Pengertian Terorisme dan Asas Retroaktif

pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun1999 tidak dikenal adanya asas retroaktif, sedangkan pasal 43 Undang-undang No.26 Tahun 2000 mengenal adanya asas retroaktif. Oleh karena itu, dari perspektif dan optik undang-undang alam konteks ajar Huku Tata Negara Positif, maka secara eksplisit timbul asas lex specialist derogat lex generalis, dan asas lex posteriore derogat lex priori. Konkritnya, tidak ditemukan nuansa kontradiktif, hanya ada nuansa pembatasan dan spesifikasi dalam kebijakan formulatif pada pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua. 50 Doktrin membedakan terorisme kedalam 2 dua macam defenisi,yaitu defenisi tindakan teroris trrosism act dan pelaku terorisme trrosim actor.

C. Pengertian Terorisme dan Asas Retroaktif

51 Sedangkan pelaku terorisme dikategorikan menjadi 6 enam macam, yaitu: Disepakati oleh para ahli bahwa tindakan yang tergolong ke dalam tindakan terorisme adalah tindakan yang memiliki elemen, yaitu: a. kekerasan b. tujuan politik c. teroritended 52 50 http:www.balipost.co.idbalipostcetak2004729o2. htm 51 Muhammad Mova AL,kampanye melawan terorime telah merusak tatana hukum,diakses dari situs :http:www.pemantauperadailan.comindeks.php?=com contenttask=view=139item=12. 52 Ibid,hal.3. Universitas Sumatera Utara 1. Terrorist acts by actual state official. 2. State employment by unofficial agents for terrorist act. 3. State supply of financial aid or weapons. 4. State supply of or logistical support. 5. State Acquiescense of terrorst base within its territory and 6. State provision of neither active nor passive help. Walaupun telah diusulkan oleh beberapa pihak agar terorisme bisa dikategorikan menjadi kejahatan yang berada dalam yurisdiksi ICC International Criminal Court, namun sampai keseluruhan teks statuta Roma diadopsi, terorisme tidak dimasukkan dalam salah satu kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC karena kesulitan definisional. Amerika serikat menentang rencana memasukkan terorisme ke dalam yurisdiksi ICC dengan alasan sebagai berikut: 53 a. Tindakan terorisme tidak dapat terdefenisikan dengan baik. b. Memasukkannya ke dalam kategori yurisdiksi akan mempolitisir ICC. c. Ada beberapa tindakan terorisme yang belum cukup untuk dapat dilakukan penuntutan di depan pengadilan Internasional. d. Pengadilan nasional secara umum dinilai lebih efisien dalam melakukan penuntutan atas terorisme. Akhirnya usulan untuk memasukkan terorisme ke dalam yurisdiksi ICC yang dilakukan oleh India, Turki dan Sri Lanka secara resmi ditolak. Defenisi tentang terorisme belum mencapai kesepakatan yang bulat dari semua pihak karena disamping banyak elemen yang terkait juga dikarenakan semua pihak yang berkepentingan melihat atau menterjemahkan permasalahan term of terrorism dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Selain itu defenisi baku hukum internasional mengenai terorisme belum dapat ditemui 53 Ibid, hal. 4 Universitas Sumatera Utara dengan jelas. Sebenarnya defenisi baku yang dibatasi lintas negara sangatlah sangatlah penting karena terorisme bukan lagi sekedar kejahatan Internssional tetapi sudah menjadi internationally organized crime kejahatan internasional yang sudah terorganisir. Oleh karenanya pemberantasan tindak pidana terorisme sering sering dilakukan dengan sistem kerja sama dan pemahaman yang sama antar negara. Defenisi terorisme di dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 adalah sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut teerhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strateis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun. Selanjutnya dalam UU No.15 Tahun 2003 tersebut terdapat ajektif yang harus diberikan penjelasan lebih lanjut demi kepasian hukum, yaitu: 54 1. Menimbulkan suasana teror atau takut terhadap orang secara meluas. Perlu dijelaskan defenisi teror, rasa takut dan seluas apakah dampak dari teror atau rasa takut tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Menurut doktrin, teror merupakan elemen psikologis dari defenisi terorisme, karena tindakan terorisme selalu ditujukan untuk meraih intended audience. Namun, masyarakat Internasional tidak 54 Ibid, hal.6. Universitas Sumatera Utara menginkorporasi defenisi doktrin ini karena kesulitan kesulitan untuk mendapat kepastian sejauh mana hal itu diperlukan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu hasil dari aksi teror. 2. Menimbulkan korban yang bersifat massal. Perlu dirinci sebanyak apa korban yang diperlukan untuk bisa menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan terorisme. 3 Obyek vital yang strategis. Perlu didaftarkan obyek vital yang dianggap strategis tersebut. Selanjutnya asas yang dianut di dalam UU No. 16 Tahun 2003 ada dikenal dengan asas retroaktif. Asas retroaktif adalah kebalikan dari asas non retroaktif atau asas legalitas,yaitu bahwa asas retroaktif justru memberlakukan secara surut suatu undang-undang. Sifatnya yang bertentangan dengan konstitusi negara dalam UUD 1945 dan asas-asas pemberlakuan undang-undang, mengakibatkan bahwa berlakunya asas retroaktif sampai saat ini masih dalam perdebatan. Bukti konkrit dalam hal ini salah satunya adalah dikabulkannya permohonan uji materil agar dicabutnya asas retroaktif dalam UU No. 16 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Kedudukan Asas Legalitas dalam Tindak pidana Terorisme. di