Konsep Mahar dalam CLD KHI

61 mahar selain berupa uang juga tidak jarang berbentuk perhiasan emas. Masyarakat betawi dan sunda dalam tradisinya sangat mempertahankan kebiasaan perhiasaan sebagai mahar. 20

C. Konsep Mahar dalam CLD KHI

Ketika ada tawaran pemikiran Islam yang berbeda dengan pemahaman umum masyarakat yang sudah mapan selalu menuai kontroversi: ada yang mendukung, ada yang menolak, 21 dan ada juga yang mendukung dengan revisi. Contohnya adalah tawaran pembaruan hukum keluarga Islam dari CLD KHI pada tahun 2004. Sejak diskusi peluncuran naskah CLD KHI pada 4 Oktober 2004 di Jakarta, kontroversi mulai terjadi. Di mana letak ketidaktepatan salah satu pasal yang membahas tentang mahar yang digunakan CLD KHI dalam mengkritisi KHI. Cara pandang CLD KHI ini sungguh berlebihan. Pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya, dianggap oleh sementara pemikir moderen sebagai suatu cara untuk menunjukkan kedigdayaan laki-laki suami dihadapan perempuan istri. Malah dikatakan bahwa dengan mahar ini terdapat anggapan di alam bawah sadar suami bahwa ia telah membeli alat kelamin, vagina istrinya, sehingga dengan itu suami dapat memperlakukan istrinya semaunya. Untuk itu mereka menawarkan konsep bahwa mahar itu 20 Noryamin Aini, Mahar dan Status Sosial di Masyarakat Muslim Kalideres, Jakarta, Laporan Penelitian, Jakarta: Pusat Penelitian, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. 21 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 62 tidak selalu harus dari calon suami kepada calon istri, tetapi bisa juga sebaliknya, dari calon istri kepada calon suami. Pendapat ini seakan akan membawa kita semua kembali ke zaman dahulu kala sebelum Islam datang, dimana perempuan merupakan hak milik laki-laki, apakah itu ayah, saudara laki-laki, atau suaminya. 22 Zaman dimana mahar dan nafkah dianggap sebagai harga jual dan harga beli. Zaman itu telah lama berlalu dan ditinggalkan. Islam datang mengangkat derajat kaum perempuan. Islam telah menghapuskan adat kebiasan jahiliyah dalam hal mahar. Mahar dalam Islam bukanlah harga jual dan beli, tetapi sebagai simbol, pertanda, untuk menunjukkan kesungguhan hati seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Dan hal ini juga sekaligus mempertegas bahwa dalam urusan cinta, alam telah memberikan peran yang tidak sama kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dipihak yang aktif dan mengejar, sedangkan perempuan dipihak yang pasif dengan segala daya tariknya. Mahar yang diberikan ini menjadi hak penuh perempuan, bukan walinya. Ini menunjukkan bahwa sistem mahar dalam Islam memberikan pengakuan terhadap hak memiliki harta bagi perempuan dan kemerdekaan dalam bidang ekonomi. Dalam Islam, mahar adalah suatu pemberian atau hadiah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya disebabkan akad di awal pernikahan. Allah berfirman: “Dan berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi – sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. QS.An-Nisa’ 4: 4. Ayat 22 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teolog i ” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri http:komnasperempuan.or.id perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd 63 ini setidaknya menetapkan empat hal pokok yang sangat mendasar menyangkut mahar ini, yaitu: Pertama, perintah yang ditujukan kepada suami untuk memberikan mahar kepada istrinya, yang terdapat dalam ayat di atas adalah perintah wajib, karena kata “aatuu” adalah fi’il amar, dan hukum asal dari amar ini adalah untuk wajib. Karena itu, mahar wajib diberikan oleh suami kepada istri yang telah dinikahinya. Ini telah merupakan ijma kaum muslimin. Namun demikian, mahar tidaklah termasuk rukun, ataupun syarat perkawinan. 23 tetapi, merupakan salah satu dampak dari terjadinya perkawinan. Kedua, mahar disebut sebagai shaduqaat, bentuk jamak dari shaduqah yang terambil dari akar kata shadaq, yang berarti “kebenaran”. Dengan demikian mahar adalah tanda atau bukti dari cinta kasih, keikhlasan dan kesungguhan hati sang suami untuk menikah dan menanggung kehidupan rumah-tangga. Jadi dapat dikatakan bahwa mahar itu adalah tanda kesungguhan dan keikhlasan jiwa sang suami untuk menikahi istrinya. Artinya, mahar bukanlah dimaksudkan untuk pembelian atau ganti rugi, seperti yang dipahami oleh orang yang tidak setuju dengan konsep mahar dalam Islam yang diwajibkan kepada laki-laki dan menjadi hak perempuan Ketiga, pemakaian kata hunna pada shaduqaatihinna dalam ayat ini menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak milik penuh istri, bukan hak ayah, ibu atau walinya yang lain, sebagai ganti rugi membesarkan anak perempuannya. Di samping itu mahar bukan pula merupakan upah atas pekerjaan perempuan 23 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teolog i ” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri http:komnasperempuan.or.id perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd 64 melayani suami, mengurus rumah-tangga dan memelihara anak. Hal ini juga dikuatkan oleh ujung ayat yang menyatakan: ”Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya”. QS. An-Nisa’4:4. Dengan ini juga dapat dipahami bahwa mahar itu diberikan pihak laki-laki calon suami kepada perempuan calon istri dan bukan sebaliknya Keempat, kata nihlatan, berarti: dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan. Artinya bahwa mahar itu tidak mengandung maksud lain, kecuali pemberian atau hadiah yang diberikan secara sukarela. Di samping itu, kata nihlatan juga dipakai dengan arti agama dan pandangan hidup. Dengan ini dapat dipahami bahwa suami memberikan mahar ini karena kepatuhannya kepada agama yang menjadi tuntunan hidupnya. Dan oleh agama Islam, mahar ditetapkan sebagai salah satu kewajiban suami kepada istrinya. 24 Di sisi lain, ketentuan mahar adalah merupakan salah satu bentuk pengakuan Islam terhadap hak ekonomi, hak memiliki, hak menguasai dan mengurus harta kepada perempuan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Islam tiada yang berhak terhadap harta seorang perempuan kecuali dirinya sendiri, tidak suaminya, ayahnya, saudaranya, atau siapapun juga. Hak ini telah diberikan oleh Islam sejak 14 abad yang silam, sementara orang Eropa baru memberikan kebebasan ekonomi kepada perempuan satu abad yang lalu, 24 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teolog i ” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri http:komnasperempuan.or.id perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd 65 setelah muncul dan derasnya tuntutan emansipasi oleh gerakan feminisme. 25 Kecuali ayat di atas ada sejumlah ayat dalam Al Qur’an yang menegaskan bahwa mahar adalah milik penuh perempuan dan bukan milik siapapun selain dirinya, misalnya, QS. An-Nisa’ 4:20, 21 dan 34. Hal ini mempertegas persamaan laki-laki dan perempuan dalam pemilikan dan pengaturan hak milik. Selain itu, ketentuan mahar ini diatur untuk menghilangkan sifat mendominasi dan sifat memiliki oleh laki-laki terhadap perempuan, dan sebaliknya menumbuhkan rasa kasih sayang, saling menghargai, kebersamaan dan kesederajatan. Mahar diberikan karena dorongan perasaan kebaikan, kelemah-lembutan dan kasih sayang dari laki-laki kepada perempuan yang dijadikannya istri, yang dengan itu perempuan menjadi tersanjung, sehingga akan timbul rasa sayang dan penghargaan. Karena itu nilai moral dari mahar jauh lebih tinggi dari nilai materinya. Karena itulah kiranya Rasulullah SAW menyatakan bahwa: “Sesungguhnya perkawinan yang besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya ”. Pada riwayat lain dikemukakan: “Perempuan yang baik ialah yang murah maharnya , memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedangkan perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya”. Dan karena ini pulalah, maka mahar itu tidak harus selalu berbentuk uang atau barang, dan kalaupun barang 25 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teolog i ” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri http:komnasperempuan.or.id perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd 66 tidak ditentukan besaran atau jumlahnya, hanya tergantung kepada kemampuan suami. Dari semua penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa, tidak ada yang perlu diragukan lagi oleh umat Islam tentang pembebanan mahar kepada laki- laki dan bukan kepada perempuan. Karena dilihat dari sisi dalil sebagai landasan hukum dan hikmah yang terkandung dari pembebanan itu, maka memang aturan itu seharusnya demikian. Itulah aturan yang cocok dengan hukum alam dan fitrah manusia. Dengan demikian aturan yang terdapat dalam UU Perkawinan dan Kompilasi sudah sejalan dengan nash dan ajaran Islam. 26 Untuk lebih jelasnya lagi, ada baiknya dibahas secara jelas mengenai maskawin tentang CLD KHI dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti lain dari maskawin yaitu mahar. Maskawin adalah 1 “pemberian pihak pengantin laki-laki misal emas, barang, kitab suci kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah, dapat diberikan secara kontan ataupun secara hutang”. Tujuan pemberian barang serupa mahar menurut hukum Adat yang dijamin pasal 16 CLD KHI, apabila dihubungkan dengan prinsip-prinsip perkawinan yang dianut CLD KHI yang tidak melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang non-Islam, berarti pemberian benda-benda haram menurut ajaran Islam tetapi dinilai mengandung makna magis, kosmis dan 26 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teolog i ” a rtike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri http:komnasperempuan.or.id perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd. 67 totaliter menurut hukum Adat, yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri secara bertimbal-balik adalah dimungkinkan. Karena itu, pemberian benda haram menurut hukum Islam tetap tidak haram bagi hukum agama lain sedangkan CLD KHI mengunakan asas-asas pluralisme, demokratis, dan kebebasan beragama antara orang Islam dan dan orang non-Islam, hal ini berarti, bahwa orang yang beragama Islam dapat menerima benda haram, karena kebiasaan budaya setempat membolehkannya, misalnya babi pada masyarakat Adat Bali. Meskipun, menurut I Nengah Dana, Tokoh Agama Hindu di Indonesia, saat ini di Bali, pemberian jujur sudah jarang diwujudkan dalam benda berupa hewan, tetapi sering berupa perhiasan emas dan pakaian serta kitab suci, namun memang dibolehkan pemberian jujur berupa hewan, termasuk babi. 27 Ketentuan hukum Adat tersebut yang dijamin oleh pasal 16 CLD KHI, sedangkan menurut ajaran Islam sangat jelas, bahwa babi adalah haram dimakan, tentunya haram pula bila digunakan untuk pembayaran mahar maupun serupa mahar berdasarkan Surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, ayat 60, al-An’am 145, dan al-Nahl ayat 115. Ketentuan pemberian jujur serupa mahar yang dapat berupa babi dari keluarga dan kerabat calon suami kepada keluarga dan kerabat calon istri dalam masyarakat adat patrinieal di Bali misalnya, atau saling memberi mahar antara calon suami-istri yang salah satunya beragama Islam dan bukan ditujukan untuk istri secara individual. 27 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, h. 83 68 Sesuai Surat al-Baqarah ayat 236 dan an-Nisa ayat 4, bahwa CLD KHI, khususnya pasal 16 CLD KHI adalah bertentangan dengan syariah Islam. dan bila ditinjau dari teori hubungan hukum Adat dengan hukum Islam di Indonesia, maka CLD KHI adalah cenderung sesuai dengan teori meskipun dengan penyimpangan, yaitu suatu teori yang berupaya melenyapkan hukum Islam di Indonesia, meskipun CLD KHI inkonsisten. Pendekatan yang digunakan Tim Perumus CLD KHI adalah gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Ternyata setelah sedikit dikaji terhadapa pasal 16 CLD KHI yang menonjolkan kearifan lokal, jelas-jelas CLD KHI bertentangan dengan hukum Islam, bertentangan dengan tujuan hukum Islam atau al-maqashid asy-syari’yyah, karena, CLD KHI tidak memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta maqashid asy-syari’yyah rumusan al-Ghazali. Menurut Prof. K.H M. Ali Yafie, ’urf digunakan dalam menentukan suatu hukum berada dalam urutan terakhir setelah metode-metode berijtihad lainnya digunakan, pembahas”. Padahal ketentuan mahar telah ditentukan dalam al-Baqarah ayat 236 dan an-Nisa ayat 4. Karena itu penggunaan ‘urf terhadap mahar tidak dapat diterapkan. 28 Dasar pemikiran Tim Perumusan CLD KHI yang menggunakan pendekatan maqashid syariah sebagai teori dan falsafah hukum dalam merumuskan CLD KHI yang tidak sesuai dengan Surat an-Nisa ayat 59, yaitu, mereka menggunakan kaidah “ menganulir ketentuan-ketentuan ajaran dengan 28 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, h. 84 69 menggunakan logika kemaslahatan adalah diperbolehkan” jawaz naskh al- nushus bil al-maslahah , dan mereka menggunakan metode akal dan tradisi memiliki kewenangan untuk mentakhsis suatu nash agama takhish bi al-‘ql wa takhish bi al-‘urf ”. Kaidah tersebut sengaja ditetapkan, demikian pernyataan Tim Perumus CLD KHI, oleh karena syariat hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal jalb al-masalih, dan menolak segala bentuk kemafsadatan dar’u al-mafasid, yaitu untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan al-hikmah. Selain itu, Tim Perumus CLD KHI juga menggunakan kaidah yang menyatakan bahwa,”…akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara- perkara publik. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya.” Modifikasi ini menurut Tim Perumus CLD KHI sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah, dan sebagainya. Karena itu, menurut Tim Perumusan CLD KHI, “Mengubah gaya berpikir deduktif ke induktif” merupakan hal penting bagi KHI untuk menimba sebanyak-banyaknya dari kearifan lokal. 29 29 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, h. 85 70 Dari pernyataan-pernyataan Tim Perumus CLD KHI yang dikutip tersebut sangat jelas bahwa mereka menggunakan antroposentrisme dan mengutamakan asas kemanusiaan, menolak ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang dinilai tidak sesuai dengan akal dan kepentingan publik. Selain itu, mereka juga dengan tegas menjadikan dan mengutamakan kearifan lokal sebagai teori hukum yang dianut, yang berarti mereka menganut teori receptie dengan penyimpangan inkonsisten, mereka berorientasi ke Barat dan secara tegas mereka menolak ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul- Nya yang qath’i sebagai hak Allah apabila bertentangan dengan akal, terutama akal publik, juga menolak metode deduktif dan mengutamakan metode induktif. 30 Menurut Ali Mustafa Ya’qub, “Ini hukum Iblis, jika diikuti kita bisa menjadi murtad,”Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat. Umar Shihab, salah seorang Ketua MUI Pusat, berpendapat bahwa CLD KHI selain bertentangan dengan syariat Islam juga bertentangan dengan KHI yang sudah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam. Tim CLD KHI bukan hanya menafsirkan, tetapi menyalahartikan al-Qur’an. “Hanya akal-akalan saja,” katanya. Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, cenderung tidak sepakat dengan CLD KHI. “CLD KHI mengandung absurditas,” katanya. Alasannya, karena CLD KHI tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan pemimpin agama. CLD KHI hanya diusulkan oleh kelompok kecil umat, tidak mencerminkan 30 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, h. 86 71 suara mayoritas masyarakat. 31 “Jika CLD KHI diteruskan, padahal tidak diterima umat Islam, maka itu berarti pemaksaan, bertentangan dengan pluralisme dan sebagai tirani minoritas,” komentarnya. 32 Majelis Mujahidin Indonesia MMI, melalui juru bicara Fauzan al-Anshari, memberikan protes kepada Menteri Agama tentang CLD KHI. Menurutnya, sebagian besar pasal dalam CLD KHI bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat menimbulkan fitnah yang sangat serius. 33 Hal senada dikatakan oleh Huzaemah Tahido Yanggo A’wan Syuriyah PBNU. Huzaemah menilai bahwa CLD KHI bertentangan dengan maqâshid al-syarî’ah atau penegakkan nilai serta prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan gender. Artinya, CLD KHI telah merusak ajaran Islam itu sendiri. 34 “CLD KHI bukan menggunakan pendekatan hukum Islam, namun menggunakan pendekatan ideologi sekuler,” tutur Nabilah Lubis, dosen UIN Jakarta. Menurutnya, pemikiran CLD KHI seperti “sel kanker” yang sangat berbahaya karena tampil dalam wujud cara berfikir atau pandangan ideologis 31 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 32 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 33 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 34 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 72 beserta langkah politik praktis untuk menghancurkan keterikatan umat Islam pada al-Qur’an dan al-Hadits 35 “CLD KHI ini hukumnya wajib dilanggar,” tutur KH Mas Subadar, Pengasuh Pesantren Rawdlatul Ulum Pasuruan Jawa Timur, yang bertekad mengganjal CLD KHI dengan mempengaruhi ulama- ulama yang duduk di DPR. Dalam banyak hal, Subadar tidak sepakat dengan tawaran CLD KHI. Dia membantah tawaran ini. Selalu dengan mengutip pendapat empat imam madzhab, menurutnya. Meski begitu, Subadar sepakat dengan tim CLD KHI bahwa perkawinan bukan ibadah, tetapi hubungan kemanusiaan biasa. Menurutnya, ini sejalan dengan pandangan empat imam madzhab dalam fikih. 36 Athian Ali, Ketua Forum Ulama Ummat Islam FUUI di Bandung, menolak CLD KHI dengan alasan bahwa pemikiran CLD KHI tidak didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi kepada nilai-nilai dari Barat, yakni demokrasi, pluralisme, gender, dan hak asasi manusia. Huzaemah Tohido Yanggo memberikan ulasan yang cukup akademis denga mengungkapkan sejumlah argumen, baik al-Qur’an, Hadits, maupun pendapat ulama fikih. Huzaemah mengungkapkan sejumlah kesalahan CLD KHI yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan Hadits serta fikih yang dianut mayoritas Muslim. Berikut catatan Huzaemah atas CLD KHI: 35 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 36 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 73 a. Sudut pandang yang digunakan subyektif, sesuai dengan karakter dan kecenderungan para penulisnya. b. Sudut pandang gaya bahasa dan ungkapan yang dipakainya terkesan sentimental, sinis, menggugat, arogan, dan inkonsisten. c. Sudut pandang visi dan misi yang dibawa: pluralisme, demokrasi, dan HAM, keseteraan gender, emansipatoris, humanis, inklusif, dan dekonstruksi syariat Islam, dan lain-lain. Pendekatan utama yang dilakukan oleh Tim Perumus CLD adalah gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi, tidak melakukan pendekatan metodologi istimbâth hukum Islam, yang disebutkan sendiri oleh tim perumus CLD tersebut, yaitu berdasarkan maqâshid al-syarî’ah. Tetapi perumusan CLD KHI justru bertentangan dengan maqâshid al-syarî’ah tersebut. d. Sudut pandang masalah yang dibahas dan digugat adalah: [1] al-Qur’an dan Hadits disesuaikan dengan rasio dan adat serta kondisi sosial di masyarakat, al-Qur’an dan Hadits harus dipahami dari sudut maqâshid-nya tujuannya untuk kemaslahatan, tidak hanya melihat harfiyahnya; [2] Karya para ulama klasik dituding sangat arabis dan sudah purba, tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh sebab itu harus ditinggalkan; [3] Paradigma dan orientasi keberagamaan dari teosentris ke antroposentris; [4] Problem kemanusiaan dan hubungan antaragama, antara lain nikah beda agama, nikah kontrak, waris beda agama, perwalian anak dari perkawinan beda agama. 37 37 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 74 e. Kaidah-kaidah yang digunakan: ”Yang menjadi perhatian mujtahid dalam mengistimbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Hadits adalah pada maqashid yang dikandung nash, bukan pada lafaz atau aksaranya.” ”Boleh menganulir ketentuan-ketentuan nash ajaran agama Islam dengan menggunakan logika kemaslahatan, serta “Mengamandemen nash-nash sejumlah ketentuan dogmatika agama dengan akalrasio berkenaan dengan perkara-perkara publik.” 38 Dengan catatan ini, menurut penulis, ada pasal dalam CLD KHI yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an dan Hadits. Di salah satu pasal dalam CLD KHI adalah yang menyatakan bahwa calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan budaya setempat pasal 16 ayat 1. Pasal ini bertentangan dengan al-Qur‘an Surat an- Nisa’ ayat 4 yang membolehkan perempuan memberikan mahar. Dari salah satu pasal mengenai mahar dalam CLD KHI, menurut Prof Huzaemah di atas barangkali bisa menjelaskan sebagian alasan-alasan teologis penolakan dari kelompok yang kontra terhadap CLD KHI. Akan tetapi sayangnya, tidak pernah terjadi dialog akademis yang serius antara Huzaemah dengan tim CLD KHI, masing-masing menyampaikan pendapatnya di dalam forum publik yang berbeda. 39 38 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI 39 Ma rzuki Wa hid , “ C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia ” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http:docstoc.comCOUNTER- LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-CLD-KHI. 75 Tawaran CLD KHI ini. Alasannya, alih-alih memperkuat posisi perempuan, membolehkan memberi “mahar” kepada calon suami justru kian memperlemah posisi perempuan dalam perkawinan. Karena, perempuanlah pihak yang akan menerima akibat setelah perkawinan itu berakhir. Namun perlu ditekan sekali lagi semangat ini harus sejalan dengan garis-garis besar syariah begitu juga tataran semangat untuk membela hak-hak wanita bersenergi dengan maqashid syari’ah yakni hifzul i’rdi juga harus sejalan dengan garis-garis besar syariah yang paling pokok yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sehingga Tak bisa dipungkiri, modernisasi hukum Islam yang sesuai dengan garis-garis besar syariah dalam rangka membela hak-hak wanita mutlak yang diperlukan. Sejauh pengamatan penulis, setidaknya konsepsi mahar yang tertuang dalam pasal 16 CLD KHI dinilai kebablasan dan telah melenceng dari apa yang telah digariskan oleh syariat Islam. Pertama, CLD KHI menganut paham teori receptie. Indikasi ini tercium dari pasal 16 ayat 2 yang merumuskan bahwa jumlah kadar mahar disesuaikan adat dan budaya setempat. Secara tidak langsung CLD KHI menomorduakan hukum Islam dan menomorsatukan hukum adat. Kedua, menurut CLD KHI, mahar membuat laki-laki suami semakin digdaya dihadapan perempuan istri. Terdapat anggapan yang mengumpal di alam bawah sadar seorang suami bahwa dirinya telah “membeli” alat kelamin,vagina istri, sehingga dapat dengan leluasa memperlakukannya. Untuk itu, CLD KHI menawarkan posisi yang seimbang, dimana masalah mahar bisa diberikan oleh pihak suami maupun istri. 76 Mahar, dimana di syariatkan oleh Allah sebagai kewajiban laki-laki kepada calon istrinya yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis merupakan tetntuan Allah yang berlaku sepanjang masa, dimana syariat tersebut memiliki nilai dan hikmah yang tidak seluruhnya didapat dengan pemahaman akal manusia terbatas. Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan ayang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita. Anggapan ini jelas kurang tepat jika saja mengetahui apa sesungguhnya filosofi mahar dalam hukum Islam. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 40 , menyebut mahar sebagai nihlah, yang artinya: pemberian cuma-cuma tanpa ada kewajiban memberikan imbalan apapun bagi pihak yang menerimanya. Nihlah adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada calon istri 40 ْﻮ ﻜ ﺎًﺴْ ْ ءْ ﺷ ْ ْ ﻜ ْﻃ ْنﺈ ،ًﺔ ْ ﻬ ﺎ ﺪﺻ ءﺎﺴ ا اْﻮ اءو ﺎًﺌْ ه ﺎًﺌْﺮ ءﺎﺴ ا : 4 Artinya: berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikah sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan sengan hati, maka makanlah ambilah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya 77 sebagai simbol hubungan yang bertanggungjawab, dan simbol kasih sayang. 41 Menurut Murtadha Muthahhari, kata “nihlatan” berarti pemberian dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan, dan sama sekali tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai hadiah. Itulah sebabnya, kadar mahar, menurut hukum Islam, tidak ditarif dengan batas nominal layaknya harga sebuah barang. Jadi, mahar, dalam Islam, sama sekali bukan nilai beli untuk sebuah transaksi. Orang awam pun tentu tahu dan dapat membedakan antara hadiah, tanda mata, tanda ikatan kasih sayang, dengan harga sebuah transaksi. Bahkan, mahar telah direncanakan Tuhan sesuai dengan hukum alam, sesuai dengan tabiat laki-laki dimana ia secara alamiah senang menunjukkan cinta kasihnya kepada kekasihnya dan pihak perempuan juga merasa bahagia dengan mengetahui betapa seorang lelaki telah membuktikan cinta kasihnya kepadanya. 42 41 Muhammad Rasyid Ridha, Perempuan Sebagai Kekasih, Jakarta: Hikmah, 2004, cet. I, h. 42-43 42 Muthahhari, Hak-Hak Perempuan, h. 128. Penjelasan tentang filosofi mahar telah dibahas secara tuntas dan meyakinkan oleh Murtadha Muthahhari dalam buku ini, pada bagian kedelapan yang membahas tentang mahar dan nafkah

BAB V PENUTUP