Muslimin Indonesia untuk dapat memaknai asas kebangsaan seperti nasionalisme sesuai dengan cara pandang yang religius dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul
Muslimin Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDI-P, sehingga pada gilirannya partai ini harus
dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius.
100
Bagaimana media memaknai pembentukan Baitul Muslimin Indonesia? Apakah media memandang lahirnya Baitul Muslimin Indonesia akan bisa
menghapus isu dikotomi Islam dan nasionalis. Ataukah malah memandang sebaliknya. Kita akan melihat bagaimana peristiwa ini ditulis oleh media dengan
pandangan atau frame media masing-masing.
1. Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis
Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan.
Satu hari setelah pendeklarasian Baitul Muslimin Indonesia, Kompas menurunkan berita mengenai pembentukan Baitul Muslimin
Indonesia tanggal 30 Maret 2007, dengan judul “Baitul Muslimin: Babak Baru Gerakan Islam”. Dalam pandangan Kompas, pembentukan Baitul
Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P dapat menjadi titik temu yang sinergis antara Islam dan nasionalis. Pandangan semacam ini akan terlihat dari
bagaimana Kompas melakukan strategi wacana tertentu dalam berita untuk mendukung gagasannya.
Dari analisis sintaksis, headline atau judul yang ditampilkan oleh Kompas menunjukan respon positif atas lahirnya Baitul Muslimin
Indonesia. Hal ini juga dapat dilihat dari lead yang diturunkan Kompas:
100
Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan:
Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008, h. 1.
Gerakan Islam bisa memasuki babak baru dengan mendorong lahirnya mitra strategis organisasi massa Islam, Baitul Muslimin
Indonesia, yang menjadi sayap Islam Partai Demokrasi Indonesia perjuangan. Gerakan ini harus menjadi gerakan yang berkemajuan
dengan ciri mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini yang bisa menjadi titik temu gerakan Islam dan PDI-P yang di kenal sebagai
kelompok nasionalis.
Lead ini menunjukan bahwa lahirnya Baitul Muslimin Indonesia dapat menjadi babak baru bagi gerakan Islam. Dengan lead ini, Kompas
terlihat mendukung gerakan Islam yang memunculkan organisasi Islam sayap seperti Baitul Muslimin Indonesia. Dukungan tersebut terlihat dari
pandangan yang mengharapkan agar gerakan Islam pembentukan Baitul Muslimin Indonesia dapat menjadi sebuah gerakan yang maju, sehingga
dengan begitu akan bisa menjadi titik temu antara gerakan Islam dengan PDI-P yang dikenal sebagai kelompok nasionalis.
Dalam teks
berita tersebut,
Kompas mewawancarai tiga narasumber, yaitu Din Syamsuddin, KH Hasyim Muzadi, dan Megawati
Soekarno Putri. Ketiganya mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia dan mencoba mencarikan titik temu antara Islam dan nasionalis.
Sementara itu, tidak terdapat wawancara dengan tokoh yang tidak mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, maupun yang setuju
dengan dikotomi Islam nasionalis. Dengan demikian, bisa dilihat bila teks Kompas secara umum berisi tentang tiga pandangan tokoh yang
mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia dan menganggap dikotomi Islam dengan nasionalis sudah tidak relevan.
Sekarang kita akan melihat bagaimana Kompas menyusun kutipan wawancara terhadap sumber itu di dalam teks. Dalam berita tersebut,
terdapat tiga sumber Kompas. Din Syamsuddin, selaku Ketua Umum PP
Muhammadiyah, KH Hasyim Muzadi, selaku Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama PBNU dan Megawati Soekarno Putri, selaku
Ketua Umum PDI-P. Pemilihan ketiga sumber tersebut dapat dimaknai bahwa Kompas ingin menunjukan bila isu dikotomi Islam dan nasionalis
memang sudah tidak relevan karena telah mendapat legitimasi dari tokoh Islam dan nasionalis. Kalangan Islam tersebut diwakili oleh pemimpin
ormas terbesar Indonesia, Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi serta kalangan nasionalis diwakili oleh Megawati Soekarno Putri.
Komentar ketiga sumber di atas oleh Kompas disusun menjadi lima paragraf yang berurutan. Tiga paragraf pertama dimulai dari
pandangan Islam yaitu dari Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi serta dua paragraf terakhir dari pandangan nasionalis, yaitu Megawati Soekarno
Putri.
“Baitul Muslimin bisa jadi mitra strategis ormas Islam dalam
pencerahan rakyat,”ujar Din. Menurut Din
, Muhammadiyah memerintahkan anggotanya agar tak menelantarkan fakir miskin dan yatim piatu. “Celakalah mereka
apabila shalat yang dilakukan tak fungsional atau tak memberikan pembelaan kepada kaum duafa, atau dalam bahasa PDI-P disebut kaum
marhaen,” ujarnya.
Sebelumnya, Hasyim mengatakan , BMI adalah wujud nyata
dari sublimasi Islam Indonesia. Islam yang kental dengan semangat nasionalis dan kultur Indonesia. “Dikotomi Islam dan nasionalis menjadi
tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia,” ujarnya.
Megawati mengatakan , BMI adalah bukti sejarah yang
memperlihatkan konsistensi PDI-P mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjuangkan kepentingan kaum marhaen
atau duafa. “Baitul Muslimin secara harfiah berarti rumah bagi kaum
Muslim. Penamaan ini sangat dalam artinya bagi PDI-P,” ungkap Megawati.
Sementara dari segi skrip, cara wartawan mengisahkan peristiwa tersebut sudah cukup lengkap. Itu bisa dilihat dari kelengkapan pendapat
narasumber, apa pendapatnya what, siapa yang berpendapat mengenai
hal itu who, mengapa mereka seperti itu why, kapan dan di `mana persitiwa tersebut berlangsung when-where, serta bagaimana detail
pendapat mereka how. Dengan cara seperti itu, Kompas ingin menekankan kepada khalayak bahwa argumen dari tokoh Islam dan
nasionalis sama-sama benar dan kuat. Dari struktur tematik, berita itu membawa tiga tema besar yang
ingin ditampilkan khalayak. Pertama, pembelaan terhadap kaum duafa oleh pihak Islam dan pemihakan kaum marhaen oleh pihak nasionalis
merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis. Pendapat tersebut merupakan argumen yang dipakai oleh Din Syamsuddin dan Megawati
Soekarno Putri untuk menekankan bahwa sebenarnya di dalam Islam dan nasionalis terdapat titik temu yang saling sinergis.
Tema tersebut disusun dengan begitu jelas. Sehingga elemen wacana detail terpenuhi di dalam teks. Detail tema terletak pada
penjelasan mengenai titik temu antara Islam dan nasionalis yang dituliskan dengan memberikan contoh kongkrit. Dengan cara penulisan seperti itu,
khalayak diajak berpikir bahwa pendapat kedua tokoh tersebut memang benar sesuai dengan realita. Teks tersebut dituliskan sebagai berikut:
Menurut Din, Muhammadiyah memerintahkan anggotanya agar tak menelantarkan fakir miskin dan yatim piatu. “Celakalah mereka
apabila shalat yang dilakukan tak fungsional atau tak memberikan pembelaan kepada kaum duafa, atau dalam bahasa PDI-P disebut kaum
marhaen,” ujarnya.
Tema kedua, dikotomi Islam dan nasionalis sudah menjadi tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia. Tema ini dapat di lihat dari kutipan
atas sumber Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi mendasarkan pada kenyataan bahwa Islam sangat kental dengan semangat nasionalis dan
kultur Indonesia. Sehingga isu dikotomi Islam dan nasionalis yang selama ini menjadi perdebatan di Indonesia harus segera diakhiri. Tema tersebut
dijelaskan dengan detail oleh Kompas dengan menggunakan kata “untuk konteks Indonesia”.
Tema ketiga, pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan
kaum marhaen atau duafa. Artinya, dengan terbentuknya Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P maka akan bisa menjadi titik temu antara Islam
dan nasional. Perangkat framing yang digunakan dalam tema tersebut adalah kata sambung “dan”. Dengan penulisan seperti itu, Kompas ingin
menjelaskan bahwa keduanya saling terkait antara kalimat satu dengan lainnya.
Frame Kompas yang menyatakan terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis juga didukung oleh penekanan-penekanan aspek retoris.
Retorika yang dipakai adalah pemberian label strata ekonomi, yakni sebutan “duafa” bagi kaum Islam dan sebutan “marhaen” bagi kaum
nasionalis. Klaim tersebut ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya memang terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Yakni keduanya
sama-sama ingin membela dan memperjuangkan kaum marjinal, dalam hal ini kaum duafa atau marhaen.
Selain itu terdapat label otoritas ketokohan, yakni terdapat kata- kata “Ketua PP Muhammadiyah” pada Din Syamsuddin, “Ketua PBNU”
pada Hasyim Musyadi, dan “Ketua Umum” pada Megawati Soekarno Putri. Otoritas ketokohan tersebut digunakan untuk memberikan
Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan
Nasionalis Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan
pembenaran bahwa pada dasarnya dikotomi Islam dan nasionalis sudah ditolak oleh tokoh Islam dan nasionalis itu sendiri.
Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis
Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan Elemen Strategi
Penulisan
Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam dan nasionalis yang menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Kompas
menempatkan pendapat dari kedua tokoh tersebut secara berurutan. Dimulai dari pendapat tokoh Islam, kemudian baru tokoh nasionalis.
Dalam teks, tidak terdapat wawancara terhadap tokoh yang menolak pembentukan Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P.
Skrip Pendapat tokoh Islam maupun nasionalis ditempatkan saling
melengkapi dalam posisi yang setara. Pendapat satu tidak ditempatkan lebih utama dibanding pendapat lain. Argumentasi tokoh menunjukan
titik temu antara Islam dan nasionalis.
Tematik 1 pembelaan terhadap kaum duafa oleh pihak Islam dan pemihakan
terhadap kaum marhaen oleh pihak nasionalis merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis; 2 dikotomi Islam dan nasionalis sudah
tidak relevan untuk konteks Indonesia; 3 pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam
memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan kaum marhaenduafa.
Retoris Pemberian label strata ekonomi duafa, marhaen dan pemberian label
otoritas jabatan dari para tokoh Islam dan nasionalis untuk mendukung gagasan.
2. Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan