Faktor-faktor Pendorong Lahirnya CLD

25 gender ; g melakukan revisi draft berdasarkan input dan masukan dari beberapa lokakarya; h melaunching Counter Legal Draft kepada publik untuk diketahui secara luas dengan maksud memberikan bekal dan pencerahan kepada publik agar mereka dapat mendorong dan mengkritisi perubahan KHI; dan i merevisi kembali hal-hal yang sulit diterima publik, antaranya soal perjanjian perkawinan. 4

B. Faktor-faktor Pendorong Lahirnya CLD

Setidaknya ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI dan akhirnya melahirkan rumusan CLD. Pertama, tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengumumkan suatu kebijakan nasional guna penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang terkenal dengan Zero Tolerance Policy dalam bentuk RAN PKTP Rencana Aksi Nasional Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Kebijakan Zero Tolerance Policy Ini intinya menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak mentolerir segala bentuk kekerasan, sekecil apapun. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan CEDAW dan sekaligus merespon Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 20 Desember 1994. Salah satu poin penting dalam RAN-PKTP tersebut adalah penghapusan kekerasan 4 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 150 26 terhadap perempuan dalam aspek sosio-kultural atau sosial budaya melalui upaya revisi Kompilasi Hukum Islam KHI. 5 Mengapa. KHI? Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang diidentifikasi sebagai akar terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan atau dipandang menyumbang bagi timbulnya perilaku kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga KDRT. Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu institusi yang diharapkan melakukan perubahan itu adalah Departemen Agama. Sebagai respon terhadap komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan dan mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan sebagaimana termaktub dalam RAN PKTP tersebut Tim Pokja PUG Departemen Agama mengambil prakarsa melakukan kajian kritis terhadap KHI. 6 Kedua , sejumlah penelitian baik dalam bentuk tesis maupun disertasi ataupun dalam bentuk kajian ilmiah lainnya menyimpulkan bahwa KHI dalam dirinya mengandung sejumlah persoalan, di antaranya sejumlah pasal yang ada berseberangan dengan produk-produk hukum nasional, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Tentang Hak-hak Anak 2000; UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan 5 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 147 6 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 147 27 Amandemen UUD 1945. 7 Demikian juga KHI berseberangan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat tanpa membedakan laki dan perempuan dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. 8 Adapun di tingkat internasional, telah disepakati sejumlah instrument penegakan dan perlindungan HAM yang sangat tegas mendorong penguatan terhadap hak asasi perempuan, seperti Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian di tingkat regional, negara Islam yang tergabung dalam OKI Organisasi Konferensi Islam merumuskan Deklarasi Kairo 1990. Konvensi Hak Anak 1990 yang diratifikasi melalui Kepres Tahun 2000 mengenai Hak Anak yang isinya menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun; dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial 1999. Keseluruhan konvensi tersebut menekankan pentingnya penghapusan diskriminasi atas dasar ras. Kebangsaan, gender, status anak, dan agama. 9 Ketiga , Direktorat Peradilan Agama tahun 2003 sebelum hijrah ke Mahkamah Agung mengusulkan RUU Terapan Bidang Perkawinan untuk menggantikan posisi hukum perkawinan dalam KHI. Selain mengusulkan 7 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 14 8 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 148 9 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 148 28 perubahan status hukumnya, yaitu dari sekedar Inpres menjadi undang- undang, juga mengusulkan penambahan pasal-pasal baru mengenai sanksi bagi setiap pelanggaran, misalnya pelanggaran dalam hal pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya di institusi yang berwenang akan dikenai sanksi dalam bentuk hukum penjara dan denda. Pasalnya, data yang tercatat di DEPAG, menunjukkan sekitar 48 perkawinan yang berlangsung di masyarakat tidak tercatatkan unregistered. Hal ini sangat memprihatinkan, sebab tiadanya pencatatan jelas merugikan hak-hak istri dan anak. 10 Keempat , adanya tuntunan formalisasi syariat Islam di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Sulawesi, Cianjur, Madura. Upaya formalisasi syariat Islam tersebut terkesan belum memiliki konsep yang jelas mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Untuk menjawab konsep kebutuhan tersebut salah satu alternatif adalah menawarkan penggunaan KHI baru yang lebih memperhatikan nilai-nilai Islam yang esensial, seperti keadilan, kemaslahatan, kesetaraan dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai dan kearifan budaya lokal. 11 Kelima , membandingkan KHI dengan hukum keluarga the family law di berbagai negeri Muslim, seperti Tunisia, Yordan, Syria, Irak, dan 10 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 148 11 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 148 29 Mesir. Negeri-negeri Muslim tersebut telah berulang kali memperbarui hukum keluarga mereka. 12 Keenam , berdasarkan hasil survei di empat wilayah; Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat ditemukan kenyataan bahwa mayoritas responden yang terdiri atas hakim agama, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan KHI. Alasan yang dikemukakan dalam mendukung pernyataan tersebut antara lain: 1 KHI sudah 19 tahun diberlakukan dan belum pernah dilakukan evaluasi kritis terhadapnya, 2 KHI perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti serta mengikat dan dapat dipakai sebagai kodifikasi hukum, dan 3 Materi-materi hukum yang terdapat dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. 13

C. Sistematika dan Pendekatan CLD KHI