Faktor Penghambat Program Reintegrasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A

nyebarin dakwah. Yang penting kan kita akhirat dapet insya Allah dunia juga dapet. Itu aja sih sekarang pikiran saya. Mudah-mudahan masyarakat seneng lah sama perubahan saya yang begini. ” 85 Dari petikan wawancara di atas terlihat bahwa Opik mencoba untuk mengefektivkan dirinya untuk kembali bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat walaupun tanpa bantuan dari Lapas dan Bapas. Semakin keras usaha Opik untuk merubah nilai negatif yang ada dirinya, semakin ampuh Opik menjadikan dakwah sebagai jembatan sosialisasi dengan masyarakat maka makin besar hasil yang dicapai untuk Opik dapat diterima kembali oleh masyarakat tanpa harus mendapatkan label sebagai seorang bekas pecandu narkotika Lihat Bab II Hal 27.

C. Faktor Penghambat Program Reintegrasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A

Narkotika Cipinang Pentingnya dikemukakan mengenai beberapa unsur yang merupakan subyek bagi berhasilnya reintegrasi. Adanya problematika dalam pelaksanaan program reintegrasi sosial bagi narapidana menyebabkan sistem kemasyarakatan belum berjalan seperti yang diharapkan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan beberapa faktor penghambat efektifitas dalam pelaksanaan program reintegrasi sosial bagi narapidana. Yang pertama yaitu dari Warga Binaan itu sendiri. Karena dalam proses pemasyarakatan sering terbentur sikap kemauan Warga Binaan yang tidak ingin berubah. Ia merasa sudah nyaman dengan kehidupan sebelumnya. Juga daya serap narapidana yang berbeda-beda dalam menerima bimbingan. Kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat luar untuk menerima 85 Wawancara pribadi peneliti dengan WBP, Opik, Jakarta 15 Desember 2014 Warga Binaan secara terbuka tanpa penuh kecurigaan karena masih menganggap Warga Binaan adalah pelaku kriminal. Hal ini di ungkapkan oleh informan Y mengenai aktifitas Opik di rumah. “Hambatannya adalah dari beberapa dari napi tidak berubah. Juga pandangan masyarakat masih menganggap kriminal. ” 86 “…tapi ya kadang khawatir juga sih. Dia Opik masih make apa ngga. Kemaren aja saya liat dia ke rumah perempuan perempuan yang dicurigai sebagai pengedar narkoba itu tuh mba. Ngapain coba kalo ga beli. ” 87 Dari penjelasan di atas terlihat bahwa masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada Opik, karena aktivitas Opik yang masih belum melepaskan barang haram tersebut. Itu berarti ada dalam diri Opik yang masih tidak mau berubah karena sudah terlanjur nyaman dengan kehidupan sebelumnya. Pengendalian diri sendiri harus kuat agar tidak terpengaruh hal-hal yang negatif. Hal ini dipertegas oleh beberapa kalimat yang keluar dari Opik sendiri mengenai narkoba yang biasa ia konsumsi. “…tapi kalo lagi bengong sendiri kadang-kadang mikir pengen make lagi, kebayang- bayang terus mba rasanya. Apalagi putaw. ” 88 Dari kutipan wawancara di atas terlihat bahwa bimbingan sebaik apapun yang diberikan tidak akan berhasil bila dari dirinya sendiri tidak memiliki keinginan untuk berubah. Usaha Opik dalam merubah nilai-nilai dalam dirinya dengan mengikuti bimbingan keagamaan tidak akan terwujud jika tidak ada pengendalian dalam dirinya juga lingkungan yang masih menyediakan barang haram tersebut dengan mudah. 86 Wawancara pribadi peneliti dengan Staff Bimkemasywat, Bapak David, Jakarta 26 November 2014 87 Wawancara pribadi peneliti dengan Warga tempat WBP tinggal, Ibu Y pada 15 Desember 2014 88 Wawancara pribadi peneliti dengan WBP, Opik, Jakarta 15 Desember 2014 Kurang memadai sarana dan prasarana, misalnya sarana fisik, seperti kelas-kelas, perlengkapan, apalagi jumlah Warga Binaan tersebut melebihi kapasitas Lembaga Pemasyarakatan juga menjadi masalah yang harus diperhatikan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bapak Diding pada peneliti. “Untuk hambatan Kita tidak bisa menyentuh semua warga binaan karena keterbatasan program yang tersedia, tempat terbatas, waktu terbatas. Tempat yang kita punya sangat terbatas hanya ada beberapa kelas tidak mungkin cukup untuk menampung semua warga binaan yang berjumlah 3000. ” 89 Selain sarana fisik, anggaran yang tidak mencukupi untuk memberikan keterampilan seluruh Warga Binaan juga menjadi masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Akibat dari kurangnya anggaran hanya beberapa Warga Binaan yang dapat diberikan keterampilan. Selain dari anggaran bidang keterampilan ini juga dapat menjadi hambatan, karena pada awalnya banyak narapidana tidak memiliki keahlian khusus jadi harus di lihat dulu apakah memang serius atau tidak ingin mengikuti keterampilan ini. “Untuk hambatan dari Bapas, kita sangat kekurangan anggaran. Untuk besarannya saya tidak tahu berapa karena itu kan bukan kapasitas saya. ” 90 “Dari seribuan klien kita, kita hanya mampu seratusan untuk mengikuti bimker ini. Karena ya itu tadi anggaran kita sangat kurang. Kita lihat apakah dia benar-benar serius ingin ikut bimbingan atau tidak. Kita bisa lihat dia rajin melapor tidak selama sebulan. Kalau dia rutin melapor sesuai jadwal dan melihat keseriusan ingin mengikuti bimker, maka kita persilakan. Kan sayang dananya juga kalo sudah kita sediakan ternyata merekanya malas-malasan. Jadi kita seleksi lah istilahnya ” 91 89 Wawancara pribadi peneliti dengan Kasi Binadik, Bapak Diding, Jakarta 4 Desember 2014 90 Wawancara pribadi peneliti dengan Kasubsi Bimkemas Klien Dewasa, Bapak. Agus pada 31 Desember 2014. 91 Wawancara pribadi peneliti dengan Kepala Seksi Bimbingan Klien Dewasa Bapas Pusat, Bapak Fredy pada 5 Maret 2015 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN