada. Penulis juga memberikan opini terkait dengan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan.

5. BAB V: Penutup

Dalam Bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan penjabaran fakta-fakta yang telah dilakukan dan juga jawaban dari pokok-pokok permasalahan yang telah dijabarkan pada bab pendahuluan. Serta penambahan saran-saran yang terkait dengan perumusan dan jawaban dari pokok permasalahan.


(22)

BAB II

Tinjauan Umum Tentang Arbitrase

A. Arbitrase di Indonesia

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“.

Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah – olah member petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.12

Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu : adanya suatu sengketa; kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan putusan final dan mengikat akan dijatuhkan

Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.13

12

Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung : Binacipta, 1981) h.1-3. 13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu pengantar (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1999) h.144


(23)

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999

disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa“. Dari pengertian

Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang.

Payung hukum utama arbitrase di Indonesia adalah Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (AAPS) dan menyebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.14

Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 58 telah meletakkan dasar bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian (arbitrage) tetap diperbolehkan. Mengingat ada sejumlah hambatan yang timbul di lingkungan peradilan pada saat menyelesaikan perkara atau sengketa bisnis. Kontrak bisnis

14

Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999) h.156


(24)

hampir semuanya menggunakan atau mencantumkan klausul arbitrase di dalamnya, artinya lembaga arbitrase sudah menjadi alternatif penyelesaian sengketa.

Undang-undang AAPS ini telah termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No.138 dan semenjak undang-undang ini diberlakukan maka otomatis membatalkan peraturan-peraturan arbitrase yang bertentangan sebelumnya.

Sudargo Gautama memberikan batasan Arbitrase yaitu:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak

terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang

mudah dilaksanakan karena ditaati para pihak”.15

Lembaga arbitrase dikenal ada dua, yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc sering disebut sebagai “arbitrase volunteer” karena jenis lembaga arbitrase ini dibentuk khusus untuk

menyelesaiakan masalah perselisihan tertentu. Sementara itu lembaga arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, pasal I ayat (2) Konvensi New York 1958 menyebutkan jenis

lembaga ini “Permanent Arbitral Body”.16

15

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002) h.3 16

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009) h.236


(25)

Arbitrase di Indonesia menjadi favorit dikalangan pelaku bisnis karena mempunyai banyak kelebihan dan begitupun sebaliknya, banyak kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu:17

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat 2. Biaya berperkara yang mahal

3. Pengadilan umumnya tidak responsif

4. Putusan pengadilan tidak menyelesaiakan masalah 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

Sebagai contoh mengenai cepatnya proses arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yaitu dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak negosiasi dilakukan, para pihak sudah harus mengambil keputusan dalam bentuk tertulis. Jika belum menghasilkan kesepakatan maka para pihak meminta pendapat ahli atau menunjuk mediator. Penasihat ahli atau mediator ini diberikan waktu yang sama yakni selama 14 hari untuk menyelesaikan sengketa. Jika tidak juga berhasil maka dapat ditempuh penyelesaian tahap ketiga yaitu menunjuk seorang mediator oleh lembaga arbitrase atas permintaan para pihak yang bersengketa.Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini diharapkan sudah selesai paling lambat 30 hari terhitung sejak usaha mediasi ini dimulai.Putusan kesepakatan pilihan penyelesaian sengketa tersebut dibuat secara tertulis dan bersifat final dan mengikat.Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lambat 30 hari sejak penandatanganan.Selanjutnya

17

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h.240-247


(26)

dalam waktu paling lambat 30 hari sejak pendaftaran, hasil kesepakatan penyelesaian sengketa tersebut wajib selesai dilaksanakan. Jika cara perdamaian melalui pilihan penyelesaian sengketa ini tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Upaya penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dilakukan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter dibentuk dan pemeriksaannya dilakukan menurut ketentuan yang diatur dalam undang-undang AAPS.18

B. Prinsip-Prinsip Arbitrase

Agar arbitrase dapat menjadi badan penyelesaian sengketa yang ampuh, seharusnya badan arbitrase menganut beberapa prinsip sebagai berikut: 19

1. Efisien

2. Accessibility

3. Proteksi Hak Para Pihak

4. Final and Binding 5. Fair and Just

6. Sesuai dengan Sence of Justice dari Masyarakat 7. Kredibilitas

18

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002) h.16-17 19

Munir Fuady, Alternatif Penyelesaian Sengaketa Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000) h.93-94


(27)

Dalam asuransi, kondisi arbitrase juga diterapkan dalam polis sebagai alat untuk penyelesaian perselisihan.Bila tertanggung dirugikan atas keputusan satu arbitrase, dia tidak dapat naik banding sesuai dengan Undang – undang Arbitrase tersebut.Prinsip ini mengacu pada adanya perselisihan khususnya masalah teknis perhitungan ganti rugi. Undang– undang tentang arbitrase di Inggris: Arbitration Acts 1950 dan diamendemen menjadi the Arbitration Act 1979.20

Arbitrase mepunyai karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.21

Bacelius Ruru memberikan pendapat mengenai prinsip-prinsip umum Arbitrase antara lain sebagai berikut:22

20

http://www.akademiasuransi.org/2013/09/prinsip-dan-prosedur-arbitrase.html dilihat pada tanggal 15 April 2015

21

http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html dilihat tanggal 15 April 2015 22


(28)

a. syarat utama Arbitrase adalah adanya kesepakatan para pihak bahwa sengketa akan diselesaikan melalui Arbitrase ("Perjanjian Arbitrase"), tanpa perjanjian tersebut maka Arbitrase tidak berwenang menangani persengketaan dimaksud;

b. pengadilan tidak berwenang menangani persengketaan yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase;

c. para pihak yang telah terikat oleh Perjanjian Arbitrase tidak mempunyai hak lagi untuk mengajukan perkara ke pengadilan;

d. Arbiter berwenang memutuskan perkara, bahkan dalam hal ketidakhadiran salah satu pihak;

e. putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat;

f. intervensi seminim mungkin dari pengadilan terhadap pertimbangan Arbiter, namun ada dukungan dari pengadilan untuk pelaksanaan putusan Arbitrase;

g. Arbiter dipilih oleh para pihak;

h. para pihak mempunyai kesempatan yang sama untuk didengar pendirian dan penjelasannya;

i. pemeriksaan Arbitrase berlangsung dalam kerangka waktu yang ditetapkan di awal;

j. para pihak bebas memilih tempat, acara dan bahasa yang dipergunakan dalam Arbitrase;

k. putusan Arbitrase dapat dimohonkan pembatalan dengan alasan tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang

Pengakuan terhadap Arbitrase dan AAPS lainnya di Indonesia bisa dilihat pada ratifikasi Indonesia atas New York Convention melalui Keppres Nomor 34 tahun 1981, Pasal 3 ayat (1) undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bagian penjelasan bahwa undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau Arbitrase, dan telah diberlakukannya undang-undang khusus yakni Undang-Undang AAPS sejak tahun 1999.

Undang-undang AAPS, sebagaimana halnya negara lain dan lembaga-lembaga APS, mempunyai kesamaan prinsip-prinsip umum. Hal


(29)

ini tidaklah mengherankan mengingat Arbitrase memang pada mulanya ditujukan bagi pelaku bisnis yang tidak mengenal batas-batas negara, yang menjalankan bisnis sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional. Kita hampir tidak menemukan perbedaan yang prinsip antara undang-undang AAPS dengan New York Convention atau UNCITRAL Model Law atau ICC Rules on Arbitration, begitu pula dengan Peraturan Acara Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, BANI, dan banyak lembaga Arbitrase lainnya.

Di samping peraturan perundang-undangan, pengadilan di Indonesia dan Mahkamah Agung sebenarnya juga banyak memberikan dukungan terhadap Arbitrase domestik maupun asing, baik penguatan/pengakuan terhadap Perjanjian Arbitrase, penegasan terhadap kompetensi absolut Arbitrase, dan juga pelaksanaan putusan Arbitrase.

Berdasarkan uraian di atas, Arbitrase dan putusannya telah mendapatkan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan maupun pengadilan di Indonesia, dan bahwa ketentuan mengenai Arbitrase di dalam undang-undang AAPS, Peraturan Acara BAPMI, BANI dan lembaga Arbitrase nasional di Indonesia sudah sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional, sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi.

Sebagai alternatif penyelesaian sengketa/beda pendapat yang dapat memenuhi tuntutan pelaku bisnis di Indonesia, yaitu penyelesaian secara


(30)

cepat, efisien, murah, mandiri dan adil. Prinsip Dasar Arbitrase menurut Felix Oentoeng Soebagjo yaitu:23

1). Penyelesaian perkara diluar pengadilan (atas dasar perdamaian) 2). Terjamin kerahasiaan sengketa

3). Terhindar dari kelambatan karena prosedural dan administratif 4). Arbiter yang memiliki wawasan dan pengalaman

C. Pengaturan Arbitrase dalam dunia penyiaran

Dalam perkembangan hukum Indonesia saat ini belum terdapat pengaturan yang jelas mengenai arbitrase dalam dunia penyiaran. Baik undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tentang Penyiaran maupun Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Swasta juga tidak membahas sedikitpun tentang arbitrase sebagai suatu bentuk penyelesaian sengketa penyiaran.

Dikatakan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Muzayyad, kewenangan KPI terbatas di etika penyiaran dan kaidah-kaidah penyiaran yang bersangkutan dengan kepentingan publik. Sedangkan status kepemilikan saham, KPI tak memiliki hak dan kewenangan untuk itu.24

Keberadaan KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili

23

Felix Oentoeng Soebagjo, Materi Diskusi Kuliah Tanggung Jawab Profesi Arbiter Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011

24

http://poskotanews.com/2014/12/10/kpi-tak-mau-campuri-konflik-di-tpi dilihat pada 16 April 2015


(31)

kepentingan masyarakat. Yang menarik adalah kedudukan lembaga KPI baik dari sisi Hukum maupun politik, dimana KPI diposisi dan didudukkan sebagai lembaga kuasi negara atau auxilarry state institution. Posisi tersebut menyetarakan posisi KPI dengan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK, Lembaga Arbitrase, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, ataupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPI juga merupakan lembaga yang berfungsi sebagai limited transfer authority karena selama ini pengelolaan penyiaran merupakan hak eksklusif pemerintah. 25

Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh undang-undang Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.

25


(32)

Bahwa sebagai lembaga quasi negara, seharunya KPI memiliki kewenangan mengeluarkan keputusan layaknya lembaga extra yudisial lainnya, seperti lembaga arbitrase, KPPU, ataupun BPSK.26 Namun kelemahan sistem arbitrase dalam bidang penyiaran ini masih belum bisa diperbaiki hingga waktu yang tidak dapat diketahui kapan.

D. Gugatan Perkara Yang Didalamnya Terdapat Klausula Arbitrase

Ada dua mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, apakah bisa dikesampingkan oleh para pihak yaitu:27

1. Aliran yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan public policy. Putusan Hoge Raad Belanda, 6 Januari 1952 misalnya. Disini ditegaskan, sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan karena kalusula arbitrase bukanlah openbaar orde.

2. Aliran yang menekankan asas “pacta sunt servanda” pada klausula arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para pihak.

26

Artikel ditulis oleh Rocky Marbun dan di unduh pada alamat

https://www.academia.edu/5625128/peranan_komisi_penyiaran_indonesia pada tanggal 21 april 2015

27


(33)

Disamping 2 aliran tersebut, ada suatu perkembangan yang bersifat sempalan yang sangat berlawanan dengan aliran pacta sun servanda seperti yang diputus oleh mahkamah agung nomor 1851 K/Pdt/1984. Disini Pengadilan Negeri tetap menyatakan berwenang mengadili dan Mahkamah Agung membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius (istilah

Pengadilan Negeri yang bersangkutan: “Dalam hati para pihak tidak ada niat untuk menggunakan arbitrase”).28

Dalam undang-undang AAPS, sengketa yang bisa diselesaiakan secara arbitrase adalah sengketa-sengketa di bidang bisnis, perburuhan, sepanjang sengketa tersebut menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak29

Pasal 5 ayat (1) undang-undang AAPS menyebutkan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melaui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Secara penafsiran argumentum a contratio, objek sengketa yang menjadi kewenangan lembaga arbitrase sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.

28

Ibid, h.21 29

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009) h.238


(34)

Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat (voorwaardelijke verbentenis) karenanya, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. 30

Dalam hukum arbitrase dikenal klausula pactum de compromintendo.Pengaturan bentuk klausula pactum de compromintendo ini dapat dijumpai dalam Pasal 27 undang-undang AAPS, yang menyatakan

bahwa “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang

akan terjadi antara merek untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Juga dapat

dijumpai dalam pasal II Ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain

menentukan “…the parties undertake to submit to arbitration all or any

differences …which may arise between them….”.31

Pasal 10 undang-undang AAPS menegaskan suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan:

a. Meninggalnya salah satu pihak b. Bangkrutnya salah satu pihak c. Novasi

d. Insolvensi salah satu pihak e. Pewarisan

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok\bilamana pelaksanaan perjanjian dialihtugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melkukan perjanjian arbitrase tersebut atau

g. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menyatakan pula putusan arbitrase dapat dimohonkan pemeriksaan pada peradilan kedua, oleh salah satu

30

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002)h.22 31


(35)

dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat dimohonkan ulangan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung. Putusan MA ini merupakan putusan tingkat kedua dan terakhir.Ini berarti tiada kasasi maupun peninjauan kembali yang dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase.32

32


(36)

E. Kekuatan Eksekusi Putusan Arbitrase

Pasal 60 undang-undang AAPS telah menjelaskan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak, namun dalam pasal selanjutnya yaitu pasal 62 ada pengecualian yang bisa berdampak pada tidak bisa dilaksanakannya suatu putusan arbitrase yaitu apabila tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Apa yang dimaksud ketertiban umum sampai saat ini sulit didefinisikan. Tidak ada kesepakatan tentang hal-hal yang terkait dengan ketertiban umum yang dapat dijadikan alas an untuk menolak putusan arbitrase nasional maupun internasional. Hal itu sangat tergantung pada kondisi masing-masing negara yang dipengaruhi oleh falsafah bangsa, kondisi masyarakat, sistem hukum dan pemerintahan dan lain-lain.33

Setelah pendeponiran, tahap selanjutnya adalah permohonan meminta untuk mendapat exequatur terhadap putusan arbitrase. Permintaan mendapat

exequatur merupakan salah satu tahap permohonan terhadap eksekusi putusan arbitrase.

Adapun makna exequatur adalah permintaan kepada ketua Pengadilan Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan suatu mahkamah arbitrase. Dari pengertian tersebut, dapat disimak betapa besarnya kewenangan yang diberikan terhadap undang-undang kepada Ketua

33

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.76


(37)

Pengadilan Negeri dalam menentukan dapat atau tidaknya dieksekusi putusan arbitrase. Namun disayangkan kemampuan hakim masih sangat dangkal mengenai berbagai jenis Rules Arbitrase.34 Hal ini dapat berdampak pada tindakan melampaui batas kewenangan Pengadilan Negeri terhadap putusan arbitrase.

34


(38)

BAB III

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE YANG BERLAWANAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN

A. Pelanggaran Lembaga Pengadilan Terhadap Prinsip-Prinsip

Arbitrase

Lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase. Kewajiban tersebut ditegaskan dalam pasal 3 juncto pasal 11 ayat (2) No. 30/1999 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Selain itu pengadilan negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di tetapkan melalui arbitrase. Hal itu merupakan prinsip limited court involvement.35

Meskipun terdapat kewajiban bagi pengadilan untuk menghormati perjanjian arbitrase, dalam praktik dijumpai kasus-kasus yang menyimpang misalnya, dalam sengketa PT Perusahaan Dagang Tempo (Tempo) melawan PT Roche Indonesia (Roche) yang dalam putusan PN Jakarta Selatan No. 454/PDT.G/1999/PN.JAK.SEL tanggal 25 Januari 2000 dimana para pihak telah memilih BANI, namun PN Jakarta Selatan tetap meerima gugatan Tempo dan memberikan putusan.

35


(39)

Dilarangnya pengadilan untuk campur tangan menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri (independen) dan menjadi kewajiban pengadilan untuk menghormati

Maka apabila lembaga peradilan tersebut tetap ikut campur diluar kewenangannya utk memereiksa hal-hal yang tidak bersifat substantive ia telah melanggar prinsip ini. Jika pelanggaran dalam prinsip ini terus menerus terjadi maka terjadilah ketidakpastian hukum arbitrase.

Disamping itu prinsip itikad baik (good faith) merupakan dasar bagi seluruh aktifitas bisnis. Prinsip ini tak sering dilanggar dan berakibat pada terlanggarnya prinsip-prinsip yang lain. Sebagai contoh, apabila salah satu pihak tidak beritikad baik, ia dapat mengajukan kasus yang berklausula arbitrase ke pengadilan padahal perjanjian arbitrase telah mengikat kedua belah pihak dan sudah jelas hal tersebut sudah menjadi kewenangan absolut lembaga arbitrase. Ini yang terjadi pada kasus sengketa TPI. Prinsip ini juga diatur dalam pasal 1310 Kitab undang-undang Hukum Perdata yang menandakan bahwa ini merupakan fondasi utama sebuah transaksi bisnis, jika tidak dilakukan maka pasti ada sengketa yang akan terjadi setelahnya. Implementasi prinsip itikad baik dalam suatu hubungan dagang yang berbasis juga pada etika dagang yang sehat meliputi prinsip-prinsip dagang yang berbasis juga pada etika yang sehat meliputi prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, kepatuhan serta saling percaya niscaya akan mampu mendorong terciptanya praktek bisnis yang sehat


(40)

Setelah prinsip itikad baik, prinsip kerahasiaan atau konfidensial juga harus dilaksanakan mulai dari pemerikasaan sengketa di lembaga arbitrase sampai dengan putusan. Tetapi kemudian setelah putusan arbitrase dijatuhkan maka putusan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan kekuatan eksekutorial. Ini berarti prinsip konfidensial tersebut yang semula berlaku menjadi tidak berlaku lagi.

Prinsip tidak boleh dipublikasikan merupakan turunan dari prinsip kerahasiaan yang berkaitan dengan putusan di dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tidak mengatur bahwa putusan harus diucapkan dengan pintu tertutup. Pengertian Private and Confidential meliputi segala hal yang berkenaan dengan subjek, obyek, prosedur hingga putusan.

Berdasarkan spirit “confidentiality” maka putusan pun harus diucapkan

dengan pintu tertutup. Di dalam peraturan prosedur BANI juga demikian tidak mengatur bahwa putusan harus diucapkan dengan pintu tertutup.

Ketentuan pasal 48 ayat 5 International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) mengatur bahwa “The centre shall not publish the award without the consent of the parties”, putusan tidak boleh

dipublikasikan oleh centre tanpa persetujuan para pihak. Memang ketentuan ini ditujukan terhadap putusan, dan tidak disinggung tentang kebolehan mempublikasikan pemeriksaan. Akan tetapi kalau putusan boleh dipublikasikan asal atas persetujuan para pihak, hal itu memberi syarat akan kebolehan mengadakan pemeriksaan sidang terbuka untuk umum asal pada pihak menyetujui.


(41)

Dalam ketentuan arbitrase internasional lain seperti UNCITRAL juga memberikan kesempatan terbukanya sidang untuk umum. Perumusannya lebih lunak dari apa yang diatur dalam pasal 48 ayat 5 ICSID. ICSID merumuskan peraturan tersebut lebih bersifat larangan. Sedangkan pengaturan dalam UNCITRAL lebih bersifat fakultatif, pasal 32 ayat 5 UNCITRAL arbitration rulemengatur “the award may be made public only with the consent of both parties”. Perkataan-perkataan “may” atau “dapat” yang langsung di gantungkan dengan syarat “only with the consent of parties”. Jadi putusan dapat diumumkan dengan ketentuan

tersebut hanya mengenai kebolehan mempublikasikan putusan asal atas persetujuan para pihak. Namun secara analogis meliputi kebolehan putusan dilakukan secara terbuka untuk umum.

Yang wajib menjalani prinsip ini selain para pihak juga para arbiter yang memeriksa dan memutus suatu perkara dan apabila para pihak sendiri yang melanggar prinsip kerahasiaan ini, maka mereka sendirilah yang menentukan sanksi bagi diri mereka sendiri.

Prinsip pemeriksaan arbitrase secara tertutup seringkali di unggulkan karena dalam pemeriksaan dalam pengadilan biasa adalah terbuka untuk umum jadi dimungkinkan untuk semua orang mengetahui proses hukum. Arbitrase dalam pengertian yang diberikan oleh Alan

Redfron dan Martin Hunter menyebutkan sebagai “Private Proses” yang

berarti bahwa penyelesaian sengketa menurut arbitrase adalah bersifat


(42)

demikian dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa sebagai satu wujud prinsip partij autonomy, agar kerahasiaan tentang perusahaan para pihak tetap terjamin, kredibilitas mereka juga terjaga.

Pasal 27 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 maupun peraturan prosedur BANI pasal 14 ayat 5 tidak memberikan kekecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses arbitrase. Bahkan, para pihak juga tidak boleh mengesampingkan ketentuan prinsip tertutup ini. Hal ini disebabkan dari formulasi pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sifat memaksa dari ketentuan tersebut, dengan mengatur bahwa

semua” pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase

dilakukan secara tertutup. Jadi menutup kemungkinan adanya penyimpangan. Artinya jika para pihak menghendaki pemeriksaan tersebut di publikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk mempublikasikannya.36

B. Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase

Syarat–syarat formil putusan arbitrase yaitu (1) undang-undang No.30 Tahun 1999 , yaitu :

i. Kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

ii. Nama lengkap dan alamat para pihak iii. Uraian singkat sengketa

iv. Pendirian para pihak

36

Mas Anienda, Prinsip Kerahasiaan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ( FH UPN “Veteran” Jawa Timur: Jurnal Liga Hukum Vol.1 No.1 Januari 2009) h. 47


(43)

v. Nama lengkap dan alamat arbiter

vi. Pertimbangan dan kesipulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa

vii. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase

viii. Amar putusan

ix. Tepat dan tangga putusan

x. Tanda tangan ariter atau majelis arbitrase

xi. Suatu putusan arbitrase setidak-tidaknya harus memuat apa yang tercantum dalam pasal 54 a

Sedangkan syarat-syarat materil yaitu:

i. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa

ii. Putusan harus menguraikan alasan-alasan atau dasar pertimbangan yang merupakan argumentasi kesimpulan hukum berdasarkan fakta-fakta dan pembuktian yang ditemukan dalam proses pemeriksaan. Putusan yang tidak lengkap secara menyeluruh dan tidak argmentatif, dianggap putusan yag kurang motivasinya atau

onvoldoende gemotiverd atau imperfect judgement37

iii. Amar putusan.38

Berdasarkan pasal 58 undang-undang AAPS, dapat disimpulkan bahwa apabila beberapa syarat dalam putusan arbitrase tidak terpenuhi, baik itu syarat materiil maupu syarat formil, maka undang-undang memberikan hak dan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan penambahan atau pengurangan atas putusan arbitrase.

37

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h. 151

38


(44)

Dari isi pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, kita dapat mengetahui kalau keputusan arbitrase itu bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Pembatalan putusan arbirase hanya dapat dilakukan jika terdapat hal-hal yang luar biasa. Pasal 70 undang-undang AAPS menentukan bahwa putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berkut:39

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu

2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan

3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

Meskipun Pasal 70 tidak mengatur secara jelas alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase, akan tetapi perlu dipahami, bahwa tidak diatur bukan berarti tidak boleh. Prinsip hukum yang berlaku secara universal adalah tidak dilarang berarti boleh; bukan sebaliknya.

Menurut Tony Budidjaja , ketentuan di dalam Penjelasan Umum undang-undang Arbitrase yang menyebutkan bahwa pembatalan putusan arbitrase "dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain (alasan-alasan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70) juga menunjukkan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70 bukan merupakan satu-satunya alasan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase menurut

39


(45)

undang Arbitrase. Ada alasan-alasan lain yang dapat digunakan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase.40

Dalam yurisprudensinya ada beberapa putusan pengadilan yang membatalkan putusan arbitrase diantaranya yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 270/Pdt.P/2009/PN.Jkt.Sel. tanggal 4 Januari 2010 yang menyatakan batal demi hukum putusan BANI nomor 300/II/ARB-BANI/2009 tertanggal 22 oktober 2009. Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menjatuhkan putusan No. 254/Pdt.P/2004/PN.Jat.Sel pada tanggal 6 Januari 2005 yang membatalkan putusan arbitrase No. 15/ARB/BANI/BANI JATIM/III/2004 tanggal 19 agustus 2004. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST juga telah membatalkan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa, Swiss dan selain itu masih banyak lagi putusan arbitrase yang dibatalkan oleh lembaga pengadilan. Oleh karenanya besar kemungkinan lembaga arbitrase bisa salah dalam memutuskan.

C. Ketidakpastian Hukum Putusan Arbitrase

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.Pada dasarnya, putusan arbitrase nasional harus dilakukan oleh para pihak secara sukarela.Jika para pihak tidak bersedia memenuhi pelaksanaan

40

Diakses di http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13217/pembatalan-putusan-arbitrasedi-indonesia pada tanggal 20 Mei 2015


(46)

putusan arbitrase tersebut secara sukarela, maka putusan arbitrase tersebut dilakukan secara paksa.Supaya putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan, putusan tersebut harus dideponir dulu dalam akta pendaftaran di kepaniteraan di Pengadilan Negeri. Pasal 59 undang-undang AAPS menentukan batas waktu penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase tersebut, yaitu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan oleh arbitrer atau majelis arbitrase. Bila tindakan deponir tersebut tidak dipenuhi, maka berkibat putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.41 Jadi tindakan deponir putusan arbitrase bukan hanya tindakan pendaftaran yang bersifat administrative beaka tetapi telah bersifat konstitutif, dalam arti merupakan suatu rangkaian mata rantai proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak dapat dilakukan pendeponir tersebut. 42

Yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah: a. Salah seorang anggota arbiter, atau

b. Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter

Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini, ditanggung oleh para pihak yang bersengketa.43

41

Ibid, h.105 42

Huala Adolf, Arbitrase Negara-Negara ASEAN (Jakarta: BPHN Depkumham RI, 2009) h.50

43

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009) h.244


(47)

Putusan arbitrase nasional yang telah dicatat dalam akta pendaftaran di kepaniteraan Pengadilan Negeri harus sudah dilaksanakan secara sukarela paling lambat 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera Pengadilan Negeri.

Ketua Pengadilan Negeri akan menolak suatu permohonan pelaksanaan putusan arbitrase nasional jika terdapat alasan-alasan sebagai berikut:44

1. Putusan dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sengketa arbitrase yang bersangkutan;

2. Putusan dijatuhkan melebihi batas kewenangan arbiter atau majelis arbitrase yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa;

3. Putusan yang dijatuhkan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu:

a. Sengketa yang diputus bukan sengketa di bidang perdagangan

b. Sengketa yang diputus bukan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa;

c. Sengketa yang diputus ternyata termasuk sengketa yang menurut perundangan tidak dapat diadakan perdamaian

44


(48)

4. Putusan yang dijatuhkan ternyata bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

Sedangkan contoh dari sengketa mengenai perdagangan (untuk mana arbitrase dinyatakan berwenang) antara lain sebgai berikut:

1. Perniagaan 2. Perbankan 3. Keuangan

4. Penanaman modal 5. Industry

6. Hak Kekayaan Intelektual

Oleh karena itu, arbitrase berwenang untuk menangani kasus sengketa kepemilikan TPI ini dan putusan yang telah di ketuk palu pada akhir 2014 kemarin menjadi final dan mengikat. Namun dikarenakan kekuatan eksekusi lembaga yudikasi hanya dimiliki oleh lembaga yudikasi dalam hal ini Mahkamah Agung, maka lembaga arbitrase tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri dan terjadilah ketidakpastian hukum.


(49)

BAB IV

KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS SENGKETA KEPEMILIKAN TPI (MNC TV)

A. Kasus Posisi

TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari.

TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.

Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an.

Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu.

Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar. Di tengah kondisi tersebut, Tutut


(50)

meminta bantuan kepada Harry Tanoe untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya.

Hary Tanoe saat itu yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan. Akhirnya Hary pun sepakat untuk membayar sebagian utang Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI.

Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003. Dana sebesar US$ 55 juta itu digunakan untuk penyertaan modal sebesar US$ 25 juta serta refinancing utang Mbak Tutut sebesar US$ 30 juta.

Dengan perjanjian itu maka kepemilikan TPI sebesar 75% boleh dibilang sudah berada di bawah kepemilikan Bimantara Citra. Namun selanjutnya, Mbak Tutut melayangkan surat kepada BKB pada 20 Desember 2004. Isinya meminta kembali 75% saham TPI yang sudah dipindahtangankan kepada BKB dan Mbak Tutut menjanjikan akan melakukan due diligence (uji tuntas) untuk membayar kompensasi gantinya.


(51)

Pada 7 Maret 2005, para petinggi Bimantara Citra, induk BKB, menggelar rapat internal. Rapat ini menghasilkan 3 opsi yang akan ditawarkan kepada Mbak Tutut.

Opsi pertama, BKB menjual 75% saham TPI yang dimilikinya kepada Mbak Tutut seharga Rp 630 miliar. Opsi kedua, BKB membeli 25% saham TPI yang dimiliki Mbak Tutut senilai Rp 210 miliar. Opsi ketiga, jika Mbak Tutut tidak mengambil sikap maka kepemilikan saham di TPI tetap BKB sebesar 75% dan Mbak Tutut 25%

Pada 8 Maret 2005, kubu Harry menyampaikan 3 opsi tersebut kepada Tutut. Dan pada 10 Maret 2005, mereka melayangkan surat pemanggilan RUPS kepada seluruh pemegang saham TPI untuk membahas opsi-opsi tersebut dalam rapat yang dijadwalkan pada 18 Maret 2005.

Tutut pun didaulat harus menyampaikan opsi yang dipilihnya paling lambat pada 17 Maret 2005, agar RUPS dapat membahas mengenai opsi yang dipilih Mbak Tutut.

Tapi sampai 17 Maret, Tutut tidak memberikan opsi yang diambil olehnya. Oleh sebab itu, RUPS 18 Maret 2005 memutuskan opsi ke 3, yakni kepemilikan tetap BKB 75% dan Tutut 25%.

Namun, Tutut kemudian mengklaim telah menggelar RUPS sendiri pada 17 Maret 2005 yang menghasilkan keputusan bahwa 75% saham TPI kembali ke tangan Mbak Tutut.


(52)

Menurut Harry, RUPS ini sebenarnya cacat hukum. Pertama, RUPS 17 Maret tidak diketahui oleh jajaran direksi dan komisaris TPI lainnya, kecuali 1 orang saja yang menandatangani RUPS. Direktur ini adalah orang yang ditempatkan Tutut di jajaran direksi. Kedua, RUPS 17 Maret dilakukan tanpa melalui proses pemanggilan pemegang saham. RUPS digelar dengan alasan Tutut telah membatalkan secara sepihak adendum surat kuasa pengambilalihan 75% saham TPI ke BKB yang telah ditandatangani pada Februari 2003. Padahal, surat kuasa yang dimaksud ditandatangani oleh dua pihak, sehingga tidak dapat dibatalkan sepihak oleh Tutut.

Selain itu, Tutut juga menuding Hary Tanoe dengan saudaranya Hartono Tanoe yang menjadi Komisaris di PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) sengaja membuat hasil RUPS 17 Maret 2005 tidak dapat dimasukkan ke dalam Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum), seperti yang dikuak oleh Yohanes Waworuntu.

Namun menurut Hary, alasan ini terlalu dibuat-buat. Hary menegaskan, pertama, baik Bimantara Citra, PT Bhakti Investama Tbk (BHIT) maupun PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) tidak memiliki saham di SRD.

Tak berhenti sampai disitu, mendadak pada 23 Juni 2010, Tutut kembali menggelar RUPS yang kemudian menunjuk Ketua Umum Partai Patriot Pancasila Japto Soerjosoemarno sebagai Direktur Utama TPI bersama 3 orang jajaran direksi lainnya.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 92 dari 97 hal. Put. No. 862 K/Pdt/2013

Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa:

"Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku";

Yang disengketakan dalam perkara a quo adalah:

- PMH Termohon Kasasi I/Tergugat I dan Termohon Kasasi II/Tergugat II sehubungan dengan penutupan akses (pemblokiran) data PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia pada Sisminbakum sehingga hasil keputusan RUPSLB PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang diselenggarakan oleh Para Pemohon Kasasi/Para Penggugat pada tanggal 17 Maret 2005 yang tertuang dalam Akta Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng, S.H., Nomor 114, tanggal 17 Maret 2005 gagal diproses atau tidak dapat dilakukan pencatatan pemberitahuannya secara on line melalui Sisminbakum karena dalam kondisi terblokir; - PMH Termohon Kasasi I/Tergugat I terkait dengan penyelenggaraan

RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dan PMH Termohon Kasasi II/Tergugat II sehubungan dengan pembukaan akses blokir terhadap data PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia untuk kepentingan Termohon Kasasi I/Tergugat I sehingga permohonan pengesahan hasil RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 yang cacat hukum (baik formil maupun materil) dapat diproses secara on line melalui Sisminbakum dengan lancar dan tanpa halangan apapun;

Uraian sengketa dalam perkara a quo tersebut di atas, jelas membuktikan bahwa sengketa dalam perkara a quo bukan sengketa yang masuk dalam lingkup sengketa Tata Usaha Negara dan obyek sengketa perkara a quo bukan mengenai putusan Pejabat Tata Usaha. Judex Facti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sendiri dalam alinea 1 halaman 44 putusan banding memberikan pertimbangan yang pada intinya menyatakan sengketa dalam perkara ini adalah sengketa di bidang perdagangan, bukan sengketa tata usaha negara;

b. Pihak yang digugat dalam perkara a quo bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 93 dari 97 hal. Put. No. 862 K/Pdt/2013

Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:

"Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku";

Yang digugat dalam perkara a quo adalah:

1. Termohon Kasasi I/Tergugat I, yaitu PTBerkah Karya Bersama, dan; 2. Termohon Kasasi I/Tergugat II, yaitu PT Sarana Rekatama Dinamika)

keduanya merupakan suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia;

Sedangkan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum cq. Direktur Perdata selaku Turut Termohon Kasasi VI/Turut Tergugat VI, didudukan sebagai pihak dalam perkara a quo adalah guna tunduk dan patuh pada putusan perkara a quo, agar hak-hak Para Pemohon Kasasi/Para Penggugat dipulihkan, sebagai akibat PMH dari Tergugat I dan Tergugat II. Dengan kata lain, dihukumnya Turut Termohon Kasasi VI/Turut Tergugat VI untuk menerima laporan dan mencatatkan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Turut Tergugat I tanggal 17 Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005, yang dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, S.H., Notaris di Jakarta, merupakan konsekuensi dari dikabulkannya gugatan perbuatan melawan hukum Para Pemohon Kasasi terhadap Para Termohon Kasasi/Para Tergugat;

21. Berdasarkan alasan-alasan Para Pemohon Kasasi dalam angka 20 tersebut di atas, maka petitum angka 11 gugatan perkara a quo, yang pada intinya memohon untuk menghukum Turut Tergugat VI guna menerima laporan dan mencatatkan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Turut Tergugat I tanggal 17 Maret 2005, bukanlah sengketa yang secara absolut merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, terbukti bahwa Judex Facti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Telah Salah Menerapkan Ketentuan Hukum Pasal 47 Undang Undang Tata Usaha Negara dalam memutus perkara a quo;

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan, Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah salah menerapkan hukum dengan alasan sebagai berikut:

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 94 dari 97 hal. Put. No. 862 K/Pdt/2013

- Bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru menafsirkan isi kesepakatan investmen Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 tersebut, karena tindakan Tergugat II serta RUPSLB yang dilakukan Tergugat I dengan hal-hal yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Tinggi) benar berada diluar perjanjian yang mengandung klausule arbitrase;

- Bahwa perjanjianinvestmen Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 terjadi antara Para Penggugat dengan Tergugat I saja, sedangkan Tergugat II i.c. PT. Sarana Rekatama Dinamika tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga secara hukum Tergugat II tidak terikat atas isi perjanjian yang disepakati oleh Para Penggugat dengan Tergugat I tersebut;

- Bahwa masalah pokok dalam perkara ini adalah tentang “hasil RUPSLB tanggal 17 Maret 2005 i.c. Akta No.17 yang dilakukan oleh Para Penggugat atas PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia i.c Turut Tergugat I, “akses Sisminbakum telah diblokir” oleh Tergugat II atas kemauan Tergugat I, sehingga pendaftaran hasil RUPSLB tersebut tidak dapat diterima oleh Turut Tergugat VI, akibatnya tidak bisa didaftarkan pada Depkumham;

- Bahwa selanjutnya Tergugat I mengadakan RUPSLB “sendiri” pada tanggal 18 Maret 2005 akses sisminbakum dibuka oleh Tergugat II dan langsung dimasukkan kepada Turut Tergugat VI, sehingga hasil RUPSLB yang dibuat Tergugat I dapat didaftarkan kepada Depkumham;

- Perbuatan tersebut termasuk lingkup perbuatan melawan hukum, yang berada diluar isi kesepatakan investmen Agreement tertanggal 23 Agustus 2002, sehingga sengketa ini adalah merupakan kewenangan Peradilan Umum; - Bahwa atas semua hal tersebut diatas maka tanggapan Termohon Kasasi

dalam kontra memori kasasi harus ditolak;

- Bahwa pertimbangan Pengadilan Negeri sudah tepat dan diambil-alih menjadi pertimbangan Mahkamah Agung, kecuali mengenai tuntutan tentang ganti kerugian yang dimohon Penggugat, Judex Juris berpendapat bahwa oleh karena tuntutan ganti rugi yang diajukan Penggugat/Pemohon Kasasi tidak disertai perincian yang jelas dan tidak didukung bukti-bukti yang cukup maka tuntutan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi Ny. SITI HARDIYANTI RUKMANA dan kawan-kawan tersebut, dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI tanggal 20 April 2012 yang membatalkan Putusan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 95 dari 97 hal. Put. No. 862 K/Pdt/2013

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt Pst. tanggal 14 April 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa oleh karena Para Termohon Kasasi berada di pihak yang kalah, maka Para Termohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;

Memperhatikan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I:

1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. Ny. SITI

HARDIYANTI RUKMANA, 2. PT. TRIDAN SATRIAPUTRA INDONESIA, 3.

PT. CITRA LAMTORO GUNG PERSADA, 4. YAYASAN PURNA BHAKTI

PERTIWI tersebut;

2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 629/PDT/2011/PT. DKI tanggal 20 April 2012 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt Pst. tanggal 14 April 2011;

MENGADILI SENDIRI: DALAM PERKARA POKOK:

Dalam Provisi:

- Menolak tuntutan provisi Para Penggugat; Dalam Eksepsi:

- Menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya; Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan bahwa perbuatan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menyatakan sah dan sesuai dengan hukum Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Turut Tergugat I tanggal 17 Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta Nomor 114, tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, S.H., S.E., M.H., Notaris di Jakarta;

4. Membatalkan dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas berikut segala perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari:

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 96 dari 97 hal. Put. No. 862 K/Pdt/2013

4.a. Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta Nomor 17, Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat di hadapan Turut Tergugat IV (Bambang Wiweko, S.H., M.H.) Notaris di Jakarta;

4.b. Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 19 Oktober 2005 sebagaimana tertuang dalam akta Nomor 128 tanggal 19 Oktober 2005 yang dibuat di hadapan Turut Tergugat V (Sutjipto, S.H.) Notaris di Jakarta;

4.c. Hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 23 Desember 2005;

5. Menghukum Tergugat I untuk mengembalikan keadaan Turut Tergugat I (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia) seperti keadaan semula seperti sebelum dilakukannya:

5.a. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 sebagaimana tertuang dalam Akta Nomor 16 tanggal 18 maret 2005 dan Akta Nomor 17, tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat dihadapan Turut Tergugat IV (Bambang Wiweko, SH, MH) Notaris di Jakarta;

5.b. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 19 Oktober 2005 sebagaimana tertuang dalam Akta Nomor 128 tanggal 19 Oktober 2005 yang dibuat di hadapan Turut Tergugat V (Sutjipto, S.H.) Notaris di Jakarta;

5.c. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 23 Desember 2005;

6. Menghukum Para Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini; 7. Menghukum Turut Tergugat VI untuk menerima laporan dan mencatatkan

hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Turut Tergugat I tanggal 17 Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta Nomor 114, tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, S.H., S.E., M.H., Notaris di Jakarta;

8. Menyatakan tuntutan ganti kerugian tidak dapat diterima; 9. Menolak gugatan selain dan selebihnya;

DALAM INTERVENSI:

- Menolak pencabutan keterangan Tergugat Intervensi pada persidangan sebelumnya;

3. Menghukum Para Termohon Kasasi/Tergugat I/Tergugat Intervensi V, Tergugat II/Tergugat Intervensi VI/Pembanding I, Terbanding I/Pembanding

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 97 dari 97 hal. Put. No. 862 K/Pdt/2013

IV, Terbanding IV untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari R a b u, tanggal 2 Oktober 2013, oleh I Made Tara, S.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Soltoni Mohdally, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H.,

LL.M., Hakim-hakim Agung sebagai anggota, dan diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri Para anggota tersebut dan dibantu oleh Dadi Rahmadi, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota-anggota: Ketua Majelis,

ttd ttd

Soltoni Mohdally, S.H., M.H I Made Tara, S.H

ttd

Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M

Panitera Pengganti,

Biaya-biaya: ttd

1. M e t e r a i……….. Rp 6.000,00 Dadi Rahmadi, S.H., M.H 2. R e d a k s i……….. Rp 5.000,00

3. Administrasi kasasi……….. Rp489.000,00 Jumlah………... Rp500.000,00

Untuk Salinan Mahkamah Agung R.I

a.n. Panitera Panitera Muda Perdata

Dr. PRI PAMBUDI TEGUH, SH.,MH. NIP. 19610313 198803 1 003

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id