Risiko Produksi Karet Alam di Kebun Aek Pamienke PT Socfindo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang dapat diandalkan dalam menunjang perekonomian Indonesia. Pentingnya sektor pertanian dapat terlihat jelas sebagai penyedia utama pangan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebesar 41.494.941 jiwa atau 38,35 persen terhadap total jumlah tenaga kerja1. Peranan sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, kehutanan, dan peternakan) dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Indonesia secara signifikan yang dapat dilihat dari besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) pada Tabel 1.

Tabel 1. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010 (Triliun Rupiah)

No Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009* 2010** 1 Pertanian, Peternakan,

Kehutanan, dan Perikanan

433,2 541,9 716,6 857,2 985,1

2 Pertambangan dan Penggalian

366,5 440,6 541,3 591,9 591,9 3 Industri Pengolahan 919,5 1.068,6 1.376,4 1.477,7 1.594,3 4 Listrik, Gas, dan Air

Bersih

30,3 34,7 40,9 47,2 50,0

5 Konstruksi 251,1 305,0 419,7 555,2 661,0 6 Perdagangan, Hotel, dan

Restoran

501,5 592,3 691,5 744,1 881,1 7 Pengangkutan dan

Komunikasi

231,5 264,3 312,2 352,4 417,5 8 Keuangan, Real Estate,

dan Jasa Perusahaan

269,1 305,2 368,1 404,0 462,8

9 Jasa-Jasa 336,3 398,2 481,8 574,1 654,7

Total PDB Nasional 3.339,2 3.950,9 4.948,7 5.603,9 6.422,9 Kontribusi (%) 13,0 13,7 14,5 15,4 15,3 Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara

      

1

Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, dan 2010.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=3 [5 Januari 2012]


(2)

2 Sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, kehutanan, dan peternakan) mencakup beberapa subsektor, yaitu subsektor perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pangan, dan beserta hasil-hasilnya. Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan penopang perekonomian pertanian di Indonesia. Peranannya dapat terlihat dalam penerimaan devisa negara pada tahun 2010 melalui kegiatan ekspor perkebunan sebesar US$22 miliar meningkat drastis dibanding tahun 2005 yang hanya US$9 miliar2.

Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi dalam negeri, bahan baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah, daya saing, dan optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan juga merupakan berbagai peranan dari subsektor ini. Departemen Pertanian telah menyusun rencana-rencana strategis beserta program-program dan kebijakan pembangunan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan pengembangan masing-masing komoditas perkebunan yang bertujuan untuk meningkatkan peran subsektor perkebunan ini (Departemen Pertanian 2009)3.

Berdasarkan Produk Domestik Bruto, subsektor perkebunan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Atas dasar harga berlaku data Badan Pusat Statistik, mulai tahun 2006 sebesar 63,4 Triliun Rupiah tanaman perkebunan terus mengalami peningkatan sampai tahun 2010 sebesar 135,2 Triliun Rupiah yang dapat dilihat pada Tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman perkebunan masih banyak dibudidayakan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Menghasilkan ouput maksimal dalam membudidaya tanaman perkebunan harus memiliki tehnik-tehnik khusus, seperti pencegahan atau pengobatan serangan hama dan penyakit, pengolahan tanah, dan mengantisipasi sumber risiko dari alam. Salah satu tujuan dengan adanya tehnik tersebut adalah untuk dapat menjaga pohon dengan baik dari sumber atau faktor risiko yang terjadi sehingga umur produktif tanaman dapat bertahan lama dan mengurangi kerugian perusahaan.

      

2

Media Indonesia. 2010. Devisa dari sektor perkebunan.

http://www.htysite.com/pertanian%202011.htm [5 Januari 2012] 3

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Outlook Komoditas Perkebunan. www.pusdatin.deptan.go.id. [6 Januari 2012]


(3)

3 Tabel 2. Laju Pertumbuhan Subsektor Pertanian dalam Produk Domestik Bruto

Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2006-2010 (Triliun Rupiah) NO Pertanian, Peternakan,

Kehutanan, dan Perikanan

2006 2007 2008 2009* 2010**

1 Tanaman Bahan Makanan 214,3 265,1 349,8 419,2 483,5

2 Tanaman Perkebunan 63,4 81,7 106,0 111,4 135,2

3 Peternakan 51,1 61,3 83,3 104,9 119,1

4 Kehutanan 30,1 36,1 40,4 45,1 48,0

5 Perikanan 74,3 97,7 137,2 176,6 199,2

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara

Tanaman perkebunan merupakan tanaman yang memiliki luas areal terbesar di Indonesia. Salah satu keunggulan Indonesia adalah tersedianya lahan tropis yang cukup besar dan sesuai untuk penanaman berbagai tanaman perkebunan. Luas lahan perkebunan dari beberapa jenis tanaman perkebunan yang ditanam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Lahan Perkebunan di Indonesia Tahun 2006-2010 (Ribu Ha)

Tahun Karet Kelapa Sawit Coklat Kopi Tembakau

2006 513,2 3748,5 101,2 53,6 5,1

2007 514,0 4101,7 106,5 52,5 5,8

2008 515,8 4451,8 98,4 58,3 4,6

2009 482,7 4888,0 95,3 48,7 4,2

2010* 472,2 5032,8 95,9 48,7 4,2

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Keterangan : * Angka sementara

Berdasarkan Tabel 3, terlihat jelas bahwa karet merupakan tanaman perkebunan kedua yang banyak diusahakan di Indonesia setelah kelapa sawit. Hal ini ditinjau dari luas areal perkebunan karet yang digunakan di Indonesia. Selain itu, luas areal perkebunan karet mulai tahun 2005 sampai 2008 mengalami peningkatan, sedangkan untuk tahun 2009 mengalami penurunan. Fluktuasi disebabkan karena adanya penurunan harga karet dunia pada tahun tersebut. Akibatnya, ketertarikan masyarakat Indonesia untuk membudidayakan karet menjadi berkurang sehingga luas lahan perkebunan untuk karet pun menjadi bertambah banyak di Indonesia.


(4)

4 Luas areal tanaman perkebunan yang masih cukup luas di Indonesia tidak selalu berkorelasi dengan produksi tanaman perkebunan yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa penghasil tanaman perkebunan di Indonesia tidak dapat membudidayakan sesuai teknik budidaya yang baik dan benar. Kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia menjadi salah satu kendala dalam permasalahan ini. Produksi tanaman perkebunan di Indonesia tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi Tanaman Perkebunan di Indonesia Tahun 2006-2010 (Ton) Tahun Karet Kelapa Sawit Coklat Kopi Tembakau

2006 2.637.231 17.350.848 769.386 682.158 146.265 2007 2.755.172 17.664.725 740.006 676.476 146.851 2008 2.751.286 17.539.788 803.594 698.016 168.037 2009 2.440.347 18.640.881 809.583 682.590 176.510 2010 2.591.935 19.844.901 844.626 684.076 122.276 Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Keterangan : * Angka sementara

Berdasarkan Tabel 4, perbandingan total produksi dari lima tanaman perkebunan tahun 2006-2010 menunjukkan bahwa total produksi karet merupakan total produksi terbesar kedua setelah kelapa sawit. Terlihat jelas bahwa total produksi karet di Indonesia mulai tahun 2006-2008 mengalami peningkatan dan mengalami penurunan pada tahun 2009, kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010. Penurunan tersebut dapat dikarenakan adanya risiko produksi dikaret yang menyebabkan adanya fluktuasi total produksi.

Salah satu tanaman subsektor perkebunan adalah karet. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar di dunia selain Malaysia dan Thailand. Luas lahan perkebunan karet alam Indonesia, terluas dibandingkan Thailand dan Malaysia. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (2010)4, Indonesia memiliki luas areal perkebunan karet sebesar 3.064.600 Ha, sedangkan Thailand hanya sebesar 1.929.260 Ha, dan untuk Malaysia sebesar 1.289.700 Ha. Meskipun demikian, produksi karet alam Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan produksi yang dicapai oleh Thailand

      

4

[FAOSTAT] Food and Agriculture Organization Statistic. 2010. Produksi danLuas Areal Perkebunan Karet di Thailand, Malaysia, dan Indonesia. http://faostat.fao.org/default.aspx FAO. [6 Januari 2012]


(5)

5 dan Malaysia. Indonesia memiliki total produksi pada tahun 2010 sebesar 2.788.300 Ton dengan produktivitas 909,8 Kg/Ha, sedangkan Thailand sebesar 3.051.780 Ton dengan produktivitas 1.581,8 Kg/Ha. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi, seperti risiko produksi alam, hama, atau penyakit. Produktivitas karet alam Indonesia masih rendah dalam penggunaan input-input pertanian yang berkualitas, masih minimnya pengetahuan mengenai pembudidayaan karet yang baik dan benar, dan masih kurangnya cara untuk dapat menanggulangi risiko yang terjadi pada tanaman karet alam, seperti hama dan penyakit. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi produksi karet alam yang dihasilkan. Akibatnya, produksi karet alam di Indonesia masih rendah dibandingkan produksi karet alam dari Thailand.

Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh la-nina

yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Asosiasi Natural Rubber Producing Countries di Thailand memperkirakan produk karet alam pada musim dingin yang berlangsung mulai Febuari-Mei berdampak pada menurunnya produk karet hingga 50 persen. Berdasarkan asumsi tersebut dipastikan Indonesia berpeluang besar untuk memasok karet alam hasil produk Indonesia ke luar negeri (ekspor) dan tentunya dengan catatan untuk produk karet Indonesia agar lebih ditingkatkan (Purba 2011)5.

Luas areal perkebunan karet berdasarkan penguasaannya terbagi atas tiga yaitu perkebunan karet milik rakyat, perkebunan besar milik negara, dan perkebunan besar milik swasta. Luas area perkebunan karet tahun 2011 tercatat mencapai lebih dari 3,4 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

      

5

Purba FHK. 2011. Potensi dan Perkembangan Pasar Ekspor Karet Indonesia di pasar

Dunia.http://www.agribisnis.net/mobile/index.php?content=informasi_mobile&id=1&sub=5&kat =54&fuse=1185. [7 Januari 2012]


(6)

6 Diestimasikan diantaranya sebesar 2.935.081 ha merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 239.132 ha perkebunan besar negara serta 275.931 ha perkebunan besar milik swasta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2011).

Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan karena daerah tersebut memiliki iklim yang lebih basah. Hal tersebut dapat dilihat dari luas areal perkebunan karet di beberapa provinsi Indonesia pada Tabel 5. Terlihat jelas bahwa untuk bagian Sumatera, luas areal perkebunan karet Sumatera Utara lebih luas setelah Sumatera Selatan, sedangkan untuk luas areal perkebunan karet bagian Kalimantan dicapai oleh Kalimantan Barat. Luas areal perkebunan karet Sumatera Utara dari tahun 2006-2008 terus mengalami peningkatan dan pada tahun 2009 mengalami penurunan, kemudian mengalami peningkatan kembali tahun 2010. Hal ini masih dapat dikarenakan harga karet dunia yang masih berfluktuatif.

Tabel 5. Luas Areal Perkebunan Karet di Beberapa Provinsi Indonesia Tahun 2006-2010 (Ribu Ha)

Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010*

Sumatera Utara 456.986 461.496 462.036 461.148 463.861 Sumatera Barat 124.256 126.135 125.716 135.435 133.137 Sumatera Selatan 648.754 659.134 662.788 659.769 665.129 Kalimantan Barat 379.038 387.768 388.861 385.528 389.093 Kalimatan Tengah 255.657 261.947 264.203 264.947 265.038 Kalimantan Selatan 129.946 132.675 133.901 134.254 134.210 Kalimantan Timur 58.105 59.132 57.855 64.626 61.154 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2011)

Keterangan : * Angka sementara

Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan karet di Provinsi Sumatera Utara adalah PT Socfin Indonesia (Socfindo). PT Socfindo merupakan salah satu perusahaan milik swasta yang resmi berdiri pada tahun 1930 dengan lokasi perkebunan yang tersebar di Sumatera Utara dan Aceh. Bertahannya PT Socfindo hingga saat ini, telah dapat membuktikan bahwa PT Socfindo berhasil mengendalikan berbagai risiko yang dihadapi dengan terdapat suatu manajemen di dalam perusahaan. Oleh karena itu, PT Socfindo dapat bersaing dalam persaingan pasar dunia karet baik dalam maupun luar negeri.


(7)

7 1.2 Perumusan Masalah

PT Socfindo bergerak dalam bidang perkebunan karet dan kelapa sawit dengan lokasi perkebunan yang tersebar di Sumatera Utara dan Aceh. Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang sangat cocok untuk budidaya karet karena memiliki iklim yang basah. PT Socfindo menghadapi berbagai risiko dalam memproduksi karet alam, salah satunya adalah risiko produksi. Hasil produksi dan produktivitas karet alam yang berfluktuatif menjadi salah satu akibat dari adanya risiko produksi. Hal ini dapat mengakibatkan permintaan terhadap karet alam akan menurun. Produksi karet alam PT Socfindo menghasilkan tiga standart mutu sesuai kriteria yang telah ditetapkan, yaitu SIR 3CV50, SIR 3CV60, dan SIR 10. PT Socfindo harus melalui beberapa tahapan atau proses rangkaian produksi untuk menghasilkan karet alam sesuai standar mutu yang memiliki berbagai risiko.

Balai Penelitian Karet Sungai Putih Sumatera Utara (2011)6 menyatakan bahwa produktivitas nasional rata-rata untuk tanaman karet adalah 1400 kg/ha/tahun dalam bentuk karet alam. Pertumbuhan produksi karet alam PT Socfindo selama kurun waktu 2009-2011 mengalami fluktuasi akibat adanya berbagai macam faktor risiko produksi yang mempengaruhi produksi dengan rata-rata umur tanaman karet adalah 8-25 tahun dengan tahun tanam 1986-2003. Pada tahun 2009, produksi mencapai 4.213.297 Kg KK (Kilogram Karet Kering) dan terus mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2011 yaitu 3.493.000 Kg KK dan 3.473.431 Kg KK. Fluktuasi tersebut menunjukkan bahwa adanya target produksi yang tidak terpenuhi sesuai yang diharapkan perusahaan. Akibatnya, hal ini dapat menurunkan keuntungan bagi perusahaan. Ini merupakan salah satu dampak yang dihadapi PT Socfindo dari adanya faktor-faktor tersebut. Produksi (Kilogram Karet Kering) kebun Aek Pamienke PT Socfindo tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.

      

6

[BALITSP] Balai Penelitian Sungai Putih. 2011. http://balitsp.com/balai-penelitian-karet-produksi-karet-harus-digenjot-untuk-meningkatkan-keuntungan/. [8 Januari 2012]


(8)

8 Gambar 1. Produksi Karet Alam Kebun Aek Pamienke Tahun 2011

Sumber : Kebun Aek Pmienke PT Socfindo (2011)

Produktivitas rata-rata karet alam tahun 2009 dan 2011 telah mampu memproduksi karet alam di atas total rata-rata produktivitas nasional yang telah ditetapkan. Produktivitas per tahun nya mengalami fluktuasi yang dapat dilihat mulai dari tahun 2009 yaitu 1547,68 kg/ha dan mengalami penurunan pada tahun 2010 sebesar 1378,89 kg/ha, kemudian mengalami peningkatan kembali 1598,76 pada tahun 2011. Produktivitas (kg/ha/tahun) karet alam kebun Aek Pamienke PT Socfindo tahun 2009-2011 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Produktivitas Karet Alam Kebun Aek Pamienke Tahun 2011 Sumber : Kebun Aek Pamienke PT Socfindo (2011)


(9)

9 Berdasarkan Gambar 1 dan 2, fluktuasi produktivitas dan kecenderungan produksi yang menurun menjadi suatu permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor-faktor sumber risiko produksi, seperti curah hujan, hama, dan penyakit juga menjadi suatu kendala yang menyebabkan total produksi karet alam setiap tahun mengalami penurunan dengan luas lahan setiap tahun yang tetap. Penanganan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko tersebut agar dapat menghasilkan produksi maksimal dengan kualitas atau standar mutu karet alam yang diharapkan oleh perusahaan sesuai permintaan pasar domestik maupun internasional. Risiko produksi merupakan risiko yang sangat berpengaruh besar dalam perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pengaruh dari faktor-faktor sumber risiko produksi terhadap produksi karet alam PT Socfindo ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mengkaji gambaran umum usaha karet alam di perkebunan Aek Pamienke PT Socfindo.

2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor sumber risiko produksi terhadap produksi karet alam PT Socfindo.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Pihak perusahaan yaitu PT Socfindo, dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, memperbaiki pembuatan keputusan, dan membantu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sehingga dapat di kurangi dengan baik.

2) Penulis, menambah pengetahuan dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama kuliah, serta melatih kemampuan analisis dalam pemecahan masalah.

3) Pembaca, agar dapat mengembangkan penelitian ini dan menjadi sebagai salah satu sumber rujukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya


(10)

10 sehingga dapat menggunakan variabel input-input produksi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan lain sebagainya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1) Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di PT Socfindo perkebunan Aek Pamienke Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara yang bergerak dalam bidang perkebunan karet.

2) Penelitian ini terfokus pada faktor-faktor sumber risiko yang mempengaruhi produksi karet alam, yaitu jumlah pohon yang mati, penderes yang melakukan kesalahan, jumlah pohon yang dideres, jumlah blok yang terkena Secondary Leaf Fall (SLF), curah hujan, biaya perawatan Brown Bast/Bark Necrosis (BB/BN), dan produksi sebelumnya. Penelitian ini tidak menggunakan variabel-variabel input produksi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan lain sebagainya dalam model.

3) Tanaman karet yang diteliti adalah tanaman karet menghasilkan yang berumur 8-25 tahun dalam tahun tanam 1986-2003.

4) Data yang digunakan adalah data produksi perusahaan dari tahun 2009-2011 dalam perbulan.


(11)

11

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Karet

Tanaman karet (Havea Brasiliensis) berasal dari Brazil, Amerika Selatan,

tumbuh secara liar di lembah-lembah Amazon. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning atau merah. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3 – 20 centimeter. Panjang tangkai anak daun antara 3 – 10 centimeter. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung runcing, tepinya rata, gundul, dan tidak tajam. Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan betina yang terdapat dalam malai payung tambahan yang jarang. Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Buah yang sudah masak akan pecah dengan sendirinya. Pemecahan biji ini berhubungan dengan pengembangbiakan tanaman karet secara alami. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah berukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Biji karet sebenarnya berbahaya karena mengandung racun. Akar tanaman karet merupakan akar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar. Adapun beberapa jenis karet alam antara lain sebagai berikut (Swadaya 2008):

1) Bahan olah karet adalah lateks kebun serta gumpalan lateks kebun yang

diperoleh dari pohon karet. Menurut pengolahannya bahan olah karet

dibagi menjadi 4 macam, yaitu lateks kebun, sheet angin, slab tipis, dan

lump segar.

2) Karet alam konvensional dapat dimasukkan ke dalam beberapa golongan

mutu menurut Buku Green Book yang dikeluarkan oleh International

Rubber Quality and Packing Conference (IRQPC). Berikut ini adalah

jenis-jenis karet alam olahan yang tergolong konvensional menurut Green


(12)

12 brown crepe, compo crepe, thin brown crepe remills, thick blanket crepes ambers, flat bark crepe, pure smoked blanket crepe, dan off crepe.

3) Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak

berbentuk lembaran atau padatan lainnya.

4) Karet bongkah atau block rubber adalah karet remah yang telah

dikeringkan dan dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditentukan.

5) Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber adalah karet alam yang dibuat

khusus sehingga terjamin mutu teknisnya.

6) Tyre rubber adalah bentuk lain dari karet alam yang dihasilkan sebagai barang setengah jadi sehingga bisa langsung dipakai oleh konsumen, baik untuk pembuatan ban atau barang yang menggunakan bahan baku karet alam lainnya.

7) Karet reklim atau reclaimed rubber adalah karet yang diolah kembali dari

barang-barang karet bekas. Boleh dibilang karet reklim adalah suatu hasil

pengolahan scrap yang sudah di vulkanisir.

Setiap jenis karet akan menghasilkan berbagai standar mutu yang harus dapat dipenuhi sesuai syarat atau kriterianya masing-masing, begitu juga dengan salah satu komoditas perkebunan seperti karet. Standar mutu karet alam menjelaskan berapa kadar kotoran yang ada didalam lateks dan berapa tingkat

kelenturan (mooney viscosity) karet alam yang dihasilkan. Kadar kelenturan karet

alam diukur dengan alat mooney viscometer dalam waktu lima menit dengan suhu

100oC. Tingkat kelenturan karet tidak dapat menjelaskan seberapa baik standar

mutu karet alam yang dihasilkan dibandingkan standar mutu karet alam lainnya. Karena hal tersebut diproduksi sesuai permintaan atau kebutuhan konsumen

dalam penggunaannya. Beberapa standar mutu karet dapat dilihat pada Tabel 68.

      

8

[BI] Bank Sentral Republik Indonesia. 2011. Standar Mutu Karet.

http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Eksportir/Profil_komoditi/StandartMutu/mutu_karet.html. [25 Desember 2011]


(13)

13 Tabel 6. Standar Mutu Komoditi Karet

No Mutu Karet Nomor Standar Nasional

Indonesia

1 Karet SIR 3CV SNI. 06-1903-1990

2 Karet Sir 3 L SNI. 06-1903-1990

3 Karet Sir 3 WF SNI. 06-1903-1990

4 Karet SIR 5 SNI. 06-1903-1990

5 Karet SIR 10 SNI. 06-1903-1990

6 Karet SIR 20 SNI. 06-1903-1990

7 Karet SIR lainnya SNI. 06-1903-1990

8 Karet Spesifikasi teknis (TSRN) lainnya SNI. 06-1903-1990

9 Ban dalam dari karet untuk sepeda motor SNI. 06-1542-1989

10 Ban dalam dari karet untuk scooter SNI. 06-1542-1989

11 Sarung tangan bedah dari karet SNI.06-1301-1989

12 Sarung tangan lainnya dari karet SNI.06-1301-1989

13 Sepatu olahraga dari karet SNI.06-1844-1990

Sumber : Bank Sentral Republik Indonesia (2010)

Semakin banyak standar mutu yang dihasilkan akan menunjukkan semakin banyak jumlah produksi karet alam dalam suatu perusahaan. Konsumsi karet alam pada saat ini masih jauh di bawah karet sentetis atau buatan pabrik. Hal ini dikarenakan karet alam memiliki beberapa kelebihan yang belum dapat digantikan oleh karet sintetis, di antaranya :

1) Memiliki daya elastis atau daya lenting yang sempurna

2) Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah

3) Tidak mudah panas (low heat build up)

4) Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking

resistance)

Selain kelebihannya, karet alam juga memiliki kelemahan dalam penggunaannya. Kelemahan karet alam dalam penggunaannya terletak pada keterbatasannya dalam memenuhi kebutuhan pasar. Saat pasar membutuhkan pasokan tinggi, para produsen karet alam tidak dapat meningkatkan produksi dalam waktu singkat, sehingga harga cenderung tinggi.

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Komoditi Perkebunan Memproduksi komoditi perkebunan akan mengalami banyak kendala yang dapat mempengaruhi produksi komoditi tersebut dalam suatu perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya produksi dapat diakibatkan oleh berbagai


(14)

14 faktor-faktor yang tidak terduga ataupun faktor yang dapat dikendalikan dengan baik oleh suatu perusahaan. Variabel yang dapat digunakan sebagai faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi produksi, antara lain input-input produksi yang dapat

mengurangi dan meningkatkan risiko, seperti pupuk, pestisida, tenaga kerja, luas lahan, bibit, urea, dan lain sebagainya. Sambudi (2005), Tumanggor (2009), Saragih (2010) menggunakan variabel input produksi tersebut sebagai

faktor-faktor untuk melihat pengaruh terhadap produksi kopi arabika, kakao, dan kelapa

sawit. Penelitian Sambudi (2005) dan Tumanggor (2009) menggunakan variabel luas lahan, tenaga kerja, pupuk, dan pestisida. Tetapi Sambudi (2005) menggunakan variabel tambahan yaitu urea dan bibit, sedangkan Tumanggor (2009) menggunakan variabel tambahan umur tanaman, dan pada penelitian Saragih (2010) hanya menggunakan tiga input produksi, yaitu luas lahan, tenaga kerja, dan pupuk.

Pengaruh suatu variabel terhadap produksi dapat dilihat dari hasil perhitungan statistik yang menggunakan suatu metode untuk menghitung dan menganalisisnya. Variabel luas lahan, tenaga kerja, pupuk, bibit, urea, dan pestisida berpengaruh nyata terhadap produksi kopi arabika pada penelitian Sambudi (2005) dan Saragih (2010) berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit yaitu luas lahan dan tenaga kerja. Sedangkan pada penelitian Tumanggor

(2009), semua variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kakao

dan termasuk umur tanaman. Maka dari itu, pengaruh nyata atau tidak nya suatu

variabel input-input produksi terhadap suatu produksi, tergantung dari komoditi

perkebunan yang diteliti yang dapat menjelaskan adanya perbedaan risiko produksi yang dihadapi.

Penelitian terhadap produksi teh sangat berbeda dengan produksi kopi

arabika, kakao, ataupun kelapa sawit. Karena variabel yang digunakan dalam

produksi teh berbeda dengan variabel input-input produksi yang digunakan pada

penelitian sebelumnya. Variabel produksi yang digunakan untuk melihat pengaruh terhadap produksi teh olahan, yaitu teh basah, tenaga kerja, listrik, dan solar. Penelitian Verianti (2004), Septiana (2005), dan Sukmawati (2006) menyatakan bahwa untuk variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi teh olahan adalah teh basah. Berbeda dengan Penelitian Kartika (1999) yang menyatakan


(15)

15 bahwa teh basah menjadi variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi teh olahan. Variabel solar hanya berpengaruh nyata pada penelitian Septiana (2005), tetapi tidak berpengaruh nyata pada penelitian Kartika (1999) dan Verianti (2004). Variabel lainnya seperti tenaga kerja dan listrik menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi teh olahan.

Metode yang digunakan untuk menghitung pengaruh pada umumnya

adalah metode regresi linier berganda dengan pendekatan Ordinary Least Square

(OLS). Untuk menggambarkan suatu proses produksi di dalam teori produksi dapat melalui fungsi produksi, yaitu fungsi produksi linier dan fungsi produksi Cobb-douglas. Berdasarkan alat analisis dan metode tersebut, maka pengaruh dari variabel-variabel faktor produksi terhadap produksi dapat dijelaskan melalui hasil nilai peluang yang lebih besar atau lebih kecil dari taraf nyata yang telah ditetapkan dan tanda koefisien akan menjelaskan masing-masing variabel dapat meningkatkan atau menurunkan produksi.

Hasil etimasi model yang baik atau kurang baik dapat dilihat dari nilai r-squared yang menyatakan bahwa dari seluruh variabel yang digunakan telah dapat menjelaskan seluruh model fungsi produksi. Artinya, seberapa besar variabel-variabel yang digunakan dapat menjelaskan pengaruh terhadap seluruh kegiatan produksi. R-squared yang tinggi diperoleh oleh Septiana (2005) dengan 97,4 persen, Sambudi (2005) dengan 95,5 persen, kemudian Verianti (2004) dengan 94,4 persen, Saragih (2010) dengan 93,51 persen, dan Sukmawati (2006) dengan 92,3 persen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian telah dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi arabika dan teh.

Kesimpulan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan bahwa terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada komoditi perkebunan. Faktor-faktor tersebut ada yang dapat dikendalikan dengan baik dan ada yang tidak dapat dikendalikan seperti risiko yang diakibatkan oleh faktor alam, seperti curah hujan. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Persamaan metode yang digunakan pada penelitian ini sama dengan metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya, yaitu metode regresi linier


(16)

16 Tujuannya adalah untuk dapat melihat pengaruh antara variabel dependen (Y)

terhadap lebih dari satu variabel independen (X1,X2,….,Xn). Sedangkan untuk

perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada fungsi produksi yang digunakan, komoditi perkebunan yang diteliti, dan variabel faktor produksi yang dianalisis. Fungsi produksi pada penelitian ini menggunakan fungsi produksi linier dan pada penelitian sebelumnya menggunakan fungsi Cobb-Douglas. Komoditi perkebunan yang diteliti pada penelitian ini adalah karet dan komoditi penelitian sebelumnya adalah kopi arabika dan teh. Sedangkan variabel faktor produksi yang dianalisis pada penelitian ini tidak dapat menggunakan

variabel input-input produksi seperti yang digunakan pada penelitian sebelumnya.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Karet Alam

Perusahaan menghadapi berbagai macam sumber risiko yang dapat mempengaruhi hasil produksi karet alam yang dihasilkan. Produksi karet alam

dapat menghasilkan berbagai standar mutu sesuai Standard Indonesia Rubber

(SIR). Penelitian Setyoningsih (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi karet alam adalah lump, silicon emulsion, solar listrik,

tenaga kerja lepas, dan tenaga kerja tetap. Sitanggang (2011) menggunakan empat variabel yang diduga dapat mempengaruhi produksi karet, yaitu lahan, pupuk, ethrel dan curah hujan. Berbeda dengan penelitian Rachmawati (2003) yang menggunakan faktor lateks, asam semut, tenaga kerja, listrik, dan solar pada produksi pengolahan karet remah way berulu.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Ordinary Least Square

(OLS) dengan menggunakan metode regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor produksi yang dapat mempengaruhi produksi karet alam. Faktor-faktor produksi yang digunakan Rachmawati (2003) berpengaruh nyata terhadap produksi karet alam pada taraf nyata 1 persen. Setyoningsih (2005) menjelaskan bahwa faktor lump, listrik, dan tenaga kerja tetap berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen, sedangkan solar dan listrik berpengaruh nyata pada taraf nyata 20 persen. Untuk faktor tenaga kerja lepas tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen ataupun 20 persen. Pada penelitian Sitanggang (2011), faktor ethrel menjadi faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi karet alam pada


(17)

17 taraf nyata 5 persen dan faktor luas lahan, pupuk, curah hujan menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata.

Berbeda dengan penelitian Wiyanto (2009) yang membandingkan kualitas karet desa terprogram pengembangan karet dan desa tidak terprogram pengembangan karet. Hasil perbandingan kualitas menunjukkan bahwa kualitas karet yang diproduksi petani di desa terprogram lebih rendah dibandingkan kualitas karet petani di desa tidak terprogram. Salah satu penyebabnya adalah

penggunaan pembeku tambahan yaitu air ekstrak umbi gadung (Dioscorea hispida

Dennst) dan tercampurnya koagulump dengan kotoran seperti tatal, daun, dan karet kering yang berwarna hitam, sehingga petani karet dapat melakukan beberapa kegiatan atau upaya dalam meningkatan kualitas karet.

Salah satu faktor lain yang dapat mempengaruhi karet alam adalah adanya sumber risiko yang diakibatkan oleh penyakit. Penyakit yang sering terkena pada tanaman menghasilkan (TM) karet alam adalah penyakit gugur daun kedua, jamur

akar putih (fomes), kering alur sadap (Brown bast), dan kerusakan kulit batang

karet (Bark Necrosis). Sujatno dan Pawirosoemardjo (2001) menjelaskan bahwa

penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet adalah jamur Rigidoporus lignosus. Jamur ini termasuk kategori jamur yang bersifat parasit fakultatif yang berarti dapat hidup pada jaringan tanaman yang telah mati dan tidak dapat bertahan lama tanpa adanya sumber makanan. Oleh karena itu, penyakit ini dapat timbul dikarenakan adanya sisa-sisa tunggul dan akar tanaman dilapangan, sehingga dapat menular ke tanaman karet lain yang masih sehat. Gejala penyakit ini ditandai dengan adanya perubahan warna daun secara mendadak, terutama pada daun-daun muda.

Berbeda dengan jamur Fusarium sp. Jamur ini adalah penyebab penyakit

kerusakan kulit batang pada tanaman karet. Fusarium merupakan patogen tular

tanah (soil borne) yang mampu hidup dan bertahan lama dalam tanah

(Sumarmadji 2001). Penelitian Budiman dan Suryaningtyas (2001) menyatakan

bahwa tinggginya tingkat populasi jamur fusarium dapat diakibatkan oleh

penggunaan pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam. Gejala penyakit ini mulai timbul dengan adanya bercak-bercak coklat pada batang. Sedangkan


(18)

18 ditimbulkan oleh penyakit ini adalah daun akan berubah berwarna kuning, menggulung, layu, dan kemudian akan gugur. Penelitian Nurhayati, Fatma, dan Aminuddin (2010) menyatakan bahwa untuk klon yang tahan akan penyakit gugur daun kedua adalah PB 260, sedangkan untuk klon yang rentan adalah IRR 39, GT 1, BPM 24, dan PR 261.

Penyakit kering alur sadap tidak diakibatkan oleh jamur, tetapi disebabkan adanya gangguan fisiologis tanaman karet yang mengalami ketidakseimbangan antara lateks yang dieksploitasi dengan lateks yang terbentuk kembali (regenerasi/biosintesis). Tahap terakhir yang harus dilakukan adalah pohon harus diistirahatkan terlebih dahulu. Gejala yang timbul adalah tidak mengalirnya lateks apabila dideres atau disadap (Sumarmadji 2001).

Tehnik penyadapan atau penderes lateks terbagi atas dua cara, yaitu dengan cara menderes ke arah bawah dan menderes ke arah atas. Setelah melakukan pembukaan pertama deresan, penderes melanjutkannya dengan menderes lateks ke arah bawah. Pohon karet yang telah selesai dideres dengan ketentuan menderes ke arah bawah, maka akan dilanjutkan untuk menderes ke arah atas. Penelitian Lukman (1996) menyatakan bahwa menderes ke arah atas dapat mengurangi terjadinya penyakit kering alur sadap daripada menderes ke arah bawah, tetapi disimpulkan tidak mempengaruhi kilogram karet kering lateks. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produksi karet alam adalah populasi tanaman karet. Siagian (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi populasi tanaman karet, maka akan semakin rendah produksi karet kering yang dihasilkan, tetapi pengaruhnya tidak nyata dalam statistik.

Kesimpulan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan bahwa terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi dan kualitas karet. Persamaan penelitian ini terdapat pada penelitian Rachmawati (2003), Setyoningsih (2005), dan Sitanggang (2011) yang menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) dan metode regresi linier berganda. Selain itu, persamaan juga terdapat pada variabel yang diteliti penelitian ini adalah variabel-variabel penyakit yang dijelaskan pada penelitian Sujatno dan Pawirosoemardjo (2001), Sumarmadji (2001), Budiman dan Suryaningtyas (2001), Nurhayati, Fatma, dan Aminuddin (2010). Perbedaan penelitian ini terdapat pada variabel


(19)

19 faktor-faktor produksi yang diteliti, seperti jumlah pohon yang mati, curah hujan, tenaga kerja yang melakukan kesalahan, jumlah blok yang terkena gugur daun

kedua, biaya perawatan Brown Bast/Bark Necrosis dengan variabel input produksi

yang diteliti oleh penelitian sebelumnya, seperti solar, listrik, pupuk, lahan, asam

semut, lump, dan silicon emulsion, dan ethrel. Tujuan penelitian ini juga menjadi

perbedaan, yaitu untuk melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi karet alam, sedangkan penelitian Wiyanto (2009) yaitu untuk membandingkan kualitas karet alam desa terprogram dengan desa tidak terprogram.

2.4 Gambaran Umum Alur Produksi Karet Alam

Faktor budidaya karet merupakan faktor penting yang harus diperhatikan agar karet dapat tumbuh dengan baik. Karet yang tumbuh dengan teknik budidaya yang baik dapat menghasilkan produksi karet maksimal dengan standar mutu yang tinggi. Kualitas karet tersebut mengakibatkan harga jual menjadi lebih tinggi sehingga keuntungan yang dihasilkan meningkat. Beberapa faktor budidaya karet dapat dilihat pada Gambar 3 (Swadaya 2008) :

                       

Gambar 3. Tahapan Proses Produksi Karet Alam

Sumber : Swadaya (2008)

Pemilihan lokasi

Pengolahan tanah dan persiapan tanam

Penanaman bibit karet dengan jenis klon yang

diinginkan

Perawatan tanaman sebelum menghasilkan meliputi kegiatan : 1. Penyulaman bibit 2. Penyiangan

3. Pemupukan tanaman 4. Seleksi dan

penjarangan tanaman 5. Pemeliharaan tanaman penutup tanah Perawatan tanaman menghasilkan meliputi kegiatan : 1. Penyiangan

2. Pemupukan tanaman 4. Pemberantasan hama

dan penyakit Peremajaan


(20)

20 Produksi lateks per satuan luas dalam kurun waktu tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, yaitu klon karet yang digunakan, kesesuaian lahan dan agroklimatologi, pemeliharaan tanaman belum menghasilkan, sistem dan manajemen sadap, dan lain sebagainya. Estimasi produksi dapat didasarkan pada standar produksi yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan setempat atau Balai Penelitian Perkebunan yang bersangkutan. Produksi karet adalah lateks, maka estimasi produksi per hektar per tahun dikonversikan ke dalam satuan getah karet basah yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Estimasi Produksi Karet Kering dan Estimasi Produksi Lateks

Tahun Estimasi Produksi

KKK (Ton/Ha)

Estimasi Produksi Lateks (Liter/Ha)

Umur (Thn) Sadap

6 1 500 2.000

7 2 1.150 4.600

8 3 1.400 5.600

9 4 1.600 6.400

10 5 1.750 7.000

11 6 1.850 7.400

12 7 2.200 8.800

13 8 2.300 9.200

14 9 2.350 9.400

15 10 2.300 9.200

16 11 2.150 8.600

17 12 2.100 8.400

18 13 2000 8.000

19 14 1.900 7.600

20 15 1.800 7.200

21 16 1.650 6.600

22 17 1.550 6.200

23 18 1.450 5.800

24 19 1.400 5.600

25 20 1.350 5.400

26 21 1.200 4.800

27 22 1000 4.600

28 23 1.150 4.000

29 24 850 3.400

30 25 800 3.200

Sumber : Anwar (2000)


(21)

21

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Dasar Risiko

Memahami konsep risiko secara luas merupakan dasar yang sangat penting untuk memahami konsep dan teknik manajemen risiko. Oleh karena itu, dengan mempelajari berbagai definisi dari risiko diharapkan dapat memahami konsep risiko secara jelas. Risiko adalah kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian (Harwood et al. 1999). Menurut Robison dan Barry (1987), risiko adalah peluang terjadinya suatu kejadian yang dapat diukur dan didasarkan pada pengalaman. Ketidakpastian (uncertainty) adalah peluang suatu kejadian yang tidak bisa diramalkan. Pada umumnya peluang terhadap suatu kejadian dapat ditentukan oleh pembuat keputusan berdasarkan pengalaman mengelola kegiatan suatu usaha. Menurut Kountur (2004) risiko merupakan suatu keadaan yang tidak pasti yang dihadapi seseorang atau perusahaan yang dapat memberikan dampak yang merugikan. Secara sederhana, risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan kejadian yang merugikan dan memiliki tiga unsur penting bahwa risiko adalah (Kountur 2008):

1) Merupakan suatu kejadian

2) Kejadian tersebut masih merupakan kemungkinan 3) Jika terjadi, makan akan menimbulkan kerugian

Pengaruh terjadi risiko atau terdapat kerugian dalam perusahaan dapat diakibatkan dengan adanya kesalahan perusahaan dalam perumusan strategi untuk meminimalisir risiko yang terjadi. Hal ini mengandung ketidakpastian sehingga akan menimbulkan risiko bagi para pengambil keputusan dalam suatu perusahaan. Sikap seorang pembuat keputusan dalam menghadapi risiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, sebagai berikut (Debertin 1986) :

1) Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk averter)

Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan return yang diharapkan dan merupakan ukuran tingkat kepuasan.


(22)

22 2) Pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (risk taker/lover)

Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan return yang diharapkan dan merupakan ukuran tingkat kepuasan.

3) Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral)

Sikap ini menunjukkan jika terjadi kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko maka pembuat keputusan tidak akan mengimbangi dengan menaikkan atau menurunkan return yang diharapkan dan merupakan ukuran tingkat kepuasan.

3.1.2 Bentuk dan Sumber Risiko

Harwood et al. (1999) menyatakan bahwa risiko terdiri dari beberapa sumber yang dapat mempengaruhi perusahaan baik langsung maupun tidak langsung dalam bidang pertanian , yaitu :

1) Risiko produksi

Sumber risiko yang berasal dari risiko produksi diantaranya adalah gagal panen, rendahnya produktivitas, kerusakan barang (mutu tidak sesuai) yang ditimbulkan oleh serangan hama penyakit, perbedaan iklim, kesalahan sumberdaya manusia, dan lain-lain.

2) Risiko pasar atau harga

Risiko yang ditimbulkan oleh pasar diantaranya adalah barang yang tidak dapat dijual yang diakibatkan ketidakpastian mutu, permintaan rendah, ketidakpastian harga output, inflasi, daya beli masyarakat, dan persaingan, sedangkan risiko yang ditimbulkan oleh harga antara lain, harga yang naik karena inflasi.

3) Risiko Kelembagaan

Risiko yang ditimbulkan dari kelembagaan antara lain terdapat aturan tertentu yang membuat anggota suatu organisasi menjadi kesulitan untuk memasarkan ataupun meningkatkan hasil produksinya.


(23)

23 4) Risiko Kebijakan

Risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan antara lain terdapat suatu kebijakan tertentu yang dapat menghambat kemajuan suatu usaha, misalnya kebijakan tarif ekspor.

5) Risiko Finansial

Risiko yang ditimbulkan oleh risiko finansial antara lain, terdapat piutang tak tertagih, likuiditas yang rendah sehingga perputaran usaha terhambat, putaran barang rendah, laba yang menurun karena krisis ekonomi dan lain-lain.

Selain melihat dari sumber risiko tersebut, risiko juga dapat dibedakan dari hal yang lain, seperti yang dinyatakan oleh Kountur (2008) bahwa risiko dapat dibedakan dari beberapa sudut pandang, yaitu :

1) Risiko dari sudut pandang penyebab

Apabila dilihat dari sebab terjadinya risiko, ada dua macam risiko yaitu risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor keuangan seperti harga, tingkat bunga, dan mata uang asing. Risiko operasional adalah risiko-risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor non keuangan yaitu manusia, teknologi, dan alam.

2) Risiko dari sudut pandang akibat

Ada dua kategori risiko jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan, yaitu risiko murni dan risiko spekulatif. Suatu kejadian bisa berakibat merugikan saja atau bisa berakibat merugikan atau menguntungkan. Suatu kejadian yang hanya berakibat merugikan saja dan tidak memungkinkan adanya keuntungan maka risiko tersebut adalah risiko murni, misalnya risiko kebakaran. Risiko spekulatif adalah risiko yang tidak saja memungkinkan terjadinya kerugian tetapi memungkinkan pula terjadinya keuntungan, misalnya risiko investasi.

3) Risiko dari sudut pandang aktivitas

Ada berbagai macam aktivitas yang dapat menimbulkan risiko, seperti pemberian kredit oleh bank risikonya disebut risiko kredit. Seseorang yang


(24)

24 melakukan perjalanan menghadapi risiko disebut risiko perjalanan. Pemberian nama risiko dilihat dari faktor penyebabnya bukan aktivitas. 4) Risiko dari sudut pandang kejadian

Risiko sebaiknya dinyatakan berdasarkan kejadiannya, seperti kejadian kebakaran maka disebut risiko kebakaran. Suatu aktivitas pada umumnya terdapat beberapa kejadian sehingga kejadian adalah salah satu bagian dari aktivitas.

Suatu risiko dapat dilihat dari keempat sudut pandang ini. Misalnya risiko kebakaran, dari sudut pandang penyebabnya, risiko kebakaran masuk ke dalam kategori risiko operasional karena disebabkan oleh faktor-faktor operasional dan bukan faktor keuangan. Selain itu, dari sudut pandang akibatnya, risiko kebakaran masuk kategori risiko murni karena jika terjadi kebakaran, yang ada hanya rugi saja. Akan tetapi dari sudut pandang aktivitas, risiko kebakaran dapat dimasukkan sebagai salah satu bagian dari aktivitas, misalnya mengendarai mobil. Banyak akivitas yang bisa menimbulkan kebakaran seperti memasang kabel listrik, memasak, dan lain sebagainya.

3.1.3 Teori Risiko Produksi

Teori risiko produksi terlebih dahulu menjelaskan mengenai dasar teori produksi. Serangkaian proses dalam penggunaan input yang ada untuk menghasilkan suatu output (barang atau jasa) merupakan suatu kegiatan produksi. Hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas ouput yang dihasilkan dinamakan fungsi produksi (Lipsey et al. 1995). Menurut Soekartawi (2003), produksi adalah perangkat prosedur dan kegiatan yang terjadi dalam menciptakan komoditas berupa kegiatan usahatani maupun usaha lainnya yang mengubah input menjadi output. Input merupakan bahan baku yang digunakan atau diperlukan sebagai bahan dasar, sedangkan output adalah hasil dari input tersebut yang berupa suatu produk atau barang.

Suatu proses produksi dalam teori produksi dapat digambarkan melalui fungsi produksi. Soekartawi (2003) mendefinisikan fungsi produksi sebagai suatu fungsi yang menggambarkan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:


(25)

25 Y = f (X1,X2,X3,...Xn)

Dimana:

Y = output atau produk

Xn = input atau faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi Y f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam

output.

Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh “Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang (Law of Diminishing Returns)” yang menjadi dasar dalam ekonomi produksi (Debertin 1986). Hukum ini menjelaskan bahwa jika faktor produksi dengan jumlah tertentu ditambahkan terus menerus pada sejumlah faktor produksi tetap, akhirnya akan dicapai suatu kondisi di mana setiap penambahan satu unit faktor produksi variabel akan menghasilkan tambahan produksi yang besarnya semakin berkurang.

Fungsi produksi dikenal adanya istilah produk total, produk rata-rata dan produk majinal. Ketiga istilah tersebut menunjukkan hubungan antara input

dengan output. Produk total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Jika semua input kecuali satu faktor produksi dijaga konstan, produk total akan berubah menurut banyak sedikitnya faktor produksi variabel yang digunakan. Produk rata-rata (AP) adalah produk total dibagi dengan jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya. Semakin banyak faktor produksi variabel yang digunakan, produk rata-rata pada awalnya akan meningkat dan kemudian menurun. Produk marjinal (MP) adalah perubahan dalam produk total sebagai akibat adanya satu unit tambahan penggunaan variabel (Lipsey et al. 1995).

Setiap para pengambil keputusan dalam suatu perusahan harus dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki untuk menghasilkan output sesuai yang diharapkan perusahaan. Keputusan apapun yang telah ditentukan akan memiliki risiko dan ketidakpastian dampak atau hasil dari keputusan tersebut. Risiko produksi adalah risiko yang mengakibatkan terjadinya fluktuasi produksi maupun pendapatan perusahaan. Implikasi risiko terhadap variasi pendapatan dalam penggunaan input dan kategori pembuat keputusan yang dapat dilihat pada Gambar 4.


(26)

26 Gambar 4. Penggunaan Input dan Variasi Pendapatan Serta Kategori Pembuat

Keputusan

Sumber : Ellis (1993) Keterangan :

TVP1 = Total value product in ’good’ years

TVP2 = Total value product in ’bad’ years

E(TVP) = Expected total value product

Gambar 4 menjelaskan dampak dari kondisi baik dan buruk dalam penggunaan input yang dapat menghasilkan adanya variasi pendapatan dan akan mendorong untuk seorang pembuat keputusan dalam mengalokasikan sumberdaya yang digunakan. Total Value Product (TVP) menggambarkan penerimaan yang didapatkan dari hasil produksi. Kondisi TVP terdiri dari tiga kondisi, yaitu TVP pada penggunaan sejumlah input saat kondisi baik (TVP1), pada kondisi yang diharapkan (E(TVP)), dan pada kondisi buruk (TVP2). Penambahan kurva Total Cost (TC) bertujuan untuk memperlihatkan biaya pembelian input yang meningkat. Terdapat tiga alternatif penggunaan input yang ditunjukkan oleh X1, X2, XE dan terkait dalam risiko, yaitu :

1) Input yang digunakan sebanyak X1. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1 terjadi pada saat kondisi yang baik, maka keuntungan terbesar akan diperoleh sebesar ab. Jika TVP2 terjadi pada saat kondisi buruk, maka Total Value Product Y (Rp)


(27)

27 akan terjadi kerugian sebesar bj. Kondisi ini berarti seorang pembuat keputusan memilih berani terhadap risiko (risk taking).

2) Input yang digunakan sebanyak X2. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1 terjadi pada saat kondisi baik, maka keuntungan sebesar ce dan jika TVP2 terjadi pada saat kondisi buruk, maka tidak akan mengalami kerugian tetapi tetap mendapatkan keuntungan yang kecil sebesar de. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut masih mampu untuk membayar biaya pembelian input (TVP > TC). Kondisi ini berarti seorang pembuat keputusan memilih takut terhadap risiko (risk averse).

3) Input yang digunakan sebanyak XE. Nilai E(TVP) yang diperoleh merupakan hasil rata-rata pendapatan pada kondisi baik dan buruk. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1 terjadi pada saat kondisi baik, maka keuntungan sebesar fh, tetapi bukan merupakan keuntungan terbesar. Jika TVP2 terjadi pada saat kondisi buruk, maka kerugian sebesar hi dan bukan merupakan kerugian terkecil. Kondisi ini berarti seorang pembuat keputusan memilih netral terhadap risiko (risk neutral).

Risiko produksi dapat menggunakan berbagai fungsi produksi, salah satunya menggunakan fungsi produksi Just dan Pope (Robison dan Barry 1987). Fungsi produksi Just dan Pope melibatkan masuknya sistem error yang dapat menjelaskan dua kondisi, yaitu kondisi pertama dapat menjelaskan pengaruh faktor tak terkendali seperti cuaca, inefisiensi teknis, dan lainnya dalam produksi, untuk kondisi yang kedua menjelaskan variabilitas dalam ouput (hasil). Model risiko fungsi produksi Just dan Pope terdiri dari fungsi produksi rata-rata dan fungsi produksi variance yang digunakan untuk mengetahui faktor input yang dapat mengurangi risiko (risk reducing factors) dan yang dapat meningkatkan risiko (risk inducing factors). Menurut Robison dan Barry (1987) beberapa contoh yang termasuk dalam faktor pengurang risiko adalah sistem irigasi, pestisida, biaya yang dikeluarkan untuk jasa informasi pasar, penggunaan konsultan profesional dan membeli peralatan baru, sedangkan penggunaan benih dan pupuk dapat menyebabkan peningkatan risiko produksi. Secara matematis, persamaan model risiko fungsi produksi Just dan Pope dapat ditulis sebagai berikut (Robison dan Barry 1987):


(28)

28 q = f(x) + h(x)

dimana:

q = Hasil produksi yang dihasilkan (output) f(x) = Fungsi produksi rata-rata

h(x) = Fungsi varian (fungsi risiko)

x = Input atau faktor produksi yang digunakan = Komponen error

Risiko produksi yang terjadi dapat dilihat dari adanya fluktuasi produksi yang menyebabkan data produksi bervariasi. Fungsi risiko dapat dijelaskan dalam fungsi varian pada model Just dan Pope karena fungsi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai gangguan heteroskedastisitas (Asche dan Tveteras

1999).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Kebun Aek Pamienke adalah salah satu perkebunan karet di PT Socfin Indonesia (Socfindo) yang memiliki luas perkebunan karet terbesar dibandingkan perkebunan karet lainnya yang ada di perusahaan ini. Perusahaan PT Socfindo terletak di daerah Kebupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara. Karet alam yang diproduksi pada perusahaan ini telah memiliki standar mutu sesuai yang di inginkan oleh permintaan pasar pada umumnya. Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi dengan daerah yang sangat cocok untuk pertanaman karet karena memiliki iklim yang basah. Risiko yang paling besar dihadapi oleh perusahaan adalah risiko produksi, seperti kerusakan tanaman pada karet akibat hama dan penyakit, curah hujan, dan lain sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan fluktuasi produksi yang akan mempengaruhi produksi karet alam pada perusahaan tersebut. Dampak dari fluktuasi menyebabkan produksi karet alam ini tidak dapat memenuhi permintaan pasar impor maupun ekspor sehingga ketidaktepatan waktu pengiriman tidak sesuai kesepakatan karena adanya keterlambatan, sehingga pendapatan yang diterima perusahaan juga akan mengalami fluktuasi sesuai risiko yang dihadapi. Ini yang harus diperhatikan perusahaan dalam mencari alternatif untuk mengantisipasi atau meminimalkan risiko agar produksi tetap stabil dan permintaan pasar domestik ataupun internasional dapat terpenuhi. Adapun beberapa faktor-faktor sumber risiko


(29)

29 produksi yang dapat mempengaruhi produksi karet alam PT Socfindo pada penelitian ini adalah adalah jumlah pohon yang mati, jumlah penderes yang melakukan kesalahan, jumlah pohon yang dideres, jumlah blok yang terkena

Secondary Leaf Fall, biaya perawatan Brown bast/bark necrosis (Rp), dan curah hujan (mm).

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional Faktor-Faktor Sumber Risiko Produksi Karet Alam di Kebun Aek Pamienke PT Socfindo

1. Jumlah Penderes yang Melakukan Kesalahan

2. Jumlah Pohon yang dideres

Sumber Risiko Produksi

Produksi Karet Alam

Sumber Daya Manusia Hama dan Penyakit

Cuaca/Iklim

Curah hujan 1.  Jumlah Blok yang

terkena Secondary Leaf Fall

2. Biaya perawatan

Brown Bast/Bark necrosis

Jumlah Pohon yang Mati


(30)

30

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Aek Pamienke, Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara. Pemilihan provinsi Sumatera Utara sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang sangat cocok dalam budidaya karet karena memiliki iklim yang basah. Penetapan perusahaan PT Socfin Indonesia (Socfindo) sebagai perusahaan yang diteliti karena produksi karet alam perusahaan tersebut pada tahun 2010-2011 menjadi urutan pertama yang menghasilkan produksi karet alam paling besar dibandingkan lima perkebunan karet lainnya di Sumatera Utara, yaitu PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), PT Tolan Tiga Indonesia, London Sumatera (LONSUM), Bakrie, dan PT Ukindo Indonesia yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Produksi Karet Alam Enam Perusahaan Perusahaan Karet Tahun 2010-2011

Sumber : PT Socfindo (2011)

Gambar 6 menunjukkan bahwa produksi karet alam yang dihasilkan oleh PT Socfindo pada tahun 2011 adalah 24,976 ton/ha dengan peningkatan 0,031 persen dari tahun 2010, sedangkan untuk perkebunan Aek Pamienke sebagai daerah penelitian dikarenakan perkebunan tersebut merupakan perkebunan karet yang memiliki lahan terluas di PT Socfindo dibandingkan empat perkebunan karet


(31)

31 lainnya, yaitu 3.941,25 Ha. Waktu pengumpulan data dimulai pada bulan Maret 2012 sampai dengan April 2012.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, pencatatan dan wawancara langsung dengan staf divisi bagian tanaman PT Socfindo dan staff manager, asisten kepala lapangan, asisten kepala pabrik, dan asisten setiap afdeling di perkebunan Aek Pamienke untuk mengetahui proses produksi, risiko produksi yang dihadapi perusahaan, penyebab terjadinya risiko dan mengetahui bagaimana penanganannya. Proses wawancara dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan.

Data sekunder yang diperoleh dari PT Socfindo meliputi luas areal tanaman karet, harga karet, jumlah pohon yang mati akibat cuaca ataupun penyakit, biaya yang dikeluarkan untuk penanganan penyakit, dan data produksi dari tahun 2009-2011. Selain itu, ada beberapa data yang dapat mendukung untuk mengetahui risiko antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Perkebunan, Perpustakaan, dan situs atau literatur yang mendukung.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer yang sangat dibutuhkan untuk dapat menjawab tujuan penelitian. Data sekunder dan data primer tersebut akan diolah dan dianalisis berdasarkan metode analisis yang digunakan. Data yang digunakan berupa data sekunder yang diberikan oleh PT Socfindo terkait data-data yang dibutuhkan di dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut berupa data produksi, jumlah pohon yang hilang akibat sumber-sumber risiko dan peremajaan, jumlah pohon yang menghasilkan lateks, dll. Data penelitian ini disajikan dalam bentuk time series (antar waktu perbulan) mulai tahun 2009-2011.


(32)

32 4.4 Metode Pengolahan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi linier berganda. Metode regresi merupakan analisis metode statistika inferensia yang berkaitan dengan analisis data untuk peramalan atau penarikan kesimpulan dari pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap satu variabel terikat (untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan fungsional atau hubungan kausal antara dua atau lebih). Kegunaannya uji regresi ganda yaitu untuk meramalkan nilai variabel terikat (Y) apabila variabel bebas minimal dua atau lebih. Pada penelitian ini analisis regresi berganda menghubungkan antara variabel terikat (Y) dihubungkan dengan lebih dari satu variable bebas (X1, X2, X3,….,Xn) yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y = f (X) , Y = f (X1, X2,...,Xn)

Y= c + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7Y(t-1)

Nilai dugaan parameter dari model ini adalah b1, b2, b4, b5, b6 < 0 ; b3, b7Y(t-1) > 0 Keterangan :

Y = Produksi (Kk Kg) X1 = Jumlah pohon yang mati

c = Konstanta X2 = Penderes yang melakukan kesalahan b = Koefisien regresi X3 = Jumlah pohon yang di deres

X4 = Jumlah blok yang terkena Secondary Leaf Fall

X5 = Biaya perawatan Brown Bast/Bark Necrosis (Rp)

X6 = Curah hujan (mm)

Y(t-1) = Produksi karet alam bulan Sebelumnya

4.5 Pengujian Hipotesis

Uji hipotesis berguna untuk memeriksa atau menguji apakah variabel-variabel yang digunakan dalam model regresi signifikan atau tidak. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji hasil dari model faktor-faktor sumber risiko produksi terhadap produksi karet. Salah satu pengujiannya adalah koefisien determinasi dan uji F.

1) Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinasi digunakan untuk melihat seberapa jauh tingkat keragaman oleh variabel bebas terhadap vaiabel tak bebas. Selain itu juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukan kedalam model


(33)

33 dapat menerangkan model (Gujarati 1993). Adapun sifat R2 yaitu merupakan besaran non negatif dan batasnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 bernilai 1 artinya suatu kecocokan sempurna (adanya hubungan antar variabel baik bebas maupun terikat), sedangkan jika R2 bernilai 0 artinya tidak ada hubungannya antara variabel bebas dan terikatnya. Dalam pengujian, R2 secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dimana :

= Jumlah kuadrat regresi (SSregression) = Jumlah kuadrat total (SStotal) 2) Uji F-Statistik

Uji F ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh secara bersama-sama oleh variabel independen terhadap variabel dependennya (Gujarati 1993). Hipotesis :

H0 = b1 = b2 = … = 0 H1 = b1≠ 0

Dalam pengujiannya, uji F secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dimana :

R2 = Koefisien determinasi

k = Jumlah variabel (termasuk intercept) n = Jumlah data

Kriteria ujinya adalah jika Fhitung > Ftabel,α,(k-1)(n-k) maka tolak H0, dimana k adalah jumah variabel (dengan intercept) dan jumlah observasi yang dilambangkan dengan huruf n. Selain itu, jika probabilitas (p-value) < taraf nyata maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya.


(34)

34 4.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan kesimpulan awal yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini. Adapun penjelasan hipotesis dari faktor-faktor risiko produksi terhadap produksi karet alam PT Socfindo adalah sebagai berikut :

1) Jumlah pohon yang mati (X1)

b1 < 0, artinya semakin banyak jumlah pohon karet yang mati, maka produksi karet alam akan berkurang.

2) Penderes yang melakukan kesalahan (X2)

b2 < 0, artinya semakin banyak jumlah penderes yang melakukan kesalahan, maka produksi karet alam akan berkurang.

3) Jumlah pohon yang dideres (X3)

b3 > 0, artinya semakin banyak jumlah pohon yang dideres, maka produksi karet alam akan meningkat.

4) Jumlah blok yang terkena Secondary Leaf Fall (X4)

b4 < 0, artinya semakin banyak jumlah blok yang terkena Secondary Leaf Fall, maka produksi karet alam akan berkurang.

5) Biaya Perawatan Brown Bast/Bark Necrosis (X5)

b5 < 0, artinya semakin banyak jumlah biaya perawatan Brown Bast/Bark Necrosis yang dikeluarkan, maka produksi karet alam akan berkurang. 6) Curah Hujan (X6)

b6 < 0, artinya semakin tinggi curah hujan, maka produksi karet alam akan berkurang.

7) Produksi Sebelumnya (Y(t-1))

b7 > 0, artinya semakin tinggi produksi pada bulan sebelumnya (t-1), maka produksi karet alam pada bulan saat ini akan meningkat.

4.7 Uji Asumsi Klasik

Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik terhadap data penelitian yang meliputi pengujian normalitas data, multikolinieritas, heteroskedasitisitas dan autokorelasi.


(35)

35 a) Pengujian Normalitas Data

Pengujian normalitas data dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi, peubah bebas dan terikat mempunyai distribusi normal, atau tidak. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal. Normalitas data dapat dilihat berapa cara, antara lain adalah dengan nilai skewness, histrogam dan Normal P-Plot. Nilai ini digunakan untuk mengetahui bagaimana distribusi normal data dalam variabel dengan menilai kemiringan kurva serta letak tersebarnya titik-titik pada Normal P-Plot adalah menyebar di sekitar garis diagonal dan penyebaran titik-titik data searah dengan garis diagonal (Suliyanto 2011). Pengujian normalitas ini akan dilakukan dengan uji Jarque-Bera.

Uji Jarque-Bera adalah uji statistik untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis

data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal. Uji Jarque-Bera

dalam program eviews 6 dimunculkan dalam bentuk histogram. Walaupun pola distribusi normal Jarque-Bera dalam bentuk histogram tidak dapat terlihat mengikuti bentuk kurva normal, tetapi kenormalan data dapat dilihat dari nilai

probability lebih besar dari α yang telah ditetapkan (Winarno 2009). b) Pengujian Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan suatu penyimpangan asumsi akibat adanya keterkaitan atau hubungan linier antar variabel bebas penyusun model. Indikasi adanya multikolinearitas dapat dilihat jika dalam model yang dihasilkan terbukti signifikan secara keseluruhan (uji-F) dan memiliki nilai R-Squared yang tinggi namun banyak variabel yang tidak signifikan (Winarno 2009).

c) Pengujian Heteroskedastisitas

Uji ini bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan ragam dari sisa satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang homokesdasitas, atau tidak terjadi heteroskedasitas (Suliyanto 2011). Deteksi dapat dilakukan dengan menggunakan uji metode grafis dan statistik. Metode grafis yaitu melihat ada tidaknya pola tertentu yang tergambar pada scatterplot. Sedangkan, metode statistik yaitu metode Glejser,


(36)

36 metode Park, metode White, metode Rank Spearman dan metode Bresch-Pagan-Godfrey (BPG).

Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisistas, digunakan uji- Breusch-Pagan-Godfrey yang diperoleh dalam program Eviews 6. Pengolahan data menggunakan Eviews 6 dengan metode Ordinary least Square (OLS), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan melihat Prob. Chi-Square apakah lebih besar dari α atau tidak. Apabila lebih besar dari α, maka data tersebut telah terbukti tidak ada heteroskedastisitas, sehingga data nya homoskedastisitas dan uji terpenuhi. Apabila kurang dari α, maka terbukti terdapat heteroskedastisitas, sehingga uji ini tidak terpenuhi (Winarno 2009).

d) Pengujian Autokorelasi

Autokorelasi adalah hubungan antara residual satu obsevasi dengan observasi yang berlainan waktu. Autokorelasi lebih mudah timbul pada data yang bersifat deret waktu, karena berdasarkan sifatnya, data masa sekarang dipengaruhi oleh data pada masa-masa sebelumnya. Autokorelasi dapat berbentuk autokorelasi positif dan autokorelasi negatif. Dalam data deret waktu, lebih besar terjadi autokorelasi positif, karena variabel yang dianalisis pada umumnya cenderung meningkat (Winarno 2009).

Ada beberapa metode untuk uji autokorelasi antara lain metode Breusch- Godfrey dan metode Durbin-Watson (DW). Uji korelasi Durbin-Watson relatif mudah dilakukan karena informasi nilai statistik hitungnya selalu diinformasikan setiap program komputer termasuk dalam Eviews versi 6. Dijelaskan bahwa jika nilai DW tersebut sudah lebih dari 1,5 dan mendekati 2 maka dapat dikatakan tidak ada autokorelasi yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Selang Nilai Statistik Durbin Watson serta Keputusannya

Nilai Durbin-Watson Kesimpulan

DW < 1,10 Ada autokorelasi

1,10 < DW < 1,54 Tanpa kesimpulan 1,55 < DW < 2,46 Tidak ada autokorelasi 2,46 < DW < 2,90 Tanpa kesimpulan

DW > 2,91 Ada autokorelsi


(37)

37

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

5.1 Profil Perusahaan

PT Socfin Medan didirikan pada tahun 1930 dengan nama Socfin Medan (Socliete Finaciere Des Conchocs Medan Siciete Anonyme). Perusahaan ini didirikan berdasarkan Akte Notaris William Leo No. 45 tanggal 7 Desember 1930 dan merupakan perusahaan yang mengelola perusahaan perkebunan di

daerah Sumatera Utara, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.

Pada tahun 1965 berdasarkan penetapan Presiden no. 6 tahun 1965, keputusan Presiden kabinet Dwikora no. A/d/50/65, Instruksi Menteri Perkebunan no. 20/MPR/M.Perk./65, no. 29/Mtr/M.perk/65 dan SK no.100/M.Perk/65 semua perkebunan yang dikelola PT Socfin Medan berada di bawah pengawasan Pemerintah Republik Indonesia.

Tanggal 29 April 1968 dicapai suatu persetujuan antara pemerintah RI dengan PT Socfin Medan dengan tujuan mendirikan perusahaan perkebunan

Belgia dalam bentuk Joint Venture dengan komposisi modal 60 persen bagi

Pengusaha Belgia dan 40 persen Pemerintah Indonesia. Sejalan dengan perkembangan PT Socfin Medan berubah nama menjadi PT Socfin Indonesia (Socfindo), pada tahun 2001 anggaran dasar PT Socfindo mengalami beberapa perubahan berdasarkan akta perubahan dari Notaris Ny. R.Arie Soetardjo mengenai komposisi saham menjadi 90 persen bagi Pengusaha Belgia dan 10 persen bagi Pemerintah Indonesia.

PT Socfindo merupakan sebuah perusahaan perkebunan dengan komoditi utamanya yaitu Kelapa Sawit dan Karet yang terletak di wilayah Provinsi

Sumatera Utara dan Provinsi Aceh dengan total areal seluruhnya 49,548.96 Ha.

Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan industri perkebunan kelapa sawit dan karet kelas dunia yang efisien dalam produksi dan memberikan keuntungan

kepada para stake holder dan misi perusahaan sebagai berikut :

1) Mengembangkan bisnis dan memberikan keuntungan bagi pemegang

saham

2) Memberlakukan sistem manajemen yang mengacu pada standar


(38)

38

3) Menjalankan operasi dengan efisien dan hasil yang tertinggi (mutu dan

produktivitas) serta harga yang kompetitif

4) Menjadi tempat kerja pilihan bagi karyawannya, aman dan sehat

5) Penggunaan sumber daya yang efisien dan minimalisasi limbah

6) Membagi kesejahteraan bagi masyarakat dimana kami beroperasi

PT Socfin Indonesia berkantor pusat di Medan beralamatkan Jalan K.L.

Yos Sudarso no. 106 Medan dipimpin oleh seorang Principal Director yang

ditetapkan oleh Komisaris atau pemilik saham dan seorang General Manager,

keduanya disebut Direksi. Penyelengaraan kegiatan perusahaan dilakukan Direksi

dengan dibantu oleh Kepala-Kepala Bagian Departemen dan Group Manager

yang memimpin satu rayon perkebunan dimana PT Socfindo memiliki tiga rayon perkebunan (Group I,II,III). Masing-masing Group Manager memimpin beberapa perkebunan di group masing-masing. Bagian Departemen di PT Socfindo adalah sebagai berikut :

1) Bagian Umum (General Department)

2) Bagian Perbelanjaan (Finance Department)

3) Bagian Pembelian (Purchase Department)

4) Bagian Tanaman (Agricultural Department)

5) Bagian Tehnik (Technic Department)

6) Bagian penjualan (Sales Department)

7) Bagian Informasi Teknologi (IT Department)

PT Socfindo juga memiliki beberapa kebun yang terdiri dari tiga Group. Group satu terdiri dari kebun Sei liput, Seunagan, Seumayam, dan Lae Butar. Untuk group dua yaitu kebun Mata Pao, Bangun Bandar, Tanah Gambus, Tanah Maria, Tanah Besi, dan Lima Puluh, sedangkan group tiga terdiri dari Aek Loba, Padang Pulo, Negeri Lama, Aek Pamienke, dan Halimbe. Ketiga group kebun ini tersebar dibeberapa kabupaten yang dapat dilihat pada Tabel 9.


(39)

39 Tabel 9. Penyebaran Kebun di PT Socfin Indonesia (Socfindo) Tahun 2012

No. Perkebunan Kebun Kabupaten

1 Kelapa Sawit Seumayam Aceh Barat

2 Kelapa Sawit Seunagan Aceh Barat

3 Kelapa Sawit Lae Butar Aceh Selatan

4 Kelapa Sawit Sei Liput Aceh Timur

5 Kelapa Sawit Mata Pao Serdang Badagai

6 Kelapa Sawit Bangun Bandar Serdang Badagai

7 Karet Tanjung Maria Serdang Badagai

8 Karet Tanah Besi Serdang Badagai

9 Karet Lima Puluh Batu Bara

10 Kelapa Sawit Tanah Gambus Batu Bara

11 Kelapa Sawit Aek Loba Asahan

12 Kelapa Sawit Padang Pulo Asahan

13 Kelapa Sawit Negeri Lama Labuhan Batu

14 Karet Aek Pamingke Labuhan Batu

15 Karet Halimbe Labuhan Batu

Sumber : PT Socfindo (2012)

5.2 Perkembangan Usaha Perkebunan Karet

PT Socfindo memiliki lima perkebunan karet yaitu Tanjung Maria, Tanah Besi, Lima Puluh, Aek Pamingke, dan Halimbe. Perkembangan usaha karet dari lima perkebunan di PT Socfindo dari tahun ke tahun mengalami produktivitas yang berfluktuasi. Hal ini dapat dilihat dari penurunan produktivitas tahun 2007 ke 2008 pada Tabel 10. Setelah dari tahun 2008 sampai 2011 dan seterusnya, produktivitas karet mengalami peningkatan dan penurunan yang tidak terlalu signifikan, sehingga dapat disimpulkan produktivitas karet untuk PT Socfindo secara keseluruhan masih mengalami perkembangan yang cukup baik.

Tabel 10. Perkembangan Produktivitas PT Socfindo Tahun 1968-2011

Tahun Luas Lahan

(Ha)

Produksi (KK Kg)

Produktivitas (Kg/Ha)

1968 7.653 4.302.922 562

2006 6.751,50 10.548.342 1.562

2007 6.514,89 10.768.773 1.653

2008 6.703,06 9.558.521 1.426

2009 6.716,07 10.383.661 1.546

2010 7.032,83 10.729.320 1.526

2011* 6.925,58 11.761.378 1.698

Sumber : Divisi Bagian Tanaman PT Socfindo (2011) Keterangan : * Angka Sementara

Penelitian ini dilakukan di salah satu perkebunan karet PT Socfindo, yaitu perkebunan Aek pamienke. Perkembangan produktivitas karet untuk kebun aek


(40)

40 pamienke dari tahun 2006-2010 mengalami fluktuasi produktivitas yang dapat dilihat mulai dari 2006 sampai 2007 mengalami peningkatan produktivitas sebesar 11,04 persen, sedangkan pada tahun 2008 mengalami penurunan yang sangat signifikan sebesar 23,53 persen dari produktivitas pada tahun 2007. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan kembali sebesar 1,56 persen dan menurun kembali sebesar 10,01 persen pada tahun 2010. Produktivitas (kg/ha/tahun) Kebun Aek Pamienke PT Socfindo dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Produktivitas Kebun Aek Pamienke PT Socfindo Tahun 2006-2010

Tahun Produktivitas (Kg/Ha) Pertumbuhan (%)

2006 1.657

-2007 1.840 11,04

2008 1.407 -23,53

2009 1.548 10,02

2010 1.379 -10,92

Sumber : Divisi Bagian Tanaman PT Socfindo (2011)

Kebun Aek Pamienke PT Socfindo memiliki luas lahan yang paling besar dibandingkan perkebunan karet lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 12. Luas lahan tersebut adalah luas lahan yang ditanami tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM), dan sisanya berupa rawa, perumahan, pabrik, dan jalan kebun. Tanaman belum menghasilkan adalah tanaman yang berumur 0-5 tahun, sedangkan untuk tanaman menghasilkan berumur > 5 tahun.

Tabel 12. Luas Areal Perkebunan Karet PT Socfindo Tahun 2012 Perkebunan Karet

Luas Lahan yang ditanami

(Ha)

Lain-lain( rawa, perumahan, pabrik, dan

jalan kebun)

Total (Ha)

Tanjung Maria 1.224,98 23,09 1.248,07

Tanah Besih 1.367,98 28,03 1.396,01

Lima Puluh 1.794,85 32,49 1.827,34

Aek Pamienke 3.820,25 121,00 3.941,25

Halimbe 1.406,46 145,48 1.551,94

Sumber : Divisi Bagian Tanaman PT Socfindo (2012)

5.3 Struktur Organisasi

Kebun Aek Pamienke PT. Socfindo berada di group tiga dengan dipimpin oleh seorang Group Manager (GM), sedangkan untuk pengelolaan perkebunan Aek Pamienke dipimpin oleh seorang manager kebun yang disebut pengurus,


(41)

41 bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan operasi lapangan dan pabrik karet kebun Aek Pamienke. Pelaksanaan tugas yang berlaku adalah seorang pengurus di bantu oleh seorang asisten kepala beserta lima orang asisten divisi di lapangan (kebun), satu orang kepala pabrik dengan jabatan tekhniker I dan satu orang asisten teknik dengan jabatan tekniker II, serta satu orang Kepala Tata Usaha (KTU) yang bertanggung jawab terhadap administrasi kebun yang dibantu beberapa orang pegawai administrasi.

Tenaga kerja yang bekerja di dalam perusahaan secari garis besar dapat dibagi dalam beberapa kategori atau golongan, yaitu :

1) Staf

Karyawan dengan golongan staf merupakan karyawan yang berposisi sebagai suatu pengurus yang bertanggung jawab akan pengelolaan perkebunan, seperti manager, asisten kepala, kepala masing-masing afdeling, kepala pabrik, dan kepala tata usaha. Karyawan dengan golongan staf mendapatkan gaji dan berbagai macam tunjangan sesuai dengan posisinya masing-masing.

2) Non-Staf

Golongan ini merupakan peralihan golongan dari karyawan tetap bulanan yang akan menuju staf, sehingga mendapatkan tunjangan yang masih sama dengan karyawan tidak bulanan, tapi selangkah lebih dekat menuju staf.

3) Karyawan Tetap Bulanan (KTB)

Karyawan Tetap Bulanan (KTB) merupakan karyawan yang dianggap tetap secara bulanan, mendapatkan gaji dan tunjangan sesuai dengan status atau jumlah anggota keluarga yang ditanggung, seperti pegawai kantor, dan lain sebagainya.

4) Karyawan Tetap Harian (KTH)

Karyawan Tetap Harian (KTH) merupakan karyawan tetap secara harian mendapatkan gaji dan tunjangan yang tidak tergantung pada jumlah anggota keluarga yang ditanggung, seperti pegawai deres, nyemprot, pabrik, dan lain sebagainya.


(42)

42

5) Buruh Harian Lepas (BHL)

Golongan ini merupakan tenaga kerja yang masih dianggap sementara/ tidak tetap. BHL mendapatkan bayaran dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) sektor perkebunan. BHL memiliki tugas dalam merawat tanaman karet, seperti membersihkan rumput dan gulma. Pencarian BHL dapat dibantu melalui kerjasama yang dilakukan PT Socfindo kebun Aek Pamienke dengan koperasi lestari. Tugas koperasi lestari dalam hal ini adalah mencari BHL apabila diperlukan, kemudian PT Socfindo yang membayarnya ke pihak koperasi.

Struktur organisasi untuk PT Socfindo kebun Aek Pamienke dapat dilihat rincian lengkapnya pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur Organisasi Kebun Aek Pamienke PT Socfindo

Sumber : Kebun Aek Pamienke PT Socfindo (2012)

Setiap afdeling yang terdapat dalam perkebunan juga memiliki struktur organisasi masing-masing, yang terdiri dari mandor satu tanaman, mantri produksi, mantri tanaman, tap control, krani lateks, dan pembantu krani yang masing-masing memiliki tugasnya dalam setiap afdeling. Setiap afdeling rata-rata terdiri dari 400-800 ha yang terbagi dalam beberapa blok. Struktur organisasi tiap afdeling dapat dilihat pada Gambar 8.

Pengurus/Manager Asisten Kepala

(ASKEP)

Tekniker I

KTU

(Kepala Tata Usaha) Kepala

Afdeling/Divisi

Afd. I Afd. II Afd. III Afd. IV Afd. V


(43)

43 Gambar 8. Struktur Organisasi Setiap Afdeling Kebun Aek Pamienke

PT Socfindo

Sumber : Kebun Aek Pamienke PT Socfindo (2012)

5.4 Peraturan Ketenagakerjaan

1) Jam Kerja dan Tata Tertib Kerja

Waktu kerja karyawan kebun Aek Pamienke PT Socfindo adalah 7 jam satu hari atau 40 jam dalam satu minggu dimana dalam pelaksanaanya diatur sebagai berikut :

a) Karyawan lapangan bekerja enam hari dalam seminggu. Khusus

karyawan penderes yang masuk pada hari libur atau hari minggu akan diberi premi khusus (Uang Kontan) atau sering disebut kontanan. Karyawan mulai bekerja pukul 06.30 WIB sampai pukul 14.00 WIB dan diantaranya termasuk istirahat untuk makan pagi yang biasa di istilahkan “wolon” pada pukul 10.00-12.00 WIB.

b) Karyawan pabrik karet kebun Aek Pamienke juga bekerja enam hari

dalam sepekan, jika mereka masuk pada hari minggu atau hari libur maka dianggap lembur. Waktu kerja karyawan pengolahan dibagi

menjadi dua shift, yaitu shift pertama bekerja mulai pukul 07.00 WIB

sampai pukul 11.00 WIB, dan shift kedua bekerja mulai jam 13.00

WIB berakhir sampai pukul 16.00 WIB. Asisten Afdeling

I, II, III, IV, V Kepala Asisten

(ASKEP)

Mandor I Tanaman Mantri

Produksi Mantri

Tanaman Tap

Kontrol

Krani Lateks

Karyawan Mandor Deres Karyawan


(44)

44

c) Pegawai kantor pengurus dan pabrik bekerja mulai pukul 08.00 WIB

sampai 16.00 WIB dan diantaranya sudah termasuk waktu istirahat tengah hari dari pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB untuk makan siang. Kelebihan jam kerja dihitung sebagai lembur. PT Socfindo memberikan hak cuti bagi seluruh pekerja perkebunan yang diatur sebagai berikut :

a) Istirahat tahunan yang disebut juga cuti tahunan diberikan 12 hari

dalam setahun, dan bila telah bekerja enam tahun mendapat cuti panjang selama tiga bulan.

b) Bagi pekerja wanita yang sedang mempersiapkan proses kelahiran

mendapat hak cuti selama tiga bulan.

c) Bagi pekerja yang mendapat kemalangan, kawin/mengawinkan,

mendapat hak cuti selama dua hari.

d) Bagi pekerja yang mengikuti ibadah haji diberikan cuti selama

mengikuti ibadah tersebut.

2) Sistem Upah

Sistem upah yang diterapkan pada setiap karyawan berpedoman kepada Upah Minimum Provinsi (UMP) sektor perkebunan. Selain upah dasar, perusahaan juga menetapkan sistem pembayaran lainnya antara lain :

a) Diterapkan premi jika karyawan dapat mencapai atau menyelesaikan

pekerjaan melebihi target perusahaan.

b) Lembur jika karyawan bekerja melebihi waktu yang sudah ditetapkan.

c) Diberikan catu natura berupa beras untuk pekerja 15 kg, untuk istri 9

kg, dan untuk anak 7,5 kg maksimum tiga anak.

d) Pemberian tunjangan Hari Raya pada setiap mendekati hari raya.

e) Pemberian bonus tahunan yang besarannya dihitung dari keuntungan

perusahaan

3) Fasilitas Kesejahteraan Karyawan Dan Sarana Sosial

Kebun Aek Pamienke PT Socfin Indonesia (Socfindo) memberikan Fasilitas kesejahteraan dan sarana sosial bagi pekerja dan keluarganya, baik fisik maupun non-fisik antara lain :


(1)

79 Lampiran 3. Uji Autokorelasi Data Produksi, Produktivitas, dan Keenam Variabel

Kebun Aek Pamienke PT Socfin Indonesia (Socfindo) Tahun 2009-2011

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.387304 Prob. F(4,23) 0.2694


(2)

80 Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas Data Produksi, Produktivitas, dan Keenam

Variabel Kebun Aek Pamienke PT Socfin Indonesia (Socfindo) Tahun 2009-2011

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 1.934430 Prob. F(7,27) 0.1029

Obs*R-squared 11.69027 Prob. Chi-Square(7) 0.1112 Scaled explained SS 8.887308 Prob. Chi-Square(7) 0.2608


(3)

81 Lampiran 5. Dokumentasi Perkebunan Karet di Kebun Aek Pamienke PT

Socfindo

Pohon karet di Kebun Aek Pamienke PT Socfindo

Kegiatan penderes dalam menderes lateks

Kegiatan pengumpulan lateks di rumah lateks


(4)

82

Pengentalan/pembukuan lateks

Pemotongan lateks yang telah dikentalkan/dibekukan

Standar Mutu yang dihasilkan oleh Kebun Aek Pamienke PT Socfindo


(5)

RINGKASAN

REGINA PRAMEISA. Risiko Produksi Karet Alam di Kebun Aek Pamienke PT Socfindo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANNA FARIYANTI)

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang dapat diandalkan dalam menunjang perekonomian Indonesia. Pentingnya sektor pertanian dapat terlihat jelas sebagai penyedia utama pangan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebesar 41.494.941 jiwa atau 38,35 persen terhadap total nilai tenaga kerja. Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan sebagai penopang perekonomian pertanian di Indonesia. Peranannya dapat terlihat dalam penerimaan devisa negara pada tahun 2010 melalui kegiatan ekspor perkebunan sebesar US$22 miliar meningkat drastis dibanding tahun 2005 yang hanya US$9 miliar. Salah satu tanaman subsektor perkebunan adalah karet. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar di dunia, tetapi untuk produksi karet alam yang dicapai Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan produksi yang dicapai oleh Thailand dan Malaysia. Walaupun demikian, luas lahan perkebunan karet alam Indonesia terluas dibandingkan Thailand dan Malaysia. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi, seperti risiko produksi alam, hama, atau penyakit. Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang sangat cocok untuk budidaya karet karena memiliki iklim yang basah. Perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan karet di Provinsi Sumatera Utara salah satunya adalah PT Socfin Indonesia (Socfindo).

PT Socfindo menghadapi berbagai risiko dalam memproduksi karet alam, salah satunya adalah risiko produksi. Hasil produksi dan produktivitas karet alam yang berfluktuatif menjadi salah satu akibat dari adanya risiko produksi. Produksi dan produktivitas karet alam kebun Aek Pamienke PT Socfindo mengalami fluktuasi mulai dari tahun 2009-2011. Fluktuasi tersebut menunjukkan bahwa adanya target produksi yang tidak terpenuhi sesuai yang diharapkan perusahaan. Hal ini menjadi suatu permasalahan yang dapat diakibatkan oleh beberapa faktor risiko produksi, seperti penggunaan teknologi, curah hujan, hama dan penyakit, sehingga menyebabkan total produksi karet alam setiap tahun mengalami penurunan dengan luas lahan setiap tahun yang tetap. Penanganan yang sangat tepat dibutuhkan untuk dapat mengurangi hal tersebut agar menghasilkan produksi maksimal dengan kualitas atau standar mutu karet alam yang diharapkan oleh perusahaan sesuai permintaan pasar domestik maupun internasional. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah (1) Mengkaji gambaran umum perkebunan Aek Pamienke PT Socfindo, (2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor sumber risiko produksi terhadap produksi karet alam PT Socfindo.

Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Aek Pamienke, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang sangat cocok dalam budidaya karet. Waktu pengumpulan data dimulai pada bulan Maret 2012 sampai dengan April 2012.


(6)

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi linier berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Uji asumsi klasik pada metode ini telah dilakukan untuk mengetahui apakah model tersebut telah memenuhi semua uji atau tidak.

Variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah jumlah pohon yang mati, penderes yang melakukan kesalahan, jumlah pohon yang dideres, jumlah blok yang terkena Secondary Leaf Fall (SLF), curah hujan, dan biaya perawatan Brown bast/bark necrosis (BB/BN). Hasil estimasi dari seluruh model yang ada telah cukup baik, sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R-squared) adalah 0,58 atau 58 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebesar 58 persen dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 42 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil pendugaan persamaan faktor-faktor sumber risiko produksi menunjukkan tanda positif untuk variabel jumlah pohon yang dideres, curah hujan, dan produksi sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 0,267069; 181,394; dan 0,614157. Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin banyak jumlah pohon yang dideres dan semakin banyak curah hujan, maka produksi karet alam akan semakin meningkat. Variabel terakhir adalah variabel produksi sebelumnya, artinya semakin banyak produksi karet alam pada bulan sebelumnya, maka produksi karet alam semakin meningkat pada bulan berikutnya, sedangkan variabel jumlah pohon yang mati, jumlah penderes yang melakukan kesalahan, jumlah blok yang terkena SLF, dan biaya perawatan BB/BN menunjukkan tanda negatif, yaitu masing-masing sebesar -1,102137; -2522,678; -3126,435; dan -0,000113. Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin banyak jumlah pohon yang mati, jumlah penderes yang melakukan kesalahan, jumlah blok yang terkena SLF, dan biaya perawatan BB/BN, maka produksi karet alam akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil dari ketujuh variabel diatas menunjukkan bahwa variabel curah hujan merupakan variabel yang tidak memenuhi hipotesis awal. Selain itu, variabel produksi sebelumnya merupakan variabel yang digunakan untuk menekan autokorelasi yang muncul pada data.

Taraf nyata yang digunakan pada penelitian adalah 20 persen. Berdasarkan hasil dari nilai peluang menunjukkan bahwa untuk variabel jumlah penderes yang melakukan kesalahan, jumlah blok yang terkena SLF, curah hujan, dan produksi sebelumnya mempunyai peluang masing-masing sebesar 0,177; 0,0102; 0,1217; dan 0,0001. Maka dari itu, untuk keempat variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi karet alam, sedangkan untuk variabel jumlah pohon yang mati, jumlah pohon yang dideres, dan biaya perawatan BB/BN mempunyai peluang masing-masing 0,3275; 0,3364; dan 0,9357 dan ketiga variabel tersebut dinyatakan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi karet alam.

Penelitian mengenai risiko produksi ini diharapkan perusahaan dapat melakukan percobaan-percobaan baru dalam penanganan penyakit pada tanaman karet yang bertujuan untuk dapat mengobati secara efektif dan mengefisienkan biaya. Selain itu, untuk dapat mengantisipasi apabila terjadi curah hujan yang tinggi adalah dengan cara melakukan strategi rainguard yang bertujuan menjaga panel deres agar tidak terlalu basah akibat air hujan.