40
kehidupan keluarga moderen yang liberal memang didorong kepada liberalisasi dan demokratisasi kehidupan keluarga dan hubungan laki-laki
perempuan pada umumnya.
D. Deskripsi Mahar
Atas kerangka berfikir yang disebutkan diatas, tim CLD-KHI menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits dengan pendekatan
kemaslahatan, kearifan lokal, maqashid al-syari’ah, dan akal publik. Ini tercermin dari kaidah ushul fikih yang digunakan dalam merumuskan
ketentuan hukum Islam. Meskipun demikian, tim CLD-KHI tetap menggali hukum Islam dari khazanah intelektualisme klasik Islam kitab kuning dari
berbagai madzhab fikih. Dengan demikian, semua ketentuan hukum Islam dalam CLD-KHI digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang
otoritatif, al-Qur’an dan al-Sunnah, serta khazanah intelektual klasik Islam kitab kuning melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan
tradisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di negara lain.
31
Perbedaan prinsipil antara nalar CLD-KHI dengan KHI-Inpres terletak pada perspektif dan pendekatan yang digunakan serta lanskap yuridis
pembentukan hukum yang dijadikan pijakan. Tim CLD-KHI secara terang- terangan menyebutkan bahwa perspektif yang digunakan dalam merumuskan
hukum keluarga Islam adalah keadilan gender, pluralisme, hak asasi manusia,
31
Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia”,
artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari httpwww.docstoc.com...COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-
KHI
41
dan demokrasi.18 Menurutnya, “Pendekatan ini selain akan mengantarkan Syari’at Islam menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua
kalangan, juga akan kompatibel dengan kehidupan demokrasi modern.” Hasil penalaran tersebut kemudian “dibumikan” ke dalam lanskap ke
Indonesiaan, terutama konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini terkait dengan prinsip legislasi bahwa ketentuan hukum yang datang
kemudian tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum sebelumnya. Sebelum CLD-KHI dibuat, MPR telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak
empat kali.
32
20 Substansi terpenting dari amandemen adalah menempatkan demokrasi, kesetaraan, dan hak asasi manusia dalam posisi yang sangat
strategis. Sejumlah UU penting juga telah ditetapkan, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women , Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tentang 2002 tentang Perlindungan Anak, UU
Nomor 23 Tentang 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCR International
Covenant on Civil and Political Rights , Perjanjian Internasional mengenai Hak
Sipil dan Politik, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Perjanjian
Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam kerangka
32
Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia”,
artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari httpwww.docstoc.com...COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-
KHI
42
perundang-undangan inilah, rancangan hukum Islam versi CLD-KHI diredaksikan dalam bentuk pasal dan ayat.
33
Dalam CLD KHI, mahar diatur dalam Pasal 16 menawarkan: 1 Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya
sesuai dengan kebiasaan budaya setempat. ;2 jumlah, bentuk, dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai kemampuan pemberi.
34
Pasal 18
“Mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan”.
Islam menjadikan mahar sebagai simbol penghormatan terhadap perempuan yang diangkat martabatnya sederajat dengan laki-laki. Akan tetapi,
di masyarakat mahar mengalami distorsi makna, lebih banyak dimaknai sebagai harga tubuh perempuan price of the body atau pembayaran harga
vagina. Karenanya, jika seorang laki-laki telah memberikan mahar, dia lalu mengklaim berhak memiliki tubuh perempuan tersebut dan berhak
menyetubuhinya kapan saja sesuai keinginannya. Pemaknaan seperti itu bukan tanpa dasar, melainkan mengacu kepada pandangan fikih klasik. Buktinya,
definisi nikah dalam fikih klasik selalu diartikan dengan “akd li at-tamlik” akad yang membolehkan kepemilikan atas tubuh perempuan. Untuk lebih
jelasnya lihat pengertian nikah di awal tulisan ini. Selain itu, persoalan mahar
33
Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia”,
artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari httpwww.docstoc.com...COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-
KHI
34
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju
Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. h. 158
43
selalu dikaitkan dengan dukhul bersenggama, misalnya jika kedua mempelai bercerai sebelum dukhul maka suami hanya berhak memberikan setengah dari
mahar yang telah ditetapkannya, dan sebaliknya jika telah dukhul suami wajib melunasi seluruhnya.
35
Meskipun istilah mahar ini sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an, namun ditemukan beberapa kata yang menunjuk kepada pengertian mahar,
yakni ujrah Q.S. An-Nisa’ , 25, shadaq Q.S. An-Nisa’, 4, dan faridhah Q.S.Al-Baqarah, 236-237. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa
mahar merupakan pemberian dari seorang suami kepada istrinya ketika akad nikah berlangsung sebagai lambang kecintaan dan kasih sayang , juga simbol
tanggung jawab serta ketulusan hati untuk melaksanakan amanah perkawinan sesuai aturan agama. Lalu bagaimana pemberian mahar yang dipraktekkan
Rasul? Sejumlah hadits menukilkan sebagai berikut:
ﺎ ﺛﺪ ﺪ
رﺎ ﺎ ﺛﺪ
ﻰ ﺪ
ﺪ و ﺮ ا
ىﺪﻬ ﺪ
و ﺮ ﺟ
اﻮ ﺎ ﺎ ﺛﺪ
ﺔ ﺷ ﺻﺎ
ﺪ ﷲا
لﺎ ﺪ
ﷲا ﺮ
ﺔ ر أ
نأ ةأﺮ إ
ةراﺰ ﺟوﺰ
ﻰ لﺎ
لﻮ ر ﷲا
ﻰ ﺻ ﷲا
و ﺿرأ
ﻚﺴ ﺎ و
ﻚ ؟
ﺎ ،
لﺎ زﺎﺟﺄ
.
36
اور ىﺬ ﺮ ا
35
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto Ed, Perempuan dan Hukum: Menuju
Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 159
36
Maktabah Syamila, Al-Turmudzi: Sunan Al-Turmudzi, Mesir, Al-Misykat, h. 1113
44
Artinya:“Dari Abdullah ibnu Umar ibn Rabi’ah dari ayahnya berkata: bahwa Rasulullah saw. Mengizinkan seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan dengan mahar berupa sepasang sandal” HR. Turmudzi.
Ketika Rasul menikahi Shofiyyah, beliau tidak memberikan mahar dalam bentuk material, sebagaimana lazimnya tradisi Arab, melainkan
pemberian kemerdekaan dari status budak. Peristiwa bersejarah tersebut diabadikan dalam hadits Bukhari-Muslim:
بﺎ ا
ﺷو ﺎﺛ دﺎ ﺎ ﺛﺪ ﺪ ﺔ ﺎ ﺛﺪ ﻚ ﺎ أ
: و
ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮ ر نأ أ
ﺔ ﺻ ﺎﻬ اﺪﺻ ﺎﻬ ﺟو
37
Artinya: “Dari Anas ra, dari Rasulullah saw : bahwasanya beliau telah memerdekakan Shofiyyah dan beliau menjadikan kemerdekaannya itu
sebagai mahar” HR. Bukhari-Muslim.
38
Berbagai hadits tadi menyimpulkan bahwa tidak ada aturan baku mengenai mahar, baik dari segi bentuk maupun jumlahnya. Yang penting
mahar itu jangan memberatkan. Mahar adalah lambang penghormatan, simbol kasih sayang, cinta ketulusan dan tanggung jawab. Dengan demikian subtansi
makna mahar bukanlah terletak pada bentuk atau harga ataupun nilai pemberian itu semata, melainkan terletak pada niat atau motivasi dari orang
yang memberikan serta bagaimana ia kelak mewujudkan niat itu dalam bentuk
37
Maktabah Syamila, Al-Bukhari: Shahih Bukhari, Mesir, Al-Misykat, h. 1956, Maktabah Syamila, Al-Muslim: Shahih Muslim, Mesir, Al-Misykat, h.146
38
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto Ed, Perempuan dan Hukum: Menuju
Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan . h. 159
45
perilaku dalam kehidupan berkeluarga. Jika demikian, menurut perumus CLD KHI, pemberian mahar bukan hanya monopoli laki-laki, perempuan pun boleh
memberikan. Bukankah saling memberi itu lebih indah?
39
39
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto Ed, Perempuan dan Hukum: Menuju
Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan . h. 160
BAB IV KONSEP MAHAR DALAM COUNTER LEGAL DRAFT CLD KHI