Asas Retroaktif Dalam Tindak Pidana Korupsi

B. Asas Retroaktif Dalam Tindak Pidana Korupsi

Baru-baru ini publik dikacaukan dengan pendapat para pengamat tentang persoalan penggunaan asas retroaktif dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang dilakukan KPK. Hal ini dipicu putusan judicial review terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagian pengamat menyatakan, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK hanya berwewenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara sebelum Undang- Undang UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dibentuk, seyogianya diikuti KPK karena UU KPK No 302002 sama sekali tidak mengatur asas retroaktif. 68 Di pihak lain, para ahli hukum berpendapat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam setiap putusannya tidak mengikat secara umum sehingga tidak perlu diikuti KPK. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sendiri berpendapat, penerapan asas retroaktif dalam UU No 302002 tentang KPK dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang- undang laiknya UU No 262000 tentang Pengadilan HAM. Penerapan asas retroaktif Dari sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya, artinya apabila negara dalam keadaan darurat abnormal dengan prinsip-prinsip 68 Kompas, 24 februari 2005, ditulis oleh Amir Syamsuddin. Universitas Sumatera Utara hukum darurat abnormaal recht, karena itu penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang amat limit, dengan tetap memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur yang dapat dikategorikan abuse of power. Semangat untuk memberlakukan eksistensi asas retroaktif kini bisa dianggap sebagai kemunduran jika dikaitkan dengan asas lex tallionis sebagai sumber primaritas, tetapi semangat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi bagi pelaku yang telah menikmati hasil korupsi di masa lalu bukan sebagai semangat tallionis, tetapi merupakan tindakan pemulihan dan penyelamatan harta kekayaan negara yang telah diselewengkan pelaku korupsi yang tidak bertanggung jawab. Pemberlakuan asas retroaktif untuk kejahatan korupsi yang kami anggap sebagai kejahatan terhadap masyarakat crimes against society adalah suatu hal dimungkinkan selain dapat mematahkan upaya-upaya impunity, juga agar dapat menyelesaikan secara tuntas dan adil tiap kejahatan korupsi yang telah menyengsarakan masyarakat. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang. Apalagi kejahatan korupsi juga merupakan masalah yang muncul sebagai burning issues yang berdimensi luas yang selain dapat merusak tatanan hidup masyarakat, juga Universitas Sumatera Utara dijadikan isu-isu untuk merongrong kewibawaan pemerintah dan alat penegak hukum. 69 Selain itu, aneka perbuatan korupsi masa lalu sering baru dapat diketahui dan ditemukan indikasinya di masa sekarang sehingga pembatasan kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi masa lalu sulit diterima. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi jelas bukan amar putusan diktum yang mengikat umum sehingga tidak mempunyai konsekuensi hukum apa pun jika diikuti atau tidak diikuti. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi hanya dapat dijadikan referensi bagi praktisi dan penegak hukum, termasuk para hakim untuk membuat putusan, tetapi bukan sebuah diktum yang mengikat umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 UU No 242003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi sesuai asas-asas peradilan yang berlaku umum hanya akan memutus apa yang diminta para pemohon untuk diputus sesuai dengan ketentuan UU No 242003 tentang Mahkamah Konstitusi. Persoalan penggunaan asas retroaktif ini akan menjadi semakin sulit apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materiil terhadap UU No 262000 tentang Pengadilan HAM yang menurut para pemohonnya bertentangan dengan Pasal 28i Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 karena memberlakukan asas retroaktif. Apabila ini terjadi berarti Mahkamah Konstitusi telah berpendirian, asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHPidana Noellun Delictum, Noella Poena Sine Praevia Lega Poenali sama sekali tidak dapat disimpangi tuntutan keadilan masyarakat. UU KPK perlu 69 Ibid, Universitas Sumatera Utara direvisi? Sebagaimana dinyatakan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, pengaturan asas retroaktif seharusnya diatur dalam UU No 302002 tentang KPK, khususnya yang menyangkut asas retroaktif, sehingga KPK memiliki kewenangan jelas dan nyata untuk menangani kasus-kasus korupsi masa lalu. Jika kita memakai konstruksi berpikir ilmu hukum, Pengadilan Khusus Korupsi yang diwadahi UU KPK tentu tidak dapat memeriksa kejahatan korupsi yang terjadi sebelum pengadilan terbentuk. Namun, konstruksi berpikir itu tidak dapat dipakai dalam persoalan ini karena persoalan korupsi tak mengenal ruang dan waktu seperti layaknya persoalan HAM yang diatur dalam UU No 262000 tentang Pengadilan HAM. 70 Perbuatan atau kejahatan korupsi masa lalu memiliki akibat yang dirasakan hingga kini sehingga menurut hemat kami KPK sebagai komisi satu- satunya pemberantasan korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi masa lalu. Sementara itu, Pengadilan Korupsi meski baru terbentuk merupakan perpanjangan atau sarana untuk menyelesaikan kasus- kasus korupsi yang ditangani KPK. Meski demikian, argumen kami tidak baku, karena itu sudah selayaknya UU KPK direvisi. Apabila Pengadilan Khusus Korupsi sudah berjalan, eksistensi pengadilan ini tentu akan dipersoalkan masyarakat karena dianggap tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara- perkara korupsi masa lalu. Sejak KPKPN melakukan uji materiil terhadap UU KPK dulu, kami merasakan adanya ketimpangan dalam kebijakan instrumental pembuat undang- undang KPK yang kesannya tergesa-gesa dan tidak fokus pada 70 Ibid, Universitas Sumatera Utara penegakan hukum korupsi secara jernih dan terpadu. Akibatnya, banyak hal yang dilupakan, termasuk mengenai pengaturan asas retroaktif sebagaimana yang dipersoalkan sekarang ini. Dalam UU No 302002 tentang KPK, Pasal 9 dan Pasal 68 UU KPK hanya menyatakan KPK berwenang melanjutkan atau mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang belum selesai dilakukan lembaga penegak hukum lain, tetapi tidak ada ketentuan yang menyatakan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk perkara korupsi masa lalu. Karena itu, menjadi wajar bila Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat bahwa seyogianya KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi masa lalu mengingat keberadaan Pasal 28i Ayat 1 UUD 1945. Dengan demikian, UU KPK perlu direvisi dengan memasukkan asas retroaktif di dalamnya sehingga tidak ada keraguan bagi KPK untuk bertugas mencegah dan memberantas korupsi tanpa harus dibatasi ruang dan waktu. Semangat pemberantasan korupsi merupakan semangat yang dikembangkan berdasar pikiran bahwa kondisi bangsa kita sedang dalam keadaan darurat korupsi sehingga penggunaan asas retroaktif dimungkinkan selain tuntutan keadilan juga merupakan tuntutan negara yang sudah berusaha menyelamatkan keuangan negara yang hilang. Karena itu, setiap prasarana dan sarana pemberantasan korupsi harus diberi dukungan sepenuhnya, termasuk kewenangan KPK untuk terus bekerja menangani kasus-kasus korupsi tanpa dibatasi ruang dan waktu. 71 71 Ibid Universitas Sumatera Utara Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink yang menegaskan bahwa daya kerja surut retroaktif dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat 2 dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. 72 Secara tegas Remmelink halaman 365-366 mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving pembuat perundang-undangan dalam ketentuan KUHP Belanda sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana strafbaarstelling. Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa 72 http:www.transparansi.or.id Universitas Sumatera Utara dari atau melalui perubahan ini undang-undang,pen. harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan kepatutan tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif- restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa. 73 Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka yang secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk Perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait tindak pidana termasuk para koruptor, kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan keistimewaan perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-undang hukum acara pidana. Dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada guru besar hukum pidana, hukum administrasi negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi dan status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas pada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana disatu sisi asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan objeknya dan huku m administrasi negara di sisi lain tidak memahami arti dan makna. 73 Ibid, Universitas Sumatera Utara negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun yang sudah mencapai 50, kiranya sudah dapat ditolerir lagi pendapat yang menyatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa ordinary crimes bukan kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sitematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam bagian menimbang huruf a Undang-undang N0. 20 Tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi…tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitik tolak kepda fakta korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas, pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extra ordinary crimes sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK. 74 Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indoneisa sampai saat 74 Romli Atmasasmita, Penerapan Hukum Pidana dan Asas Non Retroaktif dalam Pemberantasan Korupsi,NTI press Jakarta 2007. yang dikutip dari buku dibalik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap KPK. Universitas Sumatera Utara ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis dan konstitusional serta sosiologis yang kuat teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang berlaku sebelum diberlakukannya UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas dasar uraian diatas maka tidak ada lagi dalih untuk pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlauan Undang-undang tersebut tidak berlaku surut. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan