Kajian GFP, Aplikasi GMP, SSOP Serta Penyusunan HACCP Plan Pada Produksi Yoghurt Di Unit Pengolahan Susu Fakultas Peternakan

(1)

K

KAJIAN G

HACC

PEN

DEPARTE

GFP, APL

CP PLAN P

NGOLAHA

MEN ILMU IN

IKASI G

PADA PR

AN SUSU

S ISNA

U PRODUK FAKULTA STITUT PE

GMP, SSO

RODUKSI

FAKULT

SKRIPSI A ZAKIAH

KSI DAN TE AS PETERN

ERTANIAN 2011

OP SERTA

I YOGHU

TAS PETE

H

EKNOLOG NAKAN

N BOGOR

A PENYUS

URT DI UN

ERNAKAN

GI PETERN

SUNAN

NIT

N

NAKAN


(2)

RINGKASAN

ISNA ZAKIAH. D140601675. 2011. Kajian GFP, Aplikasi GMP, SSOP serta Penyusunan HACCP Plan pada Pengolahan Yoghurt di Unit Pengolahan Susu Fakultas Peternakan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla ENSD., MSi

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA

Keamanan pangan penting dalam menjamin pangan yang aman dan layak dikonsumsi. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Semakin meningkat tuntutan masyarakat akan keamanan pangan yang akan dikonsumsi, maka diperlukan upaya untuk identifikasi dan analisis Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dalam proses pengolahan makanan sesuai dengan Good Manufacturing Practices (GMP) Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP).

Teknologi yang dapat diterapkan dalam pengolahan susu agar memiliki keamanan pangan yang lebih baik untuk mempertahankan nilai gizi dan daya simpan lebih lama salah satunya adalah proses fermentasi dengan contoh produk yang dihasilkan yaitu yoghurt. Kualitas yoghurt yang baik diperoleh dengan memperhatikan bahan baku utama yaitu susu. Produksi susu yang tinggi dan berkualitas baik didapatkan melalui penerapan Good Farming Practices (GFP) yang meliputi bangunan dan fasilitas peternakannya, manajemen pakan, sumber daya manusia, proses pemerahan dan manajemen peternakan.

Kegiatan magang di unit pengolahan susu ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap GFP, GMP, SSOP serta membantu menyusun HACCP plan pada unit pengolahan yoghurt. Kegiatan magang ini dilaksanakan di unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, peternakan sapi perah Eco Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan pembibitan sapi perah Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI). Kegiatan magang ini dilaksanakan pada bulan April 2010 hingga bulan November 2010. Pelaksanaan magang dilakukan dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan produksi, melakukan observasi lapang, wawancara dan pengumpulan data. Partisipasi aktif pada unit pengolahan meliputi (a) penerimaan susu, bahan tambahan dan bahan pendukung lainnya, (b) pengujian kualitas baik fisik, kimia dan mikrobiologi pada bahan baku susu, (c) pembuatan yoghurt (d) pengujian akhir yaitu yoghurt sebelum dikemas dan yang sudah dalam kemasan berupa pengujian fisik, kimia dan mikrobiologi serta (e) penetapan Critical Control Point (CCP) pada tiap proses pengolahan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan GFP pada peternakan Eco Farm dapat dikatakan cukup baik dengan mempertimbangkan kesesuaian hasil penilaian terhadap aspek-aspek yang diamati yaitu aspek bangunan dan fasilitas peternakan menunjukkan kesesuaian sebesar 65,08%, manajemen pakan 87,50%, sumber daya manusia 75,61%, proses pemerahan 64,81% dan manajemen peternakan 42,42%. Penilaian pengamatan penerapan GFP pada pembibitan sapi perah di KWI dapat dikatakan baik dengan masing-masing persentase yaitu bangunan dan fasilitas


(3)

peternakan 72,22%, manajemen pakan 89,28%, sumber daya manusia 85,36%, proses pemerahan 85,18% dan manajemen peternakan 56,06%. Penilaian terhadap penerapan GMP dilihat dari persentase penyimpangan yang terjadi pada pengamatan tahap awal dapat dikatakan cukup, dengan melihat pada penyimpangan minor, mayor dan serius masing-masing terdapat sebanyak 10, 10 dan 4. Pengamatan tahap akhir pada penerapan GMP dapat dikatakan baik, karena sudah terdapatnya perbaikan yang dilakukan dengan penyimpangan minor, mayor dan serius secara berturut-turut adalah 4, 8 dan 2. Penilaian penyimpangan SSOP pada pengamatan awal secara keseluruhan dapat dikatakan sangat kurang memenuhi, dengan nilai penyimpangan secara keseluruhan sebesar 52,59%, sedangkan pada pengamatan akhir termasuk dalam kategori kurang memenuhi dengan nilai penyimpangan secara keselurahan sebesar 38,79%. Penyusunan rencana awal HACCP dilakukan dengan teridentifikasi-nya tujuh CCP pada proses produksi yoghurt yaitu penerimaan susu segar, proses pasteurisasi, pendinginan, inokulasi starter, proses pencampuran, proses pengemasan dan penyimpanan. Setiap proses pengolahan harus diperhatikan agar tidak menjadi peluang timbulnya sumber bahaya bagi produk yang dihasilkan.


(4)

ABSTRACT

Study on GFP at Dairy Farm, Application of GMP, SSOP and HACCP Plan on Yoghurt Production at PT D-Farm Agriprima

Zakiah, I., L. Cyrilla and R.R.A. Maheswari

Food safety is important in ensuring safety and properly food. Safety and quality food can be produced from the kitchen through industry. Therefore, the food industry is one of certain factors that determines the food circulation which is fulfill the safety and quality standard of government assessment. Consumers claim in food safety is increasing, so that need an effort to identify and analyze the food processing HACCP that appropriate with quality manual of food production and sanitation standard. The appropriate technology that could be applied in milk processing, is still attend to the food safety especially in the longer storage capacity by fermentation, i.e. yoghurt. Yoghurt quality was determined from its raw material such as milk. Thus, we need to analyze the GMP and SSOP standards that have been applied in industry, to find out the final product quality. The others reason are to arrange and to evaluate the GMP and SSOP that is appropriate with the standard and to provide the solution of the problem that will be happen during the production process. The percentage rating of GFP application seen from several aspects, namely buildings and livestock facilities, food management, human resources, the process of milking and farming management. The results of the assessment pursuanted the Eco farm of GFP as whole as 65,08% included in the sufficient category. Assessment GFP application in the KWI as whole as 76.25% included in both categories. Implementation of GMP seen from the percentage of deviations that occured in the early stages of, in other hand it sufficient enough and the good result in the end observation. Assessment SSOP deviation on initial observations as whole as can be said to be fitless and at the end of the observation is unfullfill. We should improve sanitation and hygiene in the process of making yogurt from raw material to finished products used to distribute the product, do not forget to have to give attention to correct sanitation employees, how we can do the preparation. HACCP Plan system have been identified six critical control points in yoghurt production of PT D-Farm Agriprima row milk, in addition pasteurization, refrigeration, starter inoculation, mixing, packaging and storage.


(5)

KAJIAN GFP, APLIKASI GMP, SSOP SERTA PENYUSUNAN

HACCP PLAN PADA PENGOLAHAN YOGURT

DI PT D-FARM AGRIPRIMA

ISNA ZAKIAH D14061675

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanain Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

Judul : Kajian GFP, Aplikasi GMP, SSOP serta Penyusunan HACCP Plan pada Pengolahan Yogurt di PT D-Farm Agriprima

Nama : Isna Zakiah NIM : D14061675

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota,

(Ir. Lucia Cyrilla E.N.S.D., M.Si) (Dr. Ir. Rarah R.A Maheswari, DEA) NIP: 19630705198803 2 001 NIP: 19620504 198703 2 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 1 Agustus 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Uya Mulyana dan Ibu Iis Aisyah. Penulis mengenal pendidikan formal di TK Purnama Purwakarta dan TK Al-Qur’an Al-Muhajirin Purwakarta pada tahun 1992-1994, kemudian melanjutkan ke pendidikan dasar pada tahun 1994-2000 di SDN Jend. Sudirman VII, pendidikan lanjutan menengah pertama ditempuh pada tahun 2000-2003 di SMPN 1 Purwakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas pada tahun 2003-2006 di SMUN 2 Purwakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa dengan mayor Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006.

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif menjadi staf Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB pada masa jabatan Tahun 2007-2008 dan aktif di beberapa kepanitian. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak pada tahun ajaran 2008/2009, asisten praktikum pada mata kuliah Teknik Pengolahan Susu pada tahun ajaran 2009/2010. Penulis pernah mengikuti pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada tahun 2010.


(8)

vi DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Good Farming Practices ... 3

Good Milking Practices (GMiP) dan Good Hygienie ... Practices (GHP) ... 3

Good Manufacturing Practices (GMP) ... 4

Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) ... 7

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) ... 7

Susu ... 8

Yoghurt ... 10

Kerusakan Yoghurt ... 12

METODE ... 14

Waktu dan Lokasi ... 14

Materi ... 14

Prosedur ... 14

Uji Berat Jenis ... 18

Uji Alkohol ... 18

Uji Derajat Keasaman ... 18

Uji Kadar Lemak Metode Gerber ... 18

Uji Bahan Kering ... 19

Uji Bahan Kering Tanpa Lemak ... 19

Total Asam Tertitrasi ... 19

Pengujian Kadar Protein dengan Titrasi Formol ... 19

Total Plate Count ... 19

Jumlah Bakteri Koliform ... 20

Analisis Kuantitatif total Escherichia coli ... 20

Analisis Kuantitatif total Salmonella ... 21


(9)

vii

Pengujian Cemaran Logam Timah ... 22

Pengujian Raksa ... 23

Pengujian Arsen ... 24

KEADAAN UMUM LOKASI ... 25

Unit Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima ... 25

Riwayat Perusahaan ... 25

Lokasi Perusahaan ... 25

Aspek Organisasi, Manajemen dan Ketenagakerjaan ... PT D-Farm Agriprima ... 25

Peternakan Eco Farm ... 26

Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI) ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Aplikasi Good Farming Practices (GFP) di Peternakan Pemasok ... Susu ... 28

Bangunan dan Fasilitas Peternakan ... 28

Manajemen Pakan ... 37

Sumber Daya Manusia ... 40

Proses Pemerahan ... 42

Manajemen Peternakan ... 44

Aplikasi GMP (Good Manufacturing Practices) dan ... Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) ... 47

Pimpinan ... 50

Sanitasi Lokasi dan Lingkungan : Fisik ... 50

Sanitasi Lingkungan ... 51

Pembuangan/Limbah ... 51

Investasi Burung, Serangga atau Binatang lain ... 52

Pabrik ... 53

Kondisi Umum ... 53

Ruang Pengolahan ... 53

Fasilitas Pabrik ... 55

Pembuangan Limbah Pabrik ... 57

Operasional Sanitasi di Pabrik ... 58

Binatang Pengganggu/Serangga dalam Pabrik ... 58

Peralatan Produksi ... 59

Pasokan Air ... 60

Sanitasi dan Higien Karyawan ... 61

Gudang ... 63

Biasa (kering) ... 63

Kemasan Produk ... 64

Tindakan Pengawasan ... 65

Bahan Mentah dan Produk Akhir ... 66

Kualitas Susu dan Yoghurt ... 67

Kualitas Susu Segar ... 67

Kualitas Yoghurt ... 70

Tindakan Pengawasan ... 73


(10)

viii

Penggunaan Bahan Kimia ... 73

Bahan, Penanganan dan Pengolahan ... 73

Penyusunan HACCP ... 88

Kebijakan Mutu ... 88

Organisasi Tim HACCP ... 88

Deskripsi Produk Yoghurt ... 89

Penyusunan Diagram Alir ... 90

Analisis Bahaya ... 95

Penetapan Critical Control Point (CCP) ... 98

Penentuan Batas Kritis ... 100

Prosedur Pelaksanaan ... 101

Tindakan Koreksi ... 101

Menetapkan Prosedur Verifikasi ... 101

Dokumentasi dan Rekaman ... 102

KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

Kesimpulan ... 111

Saran ... 112

UCAPAN TERIMAKASIH ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 114


(11)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2000) ... 9

2. Syarat Mutu Yoghurt (SNI 01-2981-1992) ... 11

3. Hasil Penilaian Aplikasi GFP Peternakan Pemasok Susu Eco Farm dan KWI ... 28

4. Penilaian Penyimpangan GMP pada Proses Pembuatan Yoghurt di PT D-Farm Agriprima ... 46

5. Penilaian Penyimpangan SSOP pada Proses Pembuatan Yoghurt di PT D-Farm Agriprima ... 47

6. Pengujian Susu Segar ... 65

7. Pengujian Yoghurt ... 68

8. Rekapitulasi Penerapan GMP di PT D-Farm Agriprima ... 73

9. Rekapitulasi Penerapan SSOP di PT D-Farm Agriprima ... 82

10. Deskripsi Produk Yoghurt ... 86

11. Penetapan Analisis Bahaya ... 100

12. Penetapan CCP ... 103


(12)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bangunan Kandang di Eco Farm ... 29

2. Bangunan Kandang di KWI ... 29

3. Bentuk Tempat Pakan di Eco Farm ... 30

4. Bentuk Tempat Pakan di KWI ... 31

5. Pengelolaan Limbah Padat di Eco Farm ... 32

6. Pengelolaan Limbah Padat di KWI ... 32

7. Lantai Eco Farm dan KWI ... 34

8. Fasilitas Pemerahan di KWI ... 35

9. Pencampuran Konsentrat dan Ampas Tahu di Eco Farm ... 37

10. Pemberian Pakan di KWI ... 38

11. Penyimpanan Pakan di Eco Farm ... 38

12. Penyimpanan Pakan di KWI ... 39

13. Penyimpanan Obat-obatan di KWI ... 40

14. Pembersihan Sapi di KWI ... 42

15. Pemerahan di KWI ... 42

16. Lokasi dan Bangunan Unit Pengolahan ... 49

17. Saluran Pembuangan ... 50

18. Pengendalian Hama ... 51

19. Fasilitas Pabrik ... 55

20. Tempat Sampah dengan Pijakan ... 56

21. Penampungan Air ... 59

22. Freezer ... 62

23. Mesin Pengemas ... 63

24. Retail Produk, Motor Roda Tiga untuk Pendistribusian Produk, Cool Box ... 72

25. Diagram Alir Yoghurt ... 91


(13)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perhitungan Penilaian Aplikasi GFP ... 117

2. Denah Peternakan Eco Farm ... 118

3. Denah Koperasi Wirausaha Indonesia ... 119

4. Check List GFP ... 120

5. Denah PT D-Farm Agriprima ... 123

6. Struktur Organisasi PT D-Farm Agriprima ... 124

7. Perhitungan Penilaian Aplikasi SSOP ... 125

8. Recording Produk ... 128

9. Log Book Gula ... 128

10. Log Book Produksi ... 128

11. Log Book Pemanasan Susu ... 129

12. Log Book Pengujian Susu ... 129

13. Log Book Pengujian Yoghurt ... 130

14. Recording Sanitasi Ruangan ... 130

15. Log Book Uji Kualitas Air ... 131

16. Log Book Penerimaan Susu ... 132

17. Contoh Check List GMP ... 133

18. Contoh Check List SSOP ... 144

19. Contoh Penyusunan Tim HACCP ... 147


(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil ternak perah berupa susu memiliki komponen penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia diantaranya yaitu protein, lemak, mineral dan vitamin. Komponen-komponen yang terdapat dalam susu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, yang sering bertanggung jawab terhadap kerusakan susu. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan dalam pengolahan susu untuk mempertahankan nilai gizi dan memperpanjang umur simpannya adalah melalui proses fermentasi dengan salah satu produknya yaitu yoghurt. Produk olahan susu fermentasi berupa yoghurt merupakan sekarang ini semakin banyak beredar di pasaran dan digemari konsumen dengan alasan adalah manfaatnya untuk meningkatkan kesehatan tubuh. Proses fermentasi selain memperpanjang umur simpan produk, juga meningkatkan kualitas gizi produk dan menyediakan nutrisi yang mudah diserap oleh tubuh, karena komponen-komponen tersebut tersedia dalam bentuk sederhana sebagai hasil dari aktivitas metabolisme kultur starter.

Kualitas yoghurt dipengaruhi oleh bahan baku utama yaitu susu dan kultur starter, serta bahan penunjangnya yang dapat berupa pemanis, pewarna dan perasa. Aplikasi Good Farming Practices (GFP) dalam peternakan sapi perah akan menentukan kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan. Direktorat Jenderal Peternakan (2008) telah mensyaratkan aplikasi Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practices (GHP) yaitu menerapkan cara beternak yang baik, dimulai dari manajemen pemeliharaan, memperhatikan pemberian pakan, memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan ternak, memperhatikan higinitas dan sanitasi ternak, memperhatikan lingkungan kandang dan ternaknya, serta melakukan identifikasi dan registrasi ternak. Pada proses pemerahan aplikasi Good Milking Practices (GMiP) sangat penting diterapkan untuk menjaga kualitas susu.

Aplikasi Good Manufacturing Practices (GMP) bertujuan memberikan jaminan terhadap keamanan pangan pada produk akhir yang menjadi tuntutan utama konsumen terhadap produsen. Penerapan GMP dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) selama proses pengolahan, merupakan persyaratan yang harus dilakukan produsen untuk menghasilkan produk aman, sehat, utuh dan halal. Industri


(15)

2 pengolahan yoghurt harus memperhatikan pula aplikasi GFP, GHP, GMP dan SSOP untuk menjamin keamanan produk yang dihasilkan from farm to table.

Unit Teaching Farm Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima yang berlokasi di Fakultas Peternakan IPB, merupakan unit pengolahan pangan yang menghasilkan produk olahan dengan bahan utamanya berasal dari susu. Skala usaha pada pengolahan ini tergolong cukup besar dengan jumlah produksi susu yang diolah minimal 100 liter/hari, sehingga harus memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan guna memenuhi standar keamanan pangan. Penerapan GMP dan SSOP oleh unit pengolahan akan menjamin keamanan pangan dari produk yang dihasilkan. Evaluasi terhadap penerapan GMP dan SSOP akan lebih meyakinkan masyarakat sebagai konsumen untuk membuktikan bahwa hasil produk dari unit pengolahan di PT D-Farm Agriprima ini terjaga keamanannya dan sesuai ketentuan standar yang berlaku.

Tujuan Penelitian

Tujuan kegiatan magang dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah melakukan kajian terhadap penerapan GFP, GHP, GMP dan SSOP dimulai dari peternakan sapi perah sebagai pemasok susu segar hingga unit pengolahan yoghurt serta penyusunan HACCP plan di PT D-Farm Agriprima.


(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Good Farming Practices (GFP)

Good Farming Practices (GFP) menurut Menteri Pertanian (2010) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara budidaya tumbuhan/ternak yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman dan layak dikonsumsi. Department of Agriculture, Food and Rural Development Irlandia (2001) menyatakan bahwa GFP juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku di lingkungan, higien atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi dan registrasi ternak serta kesehatan ternak. Aspek-aspek utama dalam GFP yaitu manajemen nutrisi, manajemen lahan rumput, perlindungan sungai dan sumber air, pemeliharaan habitat liar, pemeliharaan batas peternakan, penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berhati-hati, perlindungan situs-situs bersejarah, pemeliharaan penampakan visual peternakan dan lingkungannya, pemeliharaan catatan peternakan, kesejahteraan ternak, hygiene atau sanitasi, tidak menggunakan bahan yang dilarang dan penggunaan obat hewan yang bertanggung jawab serta menekankan pentingnya pengetahuan peternak tentang GFP.

Menurut Office International des Epizooties atau OIE (2006) terdapat enam aspek penting dalam peternakan sapi perah yang harus dilaksanakan yaitu memperhatikan bangunan dan fasilitas lain, daerah sekitar dan kontrol terhadap lingkungan, kondisi kesehatan ternak, pakan ternak, air untuk ternak, obat-obat hewan dan manajemen peternakan. International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang aman dari suatu peternakana sapi perah, maka terdapat lima bagian besar yang perlu diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan ternak, kesejahteraan ternak dan lingkungan peternakan.

Good Milking Practices (GMiP)dan Good Hygienie Practices (GHP) IDF/FAO (2004) menyatakan bahwa susu harus diperah dan disimpan dalam kondisi yang higienis. Peralatan yang digunakan untuk pemerah susu harus tersedia dan dirawat dengan baik. Pemerahan adalah aktivitas yang terpenting dalam peternakan sapi perah. Konsumen menuntut standar kualitas yang tinggi, sehingga


(17)

4 tujuan manajemen pemerahan adalah untuk meminimalisasi kontaminasi fisik, kimia, dan mikrobiologi. Manajemen pemerahan hendaknya meliputi semua aspek dari proses pemerahan secara cepat dan efektif sekaligus memastikan kesehatan sapi dan kualitas susunya. Konsistensi pelaksanaan prosedur pemerahan yang baik adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan Good Agricultural Practices (GAP) untuk pemerahan. Good Agricultural Practices merupakan petunjuk penting beserta deskripsinya untuk memastikan pemerahan dan penyimpanan susu dilakukan dalam kondisi yang higienis dan peralatan yang digunakan dalam pemerahan dan penyimpanan susu harus dalam kondisi yang terawat baik.

International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menjelaskan bahwa tujuan GAP untuk pemerahan yaitu (a) memastikan pemerahan yang rutin dan tidak menyebabkan cedera pada sapi atau menambah kontaminasi pada susu, (b) memastikan pemerahan dalam kondisi yang higienis dan (c) memastikan susu ditangani dengan baik setelah proses pemerahan. Pemerahan harus dipastikan dalam kondisi yang higienis, yaitu dengan menjaga kandang dan lingkungannya selalu bersih setiap saat, memastikan terjaganya kebersihan di area pemerahan dan memastikan pemerah mengikuti aturan dasar sanitasi.

Good Manufacturing Practices (GMP)

Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan dan tuntutan konsumen (Taheer, 2005). Pedoman GMP atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) menurut Menteri Kesehatan No.23/MENKES/SK/1978 mencakup lokasi pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal, penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, kemasan dan transportasi.

1. Lokasi Pabrik. Berada pada lokasi yang memiliki kemudahan akses jalan masuk, prasarana jalan yang memadai, jauh dari pemukiman penduduk, terbebas dari pencemaran serta memiliki pintu masuk dan keluar yang terpisah. Cemaran yang dimaksud dapat berasal dari polusi, hama,


(18)

5 pengolahan limbah serta sistem pembuangan yang tidak berfungsi dengan baik.

2. Bangunan. Konstruksi, desain, tata ruang dan bahan baku dibuat berdasarkan syarat mutu dan teknik perencanaan pembuatan bangunan yang berlaku sesuai dengan jenis produknya. Bahan baku berasal dari bahan yang mudah dibersihkan, dipelihara dan dilakukan sanitasi serta tidak bersifat toksik. 3. Produk akhir. Produk akhir mengalami uji-uji secara kimia, fisik dan

mikrobiologi sebelum dipasarkan.

4. Peralatan pengolahan. Bahan baku peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan harus dibuat memenuhi standar baik teknik, mutu dan higienis, seperti bersifat tidak toksik, tahan karat, kuat, tidak menyerap air, tidak mengelupas, mudah dipelihara, dibersihkan dan dilakukan sanitasi.

5. Bahan produksi. Bahan baku serta bahan tambahan yang digunakan untuk menghasilkan produk harus sesuai dengan standar mutu yang berlaku serta tidak membahayakan ataupun merugikan kesehatan konsumen. Masing-masing bahan mengalami pengujian secara organoleptik, fisik, kimia, biologi dan mikrobiologi sebelum diproses.

6. Higien personal. Seluruh karyawan yang berhubungan dengan proses produksi menjalani pemeriksaan rutin (minimal enam bulan satu kali), tidak diperbolehkan melakukan kebiasaan yang beresiko meningkatkan kontaminasi terhadap produk seperti: bersandar pada peralatan, mengusap muka, meludah sembarangan serta memakai arloji dan perhiasan selama proses produksi berlangsung.

7. Pengendalian proses pengolahan. Pengendalian proses pengolahan dilakukan dengan cara, pengecekan alur proses secara berkala, penerapan SSOP dalam setiap langkah serta pemeriksaan raw material secara berkala yang dilakukan dengan pengujian secara organoleptik, fisik, kimia dan biologis.

8. Fasilitas sanitasi. Fasilitas sanitasi yang digunakan harus memenuhi syarat mutu yang berlaku, seperti : memiliki sarana air bersih yang mencukupi, saluran yang berbeda untuk proses sanitasi dan produksi, air yang digunakan untuk proses produksi sesuai dengan syarat mutu air minum dan dilakukan pengecekan berkala terhadap fasilitas sanitasi.


(19)

6 9. Label. Label yang tertera pada kemasan harus sesuai dengan syarat yang telah

disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pelabelan makanan kemasan.

10.Keterangan produk. Keterangan produk yang tertera dalam kemasan harus lengkap serta dapat menjelaskan tentang tata cara penyimpanan, kandungan nutrisi, produsen dan tanggal kadaluarsa.

11.Penyimpanan. Proses penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan secara terpisah dengan tujuan untuk meniadakan proses kontaminasi silang antara kedua bahan tersebut, selain itu proses penyimpanan terpisah pun dilakukan pada bahan yang bersifat toksik (bahan kimia) dan bahan pangan serta bahan yang dikemas dengan bahan tidak dikemas.

12.Pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi. Aplikasi pemeliharaan sarana pengolahan dilakukan dengan selalu menerapkan proses sanitasi peralatan pengolahan pada saat sebelum dan setelah proses produksi berlangsung, sedangkan untuk kegiatan sanitasi dilakukan dengan cara mencegah masuknya binatang yang dianggap hama (tikus, serangga, burung dan kecoa) ke dalam ruang produksi, penempatan pest control pada titik yang dianggap kritis serta melakukan monitoring secara berkala dan recording terhadap proses sanitasi yang berlangsung.

13.Laboratorium. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan diharuskan memiliki laboratorium untuk melakukan uji secara fisik, kimia, biologis dan mikrobiologis terhadap bahan yang digunakan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

14.Kemasan. Bahan baku kemasan yang digunakan untuk produk pangan umumnya tidak bersifat toksik dan tidak mencemari atau mengkontaminasi produk sehingga aman untuk kesehatan konsumen

15.Transportasi. Sarana transportasi yang digunakan untuk bahan pangan harus memiliki sifat atau fungsi untuk menjaga bahan pangan agar tidak terkontaminasi dan terlindungi dari kerusakan. Penjagaan bahan baku atau produk dilakukan dengan melengkapi sarana transportasi dengan fasilitas yang dibutuhkan seperti alat pendingin.


(20)

7 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP)

Undang-undang Pangan RI No. 7 tahun 1996 (Kementrian Kesehatan, 1996) menjelaskan bahwa sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan kesehatan manusia. SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisi tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). SSOP menurut FDA (1995) terdiri atas delapan aspek kunci yaitu, (1) keamanan air proses produksi, (2) kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3) pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter, (4) kebersihan pekerja, (5) pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, (6) pelabelan dan penyimpanan yang tepat, (7) pengendalian kesehatan karyawan, (8) pemberantasan hama.

Pengolahan pangan pada umumnya beresiko akan adanya kontaminasi karena penggunaan alat pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan diharuskan mengalami proses sanitasi terlebih dahulu sebelum dan setelah proses produksi berlangsung (Jenie, 1998). Sanitasi alat dan wadah umumnya menggunakan bahan-bahan kimia untuk meminimalisir kandungan mikroba yang terdapat dalam peralatan produksi. Bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan sanitasi peralatan terdiri atas soda kaustik, asam serta alkohol.

Hazard Analysis Critical ControlPoint (HACCP)

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu analisa yang dilakukan terhadap bahan baku, proses dan produk untuk menentukan komponen, kondisi atau tahapan proses yang harus mendapat pengawasan ketat guna menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. HACCP merupakan sistem pengawasan yang bersifat mencegah atau preventif (Fardiaz, 1996). Istilah Critical Control Point (CCP) diidentifikasi dalam HACCP. CCP yaitu semua titik di dalam sistem keamanan pangan yang spesifik yaitu bila terjadi hilangnya kendali akan menyebabkan resiko kesehatan yang besar (Pierson dan Corlett, 1992)


(21)

8 Winarno dan Surono (2004) menyatakan, agar sistem HACCP dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan program pre-requisite, melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan kegiatan lain dalam suatu industri. Prinsip HACCP berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI-01-4852-1998 sesuai Codex terdiri atas tujuh yaitu, a) analisis bahaya dan penetapan kategori bahaya; b) penetapan titik kendali kritis (CCP); c) penetapan batas kritis yang harus dipenuhi setiap CCP yang ditentukan; d) dokumentasi prosedur untuk memantau batas kritis CCP; e) penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi penyimpangan selama pemantaun CCP; f) penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil dan g) penetapan dokumentasi mengenai semua prosedur catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip penerapan.

Susu

Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI No.01-3141-1998 mendefinisikan susu segar sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, tidak mengalami penambahan atau pengurangan suatu komponen apapun dan tidak mengalami pemanasan dengan karakteristik mutu seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Susu yang baik adalah susu yang mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya dan mempunyai cita rasa atau flavour yang baik (Saleh, 2004).

Menurut Rahman et al. (1992) pertumbuhan mikroba pada susu dapat menimbulkan berbagai perubahan karakteristik. Pembentukkan asam, gas, pelendiran, produk alkali serta perubahan cita rasa dan warna merupakan perubahan karakteristik yang sering dijumpai pada susu akibat adanya mikroorganisme. Kandungan gizi yang terdapat dalam susu yaitu, laktosa yang berfungsi sebagai sumber energi, kalsium yang membantu dalam pembentukan massa tulang, lemak yang menghasilkan energi serta vitamin A, D, E dan K, protein yang kaya akan kandungan lisin, niasin dan ferrum, serta mineral-mineral lain seperti magnesium, seng dan potassium (Susilorini dan Sawitri, 2006).


(22)

9 Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-1998)

No. Karakteristik Syarat

1. Berat jenis (pada suhu 27,5o C minimal) 1,028 g/cm3

2. Kadar lemak Minimum 3,0%

3. Kadar bahan kering tanpa lemak Minimum 8,0%

4. Kadar protein Minimum 2,7%

5. Warna, bau, rasa dan kekentalan Tidak ada perubahan

6. Derajat keasaman 6 – 7o SH

7. Uji alkohol (70%) Negatif

8. Uji katalase maksimal 3 cc

9. Angka refraksi 36-38

10. Angka reduktase 2-5 jam

11. Cemaran mikroba maksimal

• Total kuman

Salmonella

E. coli (patogen)

Coliform

Streptococcus group B

Staphylococcus aureus

1x106 CFU/ml Negatif Negatif 20/ml 4x102/ml 4x105/ml 12 Jumlah sel radang ambing maksimal 4x 105/ml 13 Cemaran logam berbahaya maksimal

• Timbal (Pb)

• Seng (Zn)

• Merkuri (Hg)

• Arsen (As)

0,3 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm

14 Residu

• Antibiotika

• Pestisida/insektisida

Sesuai dengan aturan yang berlaku

15 Kotoran dan benda asing Negatif

16 Uji pemalsuan Negatif

17 Titik beku -0,5200C s.d -0,5600C

18 Uji Peroksidase Positif


(23)

10 Yoghurt

Yoghurt didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasikan dengan bakteri sampai diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (BSN, 1992 dalam SNI 01-2981-1992). Yoghurt dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Berdasarkan flavornya, yoghurt dibedakan menjadi plain yoghurt atau natural yoghurt dan flavored yoghurt atau fruit yoghurt. Plain yoghurt adalah yoghurt yang tidak ditambah flavor lain dari luar sehingga memiliki rasa asam yang sangat tajam sedangkan flavored yoghurt adalah yoghurt yang ditambah dengan flavor (Rahman et al., 1992).

Berdasarkan pembuatannya, yoghurt dibagi menjadi dua tipe, yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Keduanya berbeda dari cara pembuatan dan struktur fisik koagulum yang terbentuk. Tipe set yoghurt adalah yoghurt yang diinkubasi dengan kultur dalam kemasan-kemasan individual yang siap dijual sehingga gel atau koagulum yang terbentuk berasal dari aktivitas kultur starter itu sendiri, sedangkan tipe stirred yoghurt adalah yoghurt yang difermentasi dengan kultur pada fermentor besar. Koagulum yang terbentuk kemudian dipecah agar produk mudah dialirkan ke dalam kemasan-kemasan individual. Gel atau koagulum yang terbentuk bukan hanya hasil dari aktivitas starter, melainkan juga dari penambahan stabilizer (Rahman et al., 1992).

Susu yang mengalami proses fermentasi dan dikenal sebagai yoghurt, memiliki cita rasa asam yang khas disebabkan aktivitas bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Senyawa kimia yang dihasilkan yakni asam laktat, asetal dehida, asam asetat dan bahan lain yang mudah menguap. Susu yang difermentasi bukan hanya yang berasal dari sapi, tetapi juga susu kambing dan susu kerbau (Winarno, 2007). Kategori produk yoghurt berdasarkan kandungan lemaknya dibedakan menjadi tiga kelompok. Yoghurt dengan kadar lemak rendah bila mengandung lemak susu 0,5-2,0% dan yoghurt tanpa lemak bisa mengandung lemak susu kurang dari 0,5%. Ketiga kategori yoghurt tersebut, jumlah padatan susu tanpa lemak minimum 8,25%. Syarat mutu yoghurt menurut BSN (1992) dapat


(24)

11 Tabel 2. Syarat Mutu Yoghurt (SNI 01-2981-2009)

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Keadaan

Penampakan Cairan kental/semi padat

Bau Normal/khas

Rasa Khas asam

Konsistensi Homogen

Lemak (% b/b) Maksimum 3,8

Berat kering tanpa lemak (BKTL) (% b/b) Min 8,2

Protein (% b/b) Min 3,5

Abu (% b/b) Maks 1,0

Jumlah asam (dihitung sebagai laktat) (% b/b) 0,5-2,0 Cemaran logam

Timbal (Pb) (mg/kg) Maksimum 0,3

Tembaga (Cu) (mg/kg) Maksimum 20

Timah (Sn) (mg/kg) Maksimum 40

Raksa (hg) (mg/kg) Maksimum0,03

Arsen (As) (mg/kg) Maksimum 0,1

Cemaran mikroba

a. Koliform (APM/g) Maks 10

b. E. coli < 3

c. Salmonella Negatif/gram

Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (2009)

Pembuatan yoghurt secara umum meliputi pemanasan (pasteurisasi) susu, pendinginan, inokulasi dan inkubasi. Tujuan pemanasan susu adalah untuk menurunkan populasi mikroba patogen dalam susu dan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan starter yoghurt, mengurangi kadar air susu sehingga diperoleh yoghurt dengan tekstur yang kompak (Kuntarso, 2007). Selain itu pemanasan susu bertujuan untuk denaturasi protein whey (albumin dan globulin) agar yoghurt yang dihasilkan menjadi lebih kental, mengurangi jumlah oksigen dalam susu agar kultur yoghurt yang secara normal yang bersifat mikroaerofilik dapat tumbuh dengan baik (Tamime dan Robinson, 1999). Rekomendasi suhu pemasakan susu yaitu 90oC selama 15-30 menit (Buckle et al., 2007). Tahap selanjutnya yaitu proses


(25)

12 pendinginan susu agar suhu susu optimum untuk pertumbuhan kultur starter yaitu 43oC (Buckle et al., 2007). Inokulasi kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus dilakukan sebanyak 2% dan dibiarkan pada suhu 43oC selama 3 jam hingga tercapai keasaman yang dikehendaki yaitu 0,85%-0,90% asam laktat dan pH 4,0-4,5, kemudian produk didinginkan sampai 5oC untuk dikemas (Buckle et al., 2007).

Produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat, sehingga pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat terhambat (Sumedi, 2004). Kelompok bakteri yang termasuk bakteri asam laktat adalah famili Lactobacillaceae, yaitu Lactobacillus dan famili Streptocaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus dan Pediococcus (Fardiaz, 1992). Dua peranan utama kultur starter selama fermentasi yoghurt adalah menghasilkan asam laktat dan senyawa karbonil, asetalaldehida, aseton, asetoin dan diasetil (Marcon, 1994).

Probiotik dapat diperoleh melalui konsumsi produk olahan susu fermentasi. Mikroba probiotik dalam susu fermentasi terdiri dari genus Lactobacillus, Pediococcus, Bifidobacterium, Lactococcus, Enterococcus dan Saccharomyces. Bakteri probiotik yang digunakan dalam produk olahan pangan harus mempertimbangkan aspek keamanan (Sudono, 2004). Probiotik itu sendiri adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang cukup akan memberikan manfaat bagi inangnya (FAO, 2001). Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikrobiota usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Hoier (1999) menyatakan bahwa ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk penentuan starin mikroba probiotik, yaitu: (1) mampu melakukan aktivitas dalam memfermentasikan susu dalam waktu yang relatif cepat, (2) mampu menggandakan diri, (3) tahan terhadap suasana asam sehingga mampu dan bertahan dalam saluran pencernaan, (4) menghasilkan produk khir yang dapat diterima konsumen dan (5) mempunyai stabilitas yang tinggi selama proses fermentasi, penyimpanan dan distribusi.

Kerusakan Yoghurt

Kerusakan fisik yang terjadi umumnya adalah sineresis. Sineresis adalah pemisahan whey protein bebas ke permukaan yoghurt (Robinson, 1993). Sineresis


(26)

13 dapat disebabkan oleh padatan bukan lemak atau lemak yang rendah, mineral susu yang kurang dan tidak cukupnya proses pemanasan. Sineresis dapat terjadi pada saat inkubasi. Robinson (1993) menyatakan bahwa sineresis juga dapat terjadi akibat kurangnya pendinginan setelah inkubasi pada suhu 420C. Kerusakan kimia yang terjadi pada yoghurt umumnya karena aktivitas kultur yoghurt yang dapat terhambat oleh adanya residu antibiotik dalam susu. Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus terhambat dengan adanya penisilin 0,005 IU/ml, auromycin 0,061 IU/ml dan streptomycin 0,38 IU/ml (Rahman et al., 1992).

Kerusakan yoghurt umumnya disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme, khususnya adalah kapang dan khamir yang relatif tahan asam. Mikroba perusak seperti kapang dan khamir umumnya kurang sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga masih mungkin tumbuh dan berkembang di dalam yoghurt (Rahman et al., 1992). Kontaminasi mikroorganisme biasanya disebabkan oleh kontaminasi silang dari udara pada ruang pengemasan, peralatan untuk pengisian, buah-buahan atau sirup yang ditambahkan dan kontaminasi pengemas.

Yoghurt yang telah dipasarkan menurut Rahman et al., (1992) tidak boleh mengandung khamir lebih dari 100 sel/ml dan bila jumlah khamir mencapai 1000 sel/ml atau lebih maka menunjukkan kemungkinan terjadinya resiko kerusakan yang serius. Beberapa jenis khamir yang sering mengkontaminasi yoghurt adalah Kluyveromyces fragilis, Saccharomyces cereviceae dan Kluyveromyces lactis. Pertumbuhan kapang pada yoghurt biasanya lebih lambat dari khamir dan dapat dilihat secara visual pada permukaannya. Beberapa jenis kapang yang seing mengkontaminasi diantaranya Mucor, Aspergillus atau Alternaria. Jumlah maksimum kapang yang terdapat dalam yoghurt tidak boleh lebih dari 10 koloni/ml (Robinson, 1993).


(27)

14 METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan magang ini dilaksanakan di unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, peternakan sapi perah Eco Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI). Kegiatan magang ini dilaksanakan pada bulan April hingga November 2010. Pelaksanaan magang di Eco Farm pada bulan April 2010, PT D-Farm Agriprima pada bulan Mei hingga Juli 2010, untuk pelaksanaan magang di KWI pada bulan Agustus 2010, bulan September hingga November 2010 melakukan pengujian kualitas.

Materi

Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan yaitu bahan baku, berupa bahan tambahan dan bahan pendukung dalam proses pembuatan yoghurt. Bahan yang digunakan dalam proses pengujian kualitas yaitu susu, yoghurt dengan berbagai rasa, serta bahan kimia meliputi fenolftalein 1%, kalium oksalat, formalin 4%, aquades, air hangat, larutan buffer pH 7, larutan buffer pH 4, larutan NaOH 0,1N dan 0,25N, larutan methilen biru, asam belerang 91-92%, amilalkohol, zink sulfat 5%, barium hidroxide 4,5%, fenol 1%, picrid acid 1%, sodium disulfat 4,5%, MgNO3, 6H2O 10%, HNO3 pekat, HCl 6 N, KCl, H2SO4 18N, natrium molibdat 2%, H2O2 dan media yang digunakan yaitu Eosin Metylen Blue Agar (EMBA), Violet Red Bile Agar (VRBA), Salmonella Shigella Agar (SSA), Plate Count Agar (PCA) dan Buffer Pepton Water (BPW).

Instrumen yang digunakan dalam magang yaitu form penilaian dan alat tulis untuk memperoleh data. Pengujian kualitas bahan baku susu dan yoghurt menggunakan alat labu Erlenmeyer, gun tester, laktodensimeter, milkotester, titrasi buret, pH meter, gelas piala, rotational viscometer, pipet, inkubator, corong, gelas ukur, sumbat karet, labu butirometer, pipet volumetrik, sentrifuse, timbangan analitik, tabung reaksi ulir, rak tabung reaksi, mikro pipet dan spektrofotometer.

Prosedur

Pelaksanaan magang dilakukan di unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima, peternakan sapi perah Eco Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian


(28)

15 Bogor dan pembibitan sapi perah Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI), dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan produksi, melakukan observasi lapang, wawancara dan pengumpulan data. Partisipasi aktif dalam kegiatan pengolahan, dimulai dari penerimaan susu, bahan tambahan dan bahan pendukung lainnya, pengujian kualitas baik fisik, kimia dan mikrobiologi pada bahan baku yaitu susu, pembuatan yoghurt dan pengujian akhir pada produk yang dihasilkan yaitu yoghurt sebelum dikemas dan yang sudah dalam kemasan meliputi pengujian fisik, kimia dan mikrobiologi.

Kajian GFP dan GHP dilakukan di peternakan sapi perah Eco Farm dan KWI. Kajian ini berhubungan dengan pengendalian standar mutu tata laksana peternakan sapi perah sebagai pemasok susu. GFP yang dikaji ini meliputi prosedur baku yang menyangkut tata laksana beternak yang baik dan benar untuk menghasilkan kualitas produk yang tinggi dari peternakan tersebut sesuai dengan aturan Dirjen Peternakan (2008).

GHP yang dikaji adalah GMiP yang dilakukan di peternakan sapi perah Eco Farm dan KWI, yaitu berkaitan dengan tata cara pemerahan yang baik dan benar. Wawancara dan pengamatan di lapangan bertujuan untuk mengevaluasi aspek-aspek GFP dan GHP pada peternakan sapi perah. Pengambilan data dilaksanakan pada pekerjaan di kandang, sehingga dapat dilihat secara langsung kondisi nyata di lapangan tersebut. Hasil evaluasi aspek GFP yang diperoleh disusun dan diberi skor berdasarkan penilaian aplikasi di lapangan. Puspitasari (2009) menyatakan bahwa persentase aplikasi masing-masing aspek diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

% aplikasi aspek X = Nilai total aplikasi aspek X x 100% Nilai sempurna aspek X

Hasil penilaian digunakan untuk menentukan kategori berdasarkan penerapan GFP yang ada dengan menggunakan standar sebagai berikut :

Nilai Kategori Penerapan GFP

0-25 Sangat kurang

> 25-50 Kurang

> 50-75 Cukup

> 75-100 Baik


(29)

16 Penerapan HACCP yang diamati adalah kajian pelaksanaan pre-requisites yaitu SSOP dan GMP dengan cara melakukan pengamatan langsung pada saat proses produksi berlangsung. Pengisian form checklist yang digunakan untuk GMP adalah daftar pemeriksaan CPMB sarana produksi pangan. Hasil evaluasi aspek GMP dianalisis berdasarkan penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan atau deficiency dikategorikan menjadi penyimpangan minor (MN), penyimpangan major (MJ), penyimpangan serius (SR) dan penyimpangan kritis (KT). Hasil penyimpangan yang diperoleh, kemudian dapat untuk menententukan tingkat (rating) unit pengolahan. Standar penilaian yang digunakan untuk GMP adalah SK MENKES Nomor 23/Menkes/SK/I/1978 tentang Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). Penilaian kelayakan GMP melalui scoring pada setiap aspek (BPOM, 2003). Hasil penilaian digunakan untuk menentukan tingkat (rating) kelayakan sarana produksi pangan berdasarkan penyimpangan (deficiency/defect) yang ada dengan menggunakan standar sebagai berikut :

Tingkat Rating Jumlah Penyimpangan

MN (Minor) MJ (Mayor) SR (Serius) KT (Kritis)

A (Baik Sekali) 0-6 0-5 0 0

B (Baik) > 7 6-10 1-2 0

Atau Tb > 11 0 0

C (Kurang) Tb > 11 3-4 0

D (Jelek) Tb Tb > 5 > 1

Sumber : BPOM (2002)

SSOP menurut Winarno (2004) digunakan untuk pembanding proses sanitasi yang diterapkan dari suatu unit (PT D-Farm Agriprima) yang meliputi delapan kunci persyaratan sanitasi. Penilaian kelayakan SSOP dilakukan melalui scoring terhadap semua aspek. Hasil evaluasi aspek SSOP dianalisis dengan suatu rumus untuk mendapatkan persentase kesesuaian antara penerapan GMP dengan Surat Keputusan dari Menteri Kesehatan Nomor 23/Menkes/SK/I/1978. Rumus yang digunakan yaitu sebagai berikut :


(30)

17 Keterangan:

Y = nilai total penyimpangan

n0 = jumlah aspek yang memiliki nilai 0 dalam form check list n1 = jumlah aspek yang memiliki nilai 1 dalam form check list n2 = jumlah aspek yang memiliki nilai 2 dalam form check list n3 = jumlah aspek yang memiliki nilai 3 dalam form check list n4 = jumlah aspek yang memiliki nilai 4 dalam form check list Penilaian 0 = penyimpangan terjadi 0% (memenuhi)

1 = penyimpangan terjadi 1-25% (cukup memenuhi) 2 = penyimpangan terjadi 26-50% (kurang memenuhi) 3 = penyimpangan terjadi 50-75% (sangat kurang memenuhi) 4 = penyimpangan terjadi >75% (tidak memenuhi)

Nilai total penyimpangan yang didapat (Y) disesuaikan dengan skala persentase yang telah ditentukan berdasar nilai sempurna di setiap poin kesesuaian untuk mendapatkan klasifikasi aplikasi di perusahaan yaitu:

(n x 0) = aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 100% (memenuhi)

((n x 0)+1) s/d(n x 1) = aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 75%

(cukup memenuhi)

((n x 1)+1) s/d(n x 2) = aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 50%

(kurang memenuhi)

((n x 2)+1) s/d(n x 3) = aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 25% (sangat kurang memenuhi)

((n x 3)+1) s/d(n x 4) = aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar <25% (tidak memenuhi)

Keterangan: n = jumlah total aspek yang diamati pada sub bab dalam form check list Penyusunan HACCP plan yang dilakukan meliputi kebijakan mutu perusahaan, organisasi tim HACCP, deskripsi produk, diagram alir proses produksi, analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, penetapan tindakan pemantauan (monitoring) dan penentuan tindakan koreksi, penetapan prosedur


(31)

18 verifikasi serta penetapan dokumentasi dan rekaman. Penyusunan HACCP plan mengacu pada Winarno dan Surono (2004).

Pengujian yang dilakukan pada susu segar berdasarkan SNI (BSN, 1999) yaitu warna, bau, rasa, alkohol, berat jenis, derajat keasaman, protein, lemak, pengujian cemaran mikroba (TPC, Salmonella, Escherichia coli) dan pengujian cemaran logam (timbal dan seng). Pengujian yang dilakukan pada yoghurt berdasarkan SNI No 01-2981-2009 yaitu pengujian bau, rasa, warna, pH, total asam tertitrasi, viskositas, derajat keasaman, protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, pengujian cemaran mikroba (Coliform, Salmonella,) dan pengujian cemaran logam (Timbal, Tembaga, Timah, Raksa) (BSN, 2009).

Uji Berat Jenis (BSN, 1998). Susu dihomogenkan secara sempurna, kemudian sebanyak 500 ml dimasukkan ke dalam gelas ukur. Laktodensimeter dengan hati-hati dicelupkan ke dalam susu, dibiarkan timbul dan ditunggu sampai diam. Skala dan suhu susu yang ditunjukkan laktodensimeter tersebut dibaca dan hasilnya disetarakan dengan tabel penyesuaian berat jenis susu yang diuji pada temperatur 27,50C.

Uji Alkohol (BSN, 1998). Susu dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5 cc dan ditambahkan alkohol 70% sebanyak 5 cc, kemudian dikocok pelan-pelan. Jika terdapat butir-butir pada susu maka dinilai positif.

Uji Derajat Keasaman (BSN, 1998). Susu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer sebanyak 10 ml. Kedalam labu tersebut ditambahkan 2-3 tetes larutan fenolftalin 2% di dalam larutan 96% alkohol. Salah satu labu Erlenmeyer tersebut dititrasi dengan larutan NaOH 0,25N hingga timbul warna merah muda yang tidak lenyap jika dikocok. Susu yang terdapat dalam labu Erlenmeyer lain sebagai pembanding, kemudian dicatat banyaknya NaOH 0,25N yang terpakai.

Uji Kadar Lemak Metode Gerber (BSN, 1998). Susu sebanyak 10,75 ml, asam belerang sebanyak 10 ml dan amilalkohol sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam butirometer. Butirometer ditutup dengan sumbat karet dan dikocok perlahan-lahan dengan membentuk angka delapan hingga zat-zat tercampur secara homogen. Butirometer tersebut dimasukkan dalam penangas air (65oC-70oC) selama 5 menit.


(32)

19 Dimasukkan dalam sentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 1200 putaran/menit. Dimasukkan kembali dalam penangas air (65oC-70oC) selama 5 menit.

Uji Bahan Kering (BSN, 2009). Dapat dihitung dengan menggunakan rumus Fleischman, dengan rumus sebagai berikut.

Bahan Kering = 1,23 L + 2,71 100(B.J – 1) ; B.J

L kadar lemak (%) dan BJ berat jenis pada 27,5 oC

Uji Bahan Kering Tanpa Lemak (BSN, 2009). Dapat dihitung dengan mengurangi kadar bahan kering dengan kadar lemak.

Total Asam Tertitrasi (Nielsen, 2003). Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan indikator fenolftalein 1% sebanyak 2-3 tetes. Dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N. Titrasi dihentikan jika sampel telah mengalami perubahan warna menjadi merah muda pertama kalinya dan tidak berubah kembali jika telah dihomogenkan. Banyaknya NaOH yang digunakan dicatat, kemudian persentase asam laktat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% Asam Laktat = ml NaOH x 0,009 x N NaOH x 100 Bobot sampel

Pengujian Kadar Protein dengan Titrasi Formol (AOAC, 2007). Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan dalam labu Erlenmeyer, ditambahkan fenolftalein 1% sebanyak 2-3 tetes, lalu ditambahkan kalium oksalat 0,4 ml dan dihomogenkan. Jika telah homogen maka dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna merah muda. Banyaknya NaOH yang digunakan tidak dicatat. Ditambahkan juga 2 ml formalin 40%, hingga warna merah muda hilang. Dilakukan titrasi kembali dengan NaOH 0,1N dan dicatat banyaknya NaOH yang terpakai (p ml). Titrasi blanko dibuat dengan mencampur 10 ml aquades, 2 tetes fenolftalein 1%, 0,4 ml kalium oksalat dan 2 ml formalin 40%. Campuran bahan tersebut dititrasi dengan larutan NaOH 0,1N hingga warna merah muda terbentuk dan dicatat banyaknya NaOH yang terpakai (q ml). Kadar protein dapat dihitung dengan rumus :


(33)

20 Total Plate Count (BSN, 1992). Pemupukan menggunakan media Plate Count Agar (PCA) Pengenceran dilakukan dengan cara pengambilan sampel sebanyak 1 ml dimasukkan dalam 9 ml Buffer Pepton Water (BPW) untuk mendapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran seperseratus (P-2) hingga diperoleh P-8. Sebanyak 1 ml dari pengenceran yang dikehendaki (P-5 sampai P-8) diambil/diteteskan dengan pipet ke dalam cawan Petri steril, kemudian ditambahkan media PCA yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1oC ) dituangkan ke dalam cawan Petri steril tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan Petri digerakkan dengan arah membentuk arah angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 37 ± 1oC selama 24-48 jam. Jumlah bakteri ditentukan dengan metode hitungan cawan dan untuk melaporkan hasil sesuai dengan Standard Plate Count (SPC).

Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer

Jumlah Bakteri Koliform (DSN, 1998). Sampel dipipet sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam 9 ml Buffer Pepton Water (BPW) sebagai pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran ini dilakukan hingga (P-3). Pengenceran P-1 sampai P-3 dipipet ke dalam cawan Petri steril, kemudian ditambahkan sebanyak 12 ml media Violet Red Bile Agar (VRBA) yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1oC) ke dalam cawan Petri steril tersebut. Selanjutnya dihomogenkan dengan cara menggerakkan cawan Petri membentuk arah angka delapan. Bila sudah membeku pada permukaannya dilapisi (over lay) dengan medium yang sama tetapi lebih tipis (±3 ml), lalu dibiarkan lagi sampai agar membeku. Cawan Petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 ± 1oC selama 24-48 jam.

Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer

Analisis Kuantitatif Total Escherichia coli (DSN, 1992). Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi 90 ml larutan Buffer Pepton Water (BPW) steril. Campuran dihomogenkan dan didapatkan pengenceran satu per sepuluh (P-1). Selanjutnya dari P-1 dipipet sebanyak 1 ml dan dilarutkan ke dalam 9 ml larutan pengencer BPW untuk memperoleh P-2, demikian seterusnya dengan cara yang sama dilakukan sampai diperoleh P-3. Pemupukan dilakukan terhadap semua


(34)

21 pengenceran yang telah dilakukan (P0 sampai P-3) dengan cara sebanyak 1 ml pengenceran dipipet ke dalam cawan Petri secara duplo dan ditambahkan medium agar EMBA sebanyak 12-15 ml. Campuran dihomogenkan dengan cara digerakkan membentuk angka delapan diatas bidang datar dan dibiarkan hingga agar-agar mengeras. Cawan Petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC dengan posisi terbalik. Penghitungan koloni yang tumbuh dilakukan setelah inkubasi 24 jam sampai 48 jam. Cara perhitungan jumlah koloni sebagai berikut:

Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer.

Analisis Kuantitatif Total Salmonella (APHA, 1992). Analisa pendugaan Salmonella dilakukan terlebih dahulu melalui tahap perbanyakan dengan medium Selenite Sistein Broth (SCB) kemudian sebanyak 10 ml sampel dipipet secara aseptis ke dalam 90 ml SCB, lalu diinkubasi selama 12-16 jam. Proses selanjutnya adalah penggoresan pada cawan Petri steril yang telah berisi medium Salmonella Shigella Agar (SSA), kemudian cawan tersebut diinkubasi pada suhu 30oC selama satu hari. Jika terdapat koloni bening yang terpisah dengan atau tanpa bintik hitam, maka dilakukan pengujian lebih lanjut yang dilakukan adalah uji Triple Sugar Iron (TSI) dan Sugar Indole Motility (SIM).

Penetapan Cemaran Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) (BSN, 2009). Sampel sebanyak 5-10 g ditimbang ke dalam cawan porselin/kuarsa/platina (m). Cawan yang berisi sampel dimasukkan dalam penangas listrik dan dipanaskan secara bertahap hingga sampel menjadi arang dan tidak berasap lagi (ditambahkan juga 10 ml MgNO3, 6H2O 10% dalam alkohol untuk mempercepat pengabuan). Pengabuan dilakukan dalam tanur (500 ± 50) oC hingga abu berwarna putih, bebas dari karbon. Apabila abu belum bebas dari karbon yang ditandai dengan warna keabu-abuan, dibasahkan terlebih dahulu dengan beberapa tetes air dan ditambahkan HNO3 pekat kira-kira 0,5-3 ml. Cawan dikeringkan diatas penangas listrik dan dimasukkan kembali ke dalam tanur pada suhu 500oC dan dilanjutkan pemanasan hingga abu berwarna putih. Dilarutkan abu yang sudah berwarna putih dalam 5 ml HCl 6 N atau 5 ml HNO3 1 N sambil dipanaskan di atas penangas listrik atau penangas air selama 2-3 menit dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditambahkan air suling (v) hingga mencapai tanda garis. Larutan blanko disiapkan dengan


(35)

22 penambahan pereaksi, lalu dibaca absorbans larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan SSA pada panjang gelombang maksimum sekitar 324 nm untuk Cu dan 283 nm untuk Pb. Kurva kalibrasi dibuat antara konsentrasi logam (µg/ml) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y. Hasil pembacaan larutan sampel diplotkan terhadap kurva kalibrasi dan dihitung kandungan logam dalam sampel. Kandungan logam dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

Kandungan logam (mg/kg) = Keterangan :

C adalah konsentrasi logam dari kurva kalibrasi (μg/ml) V adalah volume larutan akhir (ml)

M adalah bobot contoh (g)

Penetapan Cemaran Logam Timah (Sn) (BSN, 2009). Sampel sebanyak 10-20 g sampel ditimbang ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 30 ml HNO3 pekat dan dibiarkan selama 15 menit. Campuran tersebut dipanaskan perlahan dan dihindari terjadinya percikan yang berlebihan. Pemanasan dilakukan hingga volume 3-6 ml atau sampel mulai kering pada bagian bawahnya dan hindari terbentuknya arang, labu Erlenmeyer dikeluarkan dari penangas air dan ditambahkan 25 ml HCl pekat dan dipanaskan selama 15 menit sampai letupan dari uap Cl2 berhenti. Pemanasan ditingkatkan dan dididihkan hingga sisa volume kurang lebih 10-15 ml. Ditambahkan 1,0 ml KCl, didinginkan pada temperatur ruang, ditera dengan air dan disaring. Disiapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi. Absorbans larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan SSA dibaca pada panjang gelombang maksimum 235,5 nm dengan nyala oksidasi N2O-C2H2. Dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi Sn (µg/ml) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y. Hasil pembacaan larutan sampel terhadap kurva kalibrasi disesuaikan dengan standar yang diperoleh. Kandungan Sn dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kandungan Sn (mg/kg) = keterangan :

C adalah konsentrasi logam dari kurva kalibrasi (μg/ml) V adalah volume larutan akhir (ml)


(36)

23 M adalah bobot contoh (g)

Pengujian Raksa (Hg) (BSN, 2009). Sampel 5 g (m) ditimbang ke dalam labu ekstruksi dan ditambahkan 25 ml H2SO4 18 N, 20 ml HNO3 7 N, 1 ml larutan natrium molibdat 2% dan 5 batu didih sampai dengan 6 batu didih. Labu destruksi dihubungkan dengan pendingin dan dipanaskan di atas penangas listrik selama 1 jam, setelah itu dihentikan pemanasan, dibiarkan selama 15 menit, lalu ditambahkan 20 ml HNO3 : HClO4 (1 : 1) melalui pendingin. Aliran air pada pendingin dihentikan dan dipanaskan dengan panas tinggi sehingga timbul uap putih. Pemanasan dilanjutkan selama 10 menit kemudian didinginkan. Air sebanyak 10 ml ditambahkan melalui pendingin dengan hati-hati sambil digoyangkan dan dididihkan lagi selama 10 menit. Pemanas dimatikan dan pendingin dicuci dengan 15 ml air suling sebanyak 3 kali, kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Larutan destruksi sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml secara kuantitatif dan diencerkan dengan air suling sampai tanda garis. Larutan tersebut diambil menggunakan pipet sebanyak 25 ml ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan larutan pengencer sampai tanda garis. Larutan blanko dengan penambahan pereaksi yang sama seperti contoh disiapkan dan ditambahkan larutan pereduksi ke dalam larutan baku kerja Hg, larutan sampel dan larutan blanko pada alat “HVG”. Absorbans larutan baku kerja, larutan sampel dan larutan blanko dapat dibaca menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) tanpa nyala pada panjang gelombang 253,7 nm. Kurva kalibrasi dapat dibuat dengan konsentrasi Hg (μg/ml) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y dan hasil pembacaan larutan sampel diplotkan terhadap kurva kalibrasi. Pengerjaan dilakukaan secara duplo dan kandungan Hg dalam sampel dapat dihitung dengan rumus berikut :

Kandungan Hg (mg/kg) = Keterangan :

C adalah konsentrasi Hg dari kurva kalibrasi (μg/ml) V adalah volume larutan akhir (ml)

M adalah bobot contoh (g) Fp adalah faktor pengenceran


(37)

24 Pengujian Arsen (As). Sebanyak ± 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer ukuran 125 ml atau 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 dan didiamkan pada suhu ruang di ruang asam. Sampel dipanaskan di atas hot plate dengan suhu rendah selama 4-6 jam masih dalam ruang asam, kemudian sampel ditutup dan dibiarkan semalam. Sebanyak 0,4 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam sampel, lalu dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya ± 1 jam. Sampel ditambahkan kembali dengan larutan campuran HClO4 dan HNO3 dengan perbandingan 2:1 sebanyak 2-3 tetes. Sampel masih tetap berada di atas hot plate hingga terjadi perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua kemudian kuning muda. Pemanasan dilanjutkan selama 10-15 menit setelah terjadi perubahan warna. Sampel dipindahkan dari atas hot plate. Sebanyak 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl ditambahkan pada sampel yang telah didinginkan terlebih dahulu. Sampel kembali dipanaskan selama ± 15 menit agar larut dengan baik, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sampel yang mengandung endapan disaring dengan glass wool. Hasil pengabuan basah kemudian dianalisis menggunakan AAS untuk analisis arsen (As).


(38)

25 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Unit Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima Riwayat Perusahaan

PT D-Farm Agriprima adalah unit pengolahan susu yang merupakan unit teaching industry di bawah Bagian Teknologi Hasil Ternak (THT) Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang memiliki kegiatan penanganan dan pengolahan susu segar, pelayanan praktikum, penelitian, kunjungan, pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat. Unit Pengolahan Susu D-Farm memulai kegiatannya sejak kepindahan kampus Fakultas Peternakan IPB ke Darmaga dari Gunung Gede yaitu pada tahun 1994. Lokasi Perusahaan

Lokasi Unit Pengolahan Susu D-Farm untuk menghasilkan produk olahan susu FAPET berada di Jl. Kayu Manis Laboratorium Lapang A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ruangan pabrik terdiri atas ruang penerimaan dan uji kualitas susu, ruang penyimpanan susu, ruang pengolahan, ruang pengemasan, ruang cuci, gudang produk dan bahan produksi, serta terdapat satu buah kamar mandi yang berada di bagian luar pabrik. Pabrik pengolahan mempunyai sarana dan perlengkapan pengolahan untuk menunjang proses produksi berlangsung. Denah lokasi pabrik PT D-Farm Agriprima dapat dilihat pada Lampiran 3.

Aspek Organisasi, Manajemen dan Ketenagakerjaan PT D-Farm Agriprima PT D-Farm Agriprima sebagai operator berbentuk perseroan terbatas dengan status pemodal dalam negeri. PT D-Farm Agriprima sudah memperoleh perizinan sebagai berikut:

1. Akta Notaris Pendirian Perseroan Terbatas “PT D-Farm Agriprima” dari Notaris Ny. Natalia Lini Handayani, SH No.30 tanggal 12 Mei 2009

2. Surat Keterangan Usaha No. 503/23/V/2009 Tanggal 27 Mei 2009 dari Desa Babakan Kecamatan Dramaga

3. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP–Mikro) No. 0411/10-20/Pm/P0/VI/2009 tanggal 22 Juni 2009 dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor


(39)

26 4. Tanda Daftar Industri No. 535.3/006/0007/BPT/2009 tanggal 25 Juni 2009

dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor

5. Tanda Daftar Perusahaan PT No. 10.20.1.15.00419 Tanggal 9 Juli 2009 dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor

6. SK Menteri Hukum dan HAM Nomor :AHU-37384.AH.01.01. Tahun 2009 Struktur Organisasi Unit Usaha Pengolahan Susu terdiri atas penanggung jawab, bendahara dan anggota. Struktur Organisasi PT D-Farm Agriprima dikepalai oleh seorang direktur yang membawahi empat divisi, yaitu Divisi Administrasi (Adm. Keuangan, Penjualan dan Kantor), Divisi Distribusi dan Pemasaran, Divisi Produksi serta Divisi Logistik. Status tenaga kerja terdiri atas pegawai tetap PT D-Farm Agriprima, pegawai harian (juga sebagai tenaga honorer laboratorium IPB), dan tim unit pengolahan susu (Status PNS). Tim Unit Pengolahan Susu merupakan petugas yang melakukan pendampingan dan melakukan supervisi seluruh kegiatan PT D-Farm Agriprima. Tim tersebut dibawah koordinasi Kepala Bagian THT Fapet IPB beranggotakan tiga orang staff Bagian THT Fapet IPB.

Peternakan Eco Farm

Eco Farm merupakan salah satu peternakan sapi perah yang terletak di Jl. Kayu Manis Laboratorium Kandang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Eco Farm mulai berdiri pada tahun 2003 yang terbentuk atas bantuan dana dari Departemen Pertanian dengan 20 ekor sapi perah Fries Holland (FH) serta fasilitasnya. Luasan kandang Eco Farm yaitu sekitar 8 x 20 m2 dan memiliki kebun rumput seluas 2 ha.

Eco Farm memasarkan hasil produksinya berupa susu segar ke PT D-Farm Agriprima sebanyak 60 liter. Selain itu pihak peternakan juga menyalurkan susu ke lembaga lain dan biasanya juga melayani konsumen yang langsung datang ke peternakan. Eco Farm merupakan unit budidaya sapi perah di Fakultas Peternakan yang berada di bawah pengawasan Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Struktur organisasi Eco Farm terdiri atas penanggung jawab, unit pelaksana teknis, pengolahan dan pemasaran. Pihak Eco Farm setiap bulannya memberikan laporan kondisi, perkembangan serta administrasi pada pihak penanggung jawab, kemudian penanggung jawab memberikan laporan lanjutan kepada Dekan Fakultas Peternakan IPB. Jumlah karyawan di peternakan ini yaitu sebanyak sepuluh orang termasuk satu orang sebagai unit pelaksana teknis. Karyawan ditempatkan pada


(40)

27 beberapa bagian yaitu tiga orang di bagian kandang, dua orang pengambil rumput, satu orang di bagian kebun dan dua orang di bagian pengolahan. Jam kerja karyawan yaitu pada hari Senin sampai Jumat dimulai dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Khusus untuk bagian kandang, rumput dan kebun biasanya bekerja lebih pagi karena pelaksanaan perkandangan dan pemerahan harus dilaksanakan sejak pagi sekitar pukul 05.30 WIB setiap hari.

Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI)

Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI) merupakan salah satu koperasi yang bergerak dibidang pembibitan sapi perah. KWI bekerjasama dengan Fakultas Peternakan untuk mengelola pembibitan sapi perah. Fakultas Peternakan berhasil mendapatkan dana dari Departemen Koperasi untuk pengelolaan peternakan sapi perah, yang dalam pelaksanaan penyalurannya harus melalui koperasi. Berdasarkan akte pengesahan tanggal 25 Mei 1999 No Pengesahan 350/BH/KDK.105/VI/1999 alamat koperasi berada di Kampus Dalam Kp Cangkurawok Desa Babakan Lebak Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Bentuk kerjasama diwujudkan dengan pemberian izin penggunaan lokasi pembibitan sapi perah di laboratorium lapang BFakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sapi perah yang dikelola KWI merupakan bangsa FH yang berasal dari Australia sebanyak 40 ekor. Perbedaan iklim dan manajemen pemeliharaan menyebabkan beberapa ekor sapi kurang bisa beradaptasi dengan baik sehingga jumlah sapi menurun dan tersisa sebanyak 26 ekor. Jumlah sapi yang dapat diperah sebanyak 21 ekor dan sapi bunting sebanyak 5 ekor. Jumlah rata-rata total produksi susu kandang sebanyak 160 liter/hari. Susu di pasarkan ke D-Farm Agriprima setiap pagi dan sore dengan total sebanyak 100 liter, selain itu KWI juga melayani konsumen yang langsung datang ke peternakan dan konsumen yang berada di luar peternakan.

Struktur kepengurusan KWI terdiri atas ketua, sekretaris dan bendahara. Jumlah karyawan dari KWI yaitu sebanyak dua belas orang yang terdiri atas satu orang operasional manager, satu orang kepala kandang, dua orang staf administrasi, satu orang akunting, dua orang tenaga kebun rumput, dua orang security dan tiga orang tenaga kandang. Setiap bulan KWI memberikan laporan kepada Dekan Fakultas Peternakan berupa perkembangan program dan laporan pertanggungjawaban tersebut oleh pihak Fakultas Peternakan dilanjutkan kepada Kementerian Koperasi setiap tiga bulan sekali.


(41)

28 HASIL DAN PEMBAHASAN

Aplikasi Good Farming Practices (GFP) di Peternakan Sapi Perah

Good Farming Practices (GFP) merupakan cara beternak yang baik dan benar, yang memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi dan kesejahteraan ternak. GFP juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku terhadap lingkungan, higienitas atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi dan registrasi ternak serta kesehatan ternak. Peternakan Eco Farm dan KWI merupakan peternakan pemasok susu segar ke unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima. Peternakan yang merupakan pemasok susu kepada unit pengolahan harus memperhatikan kualitas susu yang dihasilkan, baik secara fisik, biologi dan kimia, yang akan diperoleh dengan cara menerapkan teknis pelaksanaan beternak yang baik dan benar atau yang dikenal dengan Good Farming Practices (GFP). Aspek-aspek utama GFP yang dimiliki meliputi bangunan dan fasilitas, manajemen pakan, sumber daya manusia (SDM), proses pemerahan dan manajemen peternakan. Hasil penilaian aplikasi GFP pada kedua peternakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Penilaian Aplikasi GFP pada Peternakan Pemasok Susu

No. Aspek Total Nilai (%)*)

Peternakan Eco Farm

Koperasi Wirausaha Indonesia a. Bangunan dan Fasilitas Peternakan 65,08 72,22

b. Manajemen Pakan 87,50 89,28

c. Sumber Daya Manusia 75,61 85,36

d. Proses Pemerahan 64,81 85,18

e. Manajemen Peternakan 42,42 56,06 *)

Perhitungan perolehan persentase nilai dapat dilihat pada Lampiran 1 Bangunan dan Fasilitas Peternakan

Peternakan sapi perah Eco Farm maupun KWI berlokasi di Jl. Kayu Manis Laboratorium Lapang A Fakultas Peternakan. Pada Laboratorium Lapang A Fakultas Peternakan, selain peternakan sapi perah Eco Farm dan terdapat pulakandang untuk sapi pedaging, kandang untuk ternak ruminansia kecil (domba, kambing dan kelinci), unit pengolahan limbah, kandang untuk ternak unggas dan rumah pemotongan hewan. Sebelah barat Peternakan Eco Farm ini terdapat peternakan sapi perah dari Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB dan unit pengolahan


(42)

29 susu PT D-Farm Agriprima, di bagian selatan berbatasan dengan Rumah Pemotongan Hewan ‘ELDERS’, kandang untuk kambing dan kandang untuk sapi pedaging. Bagian utara Eco Farm terdapat kandang untuk domba penelitian yang sudah tidak digunakan. Bagian timur Eco Farm berbatasan dengan jalan dan kebun rumput. Pada area perkandangan terdapat ruangan khusus untuk para karyawan beristirahat, serta gudang pakan. Peternakan ini mempunyai tempat pembuangan dan pengolahan limbah yang terpisah dengan konstruksi kandang sapi perah yang berada tepat di samping peternakan (Gambar 1). Peternakan Eco Farm berada jauh dari pemukiman dan kegiatan industri, tetapi di sekitar lokasi terdapat tempat tinggal milik pegawai IPB.

Gambar 1. Bangunan Kandang di Eco Farm (Tampak Depan)

KWI memiliki fasilitas seperti terdapatnya tempat tinggal khusus karyawan (mess), bangunan untuk ruang istirahat bagi karyawan dan satpam, milking palor (area proses pemerahan), tempat pembuangan dan pengolahan limbah yang berada di bagian belakang lokasi peternakan (Gambar 2). KWI berada jauh dari pemukiman dan kegiatan industri sekitar 20 m. Menurut Direktorat Jenderal Perternakan (2009) jarak kandang dengan bangunan umum dan perumahan minimal 10 m.


(43)

30

Gambar 2. Bangunan Kandang di KWI (a) Tampak Depan dan (b) Tampak Samping Bahan bangunan yang digunakan tidak menjadi sumber kontaminasi baik kimia ataupun fisik. Bahan yang digunakan pada peternakan Eco Farm dan KWI yaitu semen, batu bata, atap genting, atap asbes, baja tahan karat. Peralatan yang digunakan merupakan milik peternakan Eco Farm dan KWI yang dikelola oleh masing-masing peternakan dan selalu dijaga dalam keadaan bersih. Penggunaan peralatan peternakan secara bersama-sama dengan peternakan lain itu akan menimbulkan resiko penyebaran penyakit akibat tidak menjaga santasi dari peralatan tersebut.

Tempat pakan dan minum merupakan salah satu perlengkapan yang penting dalam kandang ternak perah. Tempat pakan yang baik harus memenuhi ketentuan bahwa sapi dapat makan dengan leluasa tidak terganggu olehsapi lain, tempat pakan tidak boleh terlalu tinggi atau terlalu rendah, sehingga memudahkan sapi pada saat hendak makan dan pakanpun dapat terlihat dengan jelas (Dinas Peternakan, 2009). Peternakan Eco Farm mempunyai tempat pakan dan minum bagi ternak yang masih berbentuk sudut, belum memiliki saluran pembuangan pakan, memiliki saluran air yang langsung mengalir pada masing-masing tempat air. Terdapat dua palungan yang dimanfaatkan untuk tempat pakan dan tempat air (Gambar 3). Pembersihan tempat pakan dan air minum menggunakan peralatan ember, sapu atau sekop dengan cara sisa-sisa pakan diangkat langsung dan dibuang dari palungan tersebut.


(44)

31

Gambar 3. Bentuk Tempat Pakan di Eco Farm

KWI mempunyai tempat pakan yang lebih sesuai dan tidak membentuk sudut, berbentuk panjang mengikuti luasan kandang tanpa terdapatnya sekat-sekat, hanya terdapat satu palungan yang digunakan secara bergantian dengan tempat air. Pemberian pakan dilakukan terlebih dahulu, kemudian digunakan untuk pemberian air minum. Direktorat Jendral Perternakan (2006) menyatakan bahwa harus terdapat tempat khusus untuk minum yang diberikan secara tidak terbatas atau ad libitum. Tempat pakan harus mudah dibersihkan, permukaannya halus, tidak membuat pakan mudah berhamburan, bentuk yang disarankan adalah bentuk cekung (Dinas Peternakan, 2009). Tempat pakan dan minum pada kedua peternakan ini dibuat di bagian samping kandang tetapi masih di bawah atap (Gambar 4). Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan tidak dapat diinjak-injak atau tercampur oleh kotoran.

Gambar 4. Bentuk Tempat Pakan di KWI (a) saat Pemberian Hijauan dan (b) Pemberian Air Minum


(45)

32 Pembatas lingkungan pada Peternakan Eco Farm dan KWI yaitu berupa pagar yang berfungsi untuk mencegah masuknya : hewan pengganggu, orang-orang yang tidak berkepentingan, ternak tidak keluar dari area peternakan. Pagar pembatas di sekeliling peternakan ini belum menjamin keamanan ternak dari hewan non ternak dan pengganggu. Pagar pembatas antar kandang terbuat dari bahan yang kuat dan menjamin hewan karantina tidak lepas serta dilengkapi dengan pintu.

Air pembersih kandang dan air untuk memandikan sapi harus mudah mengalir menuju ke bak penampungan, maka lantai bagian belakang dan di sekeliling kandang harus dilengkapi parit dengan ukuran lebar 20 cm dan kedalaman 15 cm. Peternakan Eco Farm dan KWI memiliki selokan/saluran pembuangan kotorang di dalam kandang yang terdapat di bagian tengah kandang. Tujuannya, agar pekerja mudah membersihkan kotoran dan urin sapi. Limbah ternak harus tersalur dengan baik pada bak-bak penampungan limbah. Saluran pembuangan ini kurang berfungsi dengan baik bila rumput dan ilalang di sekitar selokan atau saluran pembuangan menutup saluran, sehingga perlu pembersihan secara berkala. Sistem pembuangan limbah cair (urin, sisa air untuk membersihkan kandang) pada peternakan Eco Farm disalurkan melalui selokan menuju bak penampungan, sedangkan limbah padat (sisa hijauan, feses sapi) diangkut dengan gerobak khusus pengangkut kotoran dan ditimbun di tempat pengelolaan limbah (Gambar 5). Limbah padat ini digunakan untuk pemupukan tanaman dengan cara dikeringkan terlebih dahulu.


(46)

33 Baik limbah cair dan padat di KWI dialirkan melalui selokan menuju bak penampungan pada bak penampungan tersebut dipisahkan antara limbah cair dan padat. Limbah cair langsung dialirkan menuju lahan rumput untuk pemupukan, sedangkan limbah padat dikumpulkan untuk dikeringkan dan dijadikan sebagai pupuk.

Gambar 6. Pengelolaan Limbah Padat dan Limbah Cair (tanda Panah) di KWI Peternakan Eco Farm memiliki luas lahan peternakan yang sesuai dengan jumlah ternak dan kandang mempunyai ventilasi yang cukup. Kandang yang berada di peternakan ini merupakan kandang individu dengan ukuran untuk setiap sapi adalah 2,5x1,5 m. Tipe ini dapat memacu pertumbuhan lebih pesat, karena tidak terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan dan memiliki ruang gerak terbatas. Kandang pada peternakan tipe ganda, sedangkan ternak ditempatkan secara tail to tail yaitu penempatan ternak dilakukan pada dua jajaran saling bertolak belakang, diantara kedua jajaran tersebut terdapat jalur untuk jalan. Dinding kandang tidak tertutup seluruhnya, dibuat terbuka sebagian agar sirkulasi udara di dalam kandang cukup dan lancar. Bahan yang digunakan sebagai dinding berupa tembok beton. Dinding kandang sekaligus digunakan batas empat minum dan pakan yang dibuat dengan ukuran ketinggian 0,5 hingga 1 meter dari permukaan tanah.

Menurut Sudono et al. (2003), kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan. Keputusan Menteri Pertanian (2010) beberapa persyaratan yang sesuai dan diperlukan dalam mendirikan kandang antara lain (1) memenuhi persyaratan kesehatan ternak, (2) mempunyai ventilasi yang baik, (3) efisien dalam pengelolaan (4) melindungi ternak dari pengaruh iklim dan keamanan seperti pencurian (5) serta tidak berdampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya. Persyaratan umum kandang untuk sapi perah yaitu sirkulasi


(47)

34 udara yang cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab (kelembaban yang ideal dibutuhkan sapi perah adalah 60-70%), lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari.

Kandang yang berada di KWI bertipe ganda, namun penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran. Satu ekor sapi memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan tipe kandang ini yaitu terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh daripada yang lemah, karena lebih banyak mendapatkan pakan. Ventilasi kandang diperoleh dari bentuk dinding kandng yang terbuka. Dinding kandang tidak tertutup seluruhnya, dibuat terbuka sebagian agar sirkulasi udara di dalam kandang cukup dan lancar. Bahan yang digunakan sebagai dinding bisa berupa tembok beton, sama seperti pada peternakan Eco Farm.

Sukmawati dan Kaharudin (2010) menyatakan, bahwa konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama, penataan dan perlengkapan kandang hendaknya dapat memberikan kenyamanan kerja bagi petugas dalam proses produksi seperti, pemberian pakan, pembersihan, pemeriksaan dan penanganan kesehatan. Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak. Ventilasi harus berfungsi dengan baik sehingga keluar ataupun masuknya udara dari dalam dan luar kandang berjalan sempurna. Pengaturan ventilasi yang sempurna berarti memperlancar pergantian udara di dalam kandang yang kotor dengan udara yang bersih dari luar. Jika ventilasi sempurna, maka ruangan kandang tidak pengap, lembab, kotor, berbau dan panas. Pengaturan ventilasi yang baik merupakan kunci dalam menciptakan kondisi ruangan kandang yang sehat.

Peternakan Eco Farm memiliki lantai yang terbuat dari semen dan dibuat miring sehingga memudahkan dalam membersihkan dari kotoran sapi. Pembersihan kandang biasanya hanya dilakukan dua kali sebelum proses pemerahan. Peternakan KWI juga memiliki lantai yang terbuat dari semen dan dibuat dengan kemiringan kurang lebih 5%, lantai yang dibuat miring memudahkan air mengalir sehingga lantai terjaga selalu kering. Tingkat kemiringan lantai tidak boleh lebih dari 5% artinya perbedaan tinggi antara lantai depan dengan lantai belakang pada setiap panjang


(1)

Lampiran 17. Lanjutan Keterangan:

MN = Penyimpangan Minor MJ = Penyimpangan Major SR = Penyimpangan serius KT = Penyimpangan Kritis OK = Tidak ada penyimpangan HASIL PENILAIAN

Penyimpangan (Deficiency) a) Penyimpangan Minor b) Penyimpangan mayor c) Penyimpangan serius d) Penyimpangan kritis

1. Tingkat (Rating) Unit Pengolahan 1) A (Baik Sekali) 2) B (Baik) 3) C (Kurang) 4) D (Jelek)


(2)

Lampiran 18. .Form Checklist SSOP

No. Parameter Penilaian Keterangan

0 1 2 3 4

1. Keamanan Air

¾ Penggunaan air dibedakan antara air yang kontak langsung dengan bahan bahan dan air yang digunakan untuk pencucian alat.

¾ Kualitas air untuk pengolahan pangan sama dengan kualitas air minum. ¾ Alat transportasi harus didesain

mampu menjaga kehigienisan bahan baku dan produk.

¾ Pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/Per/IX/1990 terhadap kualitas air yang digunakan telah dilakukan minimal dua kali dalam setahun yaitu pada musim kemarau dan musim hujan, pengambilan sampel air bersih dilakukan pada sumber mata air, bak penampungan dan pada air kran terjauh.

¾ Bagian QC mengambil sampel air pada output air di dalam ruang produksi dan memeriksa kualitasnya (bau, rasa, warna, kekeruhan dan pH) setiap hari. Analisis kualitas

mikrobiologi dilakukan setiap 1 bulan sekali.

¾ Disediakan pencatatan hasil pemeriksaan

Sub Total

2. Kebersihan Permukaan

yang Kontak

dengan Bahan Pangan

¾ Peralatan yang digunakan harus dalam keadaan bersih, bebas karat, jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas, dan kotoran-kotoran lainnya sisa proses sebelumnya.

¾ Frekuensi pelaksanaan tindakan sanitasi adalah setiap selesai melaksanakan kegiatan proses produksi dan sebelum melaksanakan kegiatan proses produksi

¾ QC melakukan pengujian

mikrobiologis terhadap peralatan yang ada di area produksi setiap bulan ¾ Disediakan cheklist record

Sub Total


(3)

Lampiran 18. Lanjutan

3. Pencegahan Kontaminasi Silang

¾ Pakaian khusus produksi (seragam, masker, hair net, sepatu khusus) harus digunakan hanya pada saat melakukan produksi.

¾ Melaksanakan higien personal (tidak merokok, mengobrol, menggunakan perhiasan, selalu mencuci tangan setelah dari toilet, selalu mencuci tangan setiap bersentuhan dengan benda yang tidak terjaga sanitasinya) setiap melakukan proses produksi ¾ Pemisahan produk dan bahan dalam

penyimpanan

¾ Pemisahan yang cukup antara aktivitas penanganan dan pengolahan bahan baku dengan produk jadi

¾ Disiplin arus pergerakan pekerja, tidak ada pekerja yang menangani proses diarea lain setelah menangani proses di area yang telah ditentukan

Sub Total

4. Fasilitas Sanitasi

¾ Sarana pencuci tangan diletakkan di tempat-tempat yang diperlukan, dilengkapi dengan air mengalir, alat pengering tangan, dan tempat pembuangan berpenutup.

¾ Fasilitas ganti pakaian yang sesuai dengan jumlah karyawan.

¾ Tersedia fasilitas foot bath di pintu masuk area produksi

Sub Total

5. Perlindungan bahan pangan dari bahan

cemaran (adulteran)

¾ Selama proses produksi karayawan menjaga dan mengontrol bahan-bahan non pangan yang dapat berpotensi menjadi adulteran (dapat mencemari bahan pangan) tidak diperbolehkan berada di dalam ruang produksi maupun gudang seperti bahan-bahan sanitasi

¾ Kemasan dan bahan-bahan lain yang digunakan disimpan terpisah dari bahan-bahan sanitasi dan produk akhir ¾ Tempat sampah bebas tumpukan

sampah yang berlebihan, dapat tertutup rapat dan diletakkan tidak berdekatan dengan area aktivitas proses serta penyimpanan bahan

Sub Total


(4)

Lampiran 18. Lanjutan

6. Pelabelan, penggunaan bahan toksin dan

penyimpanan yang tepat

¾ Bahan toksin dikelompokkan dan disimpan di dalam boks tertutup dan boks diberi label identitas yang jelas ¾ Bahan toksin memiliki label dan

keterangan yang jelas mengenai keamanan bahan serta anjuran pemakaian yang aman

Sub Total

7. Kontrol Kesehatan Pegawai

¾ Kesehatan karyawan dicek secara rutin, untuk mengetahui kondisi karyawan

¾ Terdapat catatan tentang riwayat kesehatan karyawan

Sub Total

8. Pencegahan Hama

¾ Menutup lubang angin yang ada dengan kawat kasa.

¾ Menggunakan filter udara.

¾ Menyediakan fasilitas pest control ¾ Dilakukan pembersihan ruang

produksi secara berkala.

Sub Total

Total Petunjuk pengisian

1.

Isi bagian kolom penilaian dengan memberi tanda pada kolom penilaian untuk: Nilai 0 = penyimpangan yang terjadi 0%

Nilai 1 = penyimpangan yang terjadi 1% – 25% Nilai 2 = penyimpangan yang terjadi 26% – 50% Nilai 3 = penyimpangan yang terjadi 51% – 75% Niali 4 = penyimpangan yang terjadi > 75%

2.

Hitung kalkulasi pada kolom sub total yang menyatakan penilaian keseluruhan dengan cara n

∑ i = 1 n

(n = jumlah poin pertanyaan sub prinsip SOP)

3.

Tingkat keparahan penerapan SOP dapat diketahui dari jumlah nilai keseluruhan 0 - 125 : ringan

126 - 250 : sedang 251 - 375 : berat 376 - 500 : kritis

Dibuat Oleh, Diketahui oleh,

Auditor: Auditee:

( ) Produksi Sanitasi

( ) Maintenance


(5)

Lampiran 19. Contoh Penyusunan Tim HACCP

No.

Jabatan Struktural

Posisi Tim

Disiplin Ilmu

1. Penanggung

Jawab

Ketua

Peternakan

2. Penanggung

Jawab

Sekretaris Peternakan

3. Penanggung

Jawab

Anggota Teknologi

Pangan

4. Penanggung

Jawab

Anggota Teknologi

Pangan

5.

Direktur Utama

Anggota

Supervisi Jaminan Mutu

Pangan

6. Manajer

Administrasi

dan Keuangan

Anggota Akuntansi

7.

Manajer Marketing dan

Dstribusi

Anggota Agribisnis

dan

Manajemen

8. Operator

Produksi

Anggota

Peternakan

9. Mahasiswa

Anggota

Peternakan

10. Mahasiswa

Anggota

Peternakan


(6)

Lampiran 20. Decission Tree CCP Proses Produksi

P1

P2

P3

P4

Apakah ada tindakan pencegahan ?

Dapatkah pencemaran terjadi ?

Apakah langkah selanjutnya dapat mengendalikan bahaya?

Bukan CCP

Bukan CCP

Modifikasi Proses

Apakah langkah itu dibuat khusus untuk mengendalikan bahaya ?

Apakah pengendalian pada tahap

ini untuk pengamanan ?

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Bukan CCP

CCP

Ya

Ya