Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas.

E. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa extra ordinary crime. Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan sebelumnya oleh PBB. F. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini smata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana nasional dan internasional. 35 BAB III KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas.

Asas Legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach 1775- 1883, seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine,nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian di kembangkan oleh 35 Romli Atmasasmita, Op.Cit., hal 78 Universitas Sumatera Utara Feurbach menjadi adagium nullum delictum,nulla poena sine praevia legi poenali. 36 Jauh sebelum lahirnya asas legalitas prinsipal hukum romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin di belenggu. Menurut Moeljatno, dalam Tijdschrift v Strafrecht 45, halaman 337, diutarakan bahwa pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria, yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini terdapat crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan para raja itu cenderung menggunakan hukum pidana sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya. 37 Dalam memuncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak absolutisme daripada raja-raja, yang dinamakan zaman ancien Regime maka disitulah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam wet terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar supaya penduduk lebih bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut penulis karangan itu, maka dalam bukunya Montesquieu “L ‘Esprit Des Lois” 1748 dan bukunya Rousseau “Dus Contract Sosial” 1762 pertama-tama dapat diketemukan pikiran tentang asas legalitas tadi. Asas ini pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang- undang ialah dalam pasal 8 “ Declaration Des Droits de L’ Homme et du Citoyen” 36 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 7 37 Ibid, Universitas Sumatera Utara 1789, semacam undang-undang dasar yang pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya revolusi Perancis. Bunyinya: tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari declaration des droits de L homme et du citoyen, asas ini dimasukkan ke dalam pasal 4 Code Penal Perancis di bawah pemerintahan Napoleon 1801. Dan dari sini asas itu dikenal oleh Nederland karena karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v Strafrecht Nederland 1881, pasal 1, dan kemudian karena adanya asas konkordansi antara Ned. Indie dan Nederland masuklah ke dalam pasal 1 W. v. S. Ned. Indie 1918. 38 Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, sulitlah dinafikan bahwa asas tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan individu, sebagai tujuan utama dari aliran hukum klasik. Secara tegas, seorang juris pidana terkenal dari Jerman, Franz von Liszt menulis, “The nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege principles are the bulwark of the citizen agains the state’s omnipotence; they protect the individual againsst the brutal force of the majority, against the Leviathan. Aliran klasik ini lahir sebagai reaksi terhadap ancient regime yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis, yang banyak menimbulkan ketidak pastianhukum, ketidaksamaan dalam hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun ssecara sistematis dan bertitik berat pada kepastian hukum. Tujuan hukum pidana pada saat itu hanyalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Dalam 38 Moeljatno., Op.Cit hal 24 Universitas Sumatera Utara sistem pemidanaan, aliran klasik pada umumnya hanya menganut single track system, yakni sistem sanksi tunggal, berupa jenis sanksi pidana. 39 Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penentuan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat kesalahan semata. Ketiga, yang terakhir, adalah asas pembalasan yang sekuler Sistem pemidanaan pada aliran klasik melahirkan teori absolut. Menurut teori ini, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. Mengenai hal ini Vos berkomentar, “The absolute theorieen, die voral tegen het ein det 18e eeuw opkomen, zoeken the rechtsgrond van the straf in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond om de dader te bestrafen…Teori absolut, terutama bermunculan pada akhir abad ke 18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku…. Sedangkan menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya. daad- strafrecht. 39 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 10 Universitas Sumatera Utara yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai swsuatu nhasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan. 40 Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugin kepada masyrakat. Beranjak dari pemikiran Bentham inilah kita memaklumi bahwa pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini melibatkan korban dan pelaku dalam pengambilan putusan, sehingga sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga memperhatikan kehidupannya di masa mendatang. Terkait dengan dasar pijakan yang ketiga, perihal asas pembalasan yang sekuler, Jeremy Bentham sebagai salah seorang tokoh aliran klasik menggemukakan bahwa selain pembalasan, sifat-sifat penting dari pemidanaan harus bermanfaat. Ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan sipelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. 41 Selanjutnya teori absolut atau teori pembalasan yang menjadi dasaar pijakan aliran klasik terdiri dari pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Vos menyatakan, “Subjectieve vergilding is vergelding van de schuld van de dader, vergelding naar mate van het verwijt,…;objectieve vergelding is 40 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 11 41 Ibid, Universitas Sumatera Utara vergelding naar mate van dat wat de dader door zijn toedoen… 42 Kant berpendapat bahwa pidana adalah etik, praktisnya adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu, kejahatan harus dipidana De straf als eis van ethiek ; de practische rede eist on voor wardelijk, dat op het misdrijf de straf volgt. Menurut Hegel, kejahatan adalah pengingkaran terhadap hukum, dan keberadaan kejahatan tidak nyata, artinya, dengan penjatuhan pidana, kejahatan seseorang bisa di hapuskan de misdaad is een negatie van het recht, dat wejenlijk is; de misdaad heft dus slecht een schiejnbestaan, dat dan weer door de straaf wordt opgeheven. Srdangkan Herbart menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas tidak disenangi. Ada tuntutan yng umum bahwa pelaku harus kurang lebih mengalami beratnya nestapa sebagaimana a mengakibatkan korbannya menderita de overgolden misdaad mishaagt.Het is dus een eis van aestetichenoodwedigheid, dat de dadereen gelijk quantum leed ondervindt als hij heeft doen lijden. Di sisi lain, Stahl mengemukakan pendapatnya bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus memberlakukan keadilan Tuhan di dunia. de straf als eis van Goddelijke gerechtigheid. De overheid als vertegenwoordigster van God op arde heeft die Goddelijke gerechtijheid tot gelding te brengen. Pembalasan subjektif adalah pembalasan kesalahan pelaku pembalasan terhadap pelaku yang tercela, …;Pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah dilakukan oleh pelaku….. Penganut teori absolut ini adalah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, dan Julius Stahl. 42 HB. Vos, Leer boek van Netherlands Strafrecht, Derde Herziene druk,H.D. Tjenk Willink en Zoon N.V Haarlem 1950 hl 10 yang dikutip dari buku Eddy O.S Hiariej. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Kant, Hegel, Herbart dan Stahl, menurut Remmelink sebenarnya pemikiran-pemikiran mereka yang digolongkan ke dalam teori absolut ini berbeda satu sama lain. Kesamaan yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa syarat dan pembenaran penjatuhan pidana sudah tercakup di dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari pandangan absolut terhadap pidana. Dan menurut nya, sebenarnya teori absolut yang menjadi ciri aliran klasik sudah dikembangkan pada zaman kuno. Seneca, dengan merujuk ajaran filsuf yunani, Plato menyatakan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur seorang bujak tidak menghukum karena telah terjadi dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa. Upaya mencegah kejahatan dilakukan dengan membuat calon pelaku kejahatan takut. Itulah sebabnya hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaanya dilakukan di depan umum. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada masyarakat luas. 43 Terkait asas legalitas yang diajarkan oleh Feurbach sebenarnya dikehendaki penjeraan yang tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan, sehingga kejahatan dan pidananya harus dicantumkan.dengan jelas. Teori asas legalitas Feurbach ini kemudian dikenal dengan psycologische dwang. 44 43 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 13 44 Prof. Moeljatno, S.H., Op.Cit hal 28 Artinya, untuk menentukan perbuatan- perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang pidana, tetapi juga macam- macam pidana yang diancamkan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang akan melakukan perbuatan pidana dapat mengetahui terlebih dahulu apa pidana yang Universitas Sumatera Utara diancamkan. Dengan demikian diharapkan ada perasaan takut dalam batin orang tersebut untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Oleh Vander Donk dikatakan bahwa maksud ajaran Feurbach ini adalah membatasi hasrat manusia berbuat jahat. Jika memang demikian, ajaran Feurbach dengan psycologische dwang- nya, menurut Sahetapy dalam penelitian disertasinya, bukanlah Feurbach yang pertama kali mengutamakan teori tersebut, melainkan Samul von Pufendorf bahwa ancaman. Secara tegas dinyatakan oleh Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan karena itu mencegah orang untuk berbuat dosa. Dengan demikian, mereka akan patuh hukum. Demikian pula perihal asas legalitas, masih menurut Sahetapy yang mengutip Oppenheimer, bukanlah Feurbach yang pertama kali mengemukakan asas tersebut melainkan Talmudic Jurisprudence. 45 Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada sebelum Anselm von Feurbach menggunakannya dalam pandangannya mengenai hukum pidana. Banyak yang mengira dialah orang yang pertama menggunakan istilah asas legalitas, akan tetapi pandangan ini tidak boleh disalahkan begitu saja karena buku-buku yang dibacaa oleh sarjana hukum kita kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Adalah benar bahwa Anselm von Feeurbach merupakan orang yang merumuskan asas legalitas dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuru lebih jauh berdasarkan Oppenheimer, Samuel von Pufendorf pernah 45 Agus Raharjo S.H., Op.Cit. hal 7 Universitas Sumatera Utara mengemukakan gagasan serupa. Kedua orang tersebut –Anselm von Feurbach dan Samuel von Pufendorf bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut. Jauh sebelum mereka berdua mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang Yahudi. Talmudic Yurispridence. 46 Menurut M. Shokry El Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit terapat dalam Al-Quran, surat Al Israa’ ayat 15. dalam surat tersebut Talmudic berasal dari kata Talmud yang berarti studi. Talmud berisikan Mysna dan Gemara yang pertama kali ada di Yerusalem dengan basis di Gemara Palestina dan kemudian di Babilonia dengan basis Gemara Babilonia. Talmud Babilonia inilah yang kemudian dimasukkan dalam periode kodifikasi Romawi yang diakui secara umum oleh umat Yahudi dan merupakan kompilasi yang serba luas dari naskah-naskah keagamaan, ajaran-ajaran hukum, naskah-naskah sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan apabila kita mengkaji lebih jauh, roh dari asas legalitas ini sebenarnya terdapat dalam Perjanjian Baru yang berisi Injil, yakni surat-surat Rasul Paulus, dan surat-surat lainnya. Surat Paulus pada jemaat di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat 13 berbunyi, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat. Berdasarkan Roma pasal 5 ayat 13 tersebut, jika kita menganalogikan dosa sebagai perbuatan pidana, tidak ada perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya. 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara dikatakan, “Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu adalah untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, dirinya sendirilah yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang Rasul. Berdasrkan ayat tersebut hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas, tetapi juga memberi dasar bagi suatu pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana. 47 Demikian pula menurut Irmanputra Sidin dalam penelitian disertasinya, asas legalitas dalam Al-Qur’an terdapat pada beberapa ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan menghukum hambanya, kecuali apabila telah sampai risalah kepadanya melalui para Rasulnya yang memberikan peringatan tentang adanya siksa apabila peraturannya tidak ditaati dan akan mendatangkan nikmat apabila aturannya dipatuhi. Bila ditelusuri lebih lanjut beberapa ayat tersebut antara lain adalah Surat Al-Qashas ayat 59 yang menyatakan, “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka”. 48 Kembali kepada asas legalitas, dalam perkembangan selanjutnya asas ini diadaptasikan di beberapa negara. Perihal adaptasi ini dikemukakan oleh Demikian pula dalam Surat An-Nissa ‘ ayat 165 dikatakan, “Mereka Kami utus selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. 47 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 15 48 Ibid, Universitas Sumatera Utara Hazewingkel Suringa sebagai berikut: ”Prinsip dari pasal 1 dibuat daari konstitusi pada abad ke 19, dalam abad ke 20 di beberapa negara asas tersebut dilepas. Di Rusia pada tahun 1926, di jerman pada tahun 1935, asas kepastian dan persamaan individu dihapus, selama hakim pidana menilai perbuatan-perbuatan tidak saja dari rumusan delik, tetapi juga dari pandangan masyarakat apakah perbuatan tersebut membahayakan masyarakat dengan akibat yang ditimbulkan. Penerapan undang-undang dengan analogi dalam hal tertentu, diperbolehkan”. B. Kedudukan Asas Non Retroaktif Legalitas Dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Tinjau dari Berbagai Peraturan HAM Di Indonesia. Sebenarnya, asas non retroaktif di dalam pasal 1 ayat 1 KUHPidana Indonesia, meskipun merupakan warisan dari KUHPidana Belanda, akan tetapi ternyata asas non retroaktif ini pun dapat dikesampingkan sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat 2 KUHPidana yang menyatakan; “apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”. 49 49 Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi.,Yarma Widya, Bandung 2003, Cet 1, hal. 113 Ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”. Universitas Sumatera Utara Hal ini merupakan perlindungan hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan dasar keberlakuan asas retroaktif, tanpa asas tersebut maka banyak penjahat kemanusiaan tidak dapat diadili dan banyak pihak korban pelanggaran HAM berat tidak memperoleh keadilan. Bahwa pandangan yang menyatakan ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan pasal 28 I ayat 1 Amandemen kedua Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ialah tidak berdasar. Berdasarkan ketentuan pasal 28 huruf i ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan; “Hak unruk hidup,hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun”. Hal ini tidaklah bersifat absolut. Pemberlakuan pasal tersebut dibatasi dengan ketentuan pasal 28 huruf j ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Tidak beralasan apabila frase “...tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun “ dalam ketentuan pasal 28 huruf i ayat 1 menyebabkan ketentuan dalam pasal 28 huruf j ayat 2, juga terdapat penegasan bahwa; Universitas Sumatera Utara “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Ketentuan pasal 28 huruf j ayat 2 merupakan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jadi tetap dapat diberlakukan asas retroaktif walaupun kejahatan tersebut dilakukan pada masa yang lalu, sebelum diberlakukannya undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Ketentuan pasal 28 i ayat 1 Undang-undang Dasar Republik Indonesia adalah norma yang bersifat umum, sedangkan ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai ketentuan pembatasan oleh Undang-undang, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 huruf j ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan keputuan presiden. Memang harus diakui, sepertinya ketentuan pasal 28 huruf i ayat 1 dengan pasal 28 huruf j ayat 2 Amandemen II UUD 1945 ada tersirat nuansa kontradiktif. Akan tetapi apabila dikaji secara lebih mendalam sebenarnya tidak ada nuansa kontradiktif. Yang ada hanya nuansa pembatasan dan spesifikasi atau kekhususan. Jika dilihat dari gradasi undang-undang terlihat pula pada undang- undang No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia HAM. Pada ketentuan Universitas Sumatera Utara pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun1999 tidak dikenal adanya asas retroaktif, sedangkan pasal 43 Undang-undang No.26 Tahun 2000 mengenal adanya asas retroaktif. Oleh karena itu, dari perspektif dan optik undang-undang alam konteks ajar Huku Tata Negara Positif, maka secara eksplisit timbul asas lex specialist derogat lex generalis, dan asas lex posteriore derogat lex priori. Konkritnya, tidak ditemukan nuansa kontradiktif, hanya ada nuansa pembatasan dan spesifikasi dalam kebijakan formulatif pada pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua. 50 Doktrin membedakan terorisme kedalam 2 dua macam defenisi,yaitu defenisi tindakan teroris trrosism act dan pelaku terorisme trrosim actor.

C. Pengertian Terorisme dan Asas Retroaktif