Proses Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

30 Di dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito, 34 corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Korupsi menurut fikih jinayah itu dilihat dari beberapa segi atau unsur- unsurnya yang mendekati terminologi di saat sekarang ini, di antaranya ghulul penggelapan, risywah penyuapan, ghasab mengambil paksa hakharta orang lain, khianat, sariqah pencurian dan hirabah perampokan. 35 Dari beberapa definisi yang disebutkan, penulis berpendapat bahwa korupsi adalah suatu perbuatan korup atau penyuapan di mana memiliki kepentingan untuk keuntungan pribadi, keuntungan kelompok dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan, diketahui secara kasat bahwa perbuatan tersebut adalah buruk, penyimpangan dari kesucian dan ketidakjujuran integritas berkurang.

2. Proses Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Praktik korupsi merupakan kejahatan yang sudah memasuki ranah luar biasa, kejahatan yang tersistematis, terorganisir yang merusak kehidupan 34 Wijowasito, Kamus Umum Bahasa Belanda Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1999, h. 128, sebagaimana dikutip dalam Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yurudis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Ed. 1, cetakan Ke-2, h. 6. 35 Di antara enam macam jarimah atau pelanggaran dan penyimpangan-penyimpangan dalam fikih jinayah di atas, dua di antaranya merupakan bagian dari hudud, yaitu sariqah dan hirabah. Sedangkan empat jarimah yang lain masuk ke dalam kategori jarimah takzir, yaitu jarimah yang jenis sanksi dan teknis pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa dan hakim setempat. Sebagaimana dikutip dalam Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009, Cetakan Pertama, h. 93. 31 berbangsa dan bernegara, membuat kerugian keuangan negara, menggoyahkan sendi-sendi kehidupan baik dari segi ekonomi, politik, budaya, demokrasi dan penegakan hukum. Korupsi sudah bukan lagi kategori kejahatan biasa, dia sudah memasuki kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime. Oleh karenanya, dalam penanganan untuk memberantasnya diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat Pengadilan “Tipikor” merupakan salah satu bagian upaya yang luar biasa untuk menangani pemberantasan pelaku kejahatan korupsi. Karena perlunya dibentuk pengadilan khusus untuk penanganan korupsi, masyarakat menilai jumlah perkara korupsi yang diperiksa semakin meningkat dan juga telah terjadi inefisiensi dalam penanganan perkara korupsi. Di samping itu, masyarakat juga memandang karena rendahnya produktifitas aparat dalam menangani perkara korupsi. Kehadiran Pengadilan Tipikor ini tidak bisa dilepaskan dari cerita panjang tentang perjalanan lembaga-lembaga untuk memberantas korupsi. Pada Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi telah dibentuk lembaga-lembaga untuk memerangi tindak pidana korupsi, namun lika-liku terjadi di dalamnya. 36 36 Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 7. 32 Pada masa orde lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Pertama, dengan perangkat aturan undang-undang Keadaan Budaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara Paran. Badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Ghani. Kepada Paran inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data-data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Namun terdapat perlawanan terhadap lembaga ini, dan dengan diimbuhi kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda. Tahun 1963 melalui Keppres No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai MenkohankamKasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan “Operasi Budhi”. Kali ini dengan tugas yang lebih berat yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan negara, sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Namun operasi ini kemudian berhenti. Meski berhasil menyelamatkan keuangan negara sebanyak kurang lebih Rp. 11 Milyar, O perasi Budhi ini „dibunuh‟ dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio. Kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi Kontrar, di mana Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. 33 Bohari 2001 mencatatkan, bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, maka pemberantasan korupsi di masa orde lama pun kembali masuk ke jalur lambat bahkan macet . 37 Pada masa awal orde baru, melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik orde lama yang tidak mampu memberantas korupsi. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi TPK yang diketuai Jaksa Agung. Ternyata, kemudian TPK tidak serius dan mulai dipertanyakan, hingga pada akhirnya berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan beribawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, C.V Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain. 38 Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. 37 Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 7. 38 Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 8. 34 Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGPTPK melalui PP No. 19 tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, keputusan MA membubarkan TGPTPK. Nasib „serupa tapi tak sama‟ dialami oleh Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK. 39 Secara yuridis-konstitusional, keberadaan Pengadilan Tipikor telah memperoleh landasan yang kuat. Ditinjau dari arah politik hukum nasional pemberantasan korupsi, perlunya Pengadilan Tipikor sejalan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IXMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN. Bahkan, Ketetapan MPR RI Nomor VIIIMPR2001 yang dalam bagian diktumnya antara lain menentukan “bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi- sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ”. 40 39 Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 9. 40 Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 18. 35 Pembentukan Pengadilan Tipikor juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Korupsi United Nations Convention Againts Corruption, UNCAC Tahun 2003. 41

3. Penegakan Hukum Perkara Korupsi Di Indonesia