Sistematika dan Pendekatan CLD KHI

29 Mesir. Negeri-negeri Muslim tersebut telah berulang kali memperbarui hukum keluarga mereka. 12 Keenam , berdasarkan hasil survei di empat wilayah; Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat ditemukan kenyataan bahwa mayoritas responden yang terdiri atas hakim agama, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan KHI. Alasan yang dikemukakan dalam mendukung pernyataan tersebut antara lain: 1 KHI sudah 19 tahun diberlakukan dan belum pernah dilakukan evaluasi kritis terhadapnya, 2 KHI perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti serta mengikat dan dapat dipakai sebagai kodifikasi hukum, dan 3 Materi-materi hukum yang terdapat dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. 13

C. Sistematika dan Pendekatan CLD KHI

Sistematika dirumuskannya CLD KHI adalah untuk mencapai cita- cita luhur, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan demokratis. CLD KHI dicanangkan sebagai rumusan baru syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter genuine kebudayaan Indonesia, sebagai alternatif dari tuntunan formalisasi syariat Islam yang kaffah pada satu sisi dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam nation- 12 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 149 13 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto Ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 149 30 state Indonesia pada sisi yang lain. 14 Realitas keindonesiaan yang pluralistik mengharuskan satu alas pijak dan mata baca yang tepat dalam CLD KHI. Dasar atau pendekatan dirumuskannya CLD KHI adalah gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. 15 Keempat pendekatan inilah yang menjadi pisau bedah lahirnya CLD KHI. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan keempat pendekatan ini sangat urgen untuk diketahui, mengingat sebuah pendekatan dan cara pandang juga tidak lahir dari ruang hampa yang bebas nilai. Dengan mengetahui keempat pendekatan ini berarti telah mengetahui pula pisau bedah yang menjadi indung semanah lahirnya CLD KHI. Hal ini akan menjadi titik terang untuk mengetahui apa sesungguhannya CLD KHI dan dari “orang tua” macam apa ia dilahirkan. Pada akhirnya, saat CLD KHI akan diterapkan baca; dikawinkan dengan realitas sosiologis keindonesiaan, khususnya masyarakat muslim, pertanyaan yang harus dijawab adalah, “sekufukah” CLD KHI dengan masyarakat Islam Indonesia. Untuk lebih jelasnya, masing-masing pendekatan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama , pendekatan gender. konsep mengenai kesetaraan gender di sana-sini ada perbedaan. Paling tidak ada empat macam cara pandang mengenai kesetaraan gender. Pertama, kesetaraan lot atau keseteraan kuantitatif 5050. Kedua, kesetaraan dalam kesempatan equality of 14 Tim Pembaruan KHI. Pembaruan Hukum Islam, h. 10 15 Muhammad Zain dan Mukhtar Al Shadiq, h. 4. dalam draft asli KHI sebenarnya masih ada dua asas lagi yaitu, nasionalisme, dan maslahah. Penulis mencukupkan empat asas ini karena ini merupakan pokoknya dan empat asas inilah yang berkaitan dengan pembahasan penulis dalam penelitian ini 31 opportunity . Ketiga, kesetaraan dalam kesempatan dilengkapi dengan kesetaraan dalam hal pemenuhan alat untuk mengaksesnya means- regerding-equality . Keempat, kesetaraan dalam kesempatan, pemilikan alat, dan pengutamaan bagi yang lemah affirmative action 16 . Kelima, kesetaraan personal person-regarding equality. 17 Keenam, kesetaraan personal dan prinsip keterpasangan. Keenam macam konsep kesetaraan ini sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua: kesetaraan kuantitas dan kesetaraaan kualitas berorientasi pada terciptanya masyarakat egaliter tanpa struktur, dimana di dalamnya terjadi penyebaran fungsinya dan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaaan baik diranah publik maupun domestik. Cita-cita ini berasal dari asumsi bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama dalam hal, aspirasi, keinginan, dan kebutuhannya. Perbedaan-perbedaan bawaan biologis sama sekali tidak mempengaruhi sikap, tindakan apalagi pembagian sektor kerja antara laki- laki dan perempuan, kesetaraan yang termasuk ke dalam tipe ini adalah: kesetaraan kesempatan equality of opportunity, kesetaraan pemilikan alat means regarding equality, dan kesetaraan dengan affirmative action . Ada sedikit perbedaan antara kesetaraan kesempatan dan dua kesetaraan yang disebut terakhir baca: kesetaraan pemilikan alatmeans 16 Istilah affirmative action tentu tidak memadai untuk mewadahi konsep yang terakhir ini. Penyebutan istilah ini hanya untuk memudahkan saja. Sebenarnya, kedua konsep terakhir, means regarding-equality dan affirmative action, merupakan sarana pelengkap dari konsep pertama, equality of opportunity. Affirmative bisa berupa pemberian pelayanan yang lebih, penurunan standar, dan sebagainya untuk membuat perempuan dapat menduduki garis hierarki yang sama dengan laki-laki 17 Megawang, Membiarkan Berbeda?, h. 24 32 regarding equality dan kesetaraan dengan pengutamaan affermative action. Kedua kesetaraan ini sebenarnya mengakui perbedaan-perbedaan yang unik antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja tetap tidak mengakui bahwa semua itu berimplikasi pada fungsi-fungsi sosial. Ketiga konsep kesetaraan ini sama-sama menuding faktor budaya yang menyebabkan laki-laki dan perempuan terspesifikasi ke dalam wilayah kerja dan stereotip tertentu. Senada dengan Pernyataan Plato dalam Republiknya- sebagaimana dikutip Murtadha Muthahhari- bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama, dilatih dengan hal yang sama. Hanya saja ia bersyukur telah diciptakan sebagai lelaki, karena dibalik itu ia juga mengakui bahwa menurutnya perempuan punya bekal potensi yang lebih rendah dibanding laki-laki. 18 Yang pasti, semua konsep kesetaraan ini mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu kesamaan lot antara laki-laki dan perempuan terutama dalam dunia kerja. Kesetaraan kualitas berorientasi pada terciptanya keseimbangan balancing peran bukan percapaian kuota 5050 antara laki-laki dan perempuan. Pengakuan atas perbedaan-perbedaan spesifik baik dalm penciptaan biologis, karakter psikis, aspirasi, kemauan, dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan menjadi landasan utama dalam kesetaraan ini. Baik laki-laki maupun perempuan jelas merupakan dua jenis sosok makhluk yang berbeda baik dari segi fisik maupun karakter psikis yang termasuk ke dalam kesetaraan jenis ini adalah “kesetaraan personal” dan 18 Murtadha Mutthahari, Hak-Hak Wanita dalam Islam, Jakarta: Lentera, 2004, h. 108 33 “kesetaraan personal dengan prinsip keterpasangan”. Penghargaan atas keunikan laki-laki dan perempuan sangat ditekankan dalam konsep ini. 19 Namun, sekali lagi, ada sedikit perbedaan antara yang pertama baca: kesetaraan personal dan yang terakhir baca: kesetaraan personal dengan prinsip keterpasangan. Melihat asal mulanya, konsep yang pertama sebenarnya tidak secara spesifik membicarakan perbedaan yang unik serta dampaknya terhadap peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, kesetaraan tersebut mengakui keunikan individu tanpa adanya polarisasi yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Prinsip yang dipakai dalam teori pertama adalah prinsip hak asasi dan kebebasan individu. Sedangkan kesetaraan yang kedua menggariskan adanya perbedaan yang spesifik dalam hal tugas pokok terciptanya laki-laki dan perempuan baik secara biologis, psikologis, maupun dalam peran sosial prinsip satu sama lain saling membutuhkan dan saling lengkap-melengkapi simbiosis mutualisme. Selain itu, kesetaraan yang kedua mengacu pada prinsip komunalisme, yaitu pengutamaan kesatuan masyarakat di mana setiap individu baik laki-laki maupun perempuan mempunyai fungsi dan tempat masing-masing serta punya kewajiban untuk bersama-sama menjaga harmoni integralitasi masyarakat tersebut kesatuan dalam keragaman. Kesetaraan terakhir inilah yang menjadi prinsip Islam. Kedua , prinsip kesetaraan gender al-‘musawah al-jinsiyyah. Gender merupakan entitas yang berbeda. Jika gender secara umum digunakan untuk 19 Tim Pembaruan KHI, Pembaruan Hukum Islam, h. 14 34 mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Artinya, gender bukan kategori biologis yang berkaitan dengan hitungan kromosom, pola genetik, struktur genital, melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya. 20 Jelas, menurut pertanyaan ini, gender semata-mata konstruksi sosial. Inilah kesetaraan kuantitaskesetaraan lot. Ketiga , penegakan HAM Iqamat al-Huquq al-Insaniyyah. Hak asasi manusia dimaksudkan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia karena terbitkan kepadanya. Hak asasi mengungkapkan segi-segi kemanusiaan yang perlu dilindungi dan dijamin dalam rangka memartabatkan dan menghormati eksistensi manusia secara utuh. Oleh karena itu, manusia dengan martabatnya merupakan ciptaan Allah SWT, maka dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia dimiliki manusia karena diberikan oleh Allah SWT sendiri. Dengan demikian, hak asasi manusia secara otomatis akan dimiliki oleh setiap insan di bumi ini. 21 HAM yang dimaksud disini dapat dirunut akarnya dari Eropa, yaitu sejak lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris, Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum, menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta 20 Tim Pembaruan KHI, Pembaruan Hukum Islam, h. 14 21 Tim Pembaruan KHI, Pembaruan Hukum Islam, h. 14 35 pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. 22 Sejak itu mulai dipraktikan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang- undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya bahwa manusia sama dimuka hukum equality before the law. 23 Adapun mengenai hal ini memperkuat dorongan timbulnya Negara hukum dan demokrasi, Bill of rights melahirkan asas persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseeau tentang contract socialperjanjian masyarakat, motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dab Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya. Pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi 22 Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http:humanrights.go.idspt_sejarah.asp. 23 Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http:humanrights.go.idspt_sejarah.asp 36 melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang- orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression bebas mengeluarkan pendapat, freedom of religion bebas menganut keyakinanagama yang dikehendaki, the right of property perlindungan terhadap hak milik dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya. 24 Semua hak-hak ini, setelah Perang Dunia II, sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia, dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Right yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948. 25 Dengan mengacu pada sejarah ini, maka tidak dapat dinafikan bahwa HAM Barat tak terlepas dari peradaban Barat secara umum beserta epistimologi yang mendasarinya. 26 24 Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http:humanrights.go.idspt_sejarah.asp. 25 Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http:humanrights.go.idspt_sejarah.asp. 26 Peradaban al-hadharah, civillitation yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sekumpulan konsep mafahim tentangkehidupan majmu’ al-mafhim ‘an al-hayah. Definisi 37 Peradaban Barat adalah sekumpulan konsep mafahim tentang kehidupan menurut ideologi Barat, yaitu kapitalisme. Peradaban ini telah mencengkeram dunia kira-kira sejak abad ke-18 hingga abad ke-21 saat ini, Taqiyuddin an-Nabhani 1953 dalam Nizham al-Islam menjelaskan, menurut ada 3 tiga ciri-ciri pokok peradaban Barat, yaitu: 1 berasaskan sekularisme pemisahan agama dari kehidupan; 2 berstandar manfaat utilitarianismepragmatisme dalam mengukur segala perbuatan manusia; dan 3 bersifat hedonis mementingkan kenikmatan fisik dalam memahami makna kebahagiaan. Prinsip CLD KHI berikutnya adalah demokrasi, mengenai prinsip ini, CLD KHI menyebutkan: “Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara mendasar bisa dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Artinya, pada dataran prinsipil tersebut antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan. Sejumlah konsep ajaran Islam yang dipandang sejalan dengan prinsip demokrasi adalah; pertama, al- musawah egalitarianism. Bahwa manusia memilki derajat dan posisi yang setara di hadapan Allah. Kedua, al hurriyah kemer-dekaan. Ketiga, al- ukhuwwah persaudaraan. Keempat, al-‘adalah keadilan yang berintikan pada pemenuhan hak asasi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat-negara. Kelima, al-syura musyawarah. Bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Kiranya mekanisme penyusunan Taqiyuddin An-Nabbani 1953 ini menjelaskan subtansi peradaban pada tingkat abstraksinya yang tertinggi, sebab, terlepas dari faktor-faktor empiric yang konkret seperti lokasi geografis dan ciri-ciri fisik peradaban-peradaban – dalam definsi tersebut –hakikatnya berupa suatu pandangan hidup holistic the world view,weltanschauung mengenai bagaimana cara manusia menjalani hidupnya. Contohnya adalah konsep demokrasi peradaban Barat dan konsep khilafah peradaban Islam . dalam praktiknya, peradaban yang pada asalnya dan intinya terdapat dalam akal dan hati manusia, lalu diwujudkan menjadi berbagai perilaku manusia dalam hidupnya. Terwujudnya kemudian cara hidup yang khas thariqah mu’ayyanah fi al-‘aisy; the way of life dalam sistem politik,system ekonomi, system budaya, dan sebagainya. Peradaban itu, dalam sistem konkret dalam benda-benda fisik al-waqi’ al muksus; tangible objects yang mencerminkan subtansi suatu peradaban. Misalnya saja bentuk atau mode pakaian, tempat ibadah, simbol-simbol khas peradaban, dan sebagainya. Peradaban yang dimaksudkan disini tidaklah identik dengan sains dan teknologi. Demokrasi tidaklah identik dengan computer. Sebab peradaban itu bersifat value-bond, yakni terikat atau sarat dengan nilai-nilai tertentu yang menjadi pandangan hidup. Nilai kehidupan selalu unik, bukan universal. Sedangkan sains dan ideology pada dasarnya bersifat value free, yakni tidak terkait dengan suatu nilai kehidupan tertentu. 38 sebuah Kompilasi Hukum Islam harus bersendikan kelima pokok ajaran tersebut”. 27 Concern utama dari prinsip ini dalam KHI tidak lain adalah hak asasi manusia HAM. Apa yang terkandung dalam demokrasi sebenarnya adalah penghargaan atas nilai-nilai HAM. Hanya saja, demokrasi membicarakannya terkait dengan sebuah sistem pemerintahan. Secara simplistis dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah penghargaan pemerintah atas hak-hak dan kebebasan warganya. Demokrasi sering dikenal dengan prinsip: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat atau kedaulatan di tangan rakyat. Pada mulanya, prinsip ini sangat tepat ketika melihat konteks munculnya demokrasi dengan latar belakang pemerintahan tiran sebagai penyebabnya. Namun demikian, pada perjalanannya demokrasi seringkali dijadikan alat justifikasi atas kebebasan dan HAM. HAM dalam terminologi Barat sebagaimana dijelaskan di atas dengan materialis-antroposentrisnya. 28 Menurut Ali Yafie yang menolak adanya 7 konstruksi CLD KHI, yaitu: 1. Mengadaptasikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi. 2. Melalui dekonstruksi ajaran. 3. KHI Indonesia yang pluralis dan demokratis. 27 Tim Pembaruan KHI, Pembaruan Hukum Islam, h. 15 28 Mengenai pembahasan demokrasi, dapat dirujuk pada: Jean Beachler, Demokrasi, Sebuah Tinjauan Analisis, Yogyakarta: Kanisius, 2001 dan Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 . Penulis tidak membahas lebih jauh tentang prinsip ini, karena penggunaan prinsip ini dalam CLD KHI hemat penulis tak jauh beda dengan paradigma HAM telah diulas sebelumnya 39 4. KHI dalam kerangka Hukum Nasional dan Hukum Internasional. 29 5. Mengacu kepada prinsip dasar ajaran Islam yaitu pluralisme. 6. Problem metodologis ushul fikih membongkar kerangka bangunan dekonstruksi paradigma ushul fikih lama dan menciptakan ushul fikih alternatif. 7. Merekonstruksikan Hukum Islam fikih dewasa ini tidak cukup sekedar melakukan tafsiran ulang, akan tetapi harus melalui proses dekontruksi pembongkaran. Tujuh konstruksi masalah tersebut mengundang kita semua mencermatinya karena itulah kerangka pembaruan yang ditawarkan oleh naskah CLD-KHI. Wujud pembaruan tersebut dicermati dalam Prof. Huzaemah yang oleh beliau ditegaskan bahwa pembaruan yang demikian tidak mengikuti cara-cara dan kaidah-kaidah dalam penetapan hukum Islam dan berindikasi memenangkan prinsip-prinsip yang datang dari dunia Barat dan luar Islam. 30 Titik tolak yang diinginkan naskah CLD KHI ialah mengadaptasikan menyesuaikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi yang tentunya berintikan liberalisme. Langkah-langkah demokrasi kehidupan selalu sejalan dengan liberalisasi kehidupan. Perlu kita ketahui globalisasi mengibarkan berada di belakang ekspansi demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan gender di bawah payung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia HAM. Di dalam 29 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, Jakarta: Penerbit Republika, 2004, h. 70 30 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, Jakarta: Penerbit Republika, 2004, h. 71 40 kehidupan keluarga moderen yang liberal memang didorong kepada liberalisasi dan demokratisasi kehidupan keluarga dan hubungan laki-laki perempuan pada umumnya.

D. Deskripsi Mahar