Masa al-Khulafa ar-Rasyidin Perkembangan Peradilan Islam Dari Masa Ke Masa

58

2. Masa al-Khulafa ar-Rasyidin

Pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddieq, tidak tampak adanya suatu perubahan dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukan beliau memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat, juga kesibukan beliau menyelesaikan urusan politik kekuasaan karena meluasnya wilayah pemerintahan pada waktu itu. Pada masa Abu Bakar, lembaga peradilan yudikatif belum dipisahkan dari lembaga pemerintahan eksekutif. Ditingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah, sedangkan pada tingkat daerah dipegang oleh pemangku wilayah „ammah penguasa. Pada masa Abu Bakar, kepala negara bertindak sebagai orang yang memutus perkara kadi dan sebagai orang yang melaksanakan putusaneksekusi munafidz. 64 Ketika pemerintahan dipegang „Umar ibn Khattab, Islam mengalami perluasan di wilayah-wilayah. Sehingga, segala urusan atau pekerjaan yang harus ditangani oleh khalifah „Umar semakin bertambah banyak. Maka, sulit baginya untuk menyelesaikan tugas-tugas sendiri hingga akhirnya perlu diadakan pemisahan tugas negara ke berbagai bidang, termasuk di dalamnya urusan peradilan. Tidak hanya di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, tetapi khalifah „Umar mengangkat pejabat tinggi khusus untuk mengendalikan lembaga peradilan, bahkan di kota-kota tempat kediaman para gubernur sekalipun beliau 64 Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 14. 59 mengangkat juga pejabat yang menjabat jabatan hakim. 65 Orang yang pertama kali memisahkan urusan pemerintahan dengan urusan peradilan yaitu khalifah „Umar ibn Khattab. Menurut Hasbi ash- Shiddieqy, pada masa khalifah „Umar, beliau sendiri yang mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai kadi guna ditempatkan di suatu daerah, atau khalifah mengirim surat kepada para gubernur supaya mengangkat seorang kadi untuk bertugas di daerahnya. 66 Demikian juga tentang pemberhentian seorang kadi, sepenuhnya menjadi wewenang khalifah „Umar. Adapun kadi yang diangkat oleh Umar ibn Khattab adalah; Pertama, Abu Darda menjadi kadi di kota Madinah. Kedua , Syura‟ih menjadi kadi di kota Basrah. Ketiga, Abu Musa al- Asy‟ary, 67 menjadi kadi di kota Kuffah dan khalifah „Umar telah memberikan instruksi untuk menjalankan tugas kekuasaan kehakiman sehingga atas dasar instruksi tersebut Abu Musa menuliskan sebagai risalatul qadla. 68 Risalah tersebut dijadikan pedoman pokok para hakim dalam melaksanakan tugasnya. 69 65 Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 15. 66 Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Al- Ma‟arif, tt, h. 15-16, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 81. 67 Demikian menurut keterangan Ibn Chaldun dalam Muqaddimahnya. Menurut penerangan Zarkaly dalam al- A‟lam 1 : 410 dan 2 : 573, Abu Musa menjadi wali di Kuffah di masa „Utsman ibn „Affan. Yang menjadi qadhi di Kuffah di masa „Umar adalah Syuraih, Syuraih tetap menjadi qadhi di Kuffah hingga masa al-Hadjaj. Tujuh puluh lima tahun lamanya Syuraih menjadi qadhi di Kuffah. 68 Dalam sebuah kitab tarikh diterangkan, bahwa yang mula-mula dilantik menjadi hakim dalam pemerintahan Islam adalah „Umar ibn Khattab. Beliau diangkat menjadi hakim oleh Khalifah Abu Baka r semasa Abu Bakar memegang kendali Khalifah Islam. Setahun lamanya „Umar menjadi 60 Sayyidina „Umar ibn Khattab menggambarkan dunia peradilan, di mana norma-norma yang digunakan bersendikan kepada Kitabullah, kepada Sunnah Rasulullah dan harus selalu teliti dalam menangani setiap perkara yang ditangani oleh seorang hakim. Sebagaimana tertuliskan tentang peradilan di bawah ini: يقاهيبلا Artinya: “Bahwa sesunguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dan suatu sunnah Rasul yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika ternyata kebenarannya”. “Karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya tidak dapat dijalankan. Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu sehingga orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus harapan dari keadil an”. “keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa, dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang mungkir terdakwa”. 70 Adapun mengenai tempat persidangan, khalifah „Umar menjadikan masjid sebagai tempat untuk melakukan persidangan. Karena masjid itu tempat yang mulia dan suci. Untuk kalangan Non-Islam dibenarkan oleh beliau untuk qadhi dalam pemerintahan Abu Bakar. Tetapi, menurut riwayat yang lebih shahih, „Umar sendirilah yang memisahkan urusan peradilan dari tangan pemangku wilayah „ammah gubernur. „Umar adalah khalifah yang mula-mula mengangkat qadhi di samping pemangku jabatan umum pemerintahan. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 15. 69 Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 15. 70 Abu Bakar Ahmad bin Husain bin „Ali Baihaqi. Penjelasan oleh Turkmani, Sunan al- Kubro lil Baihaqi wa fi Dzailihi al-Jauhari an-Naqyi, India: Majlis Dairoh al- Ma‟arif an-Nizhomiyah, 1344 H, cetakan Pertama. Maktabah Syamilah. Terjemahan: A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Persada, 2006, cetakan Ke-1, h. 8-10. 61 menyelesaikan perselisihan mereka sendiri sesuai dengan aturan mereka asal tidak mengganggu ketertiban dan tidak melanggar peraturan negara. Di samping itu, khalifah „Umar juga telah membentuk Dewan Fatwa untuk orang Islam yang memerlukan. Tidak hanya itu, khalifah „Umar ibn Khattab juga membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung ditangani oleh hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath, dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya. 71 Dalam sejarahnya, khalifah „Umar ibn Khattab adalah orang yang pertama mengadakan sistem pemenjaraan bagi pelaku kriminal dan pelaku jinayah lainnya. Beliau telah membeli rumah Safwan ibn Umayyah dan menjadikan rumah itu sebagai penjara. Penjara itu hanya diperuntukkan untuk pelaku kriminal saja, tetapi setelah Shuraih diangkat sebagai kadi, beliau juga memasukkan orang yang dihukum karena tidak membayar utang Judgment debitor ke dalam penjara. Abu Mahjan Thaqlijke dimasukkan juga ke dalam penjara karena beberapa kali dihukum meminum arak, tetapi ia tidak insaf. 72 Ketika jabatan khalifah dipegang oleh „Utsman ibn „Affan, sistem peradilan Islam yang telah dibang un oleh „Umar ibn Khattab terus disempurnakan. 71 Mahmud Saedon A-Othman, Kadi, Pelantikan, Perlucutan dan Bidang Kuasa, Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementerian Pendidikan, 1990, h. 93, sebagaimana dikutip dalam Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cetakan Ke-1, h. 150. 72 Mahmud Saedon Awang Othman, h. 93, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 83. 62 Menurut Abdul Karim Zaidan, 73 usaha- usaha yang dilaksanakan oleh „Utsman ibn „Affan dalam bidang peradilan antara lain, pertama, membangun gedung peradilan, baik di kota Madinah maupun di daerah Gubernuran, yang sebelumnya pelaksanaan persidangan dilaksanakan di masjid. Kedua, menyempurnakan administrasi peradilan dan mengangkat pejabat- pejabat yang mengurusi administrasi peradilan. Ketiga, memberi gaji kepada kadi dan stafnya dengan dana yang diambil dari baitul mal. Keempat, mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membantu tugas-tugas kadi. Pada masa „Ali bin Abi Thalib, tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan, disebabkan situasi negara saat itu tidak stabil, karena masih adanya pihak-pihak yang tidak mengakui dirinya sebagai khalifah. Beliau hanya melanjutkan kebijakan yang sudah ditetapkan pada masa „Utsman ibn „Affan, dengan melakukan sedikit perubahan saja khalifah „Ali bin Abi Thalib. Imam Burhanuddin menguraikan sebuah riwayat ketika khalifah Ali melantik an- Nakha‟i menjadi gubernur Mesir. Beliau berpesan dalam bidang peradilan sebagai berikut: “... kemudian pilihlah untuk jabatan kadi di antara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat dan tidak disibukkan dengan urusan-urusan lain, anjurkan agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya. Pilihlah orang-orang yang tidak sombong lantaran pujian, tidak condong lantaran 73 Abdul Karim Zaidan, Nizhomul Qadha fi Syar‟iyyatil Islamiyah, Baghdad: Mathb‟ah al- Any, tt, h. 61, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 83. 63 hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya...”. 74 Khalifah „Ali bin Abi Thalib melakukan perubahan kebijakan dalam hal pengangkatan kadi, pada awalnya diangkat oleh pemerintahan pusat, kemudian tingkat daerah diperbolehkan untuk mengangkat kadi. Menarik kesimpulan dari uraian peradilan di masa al-Khulafa ar-Rasyidin, bahwa pada masa tersebut peradilan masih merupakan lembaga dalam tahap pembentukan, belum terorganisir secara rapi belum sempurna. Bagi orang- orang yang mempunyai perselisihan, mereka hanya sebatas diberikan fatwa guna untuk ditetapkan sebagai hukum. Setelah itu, mereka menyelesaikan sengketanya dengan sendiri. Namun, mereka sangat patuh dan taat terhadap putusan yang telah diberikan oleh para kadi.

3. Masa Setelah Khulafa ar-Rasyidin