Masa Setelah Khulafa ar-Rasyidin

63 hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya...”. 74 Khalifah „Ali bin Abi Thalib melakukan perubahan kebijakan dalam hal pengangkatan kadi, pada awalnya diangkat oleh pemerintahan pusat, kemudian tingkat daerah diperbolehkan untuk mengangkat kadi. Menarik kesimpulan dari uraian peradilan di masa al-Khulafa ar-Rasyidin, bahwa pada masa tersebut peradilan masih merupakan lembaga dalam tahap pembentukan, belum terorganisir secara rapi belum sempurna. Bagi orang- orang yang mempunyai perselisihan, mereka hanya sebatas diberikan fatwa guna untuk ditetapkan sebagai hukum. Setelah itu, mereka menyelesaikan sengketanya dengan sendiri. Namun, mereka sangat patuh dan taat terhadap putusan yang telah diberikan oleh para kadi.

3. Masa Setelah Khulafa ar-Rasyidin

Era al- Khulafa‟ al-Rasyidin telah silam, namun dakwah dan perjuangan Islam tidak terhenti di tengah jalan. Masih banyak para sahabat yang meneruskan perjuangan Islam seperti dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah sampai berikutnya. Kedua dinasti tersebut memiliki metamorgana dalam bidang politik dan peradilan. 74 Imam Burhanuddin, Tabsiratul Hukmi, Beirut: Dar al-Limiyah, tt, h. 12, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 84. 64 Pada masa dinasti Umayyah, banyak sumber yang menyebutkan tidak memiliki banyak informasi dalam bidang peradilan. Disebabkan karena pemerintahan Bani Umayyah banyak terlibat dalam politik kenegaraan. Hampir semua kekuasaan negara pada waktu itu difokuskan pada pembasmian pemberontakan yang menentang kekuasaan Bani Muawiyyah dan tidak sempat memperbaiki struktur kelembagaan termasuk lembaga peradilan. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, 75 informasi tentang peradilan pada masa pemerintahan Bani Umayyah hanya sedikit, yaitu putusan hakim yang memutus suatu perkara sudah mulai dibukukan dan tempat persidangan sudah dilaksanakan pada gedung yang diperuntukkan untuk itu. Menurutnya, pada masa Bani Umayyah memiliki dua ciri khas dalam bidang peradilan, yaitu: 76 a. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal- hal yang tidak ada nash atau ijma‟. b. Lembaga peradilan pada masa ini belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh penguasa. 75 Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Al- Ma‟arif, tt, h. 15-16, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 85. 76 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, h. 20. 65 Jadi, hakim-hakim yang memberikan putusan merupakan orang-orang pillihan yang memiliki budi luhur tinggi terhadap keadilan, takut kepada Allah dan berwibawa. Pada dasarnya, dari masa ke masa dalam hal pengambilan putusan yang dijadikan sumber oleh para hakim yaitu al- Qur‟an dan hadits. Di samping itu, mereka juga menggunakan ijtihad dengan mengkombinasikan hukum-hukum temporer. Dalam mengambil keputusan yang nantinya menjadi dasar dari hukum Islam, para hakim yang diangkat menggunakan daya kreasi mereka dengan mengkombinasikan hukum setempat dengan semangat al- Qur‟an dan norma- norma hukum temporer di dalam masyarakat muslim pada waktu itu. 77 Jadi, hakim-hakim tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan al- Qur‟an dan tetap menaati peraturan pemerintah. Setelah runtuhnya daulah Bani Umayyah, muncul khalifah Bani Abbas. Di mana pada masa Bani Abbasiyah terlihat perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan hukum Islam, serta memberikan tempat terhormat kepada para fuqaha. Pada masa Bani Abbasiyah, terbagi menjadi dua masa, masa Abbasiyah pertama 132 H 750 M - 232 H 847 M dan masa Abbasiyah kedua 232 H 847 M - 447 H945 M 78 . Namun, penulis tidak menguraikan secara rinci kemajuan serta gejolak yang dialami pada masa Bani Abbasiyah. 77 Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Studi Kritis tentang Hukum Islam di Barat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, cetakan Pertama, h. 13. 78 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, ed. I, cetakan 9, h. 49. 66 Memang, terlihat secara kasat mata bahwa pada masa Bani Abbas terjadi perluasan di lingkaran peradilan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum Islam terus berkembang, di antaranya; pertama: tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah pada pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur 754-775 M, khalifah kedua Bani Abbasiyah. Beliau sangat menghargai dan memberi dukungan terhadap kajian ilmiah tersebut. Kedua: Pemerintah k hulafa‟ Bani Abbasiyah sangat respek kepada hukum Islam yang menekankan kepada seluruh hakim agar menggunakan hukum Islam dalam memutus suatu perkara dengan tanpa melihat kepada suatu mazhab tertentu. Ketiga: Pada pemerintahan Abbasiyah, muncul era baru dalam penulisan hukum Islam. Setiap fuqaha menulis sendiri pendapat dan fatwa mereka, kemudian menganjurkan kepada murid-muridnya. Dengan demikian, intensitas pengajaran fikih semakin berkembang dan hukum Islam mulai dipelajari oleh kalangan umum. Keempat: Perhatian khulafa ‟ Bani Abbasiyah terhadap hukum Islam dan fuqaha juga tergambar dalam kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian untuk berijtihad bagi para mujtahid. Sama sekali tidak ada batasan bagi mazhab tertentu yang mengikat para hakim untuk menentukan hukum sesuai dengan metodologi dan kaidah- kaidah ijtihad yang mereka gunakan. 79 79 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 87. 67 Perbedaan pendapat berbagai masalah hukum telah muncul sejak masa sahabat dan masa pemerintahan Bani Ummayyah. Perbedaan pendapat itu berlanjut sampai pada masa pemerintah Bani Abbasiyah, yang dapat dilihat dari seringnya terjadi pertentangan antara hukum-hukum yang dikeluarkan oleh para mufti dengan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh para hakim melalui putusan pengadilan. Hal tersebut akhirnya di atasi oleh khalifah Abbasiyah, Abu Ja‟far al- Mansur dengan menjadikan kitab al- Muwatha‟ karya Imam Malik sebagai mazhab resmi negara, yaitu dengan memaksakan rakyat untuk mengamalkannya. Tetapi Imam Malik sendiri menolaknya, karena menurutnya hadits-hadits Rasulullah Shallal lahu „Alaihi Wasallam, banyak tersebar dibeberapa kota dan Al-Muwath a‟ belum memuat semua tentang Rasulullah itu. 80 Selanjutnya, orang-orang Abbasyiah telah menyokong mazhab Abu Hanifah untuk digunakan dalam berbagai lapangan kehidupan, termasuk juga dalam bidang peradilan. 81 Ibnu Hubairah Gubernur Irak bermaksud mengangkat Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kuffah, tetapi Abu Hanifah menolaknya, kemudian ia didera 110 kali cambuk dan dipenjara. Akhirnya Ibnu Hubairah melepaskannya, karena keteguhan hati Abu Hanifah yang tetap menolak jabatan hakim tersebut. 80 Umar Sulaiman al-Asyqar, Fikih Islam Sejarah Pembentukan dan Perkembangannya, Jakarta: Akademika Pressindo, 2001, h. 222-223, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 87. 81 Umar Sulaiman al-Asyqar, Fikih Islam Sejarah Pembentukan dan Perkembangannya, h. 222-223, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 87. 68 Khalifah Al-Mansur al-Abbasiyah mendatangkan Abu Hanifah dari Kuffah ke Baghdad untuk diangkat menjadi hakim, tetapi jabatan itu ditolaknya. Abu Hanifah berkata: ”ya amirul mukminin, janganlah Anda menyerahkan jabatan yang berarti ini kepadaku. Demi Allah, saya merasa tidak mampu melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Khalifah Al-Mansur menjawab: “Engkau berdusta, engkau pantas memangku jabatan ini. Lalu Abu Hanifah menjawab, sungguh engkau telah memutus tentang diriku, maka bagaimana Anda dibolehkan mengangkat seorang hakim yang melaksanakan amanat Anda, sedangkan ia sendiri adalah seorang pendusta?” Akhirnya khalifah Al-Mansur membebaskannya. 82 Meskipun Imam Hanafi menolak untuk diangkat sebagai hakim, tetapi muridnya yang bernama Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari Abu Yusuf direstui untuk diangkat sebagai hakim pada Daulah Abbasiyah di zaman Harun al-Rasyid 786-809 M. Ketika ia diangkat sebagai Qadhi al-Qudhah Ketua Mahkamah Agung pada masa itu, ia diberi wewenang untuk mengangkat hakim di seluruh provinsi, dan kesempatan ini ia gunakan untuk mengangkat hakim dari kalangan mazhab Hanafi. Abu Yusuf adalah orang pertama yang menjabat ketua Mahkamah Agung dalam Daulah Abbasiyah dan beliau mendampingi tiga khalifah, yaitu Al-Mahdi 82 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, tt, h. 194, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 88. 69 775-785 M, Al-Hadi 775-786 M, dan Harun ar-Rasyid 786-809 M. 83 Beliau juga menetapkan agar hakim berpakaian khusus yang sebelumnya sama saja dengan pakaian orang biasa. 84 Runtuhnya Daulah Abbasiyah tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap peradilan dan hukum Islam, karena praktik peradilan masih terus dilaksanakan sesuai dengan konsep hukum Islam mazhab Hanafi. Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, mereka juga menyokong mazhab Abu Hanifah, bahkan mazhab tersebut menjadi mazhab resmi negara. 83 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 52. 84 Muhammad Al-As-Sayis, Sejarah Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, h. 140, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 88. 70

BAB IV PERADILAN PERKARA KORUPSI SECARA IN ABSENTIA DALAM