Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjelang pemilihan umum Pemilu 2009, beragam organisasi sayap partai mulai banyak didirikan oleh partai politik. Pendirian organisasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh partai politik lama, partai politik baru pun banyak yang ikut mendirikan. Bentuk organisasi sayap partai yang bermunculan cukup beragam, antara lain ada yang bercorak keagamaan, kepemudaan, perempuan, profesi, dan lain sebagainya. Maraknya pembentukan organisasi sayap partai rupanya sejalan dengan adanya peningkatan jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Dari data Komisi Pemilihan Umum KPU Pusat 1 , partai politik yang telah terdaftar dan terverifikasi hingga akhir batas waktu berjumlah 34 partai. Serta ditambah 6 partai lokal Aceh dan 4 partai lama yang gugatannya dikabulkan oleh MA dan PTUN terkait masalah electoral threshold dalam Pemilu 2004. Dengan demikian total partai politik peserta Pemilu 2009 berjumlah 44 partai, dengan rincian 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Pendirian organisasi sayap partai terakhir belakangan ini sedang menjadi trend di kancah perpolitikan nasional. Hal ini dimungkinkan karena eksistensi organisasi sayap partai politik di Indonesia secara legal telah diakui dan dijamin 1 Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari http:www.kpu.go.idindex.php?option=com_contenttask=categorysectionid=5id=24Itemi d=83 negara melalui UU Partai Politik No. 2 tahun 2008 tentang partai politik. 2 Di dalam pasal 12 huruf j UU tersebut dinyatakan, bahwa salah satu hak partai politik adalah “membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”. 3 Pengakuan dan jaminan yuridis ini merupakan dasar sekaligus peluang bagi pengembangan struktur partai untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat. Menurut Abdul Khaliq Ahmad, organisasi sayap partai memiliki fungsi dan peran yang penting bagi partai politik dalam upaya sosialisasi dan diseminasi program kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan memiliki organisasi sayap yang beragam, partai politik akan diuntungkan karena bisa menjadikannya sebagai instrumen pendukung untuk menarik simpati dan dukungan yang sebesar- besarnya dari segenap lapisan masyarakat. 4 Salah satu partai politik yang giat membentuk organisasi sayap menjelang Pemilu 2009 adalah Partai Demokrasi Indonesia perjuangan PDI-P. PDI-P yang merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia, hingga tahun 2008 ini telah mendirikan beragam organisasi sayap partai. Sejauh ini tercatat ada lima organisasi sayap yang dimiliki oleh PDI-P, antara lain Banteng Muda Indonesia BMI, Baitul Muslimin Indonesia, Srikandi Demokrasi Indonesia SDI, Taruna Merah Putih TMP dan Relawan Perjuangan Demokrasi Repdem. Dari beragam organisasi sayap yang dimiliki PDI-P tersebut, yang menurut penulis menarik untuk dicermati dan diteliti adalah Baitul Muslimin Indonesia. Bila melihat ADART PDI-P, disebutkan bahwa PDI-P merupakan 2 Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 Jakarta: Asa Mandiri, 2008, h.1. 3 Ibid, h. 8. 4 Abdul Khaliq Ahmad, Urgensi Organisasi Sayap Partai, artikel diakses pada 1 Juli 2008 dari http:www.pdp.or.idpage.php?lang=idmenu=news_viewnews_id=1721 partai yang berideologi nasionalis, yakni partai yang terbuka untuk semua golongan dan tidak disebutkan bercorak keagamaan. Namun tanpa diduga pada tahun 2007, PDI-P mendirikan organisasi sayap partai yang bercorak keagamaan, yaitu Baitul Muslimin Indonesia. Ide awal pembentukan Baitul Muslimin Indonesia diprakarsai oleh Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P, Taufik Kiemas. Kemudian gagasan ini baru secara formal diumumkan pada saat acara buka puasa bersama di kediaman Megawati Soekarno Putri pada hari kedua ramadhan 1427 H. Dalam acara tersebut hadir Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, yang tampil memberikan tausiyah. Kemudian hadir pula Sekjen PDI-P Pramono Anung, Hamka Haq, Adang Ruchiyatna, Daryatmo dan tokoh PDI-P lainnya. 5 Setelah gagasan digulirkan, lalu PDI-P membentuk tim formatur yang bertugas untuk menuntaskan berdirinya Baitul Muslimin Indonesia. Tim formatur terdiri atas tujuh orang, diketuai oleh Hamka Haq. Sementara para anggotanya adalah Arif Budimanta Sebayang, Irmadi Lubis, Said Abdullah, Zainun Ahmadi, Ahmad Baskara dan Nova Andika. Selanjutnya tim formatur dipandu oleh Taufik Kiemas serta seorang tokoh non-Islam, Sabam Sirait melakukan konsultasi dan pendekatan kepada berbagai organisasi dan tokoh Islam dalam rangka mematangkan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia. Konsultasi dilakukan oleh tim formatur dengan menghadap langsung para ketua umum organisasi Islam, di antaranya KH. Hasyim Muzadi 5 Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan: Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008, h. 1. PBNU, Asri Harahap KAHMI, KH. Said Agil Siradj, Syafi’i Maarif dan Akbar Tanjung. 6 Kemudian organisasi ini dideklarasikan pada 29 Maret 2007, dengan nama Baitul Muslimin Indonesia. Nama “Baitul Muslimin”, yang berarti rumah bagi kaum muslim, awalnya diusulkan oleh Taufik Kiemas setelah didiskusikan oleh H. Cholid Ghozali dengan H. Erwin Moeslimin Singajuru melalui konsultasi kepada Din Syamsudin. Lambang organisasi ini menggambarkan siluet dan dua kubah masjid di mana Bung Karno menjadi arsiteknya pada 1938 di Bengkulu. Lambang ini mengabadikan “rasa cinta Bung Karno terhadap Islam”, sekaligus mencerminkan nuansa Islam pada organisasi ini. Setelah terbentuk, akhirnya pengurus Baitul Muslimin Indonesia dilantik oleh ketua umum PDI-P Megawati Soekarno Putri pada 5 Agustus 2007 di kantor pusat DPP PDI-P Lenteng Agung. Yang menjabat sebagai ketua Baitul Muslimin adalah Hamka Haq, yang juga Ketua Bidang kerohanian DPP PDI-P sekaligus Guru Besar UIN Alauddin Makassar. Hadir dalam acara tersebut Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, dan Ketua PBNU, Said Agil Siradj. 7 Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia dibentuk atas dua tujuan strategis, internal dan eksternal. Secara internal, karena Baitul Muslimin Indonesia adalah sayap PDI-P maka tujuan organisasi ini harus melekat secara inheren sekaligus sejalan dengan tujuan PDI-P. Sebagai konsekuensi logisnya, ciri utama organisasi ini harus mampu bertumpu kepada penghayatan terhadap wawasan kebangsaan, sense of nationalism yang tinggi, berasas Pancasila, penghayatan terhadap pluralisme 6 Ibid 7 Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari http:www.kompas.comver1nasional070805145221.htm dan cinta kepada tanah air, yang ujungnya bermuara kepada utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8 Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul Muslimin Indonesia untuk dapat memaknai asas-asas yang di atas sesuai dengan cara pandang yang religius dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul Muslimin Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDI- P, sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius. Sedangkan tujuan eksternalnya, Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan dengan tujuan PDI-P. Semua tujuan utama Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap Islam PDI-P harus tercermin pada pelaksanaan tugas, kewajiban, gerakan- gerakan dan kiat-kiat yang semuanya bernuansa Islami seiring dengan asas perjuangan PDI-P. Sebagai contoh, manakala PDI-P memandang bahwa memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka Baitul Muslimin Indonesia harus “all out” dalam mendukung kemenangan PDI-P itu. Dalam tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin Indonesia harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P. 9 Dari tujuan eksternal tersebut di atas rupanya agak sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan Megawati Soekarno Putri dalam sambutannya pada acara pelantikan Baitul Muslimin Indonesia. Megawati Soekarno Putri menyatakan bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia tidak ada kaitannya dengan persiapan 8 Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan, h. 2. 9 Ibid pemilihan Presiden 2009. Pendirian itu bertujuan untuk menampung semangat Islam yang ada di kalangan nasionalis. 10 Isu panas dikotomi Islam dan nasionalis selalu mewarnai perjalanan PDI- P. Dengan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, sepertinya PDI-P ingin melepaskan diri dari belenggu dikotomi itu. Sehingga wajar bila di dalam pidato sambutan deklarasi pendirian Baitul Muslimin Indonesia, Megawati Soekarno Putri menolak dikotomi Islam dan nasionalis, dengan berkata: “Bagi PDI Perjuangan, dideklarasikannya sayap partai Baitul Muslimin Indonesia ini, sekaligus juga ingin menunjukkan bahwa pada bangsa ini sebenarnya pengkategorisasian Santri, Abangan, Priyayi seperti yang diperkenalkan oleh almarhum Clifford Geerzt kepada kita semua sebenarnya sudah tidak relevan lagi, karena dalam oganisasi ini yang kita lihat adalah semangat kebangsaan yang dilandasi oleh cita-cita luhur untuk membangun Indonesia kita secara bersama-sama. Dalam organisasi ini, kita dapat melihat bahwa klaim mengenai seseorang lebih santri dari yang lain, ataupun lebih nasionalis daripada yang lain tidak akan ditemukan dan saya berharap tidak akan pernah dapat ditemukan. Yang kita lihat adalah semangat kebangsaan, semangat kekitaan untuk terus mendorong Indonesia menjadi yang lebih baik, sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita PDI Perjuangan selama ini.” 11 Opini mengenai pembentukan dan eksistensi Baitul Muslimin Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran pers atau media massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada suatu peristiwa tertentu bahkan terkadang membuat audiensnya tidak sadar akan persitiwa yang sesungguhnya terjadi. Menurut Reese dan Shoemaker, setiap berita yang disajikan oleh media tentunya telah didesain sesuai dengan “kepentingan” media baik secara internal maupun eksternal. Dengan demikian, maka teks media sangat dipengaruhi oleh 10 Muhammad Jafar Anwar, Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, di akses pada 5 Juli 2008 dari http:www.hupelita.combaca.php?id=36611 11 Megawati Soekarno Putri, Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul Muslimin Indonesia, di Akses pada 29 Maret 2008 dari http:www.PDI-Perjuangan- denpasar.orgindex.phpDeklarasi-Baitul-Muslimin-Indonesia.html pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media itu sendiri, institusi diluar media, dan oleh ideologi. 12 Berita atau pesan yang ditampilkan oleh media seringkali dimaknai apa adanya oleh masyarakat. Artinya, masyarakat lebih terpengaruh pada judul berita yang dimunculkan dan kesan yang disimpulkan oleh media massa daripada menganalisis secara mendalami teks berita tersebut. Padahal dalam kenyataannya sering terjadi misinformasi dan misinterpretasi antara apa yang seharusnya disampaikan dan kenyataan yang diterima oleh pembaca. 13 Menurut Robert N. Entman dalam Eriyanto, media melakukan framing dalam dua dimensi besar, yaitu proses seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitasisu. Sehingga realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. 14 Dengan demikian, media massa atau pers bukanlah sesuatu yang objektif. Pers bukan alat potret mekanik yang mampu menampilkan dan menggambarkan suatu peristiwa serta even kehidupan secara apa adanya. Keterbatasan teknis jurnalistik dan berbagai kepentingan manusia yang ada di balik media massa menyebabkan penggambaran dan pemotretan yang dilakukan oleh pers mengalami reduksi, simplifikasi, dan interpretasi. Sejalan dengan itu, McLuhan menyatakan, pers merupakan alat untuk memotret suatu peristiwa tertentu dan 12 Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content New York: Longman Publishing Group, 1996, h. 223. 13 Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali Yogyakarta: LKIS, 2007, h. 5-6. 14 Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media Yogyakarta: LKIS, 2007, h. 186. bertindak sebagai translator yang memformulasi, merancang, dan memformat statement of event yang ingin dicitrakan oleh pers itu sendiri. 15

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah