34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keseragaman sediaan Ditjen POM, 1995. Hasil uji keseragaman kandungan dapat dilihat pada tabel 4.4 dan data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.
Tabel 4.4. Keseragaman Kandungan Obat B
Tablet Kadar
Rata-Rata Kadar SD
RSD 1
102,08 96,34
3,50 3,63
2 98,45
3 95,59
4 95,87
5 96,77
6 92,62
7 90,86
8 97,09
9 100,67
10 93,41
Dari hasil uji keseragaman kandungan yang dilakukan, menunjukkan bahwa kesepuluh tablet B memiliki kadar antara 90,86 - 102,08 yang masuk
dalam persyaratan keseragaman kandungan yang ditetapkan oleh FI IV yaitu kadar terletak antara 90 hingga 110 dari yang tertera pada etiket, dan memiliki
simpangan baku relatif kurang dari 6, yaitu 3,63. Berdasarkan hasil uji keragaman bobot dan keseragaman kandungan,
dapat disimpulkan bahwa obat A dan obat B telah memenuhi persyaratan keseragaman sediaan.
Dengan terpenuhinya persyaratan keseragaman sediaan, faktor kesalahan yang menyebabkan variasi profil disolusi darisetiap tablet dapat
diminimalkan, di mana faktor perbedaan kadar dari tiap tablet tidak dapat dijadikan suatu alasan ketika hasil uji disolusi dari tiap tablet bervariasi. Dengan
demikian, obat A dan obat B dapat dilanjutkan ke uji disolusi yang hasilnya dapat dianalisis tanpa mempertimbangkan besarnya dosis.
4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasidan membandingkan profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di pasaran sehingga dapat
diketahui apakah profil disolusi sediaan tersebut memiliki persamaan dan telah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh USP XXX, dan melalui profil disolusi
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga dapat diketahui kinetika dan mekanisme pelepasannya. Uji disolusi in vitro merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui profil pelepasan obat yang dapat
menggambarkan profil farmakokinetika obat didalam tubuh Lachman, 1994, di mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu
tahapan penentu rate limiting step absorpsi sistemik obat Sutriyo, dkk., 2005. Uji disolusi dilakukan berdasarkan metode yang ditetapkan USP XXX.
Dimana di dalam USP terdapat 9 tes metode uji disolusi dengan persyaratan pelepasan yang bervariasi untuk setiap metodenya. Namun, pada penelitian ini
digunakan metode uji disolusi tes satu, di mana pada tes satu ini menggunakan alat disolusi tipe 2 dayung, medium disolusi cairan lambung tiruan dapar HCl
pH 1,2 dan cairan usus tiruan dapar fosfat pH 6,0 tanpa enzim sebanyak 900 ml, kecepatan pengadukan 50 rpm, dan suhu 37±0,5°C. Uji disolusi dilakukan
selama delapan jam untuk obat A, di mana satu jam pertama dilakukan pada medium cairan lambung tiruan dan tujuh jam berikutnya pada medium cairan usus
tiruan, sedangkan untuk obat B dilakukan hingga menit ke-660, yaitu sampai persentase kadar teofilin yang terdisolusi mencapai 80. Pencuplikan sampel
dilakukan setiap 15 menit pada satu jam pertama dan setiap 60 menit untuk jam berikutnya. Volume pencuplikan diambil sebanyak 5 ml dan segera digantikan
dengan medium disolusi baru yang sama sejumlah volume yang dicuplik untuk menjagaagar volume disolusi tetap, kemudian sampel diukur serapannya pada
panjang gelombang maksimum dan dihitung kadarnya dengan menggunakan persamaan regresi yang telah ditentukan sebelumnya. Uji disolusi dilakukan
dengan menggunakan 6 tablet pada setiap obat, baik obat A maupun obat B. Medium uji disolusi yang digunakan berdasarkan medium disolusi yang
tercantum dalam metode uji disolusi tes satu USP XXX, yaitu cairan lambung tiruan dapar HCl pH 1,2 dan medium cairan usus tiruan dapar fosfat pH 6,0
tanpa enzim. Selain kedua medium tersebut menggambarkan keadaan fisiologis saluran cerna, sifat medium disolusi merupakan salah satu faktor yang
dipertimbangkan dalam uji disolusi. Media yang digunakan tergantung sifat zat aktif obat dan lokasi di dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan
melarut. Zat aktif yang bersifat asam lemah kecepatan disolusinya akan meningkat di dalam medium dengan pH tinggi, sedangkan zat aktif yang bersifat