Kedudukan Asas Legalitas dalam Tindak pidana Terorisme. di

menginkorporasi defenisi doktrin ini karena kesulitan kesulitan untuk mendapat kepastian sejauh mana hal itu diperlukan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu hasil dari aksi teror. 2. Menimbulkan korban yang bersifat massal. Perlu dirinci sebanyak apa korban yang diperlukan untuk bisa menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan terorisme. 3 Obyek vital yang strategis. Perlu didaftarkan obyek vital yang dianggap strategis tersebut. Selanjutnya asas yang dianut di dalam UU No. 16 Tahun 2003 ada dikenal dengan asas retroaktif. Asas retroaktif adalah kebalikan dari asas non retroaktif atau asas legalitas,yaitu bahwa asas retroaktif justru memberlakukan secara surut suatu undang-undang. Sifatnya yang bertentangan dengan konstitusi negara dalam UUD 1945 dan asas-asas pemberlakuan undang-undang, mengakibatkan bahwa berlakunya asas retroaktif sampai saat ini masih dalam perdebatan. Bukti konkrit dalam hal ini salah satunya adalah dikabulkannya permohonan uji materil agar dicabutnya asas retroaktif dalam UU No. 16 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Kedudukan Asas Legalitas dalam Tindak pidana Terorisme. di

Tinjau dari berbagai peraturan Perundang-undangan di Indonesia Universitas Sumatera Utara Dengan terjadinya peristiwa 11 september 2001, upaya pemberantasan terorisme telah diangkat menjadi prioritas utama dalam kebijakan politik dan keamanan global. Dua tahun masa war of terrorism yang di motori amerika serikat masih belum menyentuh akar permasalahan. Yang tersisa kini kedudukan keluarga para korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kata kunci dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika serikat hanya mengejar pelaku teeror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris Osama bin Laden dan kawwan-kawan. Mengurai, mengidentifikasi dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internasional, Play ground- nya berskala Internasional. Terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tetapi menjadi masalah seluruh umat manusia. 55 55 Gugun El-Guyanie, Terorisme dan Perdamaian Global. Harian Kompas, edisi Tanggal 11 september 2007. Payung hukum yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme adalah tetap mengacu kepada konstitusi dasar RI, yaitu UUD 1945. berikut ini dapat dilihat beberapa produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutf dengan persetujuan badan legislatif yang berkenaan dengan tindak pidana terorisme antara lain: Universitas Sumatera Utara 1. INPRES No. 4 Tahun 2002 tentang INPRES Perumusan Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Bali 12 Oktober 2002 Dalam INPRES ini Presiden RI Menyatakan : a. bahwa sesuai dengan sifat, bentuk, dan metoda operasi kegiatan terorisme pada umumnya, langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, harus dilakukan pula dengan sfat, bentuk, dan metoda yang cepat dan efektif; b. bahwa untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah operasional yang tepat, sehingga pelaksanaan dan pemberantasannya baik yang berupa tindakan penangkalan atau pelaksanaannya dapat berlangsung dengan cepat dan efektif; c. bahwa berdasarkan ketentuan pasal 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, presiden memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional serta pengendaliannya. Kemudian dalam INPRES No. 4 Tahun 2002 ini juga, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada menteri negara koordintor bidang politik dan keamanan untuk : 1. Merumuskan kebijkan yang komprehensif dan terpadu bagi pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk pada peristiwa peladakan bom di Bali Universitas Sumatera Utara Tanggal 12 Oktober 2002, secara terkoorinasi dengan dan di antara seluruh instansi yang secara fungsional memiliki tugas dan kewenangan di bidang tersebut, serta menyusun-langkah-langkah operasional yang meliputi aspek penyangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian, penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi pemberantasannya oleh instansi- instansi termaksud secara, terpadu dan efektif. 2. Mengajukan kepada dan untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari presiden, seluruh rancangan kebijakan dan langkah-langkah operasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, dalam rangka pengungkapan secara jelas dan tuntas latar belakang dan rencana setiap kegiatan, terorisme, jaringan perencanaan, persiapan dan pelaksanaannya, ataupun bagi penangkapan pelaku dan pihak lain yang tersangkut di dalamnya, serta pengambilan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi penyelesainnya. 3. Mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan selalu berupaya mewujudkan, memelihara kesatuan, keterpaduan dan keharmonisan pelaksanaan kegiatan operasi pemberantasan tindak pidana terorisme yang secara fungsional dilakukan oleh berbagai instansi terkait, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. 4. Menyampaikan laporan pelaksanaan instruksi secara berkala atau sewaktu- waktu kepada presiden. Universitas Sumatera Utara 5. Membentuk sebuah satuan kerja yang berbenuk non struktural dan berada di lingkungan Sekretariat Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas ini, yang susunan dan tata kerjanya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan. 6. Melaksanakan Instruksi presiden ini secar cermat dan menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Presiden.

2. UU No. 15 Tahun 2003 jo UU No.16 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.