Peradilan in absentia dalam penanganan pelaku tindak pidana korupsi (kajian hukum Islam dan hukum positif)

(1)

Korupsi (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD FARHAN FARIS NIM: 107045102712

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKUKTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

AHMAD FARHAN FARIS

107045102712

Dibawah Bimbingan : Pembimbing :

Dr. Asmawi, MA

NIP. 197210101997031008

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Pidana Korupsi (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam (Jinayah Syar’iyyah).

Jakarta, 21 September 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Asmawi M.Ag

NIP 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin M.Ag NIP 197210262003121001

3. Pembimbing I : Dr. Asmawi, MAg NIP 197210101997031008

4. Penguji I : Zoebir Laini, SH NIP 150009273

5. Penguji II : H. Qasim Arsyadani, M. Ag NIP 196906292008011016


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Agustus 2011


(5)

i

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik di antara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan I, II, dan III yang telah membimbing Penulis.


(6)

ii

selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi srata 1 dengan sebaik-baiknya.

3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

4. Sri Hidayati, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik.

5. Dr. Asmawi, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keikhlasan menyalurkan ilmu-ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

7. Tak terlupakan untuk kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajjudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, ayahanda H. Ahmad Syamsuddin Raisin dan ibunda Siti Sopiah, kakak saya


(7)

iii

Nurkameliawati, SHum., serta kakak-kakak ipar, terima kasih penulis haturkan berkat dukungan kakanda penulis selalu termotivasi dengan penuh semangat. Tak lupa juga untuk adikku tercinta, Ahmad Afif Afifi dan Ahmad Fajrul Falah, terus menuntut ilmu dan raih cita-cita kalian. Untuk pamanda Ust. H. Ahmad Zakwani Raisin dan Ust. H. Mukhlis Raisin, terima kasih penulis haturkan berkat bimbingan dan arahan yang telah diberikan.

8. Ibu Indah Panitera Muda Hukum Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah membantu penulis untuk mendapatkan data berupa putusan berkas perkara korupsi sebagai bahan kajian penulis.

9. Sahabat-sahabat Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, terutama (Shanti, Rahmah, Hurry, Novi, Ridho, Mizi, Mamet, Rofiq, Ical, Azwar), terima kasih yang selalu bersedia menemani penulis, baik berdiskusi maupun berpetualang.

10.Sahabat-sahabat komisariat (Gus Aab, Faris, Endra, Halim, Chandra), terima kasih telah menemani dan membimbing penulis untuk berorganisasi di dalam kampus dan di luar kampus. Untuk Angkatan 2008 Pidana Islam, terima kasih telah memberi bantuan semangat dan do’anya.

11. Ustadz H. Rif’at Syauqi Ghazali dan Rizal Mahmudi Ghazali, terima kasih penulis haturkan berkat bantuan referensinya serta dukungan do’anya.


(8)

iv

ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah Subhanahu wa

Ta’ala. Akhirnya, semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada

penulis mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 29 Agustus 2011


(9)

v

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian... 7

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PERADILAN IN ABSENTIA DAN PERADILAN KORUPSI A. Peradilan In Absentia 1. Definisi Peradilan ... 13

2. Selayang Pandang Peradilan In Absentia Di Indonesia ... 18

3. Landasan Hukum Peradilan In Absentia ... . 23

B. Peradilan Korupsi 1. Definisi Korupsi ... 27

2. Proses Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ... 30


(10)

vi

B. Perkembangan Peradilan Islam Dari Masa Ke Masa ... 55

BAB IV PERADILAN PERKARA KORUPSI SECARA IN ABSENTIA

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Deskripsi Putusan Perkara Korupsi secara In Absentia (Putusan Nomor: 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST.) ... 70 B. Analisa Putusan Perkara Korupsi secara In Absentia Pandangan

Hukum Islam dan Hukum Positif ... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia, karena korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi sudah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak sistem hukum dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih (good governance) serta demokratis. Dengan kata lain, korupsi sudah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1

Berhubung korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, maka dalam penanganannya mesti dilakukan secara luar biasa juga. Untuk saat ini, berbagai upaya coba dilakukan untuk membasmi praktik korupsi, di antaranya dengan cara melakukan putusan secara in absentia dan dibentuknya pengadilan khusus untuk menangani perkara korupsi. Dengan kata lain, telah dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun, kedua penanganan tersebut bukan sebuah jaminan akan musnahnya praktik korupsi di negeri ini.

1

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2008), cetakan Ke-1, hlm. 2.


(12)

Oleh karena itu, dianggap perlu untuk membentuk suatu pengadilan secara khusus menangani perkara-perkara korupsi dengan segala ciri dan kompleksitas permasalahan yang membutuhkan pengaturan yang khas, antara lain mengenai struktur organisasi, personil dan hukum acaranya.2

Nah, putusan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) masih mengalami kemelut, karena bertentangan dengan KUHAP, di mana terdakwa merupakan orang yang menjadi icon untuk diperiksa, dituntut dan diputus suatu perkara yang dihadapinya di sidang pengadilan. Tetapi, di sisi lain perkara korupsi harus dilakukan secara luar biasa penyelesaiannya, karena korupsi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa. Di samping itu, agar terselamatkannya aset dan keuangan negara yang telah dikorupsi. Peradilan in absentia diartikan sebagai proses untuk mengadili seorang terdakwa dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa yang telah dipanggil secara sah oleh Pengadilan dan tanpa alasan sah dari terdakwa.

Memang, mengenai persoalan putusan tanpa dihadiri terdakwa, banyak para ahli hukum berpendapat, baik dari kalangan fiqh maupun konvensional. Sebagian mereka berpendapat dalam hal memberi putusan, terdakwa harus dihadirkan dalam persidangan. Seperti diungkapkan oleh Imam Hanafi, “tidak boleh dijatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak datang dan terhadap orang yang lari sebelum dijatuhkan hukuman dan sesudah dimajukan keterangan-keterangan. Hanya perlu tiga

2

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. vi.


(13)

orang pergi menemui terdakwa untuk diminta datang ke pengadilan. Kalau dia tidak mau datang, boleh dipaksa.3

Dari kutipan di atas penulis berpendapat, tidak diperbolehkannya diberi putusan kepada terdakwa yang belum hadir pada tempat pemeriksaan. Uniknya, dari kutipan tersebut diperintahkan tiga orang yang menemui terdakwa untuk dihadirkan di persidangan. Apabila tidak mau hadir juga, maka boleh dipaksa terdakwanya.

Selain itu, para ahli membolehkan memberi putusan terhadap terdakwa yang tidak hadir. Akan tetapi, dengan catatan bahwa telah melakukan upaya atau cara untuk mendatangkan terdakwa di persidangan. Artinya, terdakwa telah diberi tahu sebelumnya atau telah dipanggil secara sah.

Menurut Imam Ahmad, “hakim boleh memutuskan hukum terhadap orang yang tidak datang apabila telah cukup keterangan diberikan oleh pihak pendakwa.” Di samping itu, Imam Malik juga menyatakan hal yang sama yaitu, “boleh dihukum orang yang tidak datang apabila yang telah datang itu telah mengemukakan keterangan dan meminta dihukumkan”.4

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan mengenai putusan tanpa terdakwa di dalam Pasal 18 ayat (2). Tak terlepas juga telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 38 ayat (1): “Dalam hal terdakwa telah

3

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddeqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 527.

4

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, h. 527.


(14)

dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”.5

Sehubungan dengan hal di atas, menarik perhatian penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul: “Peradilan in absentia dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah.

Mengingat persoalan mengenai korupsi ini amat luas, maka dalam penelitian skripsi ini penulis merumuskan dan membatasi kepada beberapa permasalahan:

1. Bagaimanakah pengaturan peradilan in absentia dan peradilan korupsi di Indonesia?

2. Bagaimanakah konsep peradilan menurut hukum Islam?

3. Bagaimanakah peradilan perkara korupsi secara in absentia dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif?

Merujuk kepada pembahasan di atas, peneliti membatasi permasalahan agar tidak terlalu luas dalam pembahasannya. Peneliti akan membahas permasalahan bagaimana peradilan in absentia dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal ini tindak pidana korupsi dan bagaimana dampak dari putusan in absentia.

5

Adami Chazawi, Lampiran Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), h. 23.


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan mengenai pengaturan peradilan in absentia dalam mengatasi perkara tindak pidana korupsi bagi terdakwa, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk menjelaskan konsep peradilan menurut hukum Islam.

3. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang peradilan korupsi secara in absentia.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui tentang peradilan in absentia dalam penanganan pelaku tindak pidana korupsi.

2. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam memahami peradilan in absentia dalam penanganan pelaku tindak pidana korupsi.

3. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah penulis dalam rangka revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(16)

D. Tinjauan Pustaka Terdahulu

Sejumlah tinjauan tentang topik peradilan in absentia telah dilakukan, baik yang dikaji secara spesifik isu tersebut maupun yang menyinggungnya secara umum. Berikut pemaparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang berjudul Peradilan

dan Hukum Acara Islam. Temuan penelitian tersebut adalah bahwa konsep peradilan

sudah ada sejak Muhammad ibn „Abdullah diangkat menjadi Rasul di kota Madinah, sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur‟an surat an-Nisaa‟ ayat 65. Selain itu, dalam buku ini juga dijelaskan tentang tata cara dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim, hukum acara dalam peradilan Islam dan peradilan pada masa jahiliyah.

Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang berjudul Sejarah

Peradilan Islam. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang sejarah peradilan dari masa

ke masa, masalah pengangkatan hakim oleh pihak-pihak berperkara, perubahan dalam sidang pengadilan dan riwayat-riwayat ringkas hakim ternama dari masa ke masa.

Karya K. Wantjik Saleh, yang berjudul Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Buku ini menyinggung persoalan konsep peradilan in absentia dalam perkara korupsi. Lebih umum penulis buku tersebut menguraikan tentang pengertian korupsi dan suap, lalu bagaimana proses penyelesaiannya atau penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Karya Waludi, yang berjudul Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana. Buku ini menggambarkan bagaimana potret peradilan di Indonesia. Artinya, di Indonesia setiap orang yang berperkara selalu saja ingin diselesaikan dengan proses


(17)

pengadilan. Padahal, menurut penulis bahwa di negeri Jepang itu tidak dengan gegabah untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, karena mereka beranggapan bahwa itu merupakan membuka aib pribadi. Karya ini sedikit mengulas tentang peradilan in absentia, penulis menekankan bagaimana sistem pembuktian dalam hal peradilan in absentia. Di mana telah disebutkan di dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) dan hakim bisa memberikan putusan terhadap terdakwa minimal bisa dibuktikan dengan dua alat bukti.

Karya Djoko Prakoso, yang berjudul Peradilan in absentia di Indonesia. Buku ini menguraikan bagaimana konsep peradilan secara in absentia terhadap terdakwa yang tidak bisa dihadirkan di depan sidang pengadilan, bagaimana etika hakim dalam memberikan putusan serta bagaimana hak-hak terdakwa dalam menjalani putusan tersebut. Kelebihan dari karya ini adalah telah mengulas landasan hukum yang berkaitan dengan memberi putusan tanpa hadirnya seorang terdakwa. Adapun kelemahan atau kekurangannya yaitu tidak memberikan landasan hukum menurut hukum Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif. Adapun data kualitatif yang dimaksud adalah ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang- orang (subyek itu


(18)

sendiri)6 yang kemudian dari informasi yang didapat, menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.7

Penelitian ini juga menggunakan tipe penelitian hukum normatif doktriner, yaitu penelitian yang menggunakan objek kajiannya adalah bahan- bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.8

Karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka penulis menjadikan penelitian ini menjadi sebuah kajian yang bersifat yuridis normatif. Yaitu mengkaji suatu pembentukkan peraturan perundang-undangan yang ada dengan kajian hukum Islam dan hukum positif. Bedanya dengan penelitian yang bersifat empiris/sosiologis yaitu bahwa dalam penelitian empiris objek penelitiannya adalah norma-norma hukum di lapangan dengan sumber data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya.9

Adapun yang dimaksud dengan kajian yuridis normatif ini adalah sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini bahan hukum primer yaitu undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan

6

Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Alih bahasa-Arif Furchan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), cetakan I, h. 21.

7

Consuelo G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI-PRESS, 2006), h. 71.

8

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), cetakan Ke-4, h. 141.

9

Tomi Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 2007), h. 28.


(19)

undangan. Sedangkan bahan-bahan sekundernya sendiri terdiri dari buku-buku, majalah-majalah, dan situs website yang objek kajiannya mengenai hukum pidana Islam yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana dalam Islam, serta buku-buku yang terkait dengan sumber buku primer yang dijadikan buku rujukan dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, di mana bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media massa.10

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan cara menggambarkan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dan fakta-fakta tanpa menggunakan rumus dan angka.

Sedangkan metode pembahasan hasil analisa adalah metode komparatif atau perbandingan. Di mana melalui kedua kajian hukum antara hukum Islam dan hukum positif, dapat ditarik kesimpulan kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.11

10

Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cetakan 18, h. 163.

11

Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim,

Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), Ed-rev. Cetakan Ke-4, h. 313.


(20)

Teknik Penulisan, adapun teknik penulisan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab ini, diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian, yang terdiri dari 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka terdahulu, (5) metode penelitian dan (6) sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul “Peradilan In Absentia dan Peradilan Korupsi”. Pada bab ini, terdiri dari 2 (dua) sub-bab utama, yaitu (1) peradilan in absentia dan (2) peradilan korupsi. Pada bab utama peradilan in absentia, terdiri dari 3 (tiga) sub-bab, yaitu (a) definisi peradilan, bagaimana ta‟rif atau pengertian peradilan dalam pandangan para ahli, (b) selayang pandang peradilan in absentia di Indonesia, bagian ini menarasikan serta mengemukakan pendapat para ahli mengenai posisi peradilan in absentia di Indonesia, (c) landasan hukum peradilan in absentia, bagian ini menguraikan landasan-landasan hukum yang mengatur tentang peradilan secara in absentia serta pendapat para ahli yang bertolak belakang dalam mengkritisi yuridis tersebut.


(21)

Pada sub-bab utama peradilan korupsi, terdiri dari 3 (tiga) sub-bab yaitu (a) definisi korupsi, mengemukakan pendapat para ahli tentang korupsi, (b) proses pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi, bagian ini menguraikan history di mana perlu adanya lembaga khusus untuk penanganan dan penyelesaian dalam kasus korupsi di Indonesia, (c) penegakan hukum perkara korupsi di Indonesia, bagian ini menguraikan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di Indonesia. Perangkat hukum apa saja yang diperbolehkan untuk menangani dan menyelesaikan perkara korupsi serta status terdakwa dalam memberikan keterangan sebagai saksi atau alat bukti.

Bab ketiga bertajuk “Konsep Peradilan menurut Hukum Islam”. Pada bab ini penulis menguraikan peradilan menurut Islam, yang terdiri dari (1) sejarah peradilan dalam Islam, pada bagian ini teruraikan peradilan pada masa sebelum Islam, siapa yang menjadi hakim pada saat itu, dan (2) perkembangan peradilan Islam dari masa ke masa, bagian ini menguraikan peradilan setelah masuknya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam serta perkembangannya pasca wafatnya beliau yang dipimpin oleh para khulafa al-rasyidin dan para sahabat.

Bab keempat berjudul “Peradilan Perkara Korupsi secara In Absentia dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”. Pada bab ini, penulis mendeskripsikan seorang hakim yang telah memberikan putusan terhadap pelaku korupsi tanpa dihadiri oleh terdakwa. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor: 1032/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst. Berikutnya, penulis melakukan analisa terhadap putusan tersebut dengan pandangan hukum Islam dan hukum positif, bagaimana majelis


(22)

hakim memberikan keadilan hukum atau etika hakim dalam memutuskan suatu perkara (adabul qadhi‟).

Bab kelima “Penutup”. Bab ini mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang relevan dari peneliti.


(23)

13

A. Peradilan In Absentia 1. Definisi Peradilan

Salah satu pendapat dari „ulama mengenai peradilan, di antaranya: “Memutuskan perkara (qadhi‟), salah satu fardhu‟ kifayah.”12

Pendapat Abu Hanifah dan Malik. Beliau-beliau ini menetapkan bahwa wajib atas orang yang cakap menjadi kadi, menjabat pekerjaan kadi apabila tidak diperoleh orang yang lain.

Sebelum beranjak kepada definisi peradilan, maka kita hening sejenak mengingat kisah-kisah mengenai para manusia yang terlibat dalam suatu peradilan. Bagaimana kehidupan bila tanpa adanya suatu peradilan.

Mengingat kisah Qobiel dan Habiel, putera Nabi Adam „Alaihissalam. Keduanya adalah suatu ilustrasi dalam fase kehidupan manusia yang pertama kali. Qobiel tak bisa menerima keputusan sang orang tua yang menjodohkan Iqlima untuk Habiel, sedangkan dirinya diminta menerima Lubuda. Adam tergambarkan sebagai mediator, kembali menawarkan jalan damai agar keduanya menyerahkan kurban dan sepenuhnya keputusan Allah Subhanahu wa Ta‟ala, dan dengan kesepakatan sang pemenang adalah pemilik kurban

12

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, h. 519.


(24)

yang diterima oleh-Nya. Sekali lagi, Qobiel kalah dan ia tidak bisa menerima kekalahan sehingga berujung pembunuhan Habiel.13

Itulah salah satu cerita mengenai peradilan, masih ada cerita-cerita lainnya yang di antaranya tentang pemikiran Socrates dan seorang wanita yang mencuri di zaman Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam. Kasus Socrates yang didakwa melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya.cara berpikir Socrates itu dinilai menyebarkan misi dan praktik pengajaran menyesatkan era 399 SM. Keberaniannya membahas soal ketuhanan dianggap menyimpang (nyeleneh) oleh kebanyakan seperti adanya dewa-dewi kahyangan. Pengadilan memutuskan bersalah dan dihukum mati. Socrates disodori dua opsi, dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya. Namun Socrates memilih opsi pertama, yaitu meminum racun.

Di era kenabian Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam, ada cerita kasus pencurian bokor emas yang dilakukan Fatimah al-Makhzumiyah, putri kepala suku al-Makhzum. Posisi sebagai putri keturunan bangsawan tak bisa melepaskan Fatimah al-Makhzumiyah dari hukuman potong tangan. Begitu pula tatkala suku al-Makhzum mengirimkan Usamah bin Zaid, cucu kesayangan Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam dari anak angkatnya Zaid bin Haritsah untuk melunakkan hukuman tersebut. Usamah bin Zaid

13

Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2009), h. 1.


(25)

bertindak sebagai pelobi atau makelar kasus, namun gagal. Hukuman tetap dilaksanakan. Berawal dari kasus tersebut, nabi bersabda yang termasyhur;

Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya,

seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya”.14

Dari kisah cerita di atas menunjukkan betapa pentingnya lembaga peradilan. Manusia tak bisa lepas dari kesalahan atas didasari nafsu, kebencian dan keinginan memiliki sesuatu yang bukan haknya. Dan lembaga peradilan diharapkan mampu mengembalikan kesalahan manusia untuk kembali ke jalur benar melalui keadilan yang sebenar-benarnya.

Di samping itu, ada sebuah pepatah Latin kuno yang cukup menggambarkan mengenai begitu mulianya lembaga peradilan. Bahwa pengadilan adalah “nec curia deficeret in justitia exhibenda”, pengadilan

adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma wangi akan keadilan.15

Qadha‟ menurut bahasa artinya menghukumi sesuatu dan menyelesaikan. Al-Jauhari berpendapat, qadha‟ artinya selesai. Kadi (hakim) adalah orang yang menyelesaikan sesuatu perkara dengan hukum.16

14

Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, h. 2.

15

Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, h. 4.

16Moh. Rifa‟i, dkk.,

Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra, tt.), h. 443.


(26)

Fuqaha mendefiniskan bahwa qadha‟ (peradilan) adalah pendapat yang mewajibkan yang keluar dari kekuasaan umum,17 atau pemberitaan tentang hukum syar‟i dengan jalan pengharusan. Dikatakan qadha al-qadhi‟, artinya: hakim menetapkan kebenaran kepada pemiliknya.18

Ibnu Khaldun mengatakan dalam Mukaddimah ketika menjelaskan garis-garis agama yang berkaitan khusus dengan khilafah. “Adapun peradilan, maka merupakan tugas yang masuk di bawah khilafah, karena dia merupakan jabatan pemutusan di antara manusia dalam perselisihan untuk memastikan terhadap tuduhan dan memutuskan perselisihan. Hanya saja, peradilan ini dengan hukum-hukum syariah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Karena itu, peradilan merupakan salah satu tugas khilafah dan masuk dalam keumumannya.”19

Di dalam al-Qur‟an disebutkan lafazh qadha‟dan lafazh hukm serta akar kata keduanya dalam banyak tempat. Adapun sebagai pedoman dasar peradilan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:

17

Bathros Al-Bustani, Muhith al-Muhith, Jilid 2, h. 1726-1727, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 315.

18

Muhammad Salam Madkur, h. 11, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk.,

Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 315.

19

Ibnu Khaldun, Al-Ibar wa Diman Al-Mubtada‟ wa Al-Khabar (Mukaddimah), Juz 1, h. 174, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 315.


(27)













Artinya:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 49)

Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Peradilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam “mengadili dan menyelesaikan suatu perkara” itulah terletak proses pemberian keadilan yang dilakukan oleh hakim baik tunggal maupun majelis. Oleh karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan.20

Dari beberapa definisi di atas, bahwa peradilan adalah merupakan suatu proses pemberian keadilan kepada pihak yang berperkara. Dalam hal memberikan keadilan, seorang kadi atau hakim dituntut agar memberikan

20

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Ed. 6, cetakan 9, h. 250.


(28)

kepada yang berhak dengan kata lain putusan yang seadil-adilnya. Katakan benar jika ia benar, dan katakan salah jika ia bersalah.

Lembaga peradilan dirintis sudah sejak masa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dan disempurnakan pada masa-masa sesudahnya, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

2. Selayang Pandang Peradilan In absentia Di Indonesia

Kita mungkin masih teringat kasus yang meneriakkan tentang adili mantan Presiden Soeharto (almarhum) atau yang disebut juga sebagai “Bapak Pembangunan” untuk dituntaskan kasus korupsinya. Namun apa daya, kasus tersebut tak kunjung usai dengan berbagai macam alasan yang telah dikeluarkan oleh para penegak hukum. Pihak kejaksaan telah mengalihkannya tuntutan menjadi perdata, tetapi menjadi wacana belaka. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan SKP3-nya (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara) karena alasan sakit permanen yang telah divonis terhadap Pak Harto. Ironis tampaknya penegakan hukum untuk menciptakan tujuan hukum yang efektif dan efisien demi tegaknya keadilan sirna terlihat.

Arena perbincangan sekarang-sekarang ini adalah adili dengan segera mungkin pelaku tindak pidana korupsi, lakukan hal-hal jitu untuk memberantas pelaku korupsi. Karena mengingat bahwa korupsi merupakan


(29)

mungkin. Walaupun tidak menutup kemungkinan perilaku akan tetap ada dan berkembang dengan modus-modus lain.

Peradilan in absentia dirasakan merupakan solusi yang paling tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Peradilan in absentia sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk mengadili seorang terdakwa dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Pengaturan peradilan in absentia ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak dicantumkan secara jelas, baik di dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan maupun di dalam penjelasannya. Hanya di dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) terdapat sedikit pengaturan tentang in absentia yang sifatnya terbatas.

Pasal 196 ayat (1) yang berbunyi: “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”. Penulis berpendapat bahwa dalam hal memutus perkara, undang-undang ini menentukan lain yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 di dalam Pasal 38 ayat (1).

Pasal 214 ayat (1) berbunyi: “Jika terdakwa atau waktunya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan”. Pasal tersebut masih terlalu umum cakupannya, Pasal tersebut menyatakan terdakwa waktunya tidak hadir, perkara dilanjutkan. Di sana tidak disebutkan alasan terdakwa tidak hadir dan pemanggilan secara sah kepada terdakwa.


(30)

Dalam perkara perdata, mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, yaitu setelah dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Malah dalam perkara perdata pada umumnya, yang menghadiri sidang pengadilan hanyalah wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut tidak menjadi masalah.

Adapun peradilan in absentia ini harus memenuhi beberapa unsur, di antaranya yaitu:

1. Karena terdakwa tinggal atau berpergian ke luar negeri.

2. Adanya usaha dari terdakwa untuk melakukan tindakan pembangkangan, misalnya melarikan diri.

3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).21

Namun, dengan unsur-unsur tersebut di atas, peradilan in absentia adalah contoh praktik hukum yang potensial melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas

21

Fave Chayo Saputra, In Absentia Untuk Pak Harto, Ambon: Waspada Online, http://www.mailarchive.com/proletar@yahoogroups.com/msg22012.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.


(31)

Non-Derogable Right (hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun), praktik in absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang, dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. 22

Di sinilah muncul dilema untuk memilih praktik in absentia yang menghilangkan hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa.

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hukum acara pidana yang berlaku terhadap ketentuan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain menurut UU tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hukum acara yang bersifat ganda dalam penanganan korupsi, yaitu di satu sisi menggunakan KUHAP, dan di sisi menggunakan Hukum Acara Pidana Khusus (ius singalare, ius

22

Skripsi Eksistensi Peradilan In Absentia Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dan Relevasinya dengan Hak Terdakwa untuk Melakukan Pembelaan, http://gudangmakalah.blogspot.com/2011/02/skripsi-eksistensi-peradilan-in.html. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.


(32)

speciale/Bijzonder Strafrecht), yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana umum. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan hukum acara pidana umum ini dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan kasus korupsi.23

Terkait masalah putusan in absentia dalam perkara korupsi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Tanpa memberi alasan yang sah berarti terdakwa tidak diketahui di mana keberadaannya, alamat atau tempat tinggal, atau terdakwa melarikan diri.24

Di lain sisi, apabila sudah diberikan putusan oleh hakim terhadap terdakwa yang tidak hadir. Maka terhadap putusan Pengadilan secara in absentia itu diumumkan oleh Panitera dalam papan pengumuman Pengadilan atau Kantor Pemerintah Daerah, agar dapat diajukan banding oleh terdakwa atau kuasanya. Pada lazimnya, putusan yang dijatuhkan secara in absentia oleh Pengadilan, dibuka kemungkinan bagi terdakwa untuk mengajukan perlawanan. Namun, dengan alasan mempercepat prosedur peradilan perkara

23

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cetakan I, h. 160-161.

24

Harli Siregar, Aspek Hukum Peradilan Pidana In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Mantan Bupati Langkat, http://digilib.usu.ac.id/download/fh/D0200290.pdf. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.


(33)

korupsi, maka lembaga perlawanan ditiadakan. Lalu terdakwa langsung dapat meminta banding dengan menuruti ketentuan yang berlaku.25

Di samping itu, selain dibolehkannya memutus perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa, perlu diperhatikan juga hak-hak asasi manusia. Karena hal tersebut termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) dan Penjelasan Umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 pada nomor

2 dikatakan:

“Jelaslah penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga Negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga Negara, setiap penyelenggara Negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini”.26

3. Landasan Hukum Peradilan In absentia

Sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absentia adalah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu tersendiri.

25

K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), ed. Revisi, cetakan Ke-5, h. 64.

26

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasannya, www.docstoc.com/docs/35983113/Kitab-Undang-Undang-Hukum-Acara-Pidana-(KUHAP). Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.


(34)

Dalam perkara pidana pada umumnya menghendaki hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, seperti yang disebutkan di dalam Pasal 1 sub 15 KUHAP, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

Prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini didasarkan atas hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak-hak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta benda atau kehormatannya.

Dengan demikian, terdakwa memiliki hak dianggap tidak bersalah selama ia belum dijatuhi hukuman yang mempunyai kekuatan pasti oleh Pengadilan, dalam istilah asing disebut “presumption of innocence” (praduga tak bersalah).27

Di samping itu, kedudukan terdakwa sebagai seseorang yang sedang dituntut, diperiksa, dan sedang diadili sebagaimana tersebut pada Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, keberadaan terdakwa juga diposisikan sebagai alat bukti yang sah melalui keterangan yang diberikan di muka sidang pengadilan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan, bahwa “alat bukti yang sah adalah:

1. Keterangan saksi, 2. Keterangan ahli, 3. Surat,

27

Djoko Prakoso, Peradilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 55.


(35)

4. Petunjuk,

5. Keterangan terdakwa.28

Jika terdakwa ada dalam tahanan, maka tidaklah sulit untuk membawa terdakwa ke muka pemeriksaan sidang, biasanya yang bersangkutan sendiri menghendaki agar perkaranya lekas diperiksa dan lekas selesai.

Namun sebaliknya, agak berbeda jika terdakwa tidak ditahan, lebih-lebih lagi jika ia telah berpindah-pindah alamat tanpa memberitahukan kepada yang berwajib sehingga pemanggilan secara sah menurut hukum sulit untuk dilaksanakan. Keadaan ini sering menimbulkan tertundanya perkara sampai berbulan-bulan yang selanjutnya menimbulkan banyak tunggakan perkara sampai bertumpuk-tumpuk. Kadi tidak dibenarkan mengulur-ulur proses pemeriksaan karena semata-mata bermaksud ingin mencapai perdamaian. Jika kadi telah berketetapan hati untuk mengambil suatu keputusan terhadap kasus yang disidangkan, maka itu lebih baik daripada mengulurkan waktu persidangan. Memperlambat persidangan (menunda tanpa dasar hukum) akan dapat mendatangkan kemudharatan kepada para pihak yang berperkara.

Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18, peradilan in absentia, disebutkan:

1. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

28

Waludi, Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 113.


(36)

2. Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa hadirnya terdakwa.

Berdasarkan pasal tersebut, bahwa prinsip persidangan dilakukan dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. Di lain sisi, penafsiran kata “dengan” tidak sama dengan pengertian kata “harus”,

sehingga pasal tersebut tidak dapat diartikan sebagai “persidangan harus

dihadiri terdakwa”. Berarti tanpa tidak hadirnya terdakwa, persidangan tetap

dapat dilaksanakan.29

Memang kita ketahui, bahwa asas-asas dalam peradilan itu adalah salah satunya cepat. Cepat di sini harus dengan segera diproses perkara yang sudah cukup segala bukti-buktinya, agar tidak terjadi tumpukan-tumpukan saja berkas-berkas yang sudah dilimpahkan untuk diproses peradilan dan negara tidak dirugikan dalam hal pembiayaan. Maka, penulis berpendapat bahwa dalam hal kasus korupsi tampaknya perlu dilakukan peradilan tanpa hadirnya terdakwa. Karena mengutip dari beberapa pendapat di atas, bahwa persidangan bisa dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Di lain sisi, memang diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk pemeriksaan dan pemberian putusan.

Di samping itu, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra

ordinary crime) dan sudah mewabah di mana-mana secara sistematis dan

terorganisir. Maka, dalam upaya pencegahan dan penyelesaian perkaranya

29


(37)

harus didahulukan daripada pidana-pidana umum demi terselamatkannya aset serta keuangan negara yang telah dikorup.

B. Peradilan Korupsi 1. Definisi Korupsi

Sejauh ini, jarang sekali ditemukan penjelasan terperinci dalam hukum kriminal tentang definisi korupsi. Umumnya, hukum kriminal masih mencampuradukkan tindak kejahatan korupsi dengan tindak kejahatan lainnya, yang kemudian juga disebut sebagai tindak pidana korupsi.

Misalnya, penyuapan (baik pemberi maupun penerima) oleh para pejabat pemerintah, baik lokal maupun asing dan perusahaan-perusahaan pribadi, pemberian uang pelicin, penipuan data dalam tender, penggelapan, pencurian, tender arisan (kolusi antar sesama peserta tender), suap di lembaga legislatif dan lain-lain. Biasanya, bentuk dan hukuman atas pelanggaran terhadap hukum kriminal masing-masing negara berbeda, meski pada intinya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana korupsi.

Korupsi secara harfiah merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi, akan menemukan kenyataan semacam itu, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan


(38)

jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas, yaitu:

1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

2. Korupsi, busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).30

John M. Echols dan Hassan Shadily,31 mengartikan korupsi secara harfiah yaitu jahat atau busuk.

Transparancy International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang bertujuan menghasilkan keuntungan pribadi. Pengertian “keuntungan pribadi” ini harus ditafsirkan secara luas, termasuk juga di dalamnya keuntungan pribadi yang diberikan oleh para pelaku ekonomi kepada kerabat dan keluarganya, partai politik atau dalam beberapa kasus ditemukan bahwa keuntungan tersebut disalurkan ke organisasi independen atau institusi amal. Di mana pelaku politik tersebut memiliki peran serta, baik dari sisi keuangan atau sosial.32

30

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), ed. Kedua, cetakan Ke-3, h. 9.

31

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), h. 149.

32

Buku Panduan; Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, Transparancy International, 2006, h. 3.


(39)

Korupsi adalah tindak kejahatan yang diatur dalam peraturan. Hal tersebut berdasar pada kenyataan bahwa pemberi dan penerima suap adalah penjahat. Maka diperkirakan kedua belah pihak akan berupaya untuk menutupi kejahatan mereka. Pengawasan yang ketat oleh pihak penguasa adalah upaya yang harus dilakukan untuk mengungkap praktik-praktik korupsi dan memberi hukuman atas perbuatan tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mendefinisikan korupsi sebagaimana termaktub di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.

Sedang korupsi menurut Fockema Andrea dalam Andi Hamzah,33 kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster Student

Dictionary: 1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal

pula dari kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu

corruption, corrupt; Perancis; yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie

(korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa

Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.

33

Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), huruf c, Terjemahan Bina Cipta. Di dalam buku Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4-6.


(40)

Di dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito,34 corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.

Korupsi menurut fikih jinayah itu dilihat dari beberapa segi atau unsur-unsurnya yang mendekati terminologi di saat sekarang ini, di antaranya ghulul

(penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian) dan hirabah (perampokan).35

Dari beberapa definisi yang disebutkan, penulis berpendapat bahwa

korupsi adalah suatu perbuatan korup atau penyuapan di mana memiliki

kepentingan untuk keuntungan pribadi, keuntungan kelompok dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan, diketahui secara kasat bahwa perbuatan tersebut adalah buruk, penyimpangan dari kesucian dan ketidakjujuran (integritas berkurang).

2. Proses Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Praktik korupsi merupakan kejahatan yang sudah memasuki ranah luar biasa, kejahatan yang tersistematis, terorganisir yang merusak kehidupan

34

Wijowasito, Kamus Umum Bahasa Belanda Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1999), h. 128, sebagaimana dikutip dalam Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yurudis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Ed. 1, cetakan Ke-2, h. 6.

35

Di antara enam macam jarimah atau pelanggaran dan penyimpangan-penyimpangan dalam fikih jinayah di atas, dua di antaranya merupakan bagian dari hudud, yaitu sariqah dan hirabah. Sedangkan empat jarimah yang lain masuk ke dalam kategori jarimah takzir, yaitu jarimah yang jenis sanksi dan teknis pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa dan hakim setempat. Sebagaimana dikutip dalam Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Cetakan Pertama, h. 93.


(41)

berbangsa dan bernegara, membuat kerugian keuangan negara, menggoyahkan sendi-sendi kehidupan baik dari segi ekonomi, politik, budaya, demokrasi dan penegakan hukum. Korupsi sudah bukan lagi kategori kejahatan biasa, dia sudah memasuki kejahatan yang luar biasa (extra

ordinary crime). Oleh karenanya, dalam penanganan untuk memberantasnya

diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (yang disingkat Pengadilan “Tipikor”) merupakan salah satu bagian upaya yang luar biasa untuk menangani pemberantasan pelaku kejahatan korupsi. Karena perlunya dibentuk pengadilan khusus untuk penanganan korupsi, masyarakat menilai jumlah perkara korupsi yang diperiksa semakin meningkat dan juga telah terjadi inefisiensi dalam penanganan perkara korupsi. Di samping itu, masyarakat juga memandang karena rendahnya produktifitas aparat dalam menangani perkara korupsi.

Kehadiran Pengadilan Tipikor ini tidak bisa dilepaskan dari cerita panjang tentang perjalanan lembaga-lembaga untuk memberantas korupsi. Pada Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi telah dibentuk lembaga-lembaga untuk memerangi tindak pidana korupsi, namun lika-liku terjadi di dalamnya.36

36

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 7.


(42)

Pada masa orde lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Pertama, dengan perangkat aturan undang-undang Keadaan Budaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Ghani. Kepada Paran inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data-data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Namun terdapat perlawanan terhadap lembaga ini, dan dengan diimbuhi kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.

Tahun 1963 melalui Keppres No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan “Operasi Budhi”. Kali ini dengan tugas yang lebih berat yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan negara, sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Namun operasi ini kemudian berhenti.

Meski berhasil menyelamatkan keuangan negara sebanyak kurang lebih Rp. 11 Milyar, Operasi Budhi ini „dibunuh‟ dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio. Kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar), di mana Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.


(43)

Bohari (2001) mencatatkan, bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, maka pemberantasan korupsi di masa orde lama pun kembali masuk ke jalur lambat bahkan macet .37

Pada masa awal orde baru, melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik orde lama yang tidak mampu memberantas korupsi. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Ternyata, kemudian TPK tidak serius dan mulai dipertanyakan, hingga pada akhirnya berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan beribawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, C.V Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.38

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembagaOmbudsman.

37

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 7.

38

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 8.


(44)

Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No. 19 tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, keputusan MA membubarkan TGPTPK. Nasib „serupa tapi tak sama‟ dialami oleh Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK.39

Secara yuridis-konstitusional, keberadaan Pengadilan Tipikor telah memperoleh landasan yang kuat. Ditinjau dari arah politik hukum nasional pemberantasan korupsi, perlunya Pengadilan Tipikor sejalan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bahkan, Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 yang dalam bagian diktumnya antara lain menentukan

bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat

serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan

sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara”.40

39

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 9.

40

Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 18.


(45)

Pembentukan Pengadilan Tipikor juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption, UNCAC) Tahun 2003.41

3. Penegakan Hukum Perkara Korupsi Di Indonesia

Tingkat kejahatan merupakan indikasi penilaian efektivitas kinerja sistem peradilan pidana dan meningkatnya intensitas kejahatan menunjukkan tidak efektifnya sistem peradilan pidana itu sendiri. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana dari sudut pandang kriminologi saat ini, bukan lagi dipandang sebagai sistem penanggulangan kejahatan, tetapi justru dilihat sebagai “social problem” yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Dalam hal -hal tertentu sistem peradilan pidana dapat dilihat sebagai faktor criminogen

dan victimogen.

Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana, yaitu mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh Polisi, tahap penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan hingga proses pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana sangat terkait dengan aturan hukum pidana, baik materiil maupun formil, karena peraturan

41

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi, 2003), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620). Di dalam Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 18.


(46)

perundang-undangan pidana itu merupakan penegakan hukum pidana “in

abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum pidana “in

concreto” melalui sistem peradilan pidana.42

Terkait dengan tindak pidana korupsi, aspek hukum acara pidana yang berpengaruh pada struktur hukum dalam proses sistem hukum pidana dan penerapan sistem peradilan pidana mulai tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Sebagaimana disebut dalam Pasal 26, “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.43

Penyidikan merupakan salah satu tahap dalam proses penegakan hukum pidana dan merupakan tahap awal dalam criminal justice system. Oleh karena itu, proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam upaya penegakan aturan-aturan pidana terhadap berbagai peristiwa pidana konkret yang terjadi. Keberhasilan dalam menegakkan hukum pidana sangat dipengaruhi oleh proses penyidikan, oleh karena hasil penyidikan tindak pidana tersebut yang kemudian dilimpahkan ke Penuntut Umum untuk selanjutnya diperiksa dalam sidang pengadilan.

42

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 167.

43


(47)

Perbuatan menyidik atau mengusut merupakan usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapakah yang terlibat dengan perbuatan itu. Dan suatu penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa atas perkara tersebut akan diadakan penuntutan atau tidak.44

Dalam masalah tindak pidana korupsi, khusus dalam tahap penyidikan terdapat beberapa institusi penyidik yang berwenang untuk menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini. Tidak lain, mereka telah diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa “dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung. Dengan demikian, selain Polri selaku penyidik yang diberikan wewenang berdasarkan Pasal 6 dan 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Kejaksaan pun diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

44


(48)

Selain Kepolisian dan Kejaksaan, institusi yang juga mempunyai tugas melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, bahwa “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Bahkan, KPK memiliki wewenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, dalam hal terdapat alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.45

Berdasarkan ketentuan di atas, maka penulis menarik beberapa institusi penyidik yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu penyidik Polri yang diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang bersangkutan, dan penyidik Kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung.

Tahap kedua dalam proses peradilan pidana setelah proses penyidikan dinyatakan lengkap adalah proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Peran Kejaksaan dalam proses peradilan pidana dimulai sejak Penyidikan terhadap suatu tindak pidana diberitahukan oleh pihak penyidik kepada pihak

45

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 169.


(49)

Kejaksaan, bahwa terhadap suatu tindak pidana telah dimulai penyidikannya dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). 46

Sejak diterimanya surat tersebut, pihak Kejaksaan menunjuk Jaksa Penuntut Umum dengan surat P-16 untuk mengikuti jalannya proses penyidikan. Proses koordinasi antara penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum kemudian dilakukan secara intensif dengan maksud agar hasil dari penyidikan tersebut memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat dilanjutkan ke proses penuntutan dalam persidangan di Pengadilan. Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi berkas perkara penyidikan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 138 dan Pasal 139 KUHAP.

Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Pengertian penuntutan menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Pasal 1 angka 7) dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Bab I Pasal 1 angka 3), dirumuskan bahwa:

“Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

46

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 173.


(50)

yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan”.

Menurut Nurdjana, penuntutan adalah suatu tindakan Penuntut Umum untuk membuktikan terpenuhinya unsur-unsur ketentuan pidana yang dilanggar oleh terdakwa akibat perbuatan yang telah dilakukan, atau konkretisasi aturan pidana yang bersifat abstrak dalam fakta perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa, sehingga memberikan keyakinan kepada hakim bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan pidana yang

didakwakan kepadanya.47

Penulis menyimpulkan bahwa, penuntutan adalah perbuatan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri di mana telah terdapat atau cukup terbukti unsur-unsur tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh Hakim dihadapan sidang Pengadilan.

Peradilan adalah salah satu pelaksanaan hukum dalam hal terjadi tuntutan hak yang konkret melalui putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga yang mandiri, bebas yang tidak dipengaruhi oleh lembaga di luar lembaga itu sendiri. Peradilan merupakan suatu seni, yaitu seni yang didasarkan pada ilmu. Dikatakan seni karena hakim dalam memeriksa perkara

47

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 175.


(51)

bukan hanya menggunakan kecerdasan intelektualnya saja, melainkan juga menggunakan hati nuraninya (kecerdasan emosional/emotional concern).48

Untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 20004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah, kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 49

Menurut Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 ditegaskan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Termasuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Begitu besar dampak kerugian keuangan negara akibat korupsi baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik maupun dari segi moralitas, sehingga Undang-Undang memberikan kewenangan kepada negara untuk selain menuntut koruptor secara pidana, tetapi juga menuntut secara

48

Prof. Sudikno Mertokusumo, Kumpulan Materi Kuliah Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2004), h. 4. Di dalam IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 179.

49

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358.


(52)

perdata. Bahkan, negara berwenang menuntut ahli waris pelaku sekalipun pelaku telah meninggal dunia.

Djoko Prakoso berpendapat lain, bahwa proses acara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa suatu perkara ternyata berbeda dengan yang diatur dalam Hukum Acara Pidana yang lama (RIB).

Di dalam RIB, maka setelah hakim merasa dirinya berwenang untuk mengadili atau memeriksa suatu perkara, maka pertama-tama ia harus meneliti apakah pemeriksaan pendahuluan (berkas perkara) itu telah lengkap atau belum. Jika belum lengkap perkara itu dikembalikan kepada jaksa dengan permintaan untuk dilengkapi (Pasal 249 ayat (1), (2), dan (3) RIB).

Kalau pemeriksaan sudah lengkap maka hakim meneliti kembali apakah tindak pidana dari tertuduh itu merupakan kejahatan atau pelanggaran dan cukuplah alasannya untuk dikenakan tuntutan. Jika tidak cukup alasan untuk dikenakan tuntutan, maka hakim membuat penetapannya yang memuat alasan-alasan tidak dapat dituntut.50

Pada dasarnya, pemeriksaan di sidang pengadilan adalah mencari fakta-fakta hukum untuk menemukan kebenaran yang hakiki (kebenaran materiil) mengenai peristiwa yang sebenarnya terjadi, sehingga isi yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum itu terbukti kebenarannya, atau sebaliknya.

50


(53)

Salah satu sumber fakta hukum yang tidak dapat diabaikan adalah saksi. Saksi adalah sumber utama yang hampir (pasti) tidak mungkin ditetapkannya perkara pidana atau terjadinya tindak pidana (walaupun dalam bentuk dugaan), baik dalam pekerjaan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan lebih-lebih lagi di sidang pengadilan, tanpa didasarkan atas keterangan saksi, walaupun dari segi teori kemungkinan tanpa saksi bisa terjadi, asalkan telah memenuhi dua syarat minimum pembuktian sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP.

Dalam hukum pidana korupsi setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi termasuk juga ahli (apabila diminta), namun ada pengecualian yakni pada ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu terdakwa (Pasal 35 ayat (1)). Pengecualian ini berlaku bagi saksi yang diperiksa dalam sidang pengadilan dan tidak dalam pekerjaan penyidikan. Walaupun boleh diperiksa dan diberkas terhadap orang-orang ini, tidak ada manfaatnya, karena keterangan yang sah dan dapat dipertimbangkan oleh hakim adalah keterangan terdakwa di sidang pengadilan. Oleh karena itu, memang tidak perlu memberkas keterangan saksi dalam penyidikan.

Dalam perkara tindak pidana umum, tidak memungkinkan untuk diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa, atau dilakukan secara in absentia, namun dalam perkara korupsi dibenarkan untuk digelar dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.


(54)

Menurut Pasal 38 ayat (1), pemeriksaan dan diputusnya perkara korupsi baru boleh dilakukan, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi, harus memenuhi dua syarat yakni; (1) harus dipanggil secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi terdakwa yang tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap persidangan tanpa diperlukan panggilan, karena menjadi tanggung jawab JPU untuk menghadirkan ke muka persidangan pengadilan.

Apabila sidang in absentia telah dijalankan kemudian terdakwa tiba-tiba hadir sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa tetap harus diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang telah dibacakan sebelum sidang kehadiran terdakwa dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang (Pasal 38 ayat (2)).

Apabila putusan telah dijatuhkan dalam sidang in absentia, maka putusan itu diumumkan pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya Pasal 38 ayat (3). Dalam hal ini terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan in absentia tersebut (ayat (4)).


(1)

yang diadili secara in absentia, penulis berpendapat bahwa hakim telah melaksanakan aturan yang telah diatur oleh Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan, menurut pandangan Islam mengenai perkara korupsi yang diperadilankan secara in absentia, penulis menggunakan teori maslahat, yakni jalb al-masalih wa dar‟ al-mafasid. Di mana pengembalian aset negara perlu dikembalikan untuk menstabilkan perekonomian negara. Di samping itu, dalam Islam ada suatu pertanggung jawaban. Segala sesuatu perbuatan harus dipertanggung jawabkan oleh pelaku, tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Nah, jika para pelaku korupsi tidak bertanggung jawab atau melarikan diri atas perbuatannya. Maka keadilan hukum lebih utama nilainya. Jadi, dalam melakukan penanganan dan pemeriksaan perkara korupsi perlu dikhususkan. B. Saran

Mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, maka dalam penanganan dan pencegahan perlu dengan upaya luar biasa jua. Karena akibat dari perbuatan yang tidak terpuji itu, bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Tak ada lagi belas kasihan untuk memberikan peringatan dan hukuman kepada para pelaku tindak pidana korupsi, namun perlu diperhatikan dan diberikan juga hak-hak asasi manusianya. Bukan berarti digerogoti bersih para penjahat korupsi tersebut.


(2)

95

Sejak dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, perkara demi perkara dengan cepat diproses, diperiksa dan diputus, guna menyelamatkan aset keuangan negara dan menormalisasikan perekonomian negara agar menjadi stabil kembali.

Dalam hal memberikan putusan, hakim selalu memutuskan berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti hukum. Mengenai perkara korupsi kejahatan luar biasa, maka perkara korupsi bisa didahulukan untuk dilakukan pemeriksaan dan mengadili. Berbagai upaya pemberantasan dan pencegahan dilakukan untuk penanganan tindak pidana korupsi.

Kita ketahui bersama, banyak sekali kasus-kasus korupsi yang tak kunjung usai, berkas-berkas hanya jadi tumpukan semata. Itu terlihat dari kurang komitmen dan keseriusan untuk memerangi kejahatan korupsi, karena dari orde lama, orde baru sampai era reformasi selalu saja terjadi pembubaran secara pasif lembaga-lembaga yang concern untuk memberantas korupsi, indikasinya yaitu terjadinya konfllik perpolitikan. Oleh karena itu, ketika terjadi hal perbuatan melakukan melawan hukum dalam hal ini korupsi, maka penyelesaiannya bukan melalui ranah pollitik, melainkan jalur hukum.


(3)

96 Buku-Buku

Al-Qur‟an dan Terjemahan.

A. Al-Buraey, Muhammad. Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan. Jakarta: Rajawali. 1986.

Abdul Rafi‟, Abu Fida‟. Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa). Jakarta: Republika. 2004. Cetakan I.

Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadi Media. 2009. Ali Baihaqi, Abu Bakar Ahmad Husain. Sunan Kubro lil Baihaqi wa fi Dzailihi

al-Jauharin Naqyi. India: Majlis Dairoh al-Ma‟arif an-Nizhomiyah. 1344 H. Cetakan Pertama.

Aliyah, Samir. Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam. Jakarta: Khalifa. 2004.

Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2008.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1970. Cetakan Ketiga.

Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. 2010. Cetakan Pertama.

Bogdan, Robert. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Alih bahasa-Arif Furchan Cet- 1. Surabaya: Usaha Nasional. 1992.

Buku Panduan; Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik. Transparancy International. 2006.

Chazawi, Ahmad. Lampiran Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia. 2005.


(4)

97

Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000 Ed. 6. Cetakan 9.

Djaja, Ermansjah. Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yurudis Normatif. 2009.

Djalil, Abdul Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Persada. 2006. Cetakan Ke-1.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Ed. Kedua. Cetakan Ke-3.

Hartono, Sunaryati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Ed-rev. Malang: Bayumedia Publishing. 2008.

Irfan, Muhammad Nurul. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2009. Cetakan Pertama.

J Moleong, Lexi. Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2004.

John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1977.

Karjadi, M dan R. Soesilo. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bogor: Politeia. 1997.

Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta: Kencana. 2007. Cetakan Ke-1.

Marzuki, Peter Mahmud. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2008.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001.


(5)

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 1997. Cetakan Ke-1.

Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia; Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Bandung: Alumni. 2006.

Nurdjana, IGM. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Cetakan I.

Prakoso, Djoko. Peradilan In Absentia di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984. Purwaka, Tomi Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas

Atmajaya. 2007.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Perkara Korupsi Secara In Absentia, Putusan Nomor: 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST.

Rifa‟i, Moh., dkk. Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra. Tanpa Tahun.

Saleh, K. Wantjik. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983. Ed. Revisi. Cetakan Ke-5.

Sevilla, Consuelo G. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI- PRESS. 2006.

Susanto, Hery. dkk. Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat. Jakarta: Komisi Yudisial. 2009.

Tim Taskforce. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. 2008. Cetakan Ke-1.

Waludi. Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. 2009. Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005. Cetakan

I.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999. ed. I. cetakan 9.


(6)

99

Internet

Fave Chayo Saputra, In Absentia Untuk Pak Harto, Ambon: Waspada Online, http://www.mailarchive.com/proletar@yahoogroups.com/msg22012.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.

Harli Siregar, Aspek Hukum Peradilan Pidana In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Mantan Bupati Langkat, diakses pada tanggal 14 Maret 2011 dari http://digilib.usu.ac.id/download/fh/D0200290.pdf.

http://www.mailarchive.com/proletar@yahoogroups.com/msg22012.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasannya, www.docstoc.com/docs/35983113/Kitab-Undang-Undang-Hukum-Acara-Pidana-(KUHAP). Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.

Skripsi Eksistensi Peradilan In Absentia Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dan Relevasinya dengan Hak Terdakwa untuk Melakukan Pembelaan, http://gudangmakalah.blogspot.com/2011/02/skripsi-eksistensi-peradilan-in.html. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.