BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG MAHAR
A. Pengertian Mahar
Secara etimologis, kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni mahran
ْﻬ ًﺮ
ا
atau kata kerja, yakni fi’il dari mahara-yamharu-mahran
ﻬ ﺮ
- ْﻬ
ﺮ -
ْﻬ ًﺮ
ا
, lalu
dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni
ا ْﻬ
ﺮ
, sedangkan pemakaian katanya disebut mahar perempuan
ْﻬ ﺮ
ة ْا
ْﺮ أة
.
Artinya membayar mahar
ﺟ ﺎَﻬَﻟ
ًﺮْﻬَﻣ ا
atau memberinya mahar .
1
ﺎ ْ أ ه
ﺎ ْﻬ
ًﺮ ا
dan kini sudah diindonesiakan dengan kata yang sama yakni mahar atau karena kebiasaan
pembayaran mahar dengan emas, maka mahar diidentikkan dengan maskawin. Di dalam bahasa syarak istilah mahar biasa disebut:
2
ا ﺪ
قا و
ا ْ
ﺔ و
ْا ﺮ
ْ ﻀ
ﺔ , وْا
ﻷ ْﺟ
ﺮ و
ْا ﺎ
و ْا
ْﺮ ,
و ْا
ءﺎ
yang kesemuanya mempunyai satu pengertian yaitu pemberian yang penuh kerelaan.
3
Sedangkan menurut terminologis mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya
4
, atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
1
Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam al-Wasit, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Jilid 2, h. 889
2
Beni Ahmad Saebani, “Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No.11974 tentang Poligami dan Problematikanya
,” Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 93
3
Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, h. 97
4
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 105
11
12
dalam bentuk benda maupun jasa memerdekakan, mengajar, dan sebagainya.
5
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah–olah perempuan yang
hendak dinikahi telah dibeli seperti barang, pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan
yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak
dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa salah satu usaha Islam ialah mesti memerhatikan dan menghargai
kedudukan wanita, yaitu memberinya hak memegang urusannya.
6
Sebab pada zaman jahiliyah, hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan, sehingga
perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat
Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada
zaman jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak
waris menerima wasiat.
5
M Abdul Mujjeb et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 84. lihat juga Zakiah Daradjat et.al, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: dana bhakti wakaf, 1995, h. 83. pula H.
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Gema Insane Pers, 1991, cet.ke-2, h.113
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Penerjemah Mohammad Thalib, Bandung: Al Ma’arif, 1981, h. 53
13
B. Dasar Hukum Mahar