Perspektif Fikih Konvensional KONSEP MAHAR DALAM COUNTER LEGAL DRAFT CLD KHI

BAB IV KONSEP MAHAR DALAM COUNTER LEGAL DRAFT CLD KHI

KOMPILASI HUKUM ISLAM: Suatu Analisis Kritis

A. Perspektif Fikih Konvensional

Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang redaksinya, tetapi maksud dan tujuannya adalah sama. Golongan Hanafiah, mendefinisikan mahar sebagai berikut: ا لﺎ ا ﺬ ْي ْﺴ ﺰ ا ْو ﺟ ﺔ ﻰ ز ْو ﺟ ﻬ ﺎ ْﺎ ْﺪ ْﻬ أ ﺎ ْو ﺪ ﺎ ﺧ ْﻮ ل ﻬ ﺎ ْ ًﺔ 1 Artinya: “Harta yang menjadi hak istri dari suami dengan adanya akad atau dukhul ” Menurut golongan Syafi’i mengartikannya dengan harta yang wajib diberikan dengan sebab nikah atau hubungan badan. ﺄ و ﺟ ﻜ حﺎ أ ْو و ْط ء أ ْو ْﻮ ْ ْﻀ ْﻬ ًﺮ ا 2 Artinya: “bahwa sesungguhnya mahar itu diwajibkan karena nikah” Menurut golongan Hanabilah, mereka mendefinisikan mahar sebagai ganti dalam nikah, baik disebut dalam akad atau ditentukan setelahnya dengan kerelaan kedua belah pihak, hakim, atau pengganti dari hubungan 1 Muhammad Ibrahim Jannah, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Jilid II, Jakarta: Penerbit Cahaya. 2007, h .391 2 Abdurrahman Al-Jaziriy, al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib al-Arba’ah, Jilid 4, Mesir: Al- Tijariah.1996, h. 94 46 47 badan, seperti wath’u syubhah َو ْﻃ ﺊ ﱡﺸﻟا ْﺒ َﻪ dan mencampuri wanita secara paksa. 3 Sedangkan menurut mazhab Malikiyah, sebagaimana disebutkan didalam kitab fikih perbandingan lima mazhab, mazhab Maliki mendefinisikan sebagai yang diperoleh istri sebagai imbalan karena hubungan badan dengannya. 4 Dari definisi-definisi diatas, tampak bahwa definisi yang dikemukakan oleh golongan Hanafiah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara definisi yang dikemukakan oleh mazhab-mazhab lain termasuk di dalamnya mazhab Maliki tidak mengadakan pembatasan hanya pada harta saja. Dari sini dapat dipahami selain golongan Hanafiah yang salah satunya Maliki. Memasukan jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar seperti, jasa atau manfaat, contohnya mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang harta kekayaan dan boleh berupa jasa atau manfaat. Jika bentuk itu berupa barang atau harta, disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan bila maharnya berbentuk jasa atau manfaat. Maka disyaratkan harus dalam arti yang baik lagi suci. 3 Muhammad Ibrahim Jannah, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Jilid II, Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007, h. 391 4 Muhammad Ibrahim Jannah, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Jilid II, h. 392 48 Dari beberapa pengertian mahar diatas yang telah disebutkan baik menurut mazhab Maliki atau menurut yang lain, pada dasarnya mahar adalah pemberian yang wajib dari setiap calon suami kepada calon istri yang melalui pemberian mahar itu dapat menghalalkan terjadinya hubungan suami istri. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi hak penuh bagi istri yang menerimannya, bukan hak bersama dan bukan juga hak walinya. Mahar yang diberikan oleh laki-laki suami terhadap istri adalah sudah menjadi hak mutlak bagi istri yang dapat diambil atau dimanfaatkan oleh orang lain terkecuali berdasarkan keizinan atau kerelaan istri. Sejajar dengan hal ini, Yusuf Hamid al-Amin mengatakan dalam kitabnya “Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah” bahwa “Hak istri atas suaminya itu ditetapkan sebab tuntunan akad dan mahar hak yang sabit tetap berdasarkan nash. 5 Sedangkan Tim perumus CLD KHI menggunakan teori receptie dalam pasal 16 yang mengatur tentang “mahar”, “Bahwa calon suami pasangannya sesuai dengan kebiasaan budaya setempat yang jumlah bentuk dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan kemampuan pemberi”. Demikian pula ketentuan pasal 16 juga tidak atau tidak sahnya suatu perkawinan. Tetapi mahar merupakan kewajiban calon suami yang harus dibayarkan kepada calon istri yang jumlah, bentuk dan jenisnya dapat 5 Yusuf Hamid Al-Amin, Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, Sudan: Dar Al Sudaniyah, t.th, h. 426 49 disepakati oleh kedua belah pihak, baik dibayar secara tunai ataupun secara utang Pasal 30 sampai pasal 33 Kompilasi Hukum Islam [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991]. al-Baqarah ayat 236 jo. An-Nisa ayat 4. Mahar menurut hukum Islam, merupakan hak istri secara individual, bukan hak keluarga, dan tidak berpengaruh terhadap kondisi masyarakat. 6 Sementara CLD pasal 16 menawarkan: 1 Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan budaya setempat; 2 jumlah, bentuk, dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai kemampuan pemberi. Dengan mahar laki-laki suami semakin digdaya di hadapan perempuan istri. Terdapat anggapan yang mengumpal di alam bawah sadar seorang suami bahwa dirinya telah “membeli” alat kelamin, vagina istri, sehingga dapat dengan leluasa memperlakukannya. Untuk itu mereka menawarkan konsep bahwa mahar itu tidak selalu dari calon suami kepada calon istri, tetapi bisa juga sebaliknya dari calon istri kepada calon suami. Buku-buku fikih menyebutkan mahar itu sebagai syarat dalam perkawinan karena itu, hukumnya wajib. Pandangan ini dilandaskan pada surat an-Nisa ayat 4 ًﺔ ْ ﻬ ﺎ ﺪﺻ ءﺎﺴ ا اْﻮ اءو . Ayat itu menyebutkan mahar, melainkan yang biasa diartikan ﻬ ﺎ ﺪﺻ yang biasanya diartikan “sedekah”. Pemberian mahar juga disandarkan pada tradisi Rasul 6 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, Jakarta: Penerbit Republika, 2004, h. 82 50 Mahar umumnya dipahami sebagai pemberian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada waktu akad nikah. Bentuk mahar sangat beragam, bisa berupa uang tunai, perhiasan emas, seperangkat alat shalat, kitab suci al-Qur’an, bisa pula berupa rumah, sawah dan kebun. Pada umumnya di Indonesia mahar diberikan dalam bentuk perhiasan emas sehingga dikenal istilah maskawin. Tradisi ini berbeda dengan praktek masyarakat Arab di Timur Tengah yang biasa memberikan mahar dalam nilai yang besar, seperti rumah tangga beserta isinya. Islam menjadikan mahar sebagai simbol penghormatan terhadap perempuan yang diangkat martabatnya sederajat dengan laki-laki. Akan tetapi, di masyarakat mahar mengalami distorsi makna, lebih banyak dimaknai sebagai harga tubuh perempuan price of the body atau pembayaran harga vagina. Karenanya, jika seorang laki-laki telah memberikan mahar, dia lalu mengklaim berhak memiliki tubuh perempuan tersebut dan berhak menyetubuhinya kapan saja sesuai keinginannya. Pemaknaan seperti itu bukan tanpa dasar, melainkan mengacu kepada pandangan fikih klasik. 8 Buktinya, definisi nikah dalam fikih klasik selalu diartikan dengan “aqd li at-tamlik” akad yang membolehkan kepemilikan 7 Hadits-hadits yang menyebut soal maskawin ini, antara lain hadits riwayat Anas RA dikeluarkan Bukhari-Muslim; HR. Abu Dawud dari Uqbah ibn Amir; HR Tirmidzi dari Abdillah ibn Umar; dan HR. Hakim dari Sahal ibn Sa’id 8 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 159 51 atas tubuh perempuan. Untuk lebih jelasnya lihat pengertian nikah di awal tulisan ini. Selain itu, persoalan mahar selalu dikaitkan dengan dukhul bersenggama, misalnya jika kedua mempelai bercerai sebelum dukhul maka suami hanya berhak memberikan setengah dari mahar yang telah ditetapkannya, dan sebaliknya jika telah dukhul suami wajib melunasi seluruhnya. 9 Meskipun istilah mahar ini sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an, namun ditemukan beberapa kata yang menunjuk kepada pengertian mahar, yakni ujrah Q.S. An-Nisa’, 25, shadaq Q.S. An-Nisa’, 4, dan faridhah Q.S.Al-Baqarah, 236-237. Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Imam Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak disebut. 9 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto ed, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , h. 159 52 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham. Pangkal silang pendapat ini kata ,Ibnu Rusyd, ada dua hal, yaitu: 1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya. Maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah. 2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuanya. Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi saw,” carilah walaupun hanya cincin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi’I, Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal 53 dalam mahar. Segala yang dapat dijadikan harga dalam jual-beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, wajib membayar mahar sepuluh dirham. Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih antara membayar tiga dirham dengan melanjutkan perkawinan atau memfasakh akad, lalu membayar separuh mahar musamma. 10

B. Perspektif Sosiologis