Definisi Peradilan Peradilan In Absentia

13

BAB II PERADILAN IN ABSENTIA DAN PERADILAN KORUPSI

A. Peradilan In Absentia

1. Definisi Peradilan

Salah satu pendapat dari „ulama mengenai peradilan, di antaranya: “Memutuskan perkara qadhi‟, salah satu fardhu‟ kifayah.” 12 Pendapat Abu Hanifah dan Malik. Beliau-beliau ini menetapkan bahwa wajib atas orang yang cakap menjadi kadi, menjabat pekerjaan kadi apabila tidak diperoleh orang yang lain. Sebelum beranjak kepada definisi peradilan, maka kita hening sejenak mengingat kisah-kisah mengenai para manusia yang terlibat dalam suatu peradilan. Bagaimana kehidupan bila tanpa adanya suatu peradilan. Mengingat kisah Qobiel dan Habiel, putera Nabi Adam „Alaihissalam. Keduanya adalah suatu ilustrasi dalam fase kehidupan manusia yang pertama kali. Qobiel tak bisa menerima keputusan sang orang tua yang menjodohkan Iqlima untuk Habiel, sedangkan dirinya diminta menerima Lubuda. Adam tergambarkan sebagai mediator, kembali menawarkan jalan damai agar keduanya menyerahkan kurban dan sepenuhnya keputusan Allah Subhanahu wa Ta‟ala, dan dengan kesepakatan sang pemenang adalah pemilik kurban 12 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, h. 519. 14 yang diterima oleh-Nya. Sekali lagi, Qobiel kalah dan ia tidak bisa menerima kekalahan sehingga berujung pembunuhan Habiel. 13 Itulah salah satu cerita mengenai peradilan, masih ada cerita-cerita lainnya yang di antaranya tentang pemikiran Socrates dan seorang wanita yang mencuri di zaman Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam. Kasus Socrates yang didakwa melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya.cara berpikir Socrates itu dinilai menyebarkan misi dan praktik pengajaran menyesatkan era 399 SM. Keberaniannya membahas soal ketuhanan dianggap menyimpang nyeleneh oleh kebanyakan seperti adanya dewa-dewi kahyangan. Pengadilan memutuskan bersalah dan dihukum mati. Socrates disodori dua opsi, dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya. Namun Socrates memilih opsi pertama, yaitu meminum racun. Di era kenabian Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam, ada cerita kasus pencurian bokor emas yang dilakukan Fatimah al-Makhzumiyah, putri kepala suku al-Makhzum. Posisi sebagai putri keturunan bangsawan tak bisa melepaskan Fatimah al-Makhzumiyah dari hukuman potong tangan. Begitu pula tatkala suku al-Makhzum mengirimkan Usamah bin Zaid, cucu kesayangan Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam dari anak angkatnya Zaid bin Haritsah untuk melunakkan hukuman tersebut. Usamah bin Zaid 13 Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, Jakarta: Komisi Yudisial, 2009, h. 1. 15 bertindak sebagai pelobi atau makelar kasus, namun gagal. Hukuman tetap dilaksanakan. Berawal dari kasus tersebut, nabi bersabda yang termasyhur; “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya”. 14 Dari kisah cerita di atas menunjukkan betapa pentingnya lembaga peradilan. Manusia tak bisa lepas dari kesalahan atas didasari nafsu, kebencian dan keinginan memiliki sesuatu yang bukan haknya. Dan lembaga peradilan diharapkan mampu mengembalikan kesalahan manusia untuk kembali ke jalur benar melalui keadilan yang sebenar-benarnya. Di samping itu, ada sebuah pepatah Latin kuno yang cukup menggambarkan mengenai begitu mulianya lembaga peradilan. Bahwa pengadilan adalah “nec curia deficeret in justitia exhibenda”, pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma wangi akan keadilan. 15 Qadha‟ menurut bahasa artinya menghukumi sesuatu dan menyelesaikan. Al- Jauhari berpendapat, qadha‟ artinya selesai. Kadi hakim adalah orang yang menyelesaikan sesuatu perkara dengan hukum. 16 14 Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, h. 2. 15 Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, h. 4. 16 Moh. Rifa‟i, dkk., Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: CV. Toha Putra, tt., h. 443. 16 Fuqaha mendefiniskan bahwa qadha‟ peradilan adalah pendapat yang mewajibkan yang keluar dari kekuasaan umum, 17 atau pemberitaan tentang hukum syar‟i dengan jalan pengharusan. Dikatakan qadha al-qadhi‟, artinya: hakim menetapkan kebenaran kepada pemiliknya. 18 Ibnu Khaldun mengatakan dalam Mukaddimah ketika menjelaskan garis- garis agama yang berkaitan khusus dengan khilafah. “Adapun peradilan, maka merupakan tugas yang masuk di bawah khilafah, karena dia merupakan jabatan pemutusan di antara manusia dalam perselisihan untuk memastikan terhadap tuduhan dan memutuskan perselisihan. Hanya saja, peradilan ini dengan hukum-hukum syariah yang bersumber dari al- Qur‟an dan Sunnah. Karena itu, peradilan merupakan salah satu tugas khilafah dan masuk dalam keumumannya.” 19 Di dalam al- Qur‟an disebutkan lafazh qadha‟dan lafazh hukm serta akar kata keduanya dalam banyak tempat. Adapun sebagai pedoman dasar peradilan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala: 17 Bathros Al-Bustani, Muhith al-Muhith, Jilid 2, h. 1726-1727, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al- Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004, h. 315. 18 Muhammad Salam Madkur, h. 11, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad- Daulah wa al- Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 315. 19 Ibnu Khaldun, Al-Ibar wa Diman Al- Mubtada‟ wa Al-Khabar Mukaddimah, Juz 1, h. 174, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al- Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 315. 17                                     Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik ”. QS. Al- Maidah: 49 Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Peradilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam “mengadili dan menyelesaikan suatu perkara” itulah terletak proses pemberian keadilan yang dilakukan oleh hakim baik tunggal maupun majelis. Oleh karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan. 20 Dari beberapa definisi di atas, bahwa peradilan adalah merupakan suatu proses pemberian keadilan kepada pihak yang berperkara. Dalam hal memberikan keadilan, seorang kadi atau hakim dituntut agar memberikan 20 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Ed. 6, cetakan 9, h. 250. 18 kepada yang berhak dengan kata lain putusan yang seadil-adilnya. Katakan benar jika ia benar, dan katakan salah jika ia bersalah. Lembaga peradilan dirintis sudah sejak masa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dan disempurnakan pada masa-masa sesudahnya, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

2. Selayang Pandang Peradilan In absentia Di Indonesia