Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional.

Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 UUD 1945. pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum dosmetik dan katentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana retroaktif yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Kenyataannya yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berda di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu larangan penerapan peratuaran pidana secara retroaktif ternyata meninbulkan persoalan yang rumit terutama menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingnya dalam KUHP atau perturan pidana khusus lainnya.

E. Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional.

Pada saat ini, larangan pemberlakuan surut non retroaktif suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam artikel konvensi Jenewa ketiga 12 Agustus 1949, pasal 14 dan pasal 28 konvensi Wina 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organization or between International Organization. Selain itu Universitas Sumatera Utara dapat pula dilihat dalam pasal 11 ayat 2 Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights 1966 ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Right and Fundamental Freedom and Its Eight Protocols, terutama dalam pasal 22-24. 31 Meskipun ketentuan dalm hukum International menentukan demikian, bukan berarti tidak ada pengecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 28 konvensi Wina 1969 dan pasal 28 konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam pasal 103 piagam PBB dan pasal 15 ayat 2 ICCPR yang merupakan pengecualian yang diberlakukan terhadap pasal 15 ayat 1 tersebut. 32 Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada perang dunia II, International Criminal Tribunal 31 Shinta Agustina, Hukum Pidana International dalam Teori dan Praktek, Andalas University press,Padang 2006. hal 62 32 Ibid, Universitas Sumatera Utara for the Former Yugoslavia ICTY dan Internationa Criminal Tribunal for Rwanda ICTR merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “Benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca perang dunia kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana yang terdapat di seluruh dunia. Penolakan dari asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge balas dendam politiksehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionis balas dendam. Larangan akan pemberlaakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas rettroaktif ini merupakan derogable rights hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dikurangi. pemenuhannya oleh negara.meski dalam kondisi darurat sekalipun. 33 1. Sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara. Namun dalam konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik pengecualian non retroaktif dapat dilakukan apabila telah memenuhi persyaratan kumulatif sebagai berikut: 33 Nyoman Sarikat Putra Jaya Loc.cit., hal 8 Universitas Sumatera Utara 2. Penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada dikriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asasl usul sosial. 3. Pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada perserikatn bangsa-bangsa PBB. Pemberlakuan asas retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indoneisa. 34 A. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan pasal 28 J undang-undang dasar Republik Indonesia 1945 Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni: B. Ketentuan Internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, dan Tokyo. C. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun di luar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku kejahatan yang lolos dari jeratan huku m. D. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cermin dari asas keadilan, baik terhadap pelaku maupun korban. 34 Shinta Agustina, Op.Cit, hal 64 Universitas Sumatera Utara E. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa extra ordinary crime. Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan sebelumnya oleh PBB. F. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini smata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana nasional dan internasional. 35 BAB III KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas.