Selayang Pandang Peradilan In absentia Di Indonesia

18 kepada yang berhak dengan kata lain putusan yang seadil-adilnya. Katakan benar jika ia benar, dan katakan salah jika ia bersalah. Lembaga peradilan dirintis sudah sejak masa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dan disempurnakan pada masa-masa sesudahnya, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

2. Selayang Pandang Peradilan In absentia Di Indonesia

Kita mungkin masih teringat kasus yang meneriakkan tentang adili mantan Presiden Soeharto almarhum atau yang disebut juga sebagai “Bapak Pembangunan” untuk dituntaskan kasus korupsinya. Namun apa daya, kasus tersebut tak kunjung usai dengan berbagai macam alasan yang telah dikeluarkan oleh para penegak hukum. Pihak kejaksaan telah mengalihkannya tuntutan menjadi perdata, tetapi menjadi wacana belaka. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan SKP3-nya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara karena alasan sakit permanen yang telah divonis terhadap Pak Harto. Ironis tampaknya penegakan hukum untuk menciptakan tujuan hukum yang efektif dan efisien demi tegaknya keadilan sirna terlihat. Arena perbincangan sekarang-sekarang ini adalah adili dengan segera mungkin pelaku tindak pidana korupsi, lakukan hal-hal jitu untuk memberantas pelaku korupsi. Karena mengingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime, maka dipandang perlu melakukan upaya semaksimal 19 mungkin. Walaupun tidak menutup kemungkinan perilaku akan tetap ada dan berkembang dengan modus-modus lain. Peradilan in absentia dirasakan merupakan solusi yang paling tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Peradilan in absentia sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk mengadili seorang terdakwa dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Pengaturan peradilan in absentia ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak dicantumkan secara jelas, baik di dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan maupun di dalam penjelasannya. Hanya di dalam Pasal 196 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 1 terdapat sedikit pengaturan tentang in absentia yang sifatnya terbatas. Pasal 196 ayat 1 yang berbunyi: “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang- undang ini menentukan lain”. Penulis berpendapat bahwa dalam hal memutus perkara, undang-undang ini menentukan lain yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 di dalam Pasal 38 ayat 1. Pasal 214 ayat 1 berbunyi: “Jika terdakwa atau waktunya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkar a dilanjutkan”. Pasal tersebut masih terlalu umum cakupannya, Pasal tersebut menyatakan terdakwa waktunya tidak hadir, perkara dilanjutkan. Di sana tidak disebutkan alasan terdakwa tidak hadir dan pemanggilan secara sah kepada terdakwa. 20 Dalam perkara perdata, mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, yaitu setelah dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Malah dalam perkara perdata pada umumnya, yang menghadiri sidang pengadilan hanyalah wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut tidak menjadi masalah. Adapun peradilan in absentia ini harus memenuhi beberapa unsur, di antaranya yaitu: 1. Karena terdakwa tinggal atau berpergian ke luar negeri. 2. Adanya usaha dari terdakwa untuk melakukan tindakan pembangkangan, misalnya melarikan diri. 3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 21 Namun, dengan unsur-unsur tersebut di atas, peradilan in absentia adalah contoh praktik hukum yang potensial melahirkan kesewenang- wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas 21 Fave Chayo Saputra, In Absentia Untuk Pak Harto, Ambon: Waspada Online, http:www.mailarchive.comproletaryahoogroups.commsg22012.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011. 21 Non-Derogable Right hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun, praktik in absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang, dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. 22 Di sinilah muncul dilema untuk memilih praktik in absentia yang menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hak- hak asasi tersangka atau terdakwa. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang- u ndang ini”. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hukum acara pidana yang berlaku terhadap ketentuan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain menurut UU tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hukum acara yang bersifat ganda dalam penanganan korupsi, yaitu di satu sisi menggunakan KUHAP, dan di sisi menggunakan Hukum Acara Pidana Khusus ius singalare, ius 22 Skripsi Eksistensi Peradilan In Absentia Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dan Relevasinya dengan Hak Terdakwa untuk Melakukan Pembelaan, http:gudangmakalah.blogspot.com201102skripsi-eksistensi-peradilan-in.html. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011. 22 specialeBijzonder Strafrecht, yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana umum. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan hukum acara pidana umum ini dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan kasus korupsi. 23 Terkait masalah putusan in absentia dalam perkara korupsi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Tanpa memberi alasan yang sah berarti terdakwa tidak diketahui di mana keberadaannya, alamat atau tempat tinggal, atau terdakwa melarikan diri. 24 Di lain sisi, apabila sudah diberikan putusan oleh hakim terhadap terdakwa yang tidak hadir. Maka terhadap putusan Pengadilan secara in absentia itu diumumkan oleh Panitera dalam papan pengumuman Pengadilan atau Kantor Pemerintah Daerah, agar dapat diajukan banding oleh terdakwa atau kuasanya. Pada lazimnya, putusan yang dijatuhkan secara in absentia oleh Pengadilan, dibuka kemungkinan bagi terdakwa untuk mengajukan perlawanan. Namun, dengan alasan mempercepat prosedur peradilan perkara 23 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cetakan I, h. 160-161. 24 Harli Siregar, Aspek Hukum Peradilan Pidana In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Mantan Bupati Langkat, http:digilib.usu.ac.iddownloadfhD0200290.pdf. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011. 23 korupsi, maka lembaga perlawanan ditiadakan. Lalu terdakwa langsung dapat meminta banding dengan menuruti ketentuan yang berlaku. 25 Di samping itu, selain dibolehkannya memutus perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa, perlu diperhatikan juga hak-hak asasi manusia. Karena hal tersebut termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 dan Penjelasan Umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 pada nomor 2 dikatakan: “Jelaslah penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga Negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga Negara, setiap penyelenggara Negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini”. 26

3. Landasan Hukum Peradilan In absentia