Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan

Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan pembenaran bahwa pada dasarnya dikotomi Islam dan nasionalis sudah ditolak oleh tokoh Islam dan nasionalis itu sendiri. Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan Elemen Strategi Penulisan Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam dan nasionalis yang menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Kompas menempatkan pendapat dari kedua tokoh tersebut secara berurutan. Dimulai dari pendapat tokoh Islam, kemudian baru tokoh nasionalis. Dalam teks, tidak terdapat wawancara terhadap tokoh yang menolak pembentukan Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P. Skrip Pendapat tokoh Islam maupun nasionalis ditempatkan saling melengkapi dalam posisi yang setara. Pendapat satu tidak ditempatkan lebih utama dibanding pendapat lain. Argumentasi tokoh menunjukan titik temu antara Islam dan nasionalis. Tematik 1 pembelaan terhadap kaum duafa oleh pihak Islam dan pemihakan terhadap kaum marhaen oleh pihak nasionalis merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis; 2 dikotomi Islam dan nasionalis sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia; 3 pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan kaum marhaenduafa. Retoris Pemberian label strata ekonomi duafa, marhaen dan pemberian label otoritas jabatan dari para tokoh Islam dan nasionalis untuk mendukung gagasan.

2. Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan

Satu hari setelah hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia yang pertama, Republika menurukan berita tanggal 8 Mei 2008, dengan judul, “Dikotomi Nasionalis-Agamis Harus Dicairkan”. Dalam pandangan Republika, dengan hadirnya Baitul Muslimin Indonesia, maka dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dihapuskan. Pandangan Republika tersebut dapat terlihat dari wacana berita yang dibuatnya. Dari segi sintaksis, judul di atas dapat menunjukan pandangan dari Republika yang secara tegas menolak dikotomi Islam dan nasionalis. Penolakan itu dapat dilihat dari kata “dicairkan” yang mempunyai makna sama dengan “dihapuskan”. Selain itu, Republika mengganti kata “Islam” dengan kata “agamis” dalam judul maupun isi keseluruhannya. Ini bisa diartikan bahwa bukan Islam saja yang harus di pertentangkan, melainkan seluruh agama pun bisa terkena isu dikotomi. Judul tersebut diperkuat dengan lead, yang menambahkan kalimat tentang dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Argumen tersebut dapat memperkuat pandangan Republika yang memandang isu tentang dikotomi Islam dan nasionalis. Seperti berikut Republika menampilkan lead-nya : Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengatakan, dikotomi nasionalis dan agamis harus bisa segera dicairkan. Apalagi banyak kenyataan yang membuktikan ketaatan kaum nasionalis sering lebih baik dari golongan agamis. Di dalam teksnya, Republika mewawancarai seorang tokoh islam, yakni ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Tokoh Islam tersebut mendukung tentang penghapusan dikotomi Islam dan nasionalis. Sedangkan tokoh dari kaum dari nasionalis tidak ada yang diwawancarai sehubungan dengan isu ini. Pernyataan tersebut disusun dari awal paragraf sampai akhir paragraf. Semua komentarnya pada dasarnya mengerucut pada satu pandangan, yaitu menolak dikotomi Islam dan nasionalis. Cara menyusun berita seperti ini menunjukan, bahwa pendapat tokoh Islam tersebut mewakili pandangan Republika. Sementara struktur skrip-nya, sudah sesuai dengan unsur 5W+1H. Pendapat dari tokoh Islam yang menolak dikotomi Islam telah di tampilkan dengan lengkap. Antara lain dengan menjabarkan mengenai hubungan yang harmonis antara Islam dan nasionalis, dalam hal ini Muhammadiyah, Baitul Muslimin Indonesia dan PDI-P. Dengan demikian, telah mewakili pandangan dari Republika. Dari struktur tematiknya, wacana mengenai dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, mengandung lima tema besar. Tema pertama, dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan karena banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih baik dari golongan agamis. Pernyataan dari Din Syamsuddin ini dibuat dengan tujuan agar khalayak pembaca mengerti maksud dari pandangan yang ingin disampaikan Republika. Hal itu bisa dilihat dari keadaan fakta di lapangan yang banyak membuktikan bila ketaatan seseorang tidak bisa dilihat dari luarnya. Tema kedua, terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Dengan terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis, misalnya pada pemihakan terhadap kaum duafa atau marhaen, maka isu dikotomi Islam dan nasionalis agar segera dihapuskan. Pernyataan tersebut merupakan komentar dari Din Syamsuddin. Berita tersebut sangat detail penjabarannya, sebab memberikan penjelasan mengenai titik temunya, yakni dalam persamaan pembelaan terhadap kaum marhaen atau duafa. Seperti yang tertera dalam kutipan berikut: “Jadi memang ada titik temu antara nasionalis dan agamis. Bung karno menyebut golongan marginal sebagai marhaenis, dalam Islam disebut kaum dhuafa . Untuk itu, memperjuangkan kaum marhaen berarti juga memperjuangkan kaum dhuafa ,” kata Din pada acara hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia BMI, di Kantor DPP PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu 75. Tema ketiga, sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat muslim. Tema ini didukung oleh kutipan dari Din Syamsuddin. Pandangan tersebut, mengandung arti bahwa PDI-P yang nasionalis, identik dengan Islam karena pendukungnya mayoritas berasal dari kalangan muslim. Pandangan tersebut mengandung nominalisasi, karena begitu banyak jumlah umat Islam yang mendukung PDI-P. Tema keempat, dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis maka keutuhan bangsa akan bisa terus terjaga. Dalam hal ini, Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap partai nasionalis mempunyai peran strategis untuk memelihara bangsa yang majemuk. Teks tersebut mempunyai maksud yang jelas, yakni menjelaskan hubungan sebab akibat. Dimana, bila ingin bangsa utuh maka dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Tema kelima, kehadiran PDI-P sebagai sayap PDI-P dapat memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia. Pandangan tersebut ingin menegaskan kepada khayalak bahwa organisasi sayap Islam mempunyai peran penting untuk pembinaan umat di Indonesia. Dari struktur retoris yang digunakan, Republika menampilkan sebuah foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto tersebut terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun nasionalis sedang berjabat tangan. Foto itu bermakna, bila isu dikotomi Islam dan nasionalis kini sudah cair. Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam Nasionalis Harus Dihapuskan Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan Elemen Strategi Penulisan Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam yang menyatakan bahwa dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Republika hanya menempatkan pendapat tokoh Islam didalam teks. Sementara tidak ada yang wawancara terhadap pihak nasionalis. Pendapat tokoh tersebut dijabarkan secara eksplisit dari awal hingga akhir paragraf. Skrip Pendapat tokoh Islam yang berpandangan bila dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, diuraikan dengan lengkap. Dari pandangan tersebut, khalayak diajak berpikir ke arah yang sama. Tematik 1 dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan karena banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih baik dari golongan agamis; 2 terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis, yaitu pada pemihakan terhadap kaum duafa atau marhaen; 3 sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat muslim; 4 dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis maka keutuhan bangsa akan bisa terus terjaga; 5 kehadiran Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap PDI-P dapat memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia. Retoris Pencantuman foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto tersebut terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun nasionalis sedang berjabat tangan.

3. Perbandingan Frame