dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat dimohonkan ulangan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung. Putusan MA ini merupakan putusan tingkat kedua
dan terakhir.Ini berarti tiada kasasi maupun peninjauan kembali yang dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase.
32
32
Ibid h.98
E. Kekuatan Eksekusi Putusan Arbitrase
Pasal 60 undang-undang AAPS telah menjelaskan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak,
namun dalam pasal selanjutnya yaitu pasal 62 ada pengecualian yang bisa berdampak pada tidak bisa dilaksanakannya suatu putusan arbitrase yaitu
apabila tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Apa yang dimaksud ketertiban umum sampai saat ini sulit
didefinisikan. Tidak ada kesepakatan tentang hal-hal yang terkait dengan ketertiban umum yang dapat dijadikan alas an untuk menolak putusan
arbitrase nasional maupun internasional. Hal itu sangat tergantung pada kondisi masing-masing negara yang dipengaruhi oleh falsafah bangsa, kondisi
masyarakat, sistem hukum dan pemerintahan dan lain-lain.
33
Setelah pendeponiran, tahap selanjutnya adalah permohonan meminta untuk mendapat exequatur terhadap putusan arbitrase. Permintaan mendapat
exequatur merupakan salah satu tahap permohonan terhadap eksekusi putusan
arbitrase. Adapun makna exequatur adalah permintaan kepada ketua Pengadilan
Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan suatu mahkamah arbitrase. Dari pengertian tersebut, dapat disimak betapa
besarnya kewenangan yang diberikan terhadap undang-undang kepada Ketua
33
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006 h.76
Pengadilan Negeri dalam menentukan dapat atau tidaknya dieksekusi putusan arbitrase. Namun disayangkan kemampuan hakim masih sangat dangkal
mengenai berbagai jenis Rules Arbitrase.
34
Hal ini dapat berdampak pada tindakan melampaui batas kewenangan Pengadilan Negeri terhadap putusan
arbitrase.
34
M. Yahya Harahap, Arbitrase Jakarta: Pustaka Kartini, 1991 h.400
BAB III EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE YANG BERLAWANAN DENGAN
PUTUSAN PENGADILAN A.
Pelanggaran Lembaga Pengadilan Terhadap Prinsip-Prinsip Arbitrase
Lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase. Kewajiban tersebut ditegaskan dalam pasal 3 juncto pasal 11 ayat 2 No.
301999 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase.
Selain itu pengadilan negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di tetapkan melalui
arbitrase. Hal itu merupakan prinsip limited court involvement.
35
Meskipun terdapat kewajiban bagi pengadilan untuk menghormati perjanjian arbitrase, dalam praktik dijumpai kasus-kasus yang
menyimpang misalnya, dalam sengketa PT Perusahaan Dagang Tempo Tempo melawan PT Roche Indonesia Roche yang dalam putusan PN
Jakarta Selatan No. 454PDT.G1999PN.JAK.SEL tanggal 25 Januari 2000 dimana para pihak telah memilih BANI, namun PN Jakarta Selatan
tetap meerima gugatan Tempo dan memberikan putusan.
35
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia Jakarta: Gramedia, 2006
Dilarangnya pengadilan untuk campur tangan menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri independen dan menjadi
kewajiban pengadilan untuk menghormati Maka apabila lembaga peradilan tersebut tetap ikut campur diluar
kewenangannya utk memereiksa hal-hal yang tidak bersifat substantive ia telah melanggar prinsip ini. Jika pelanggaran dalam prinsip ini terus
menerus terjadi maka terjadilah ketidakpastian hukum arbitrase. Disamping itu prinsip itikad baik good faith merupakan dasar
bagi seluruh aktifitas bisnis. Prinsip ini tak sering dilanggar dan berakibat pada terlanggarnya prinsip-prinsip yang lain. Sebagai contoh, apabila salah
satu pihak tidak beritikad baik, ia dapat mengajukan kasus yang berklausula arbitrase ke pengadilan padahal perjanjian arbitrase telah
mengikat kedua belah pihak dan sudah jelas hal tersebut sudah menjadi kewenangan absolut lembaga arbitrase. Ini yang terjadi pada kasus
sengketa TPI. Prinsip ini juga diatur dalam pasal 1310 Kitab undang- undang Hukum Perdata yang menandakan bahwa ini merupakan fondasi
utama sebuah transaksi bisnis, jika tidak dilakukan maka pasti ada sengketa yang akan terjadi setelahnya. Implementasi prinsip itikad baik
dalam suatu hubungan dagang yang berbasis juga pada etika dagang yang sehat meliputi prinsip-prinsip dagang yang berbasis juga pada etika yang
sehat meliputi prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, kepatuhan serta saling percaya niscaya akan mampu mendorong
terciptanya praktek bisnis yang sehat