53
dalam mahar. Segala yang dapat dijadikan harga dalam jual-beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy.
Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dengan mahar kurang dari itu, maka akad
tetap sah, wajib membayar mahar sepuluh dirham. Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar
kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih
antara membayar tiga dirham dengan melanjutkan perkawinan atau memfasakh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.
10
B. Perspektif Sosiologis
Analisis sosial menempatkan hukum sebagai bagian dari fakta sosial. Dalam konteks ini, mahar berfungsi sebagai satu instrumen hukum yang
sentral dalam pernikahan Islam dan mendapat banyak sorotan ilmiah. Namun demikian, kajian yang ada tentang mahar selama ini terlalu terfokus pada
dimensi normatif-vitasnya. Mahar sebagai satu bagian dari ”simbol” dalam kehidupan sosial sebetulnya-nya memainkan fungsi dan peranan yang sangat
penting terutama dalam kaitan-nya dengan refleksi sosial-kultural, bahkan juga ekonomi. Perbedaan transliterasi istilah mahar bahasa Arab ke dalam bahasa
lokal seperti “dower” dan “dowry” Inggris, jujuran Banjar, dan maskawin jawa mengisyaratkan diversifikasi pemaknaannya. Dalam kajian sosial,
mahar baik secara ontologis maupun simbolis erat kaitannya dengan realitas
10
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Fi Nihayah Al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, t,th, Juz 2, h. 386
54
sosial, terutama dalam konteks stratifikasi sosial. Menurut Henry J. Korson. Dalam “Jurnal Perkawinan dan Keluarga” bentuk judulnya ”Peranan
Indikator Dower Sebagai Perubahan Sosial di Pakistan”, Pada masyarakat tertentu mahar menjadi indeks kelas sosial atau eksistensi “nobilitas”
seseorang.
11
Mahar dan kontekstualitasnya dalam kajian antropologi-sosiologi bukan satu tema bahasan yang baru, mengingat institusi mahar bersifat lintas ruang
dan waktu. Sudah cukup banyak penelitian digarap di bidang kajian ini, bahkan tidak hanya pada komunitas muslim, tetapi juga pada komunitas lain,
baik masyarakat yang sudah atau yang tergolong relatif masih “terbelakang”. Dalam kaitan ini, isu mahar terutama dalam konteks sosiologis cukup
kompleks karena sangat terkait dengan banyak hal. Menurut Hamadullah “Abd Al-‘Ati secara komprehensif merangkum persoalan mahar dengan baik dalam
bukunya “Struktur Keluarga dalam Islam”.
12
Menurut beliau, upaya untuk memahami realitas tradisi mahar pada komunitas tertentu harus
mempertimbangkan konteks sosial dan kulturalnya terutama ideologi kelas, nilai-nilai keagamaan, sistem kekerabatan dan persepsi sosial tentang anak.
Dengan kata lain, Sebagai fakta dan fenomena sosial mengacu pada paradigma durkheimian
- maka keberadaan mahar di satu masyarakat sangat ditentukan faktor-faktor diskursif yang melingkupinya, terutama stratifikasi sosial.
11
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 Acreedited Journal No. 55DIKTIKep2005
12
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 2
55
Berbagai teori sosiologis telah dibangun untuk menjelaskan isu sosial- kultural mahar. Berbeda dengan pandangan Islam yang lebih menekankan
aspek moralitas, teori ekonomi memandang mahar sejenis kompensasi yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai
perempuan; dalam artian ganti-kerugian keluarga untuk biaya membesarkan anak gadisnya. Menurut Al-‘Ati, teori ini dalam banyak hal ada titik
kelemahannya dan tidak mampu menerangkan kompleksitas semangat dan praktek mahar dalam ajaran Islam.
Menurut Hamadullah “Abd al-‘Ati, Ada dua alasan mendasar untuk menfalsifikasi, paling tidak meragukan validitas asumsi ekonomi di atas.
13
Pertama , berbeda dengan apa yang mentradisi di era pra Islam, mahar dalam
ajaran Islam secara khusus, diskursif dan ekslusif, merupakan aset dan hak pribadi calon mempelai perempuan. Dia dapat bertindak apa saja terhadap
mahar tersebut sejauh dilakukan atas dasar prinsip Islam. Kedua, Islam mengizinkan mahar dengan limit nilai yang sangat minimal, seharga seutas
cincin besi murahan. Jika mahar dipahami secara ekonomis seperti keyakinan Reuben Levy, dalam bukunya “Struktur Sosial Islam”.
14
maka pemberian saidina Ali seutas cincin besi kepada Fatimah tentunya tidak mempunyai
makna dan signifikansi ekonomis sama sekali. Dengan kali lain, mahar menurut Filosofis al-Qur’an tidak sebatas aspek ekonomi, tetapi ia secara
13
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 3
14
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 3
56
instrumental dijadikan simbol ketulusan cinta dan kasih-sayang mengikat hubungan dua insan dalam akad pernikahan.
Namun demikian, aspek ekonomi dari mahar tidak seluruhnya dilarang dalam Islam. Mengacu pada surat An-Nisa ayat 20, perempuan dapat meminta
mahar sesuai dengan daftar keinginannya. Di sejumlah komunitas Islam seperti arab dan beberapa komunitas muslim lainnya di Indonesia, terutama
yang masih kuat menjaga “gengsi” dan status sosial keluarga, mahar ditakar berdasarkan luapan kebanggaan untuk mempertunjukan posisi status sosial
seseorang dalam bingkai stratifikasi sosial. Akibatnya, mahar dapat sangat mahal bahkan nominalnya nyaris tidak terjangkau “orang-kebanyakan”.
Perkembangan trend baru dalam hal nominal mahar tidak a ya Lagi mengundang pro-kontra; simpati dan alergi dari banyak kalangan. Tetapi
inilah fakta mahar di banyak komunitas muslim seperti suku bugis, sasak, banjar dan sejumlah komunitas muslim yang mendiami daerah Lampung.
Mahar mempunyai fungsi praktis yang beragam dalam masyarakat. Menurut Abu Zahrah menerangkan bahwa selain secara etis-filosofis menjadi
tanda keseriusan dan ketulusan ikatan pernikahan, mahar dalam makna pemberian- berfungsi sebagai; bentuk bantuan material suami kepada calon
istrinya guna persiapan untuk menempuh kehidupan berumah-tangga. Di sisi lain, mahar dapat juga dijadikan sebagai instrumen untuk mengontrol
kekuasaan kesewenangan suami untuk menceraikan istrinya, dimana sang suami harus membayar keseluruhan sisa mahar yang belum dia lunasi. Bahkan
57
menurut As-Samaluthi, mahar sering digunakan sebagai “pencipta” berbagai jalur dan bentuk hubungan sosial.
15
Artinya, melalui media mahar, jaringan hubungan sosial dapat terbangun secara luas dan juga difungsikan sebagai
ikatan khusus untuk mempererat tali “perbesanan”. Jumhur Fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan calon
suami kepada calon istrinya. Namun demikian, waktu penyerahan serta jenis dan jumlahnya merupakan hasil kesepakatan bersama antara calon suami dan
istri serta mempertimbangkan eksistensi keluarga istri.
16
Satu norma kunci dalam konteks ini bahwa mahar harus disesuaikan dengan kondisi pihak
keluarga istri. Hal ini penting mengingat jumlah mahar yang terlalu kecil dapat
menyinggung perasaan mereka. Pada masyarakat tertentu seperti pada suku Sasak Nusa Tenggara Barat, mahar dan maskawin dibedakan makna dan
signifikansi sosial ekonomisnya. Menurut Henry J. Korson. Dalam tradisi dan
budaya Pakistan, kedua istilah tersebut jelas dibedakan.
17
Dalam bahasa Inggris, mahar diterjemahkan dengan istilah “dower” dan maskawin disebut
15
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 3
16
Tetapi dalam tradisi Bajapuik Pariaman Sumatera Barat, pihak perempuan membayar sejumlah uang sejenis mahar, dowry kepada calon suaminya dengan jumlah yang disesuaikan
dengan status sosial yang disandangnya. Semakin tinggi status sosial calon suami, semakin besar jumlah materi pembayaran tersebut. Welhendri Azwar, Matrilokal dan Status Perempuan dalam
Tradisi Bajapuik, Yogyakarta: Galang Press, 2001, h. 5
17
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 4
58
dengan “dowry”.
18
Menurut Esposito, dower sesuatu yang harus diberikan suami kepada istrinya, sedangkan dowry sebagai kewajiban keluarga istri
terhadap persiapan pernikahan anak gadisnya yang biasanya dibebankan kepada keluarga calon suami seperti yang lumrah terjadi di suku sasak dan
bugis. Secara doktrinal, dowry, walaupun tidak dapat dilacak akar ajarannya
dalam hukum Islam, secara mapan sudah menjadi satu tradisi pranata sosial yang begitu melembaga di komunitas muslim. Di komunitas sasak, dower
biasanya kecuali untuk kelas bangsawan jumlahnya relatif kecil, tetapi jumlah dowry juga dapat berlipat ganda, jauh melebihi jumlah dower. Dalam
kerangka pemikirin Fiqh, mahar harus disebut jenis dan jumlahnya, sedangkan dowry
tidak wajib diberikan dan dikatakan pada saat akad nikah. Dowry dapat dalam bentuk property seperti pakaian, uang, perhiasan yang oleh keluarga
pengantin perempuan harus disediakan. Menurut Esposito, dalam Women in Muslim Family Law. Secara
teoritis, dowry dimiliki oleh pengantin perempuan, namun dalam prakteknya, dowry
sering diserahkan kembali kepada suami guna persiapan hidup berumah-tangga terutama dalam kasus pernikahan melalui lembaga
perjodohan.
19
Pada masyarakat muslim India dan bajapuik Pariaman Sumatera
18
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 4
19
Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakat, Vol . 1No. 6 , h. 4
59
Barat, dowry disiapkan dan diberikan keluarga mempelai perempuan, dan jumlahnya dapat sangat memberatkan excessive dowry. Tradisi excessive
dowry sampai sekarang masih umum dipraktekkan di anak benua Asia Selatan.
Reformasi hukum di India dan Pakistan menurut pelacakan Esposito belum menyentuh tradisi ini secara subtansial, tetapi baru sebatas meluruskan pasal-
pasal khusus yang menegaskan bahwa mahar dan dowry merupakan pemilikan istri.
Di sisi lain, trend mahar secara empiris mengalami pergeseran, seperti dari uang atau benda yang bernilai praktis ke sesuatu yang bernuansakan
simbol keagamaan dan penampilan. Dulu dalam masyarakat Jawa seperti yang dituturkan Hildred Greertz, orangtua sering mengunakan mahar dan
momentum pernikahan anak sebagai kesempatan untuk unjuk status sosial kepada khalayak ramai. Untuk tujuan revalidasi status sosial tadi, orangtua
sering merayakan pernikahan anak gadisnya secara meriah. Biaya untuk perayaan tersebut tidak jarang dibebankan kepada calon mempelai lelaki
dalam bentuk maskawin. Seiring dengan trend romantisisme dan re- spiritualisasi
pernikahan sebagai institusi yang cenderung disakralkan, maka tradisi mahar mengalami perubahan; mahar tidak lagi dipersepsikan secara
material, tetapi lebih dipahami dan ditempatkan pada posisi simbolik penampilan dan kesucian serta ketulusan hubungan laki-laki perempuan yang
akan menikah. Karenanya, benda-benda terutama cincin, kalung, permata, dan jenis perhiasan lainnya yang dapat menyimbolisasikan gengsi penampilan dan
ketulusan tersebut akan cenderung dijadikan alternatif mahar. Sementara itu,
60
alat shalat dan Al-Qur’an lebih dipahami sebagai simbol-simbol keagamaan yang diharapkan dapat melanggengkan pernikahan.
Dari gambaran teoretis di atas terlihat bahwa institusi mahar tidak sebatas aspek hukum per se, tetapi erat kaitannya dengan variabel-variabel
sosial-kultural terutama yang menyangkut status sosial. Status merupakan indeks tentang keberadaan tingkat sosial seseorang. Dalam kajian sosiologis,
indikator status sosial yang terpenting adalah pekerjaan, pendidikan dan penghasilan. Konsep status sosial yang akan diterapkan dalam studi ini hanya
mencakup pekerjaan dan pendidikan, karena data tentang penghasilan tidak tersedia dalam buku besar data base pernikahan di Kecamatan Amunisi
Tengah, HSU, Kalimantan Selatan. Pada masyarakat tertentu seperti masyarakat Jawa dan juga Banjar,
mahar dan perilaku pernikahan erat kaitannya dengan status marital seseorang. Sudah menjadi opini publik bahwa predikat janda adalah sebuah “aib sosial”,
stigma kecuali bagi sejumlah komunitas Sunda yang mendiami sebagian wilayah Indramayu, Jawa Barat. Dalam konteks status marital ini, mahar untuk
janda relatif kecil, dan pernikahan mereka umumnya dilakukan pada malam hari dengan persiapan walimah dan selamatan aruh, bhs. Banjar yang
umumnya sangat sederhana. Oleh sebab itu, besaran mahar akan sangat ditentukan oleh status marital calon pengantin. Di sisi lain ada kecendurangan
bahwa mahar di kalangan kaum terpelajar bergeser ke dalam bentuk perangkat alat ibadah seperti alat shalat dan kitab suci al-Qur’an, dan simbol-simbol
keagamaan lainnya. Satu hal lain yang juga lumrah ditemukan adalah bahwa
61
mahar selain berupa uang juga tidak jarang berbentuk perhiasan emas. Masyarakat betawi dan sunda dalam tradisinya sangat mempertahankan
kebiasaan perhiasaan sebagai mahar.
20
C. Konsep Mahar dalam CLD KHI