Latar Belakang Masalah Program Reintegrasi Sosial Pada Warga Binaan Pemasyarakatan Di Lapas Klas Ii A Narkotika Cipinang Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 245.862.034 jiwa. 1 Dengan banyaknya jumlah penduduk yang hampir seperempat milyar tersebut Indonesia kerap kali dihadapkan oleh berbagai permasalahan seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain-lain. Kemiskinan di anggap menjadi permasalahan terberat negara yang mempunyai luas wilayah 1.904.569 km 2 ini . Badan Pusat Statistik Nasional dalam halaman webnya www.bps.go.id mengatakan bahwa saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai Maret 2014 sebanyak 28.55 juta orang. Tingginya angka kemiskinan menjadi penyebab utama maraknya kriminalitas di Indonesia. Dengan segala keterbatasan, sejumlah orang rela menghalalkan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dengan tindakan kriminal. Aksi kriminalitas di Indonesia saat ini sudah menjadi hal yang mengkhawatirkan. Setiap harinya ratusan orang diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain aksi kriminalitas yang membuat orang memenuhi penjara atau Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya disingkat Lapas di Indonesia, ada juga kasus narkoba yang hampir menyita hampir setengah dari penghuni lapas. Memanfaatkan data di Sistem Data based Pemasyarakatan SDP yang terintegrasi data dari Lapas dan Rutan seluruh Indonesia kita dapat mengetahui peningkatan jumlah penghuni yang sangat signifikan. Per 31 Desember 2011 terdata 136.145 penghuni, setahun kemudian 31 Desember 2012 bertambah menjadi 1 Berdasarkan data BPS per September 2014. Diakses pada 24 April 2015 dari www.bps.go.id 150.592. Akhir 2013 sudah berjumlah 160.061 orang dan per Juli 2014 sebanyak 167.163 penghuni. Terjadi peningkatan isi lapasrutan dalam kurun waktu 2,5 tahun, isi lapasrutan bertambah lebih dari 31 ribu. Sementara kapasitas yang tersedia di 463 LapasRutan se Indonesia hanya mampu menampung 109.231 orang. Artinya saat ini 167.163 orang harus berdesakan di ruang hunian yang kapasitasnya 109.231. Atau dengan kata lain over crowded sebesar 153. 2 Dan apabila kita lihat lebih rinci di laman www.smslap.ditjenpas.go.id menunjukkan jumlah narapidana atau tahanan kasus narkotika mendominasi penghuni lapas atau rutan seluruh Indonesia. Tercatat sebanyak 47.231 orang, artinya lebih dari 30 dihuni narapidana dengan kasus narkotika. Diantara jumlah tersebut, yang tergolong dalam narapidana kasus narkotika murni sebagai pecandu Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebanyak 18.973 orang menjadi penyumbang crowded. 3 Untuk menekan over crowded yang terjadi di Lapas, Kemenkumham memberikan beberapa alternatif, diantaranya adalah menambah kapasitas hunian dan pemindahan narapidana. Langkah ini dilakukan hanya untuk meratakan kapasitas dari wilayah yang over crowded ke wilayah yang memungkinkan daya tampungnya namun tidak menjawab penanggulangan yang komprehensif khususnya hak-hak dasar penghuni lapas atau rutan. Hal ini manjadi keluhan keluarga narapidana karena mereka akan dijauhkan oleh anggota keluarganya yang menjadi narapidana. Hal ini diungkapkan oleh Staff Bimkemsywat Lapas Narkotika Cipinang Jakarta, yaitu Bapak David. 2 Berdasarkan data Ditjenpas yang diakses pada 24 April 2015 dari www.smlap.ditjenpas.go.id 3 Ibid Tapi kalau untuk mengurangi over kapasitas, bisa juga napi ini dipindahkan ke lapas lain yang masih cukup kapasitasnya. Yang ini banyak dikeluhkan keluarga napi, karena kalau mau menjenguk kan susah, jadi jauh. 4 Dua kebijakan di atas, baik menambah kapasitas dan pemindahan narapidana memerlukan anggaran yang sangat besar, namun di rasakan belum mampu menekan tingkat hunian lapasrutan, bahkan tetap saja dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Langkah lain yang dilakukan Kemenkumham adalah melakukan optimalisasi pemberian hak-hak warga binaan yaitu pemberian Remisi pengurangan masa pidana dan program reintegrasi sosial, seperti Pembebasan Bersyarat PB, Cuti Bersyarat CB dan Cuti Menjelang Bebas CMB. 5 Kemenkumham meyakini bahwa pemberian hak-hak warga binaan ini menjadi salah satu faktor yang mampu mengendalikan perilaku warga binaan selama hidup di dalam lapasrutan. Karena salah satu syarat untuk mendapatkan hak ini adalah mengikuti program pembinaan di dalam LapasRutan serta tidak melanggar aturan. Sekjen Kementrian Hukum dan HAM, Y. Ambeg Paramarta menjelaskan saat ini jumlah penghuni lapas mencapai 160 ribu jiwa, sedangkan total kapasitas lapas yang tersedia hingga akhir tahun 2014 nanti hanya dapat menampung sekitar 120 ribu jiwa. Selain dengan merehabilitasi para pecandu narkoba untuk mengurangi over kapasitas di Lapas, cara lainnya adalah dengan Reintegrasi Sosial. Y. Ambeg menuturkan dengan program reintegrasi sosial seperti pembebasan bersyarat, asimilasi, dan cuti bersyarat, jumlah napi yang dapat memperoleh program ini mencapai 25 ribu jiwa. Meski demikian, lanjut Ambeg program reintegrasi sosial harus benar-benar memperhatikan persyaratan yang telah ditetapkan 4 Wawancara pribadi peneliti dengan Staff Bimkemasywat, Bapak. David. Jakarta 26 November 2014 5 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga hanya penghuni Lapas yang memenuhi syarat yang dapat mengikuti program tersebut. 6 Salah satu lapas khusus narkotika yang terdapat di Jakarta yaitu Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang misalnya mempunyai kapasitas atau daya tampung sebanyak 1084 orang, namun kenyataannya per Oktober 2014 jumlah narapidana yang yang menjadi penghuni lapas tersebut adalah sebanyak 2845 orang. Ini artinya ada kelebihan muatan sebesar 1761 orang atau dengan kata lain sebesar 162. 7 Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta adalah Unit Pelaksana Teknis dibidang pemasyarakatan yang berada di bawah Kementrian Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM RI, dengan salah satu fungsinya yaitu melakukan pembinaan narapidana dan anak didik. Lapas Narkotika Cipinang juga melakukan optimalisasi pemberian hak-hak Warga Binaan yaitu pemberian Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat dalam Program Reintegrasi Sosial sebagai upaya dalam melakukan pembinaan di luar lapas. Program reintegrasi sosial bagi narapidana narkotika bertujuan untuk memutus mata rantai peredaran narkotika melalui internalisasi nilai-nilai yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mantan terpidana narkotika tidak lagi menjadi pecandu ataupun pengedar kembali. Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut : 8 1. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. 2. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan. 6 Taufik, M. Reintegrasi Sosial untuk Atasi Kelebihan Kapasitas Lapas. Diakses pada 18 November 2014 dari http:m.pemasyarakatan.comReintegrasi-Sosial-untuk-Atasi-Kelebihan-Kapasitas-Lapas 7 Berdasarkan data Bagian Registrasi Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta 8 Tolib, Setiady. Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung : Alfabeta. 2010. h. 31. 3. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan- kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Sebelumnya, menurut dua hasil studi literatur yang peneliti dapatkan, Program Reintegrasi Sosial bermanfaat untuk Lapas namun masih banyak kekurangan yang terjadi dalam menjalankannya. Hasil studi literatur pertama yang peneliti peroleh adalah tentang Program Reintegrasi Sosial di Lapas dari Tesis yang berjudul Program Reintegrasi Sosial bagi Narapidana di Lapas Klas IIA Bogor Dalam Konteks Persepsi Narapidana dan Residivisme oleh Yudi Suseno, berkesimpulan bahwa saat ini Lapas Klas IIA Bogor mengalami over crowded dikarenakan jumlah hunian yang sudah melebihi kapasitas yang sebenarnya dan Program Reintegrasi Sosial dapat mengurangi over kapasitas yang terjadi di Lapas. Namun masih banyak perbaikan dan peningkatan sarana yang diperlukan dalam menjalani program reintegrasi. Selain itu perlu penggalangan kerja sama dari berbagai pihak dan monitoring atau pendampingan yang juga harus dilakukan. Hasil studi literatur selanjutnya yang peneliti peroleh adalah dari Tesis yang berjudul Reintegrasi sosial dan Resosialisasi Bekas Narapidana Wanita Dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanggerang ke Dalam Masyarakat oleh Armein Daulay, berkesimpulan bahwa bentuk reaksi sosial yang terjadi setelah Narapidana Wanita keluar dari penjara dengan program reintegrasi sosial adalah penggerebekan rumah, menangkap dan menggiring, menjauhi dengan publikasi terhadap bekas narapidana wanita dimana mereka berdomisili. Namun ada juga yang diterima kembali sepenuhnya menjadi warga masyarakat. Kesemua ini tidak terlepas dari perilaku bekas narapidana wanita yang terampil ketika diwawancarai yang berusaha menghilangkan identitas diri, tidak berterus terang serta mencoba menyangkal dirinya telah berbuat kesalahan. Kesimpulan dari dua studi literatur diatas adalah bahwa program reintegrasi sosial saat ini bermanfaat untuk mengurangi over kapasitas di Lapas namun banyak perbaikan yang harus dilaksanakan salah satunya adalah dari masyarakat yang masih menyandang bekas Warga Binaan sebagai penjahat dengan reaksi sosial yang ditampilkan yaitu penggerebekan, menangkap, menggiring sampai dengan menjauhi dengan publikasi. Hasil studi literatur di atas menggambarkan bagaimana program reintegrasi sosial selain dapat bermanfaat untuk Lapas tetapi masih banyak perbaikan yang harus dilakukan agar narapidana juga dapat mendapatkan hal yang positif dan tidak mendapatkan reaksi sosial yang tidak diinginkan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa masyarakat yang sarat dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial dirasakan terganggu oleh perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya, sehingga label yang diberikan ternyata tidak serta merta memudahkan mereka kembali ke lingkungannya. Bagi penyandang masalah baik pada level individu, kelompok atau masyarakat yang sudah di rehabilitasi dan sudah berada dalam kondisi normal kembali pada umumnya masih tetap rentan untuk kembali pada kondisi yang bermasalah lagi. Upaya developmental pasca rehabilitasi dapat mengurangi kerentanan tersebut sehingga mempunyai fungsi pencegahan agar penyandang masalah yang sudah dikembalikan dalam kehidupan normal tidak terjerumus kembali pada masalah sosial berikutnya. Oleh sebab itu, pada umumnya intervensi dan pelayanan tidak sama sekali dihentikan setelah tindakan rehabilitative dianggap selesai melainkan dilanjutkan dengan monitoring dan pelayanan lanjutan untuk memfasilitasi bekas penyandang masalah melakukan pengembangan diri. 9 Di sisi lain, upaya developmental juga dapat mendukung upaya preventif untuk mencegah agar individu, kelompok atau masyarakat yang normal tidak menjadi bermasalah dan agar penyandang masalah yang sudah di rehabilitasi tidak kambuh lagi. 10 Untuk kasus narkotika ada beberapa alasan mengapa ia cepat kembali terpengaruh kepada barang haram tersebut. Didin Sudirman dalam bukunya yang berjudul Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia menyatakan bahwa ada berbagai kendala yang dihadapi dalam penanggulangan kejahatan narkoba, diantaranya : 11 1. Adanya sifat dari narkotika yang menimbulkan efek ketergantungan dan secara fungsional dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan stress dalam menghadapi kehidupan yang penuh konflik akibat budaya persaingan. 2. Bisnis narkotik dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar, karena bahan baku yang berupa tanaman ganja dan candu mudah tumbuh di daerah pegunungan. 3. Berhubung ancaman pidana yang relatif berat bahkan hukuman mati bagi para pengedarnya maka bisnis ini dilakukan sangat tersembunyi. 4. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa kejahatan narkotik ini juga melibatkan backing yang justru terkadang muncul dari aparatur sendiri 5. Kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perseorangan melainkan dilakukan secara bersama-sama sindikat. 9 Soetomo. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Belajar. 2008. Hal 65 10 Ibid, Hal 64 11 Sudirman, Didin. Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jakarta : CV. Alnindra Dunia Perkasa. 2007. Hal 253-256 Peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Program Reintegrasi Sosial yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika. Karena dengan diberikannya program reintegrasi sosial hanya memberikan manfaat kepada lapas saja untuk mengurangi over kapasitas lalu bagaimana dengan narapidana yang berkali-kali keluar masuk penjara residivis. Apakah dengan proram reintegrasi sosial dapat mencegah pelaku kejahatan kembali lagi mengulangi tindakan melanggar hukumnya lagi. Oleh karena itu peneliti mengambil judul, Program Reintegrasi Sosial pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah