Peraturan Perundang-undangan: Pengertian Asas Legalitas.

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebagai sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001. Moeljatno, Asas,Asas Hukum Pidan, PT Bina Aksara, Jakarta 1987 Parthiana Wayan, Hukum Pidana Internasiona dan Ekstradisi, Yarma Widya, Bandung, 2003. Poernomo, Bambang, Asas- Asas Hukum Pidana Indonesia, Ghalia, Indonesia, 1982. Salam M. Faisal, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Jakarta, 2005. Serikat, Nyoman, Putra, Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya, Bandung, 2008. Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan 2001. Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Bandung, 1990. --------, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bina Cipta ,Jakarta, 1986.

2. Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 1ayat2. Universitas Sumatera Utara

3. Media Internet.

http:www.balipost.co.idbalipostcetak2004729o2 kontroversi asas retroaktif , diakses pada 6 agustus 2010 :http:www.pemantauperadailan.com. di balik putusan mahkamah konstitusi, diakses pada 6 agusstus 2010. http:himpsijaya.org20080502psikologi korupsi, diakses pada tanggal 5 agustus 2010. http:www.transparansi.or.idhukum pidana dan penerapan asas non-retroaktif dalam korupsi, diakses pada 5 agustus 2010. Universitas Sumatera Utara E. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa extra ordinary crime. Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan sebelumnya oleh PBB. F. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini smata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana nasional dan internasional. 35 BAB III KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas.

Asas Legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach 1775- 1883, seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine,nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian di kembangkan oleh 35 Romli Atmasasmita, Op.Cit., hal 78 Universitas Sumatera Utara Feurbach menjadi adagium nullum delictum,nulla poena sine praevia legi poenali. 36 Jauh sebelum lahirnya asas legalitas prinsipal hukum romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin di belenggu. Menurut Moeljatno, dalam Tijdschrift v Strafrecht 45, halaman 337, diutarakan bahwa pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria, yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini terdapat crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan para raja itu cenderung menggunakan hukum pidana sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya. 37 Dalam memuncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak absolutisme daripada raja-raja, yang dinamakan zaman ancien Regime maka disitulah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam wet terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar supaya penduduk lebih bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut penulis karangan itu, maka dalam bukunya Montesquieu “L ‘Esprit Des Lois” 1748 dan bukunya Rousseau “Dus Contract Sosial” 1762 pertama-tama dapat diketemukan pikiran tentang asas legalitas tadi. Asas ini pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang- undang ialah dalam pasal 8 “ Declaration Des Droits de L’ Homme et du Citoyen” 36 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 7 37 Ibid, Universitas Sumatera Utara 1789, semacam undang-undang dasar yang pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya revolusi Perancis. Bunyinya: tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari declaration des droits de L homme et du citoyen, asas ini dimasukkan ke dalam pasal 4 Code Penal Perancis di bawah pemerintahan Napoleon 1801. Dan dari sini asas itu dikenal oleh Nederland karena karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v Strafrecht Nederland 1881, pasal 1, dan kemudian karena adanya asas konkordansi antara Ned. Indie dan Nederland masuklah ke dalam pasal 1 W. v. S. Ned. Indie 1918. 38 Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, sulitlah dinafikan bahwa asas tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan individu, sebagai tujuan utama dari aliran hukum klasik. Secara tegas, seorang juris pidana terkenal dari Jerman, Franz von Liszt menulis, “The nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege principles are the bulwark of the citizen agains the state’s omnipotence; they protect the individual againsst the brutal force of the majority, against the Leviathan. Aliran klasik ini lahir sebagai reaksi terhadap ancient regime yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis, yang banyak menimbulkan ketidak pastianhukum, ketidaksamaan dalam hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun ssecara sistematis dan bertitik berat pada kepastian hukum. Tujuan hukum pidana pada saat itu hanyalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Dalam 38 Moeljatno., Op.Cit hal 24 Universitas Sumatera Utara sistem pemidanaan, aliran klasik pada umumnya hanya menganut single track system, yakni sistem sanksi tunggal, berupa jenis sanksi pidana. 39 Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penentuan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat kesalahan semata. Ketiga, yang terakhir, adalah asas pembalasan yang sekuler Sistem pemidanaan pada aliran klasik melahirkan teori absolut. Menurut teori ini, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. Mengenai hal ini Vos berkomentar, “The absolute theorieen, die voral tegen het ein det 18e eeuw opkomen, zoeken the rechtsgrond van the straf in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond om de dader te bestrafen…Teori absolut, terutama bermunculan pada akhir abad ke 18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku…. Sedangkan menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya. daad- strafrecht. 39 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 10 Universitas Sumatera Utara yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai swsuatu nhasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan. 40 Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugin kepada masyrakat. Beranjak dari pemikiran Bentham inilah kita memaklumi bahwa pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini melibatkan korban dan pelaku dalam pengambilan putusan, sehingga sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga memperhatikan kehidupannya di masa mendatang. Terkait dengan dasar pijakan yang ketiga, perihal asas pembalasan yang sekuler, Jeremy Bentham sebagai salah seorang tokoh aliran klasik menggemukakan bahwa selain pembalasan, sifat-sifat penting dari pemidanaan harus bermanfaat. Ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan sipelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. 41 Selanjutnya teori absolut atau teori pembalasan yang menjadi dasaar pijakan aliran klasik terdiri dari pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Vos menyatakan, “Subjectieve vergilding is vergelding van de schuld van de dader, vergelding naar mate van het verwijt,…;objectieve vergelding is 40 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 11 41 Ibid, Universitas Sumatera Utara vergelding naar mate van dat wat de dader door zijn toedoen… 42 Kant berpendapat bahwa pidana adalah etik, praktisnya adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu, kejahatan harus dipidana De straf als eis van ethiek ; de practische rede eist on voor wardelijk, dat op het misdrijf de straf volgt. Menurut Hegel, kejahatan adalah pengingkaran terhadap hukum, dan keberadaan kejahatan tidak nyata, artinya, dengan penjatuhan pidana, kejahatan seseorang bisa di hapuskan de misdaad is een negatie van het recht, dat wejenlijk is; de misdaad heft dus slecht een schiejnbestaan, dat dan weer door de straaf wordt opgeheven. Srdangkan Herbart menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas tidak disenangi. Ada tuntutan yng umum bahwa pelaku harus kurang lebih mengalami beratnya nestapa sebagaimana a mengakibatkan korbannya menderita de overgolden misdaad mishaagt.Het is dus een eis van aestetichenoodwedigheid, dat de dadereen gelijk quantum leed ondervindt als hij heeft doen lijden. Di sisi lain, Stahl mengemukakan pendapatnya bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus memberlakukan keadilan Tuhan di dunia. de straf als eis van Goddelijke gerechtigheid. De overheid als vertegenwoordigster van God op arde heeft die Goddelijke gerechtijheid tot gelding te brengen. Pembalasan subjektif adalah pembalasan kesalahan pelaku pembalasan terhadap pelaku yang tercela, …;Pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah dilakukan oleh pelaku….. Penganut teori absolut ini adalah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, dan Julius Stahl. 42 HB. Vos, Leer boek van Netherlands Strafrecht, Derde Herziene druk,H.D. Tjenk Willink en Zoon N.V Haarlem 1950 hl 10 yang dikutip dari buku Eddy O.S Hiariej. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Kant, Hegel, Herbart dan Stahl, menurut Remmelink sebenarnya pemikiran-pemikiran mereka yang digolongkan ke dalam teori absolut ini berbeda satu sama lain. Kesamaan yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa syarat dan pembenaran penjatuhan pidana sudah tercakup di dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari pandangan absolut terhadap pidana. Dan menurut nya, sebenarnya teori absolut yang menjadi ciri aliran klasik sudah dikembangkan pada zaman kuno. Seneca, dengan merujuk ajaran filsuf yunani, Plato menyatakan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur seorang bujak tidak menghukum karena telah terjadi dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa. Upaya mencegah kejahatan dilakukan dengan membuat calon pelaku kejahatan takut. Itulah sebabnya hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaanya dilakukan di depan umum. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada masyarakat luas. 43 Terkait asas legalitas yang diajarkan oleh Feurbach sebenarnya dikehendaki penjeraan yang tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan, sehingga kejahatan dan pidananya harus dicantumkan.dengan jelas. Teori asas legalitas Feurbach ini kemudian dikenal dengan psycologische dwang. 44 43 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 13 44 Prof. Moeljatno, S.H., Op.Cit hal 28 Artinya, untuk menentukan perbuatan- perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang pidana, tetapi juga macam- macam pidana yang diancamkan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang akan melakukan perbuatan pidana dapat mengetahui terlebih dahulu apa pidana yang Universitas Sumatera Utara diancamkan. Dengan demikian diharapkan ada perasaan takut dalam batin orang tersebut untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Oleh Vander Donk dikatakan bahwa maksud ajaran Feurbach ini adalah membatasi hasrat manusia berbuat jahat. Jika memang demikian, ajaran Feurbach dengan psycologische dwang- nya, menurut Sahetapy dalam penelitian disertasinya, bukanlah Feurbach yang pertama kali mengutamakan teori tersebut, melainkan Samul von Pufendorf bahwa ancaman. Secara tegas dinyatakan oleh Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan karena itu mencegah orang untuk berbuat dosa. Dengan demikian, mereka akan patuh hukum. Demikian pula perihal asas legalitas, masih menurut Sahetapy yang mengutip Oppenheimer, bukanlah Feurbach yang pertama kali mengemukakan asas tersebut melainkan Talmudic Jurisprudence. 45 Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada sebelum Anselm von Feurbach menggunakannya dalam pandangannya mengenai hukum pidana. Banyak yang mengira dialah orang yang pertama menggunakan istilah asas legalitas, akan tetapi pandangan ini tidak boleh disalahkan begitu saja karena buku-buku yang dibacaa oleh sarjana hukum kita kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Adalah benar bahwa Anselm von Feeurbach merupakan orang yang merumuskan asas legalitas dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuru lebih jauh berdasarkan Oppenheimer, Samuel von Pufendorf pernah 45 Agus Raharjo S.H., Op.Cit. hal 7 Universitas Sumatera Utara mengemukakan gagasan serupa. Kedua orang tersebut –Anselm von Feurbach dan Samuel von Pufendorf bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut. Jauh sebelum mereka berdua mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang Yahudi. Talmudic Yurispridence. 46 Menurut M. Shokry El Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit terapat dalam Al-Quran, surat Al Israa’ ayat 15. dalam surat tersebut Talmudic berasal dari kata Talmud yang berarti studi. Talmud berisikan Mysna dan Gemara yang pertama kali ada di Yerusalem dengan basis di Gemara Palestina dan kemudian di Babilonia dengan basis Gemara Babilonia. Talmud Babilonia inilah yang kemudian dimasukkan dalam periode kodifikasi Romawi yang diakui secara umum oleh umat Yahudi dan merupakan kompilasi yang serba luas dari naskah-naskah keagamaan, ajaran-ajaran hukum, naskah-naskah sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan apabila kita mengkaji lebih jauh, roh dari asas legalitas ini sebenarnya terdapat dalam Perjanjian Baru yang berisi Injil, yakni surat-surat Rasul Paulus, dan surat-surat lainnya. Surat Paulus pada jemaat di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat 13 berbunyi, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat. Berdasarkan Roma pasal 5 ayat 13 tersebut, jika kita menganalogikan dosa sebagai perbuatan pidana, tidak ada perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya. 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara dikatakan, “Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu adalah untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, dirinya sendirilah yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang Rasul. Berdasrkan ayat tersebut hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas, tetapi juga memberi dasar bagi suatu pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana. 47 Demikian pula menurut Irmanputra Sidin dalam penelitian disertasinya, asas legalitas dalam Al-Qur’an terdapat pada beberapa ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan menghukum hambanya, kecuali apabila telah sampai risalah kepadanya melalui para Rasulnya yang memberikan peringatan tentang adanya siksa apabila peraturannya tidak ditaati dan akan mendatangkan nikmat apabila aturannya dipatuhi. Bila ditelusuri lebih lanjut beberapa ayat tersebut antara lain adalah Surat Al-Qashas ayat 59 yang menyatakan, “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka”. 48 Kembali kepada asas legalitas, dalam perkembangan selanjutnya asas ini diadaptasikan di beberapa negara. Perihal adaptasi ini dikemukakan oleh Demikian pula dalam Surat An-Nissa ‘ ayat 165 dikatakan, “Mereka Kami utus selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. 47 Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 15 48 Ibid, Universitas Sumatera Utara Hazewingkel Suringa sebagai berikut: ”Prinsip dari pasal 1 dibuat daari konstitusi pada abad ke 19, dalam abad ke 20 di beberapa negara asas tersebut dilepas. Di Rusia pada tahun 1926, di jerman pada tahun 1935, asas kepastian dan persamaan individu dihapus, selama hakim pidana menilai perbuatan-perbuatan tidak saja dari rumusan delik, tetapi juga dari pandangan masyarakat apakah perbuatan tersebut membahayakan masyarakat dengan akibat yang ditimbulkan. Penerapan undang-undang dengan analogi dalam hal tertentu, diperbolehkan”. B. Kedudukan Asas Non Retroaktif Legalitas Dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Tinjau dari Berbagai Peraturan HAM Di Indonesia. Sebenarnya, asas non retroaktif di dalam pasal 1 ayat 1 KUHPidana Indonesia, meskipun merupakan warisan dari KUHPidana Belanda, akan tetapi ternyata asas non retroaktif ini pun dapat dikesampingkan sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat 2 KUHPidana yang menyatakan; “apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”. 49 49 Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi.,Yarma Widya, Bandung 2003, Cet 1, hal. 113 Ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”. Universitas Sumatera Utara Hal ini merupakan perlindungan hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan dasar keberlakuan asas retroaktif, tanpa asas tersebut maka banyak penjahat kemanusiaan tidak dapat diadili dan banyak pihak korban pelanggaran HAM berat tidak memperoleh keadilan. Bahwa pandangan yang menyatakan ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan pasal 28 I ayat 1 Amandemen kedua Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ialah tidak berdasar. Berdasarkan ketentuan pasal 28 huruf i ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan; “Hak unruk hidup,hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun”. Hal ini tidaklah bersifat absolut. Pemberlakuan pasal tersebut dibatasi dengan ketentuan pasal 28 huruf j ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Tidak beralasan apabila frase “...tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun “ dalam ketentuan pasal 28 huruf i ayat 1 menyebabkan ketentuan dalam pasal 28 huruf j ayat 2, juga terdapat penegasan bahwa; Universitas Sumatera Utara “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Ketentuan pasal 28 huruf j ayat 2 merupakan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jadi tetap dapat diberlakukan asas retroaktif walaupun kejahatan tersebut dilakukan pada masa yang lalu, sebelum diberlakukannya undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Ketentuan pasal 28 i ayat 1 Undang-undang Dasar Republik Indonesia adalah norma yang bersifat umum, sedangkan ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai ketentuan pembatasan oleh Undang-undang, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 huruf j ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan keputuan presiden. Memang harus diakui, sepertinya ketentuan pasal 28 huruf i ayat 1 dengan pasal 28 huruf j ayat 2 Amandemen II UUD 1945 ada tersirat nuansa kontradiktif. Akan tetapi apabila dikaji secara lebih mendalam sebenarnya tidak ada nuansa kontradiktif. Yang ada hanya nuansa pembatasan dan spesifikasi atau kekhususan. Jika dilihat dari gradasi undang-undang terlihat pula pada undang- undang No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia HAM. Pada ketentuan Universitas Sumatera Utara pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun1999 tidak dikenal adanya asas retroaktif, sedangkan pasal 43 Undang-undang No.26 Tahun 2000 mengenal adanya asas retroaktif. Oleh karena itu, dari perspektif dan optik undang-undang alam konteks ajar Huku Tata Negara Positif, maka secara eksplisit timbul asas lex specialist derogat lex generalis, dan asas lex posteriore derogat lex priori. Konkritnya, tidak ditemukan nuansa kontradiktif, hanya ada nuansa pembatasan dan spesifikasi dalam kebijakan formulatif pada pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua. 50 Doktrin membedakan terorisme kedalam 2 dua macam defenisi,yaitu defenisi tindakan teroris trrosism act dan pelaku terorisme trrosim actor.

C. Pengertian Terorisme dan Asas Retroaktif

51 Sedangkan pelaku terorisme dikategorikan menjadi 6 enam macam, yaitu: Disepakati oleh para ahli bahwa tindakan yang tergolong ke dalam tindakan terorisme adalah tindakan yang memiliki elemen, yaitu: a. kekerasan b. tujuan politik c. teroritended 52 50 http:www.balipost.co.idbalipostcetak2004729o2. htm 51 Muhammad Mova AL,kampanye melawan terorime telah merusak tatana hukum,diakses dari situs :http:www.pemantauperadailan.comindeks.php?=com contenttask=view=139item=12. 52 Ibid,hal.3. Universitas Sumatera Utara 1. Terrorist acts by actual state official. 2. State employment by unofficial agents for terrorist act. 3. State supply of financial aid or weapons. 4. State supply of or logistical support. 5. State Acquiescense of terrorst base within its territory and 6. State provision of neither active nor passive help. Walaupun telah diusulkan oleh beberapa pihak agar terorisme bisa dikategorikan menjadi kejahatan yang berada dalam yurisdiksi ICC International Criminal Court, namun sampai keseluruhan teks statuta Roma diadopsi, terorisme tidak dimasukkan dalam salah satu kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC karena kesulitan definisional. Amerika serikat menentang rencana memasukkan terorisme ke dalam yurisdiksi ICC dengan alasan sebagai berikut: 53 a. Tindakan terorisme tidak dapat terdefenisikan dengan baik. b. Memasukkannya ke dalam kategori yurisdiksi akan mempolitisir ICC. c. Ada beberapa tindakan terorisme yang belum cukup untuk dapat dilakukan penuntutan di depan pengadilan Internasional. d. Pengadilan nasional secara umum dinilai lebih efisien dalam melakukan penuntutan atas terorisme. Akhirnya usulan untuk memasukkan terorisme ke dalam yurisdiksi ICC yang dilakukan oleh India, Turki dan Sri Lanka secara resmi ditolak. Defenisi tentang terorisme belum mencapai kesepakatan yang bulat dari semua pihak karena disamping banyak elemen yang terkait juga dikarenakan semua pihak yang berkepentingan melihat atau menterjemahkan permasalahan term of terrorism dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Selain itu defenisi baku hukum internasional mengenai terorisme belum dapat ditemui 53 Ibid, hal. 4 Universitas Sumatera Utara dengan jelas. Sebenarnya defenisi baku yang dibatasi lintas negara sangatlah sangatlah penting karena terorisme bukan lagi sekedar kejahatan Internssional tetapi sudah menjadi internationally organized crime kejahatan internasional yang sudah terorganisir. Oleh karenanya pemberantasan tindak pidana terorisme sering sering dilakukan dengan sistem kerja sama dan pemahaman yang sama antar negara. Defenisi terorisme di dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 adalah sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut teerhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strateis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun. Selanjutnya dalam UU No.15 Tahun 2003 tersebut terdapat ajektif yang harus diberikan penjelasan lebih lanjut demi kepasian hukum, yaitu: 54 1. Menimbulkan suasana teror atau takut terhadap orang secara meluas. Perlu dijelaskan defenisi teror, rasa takut dan seluas apakah dampak dari teror atau rasa takut tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Menurut doktrin, teror merupakan elemen psikologis dari defenisi terorisme, karena tindakan terorisme selalu ditujukan untuk meraih intended audience. Namun, masyarakat Internasional tidak 54 Ibid, hal.6. Universitas Sumatera Utara menginkorporasi defenisi doktrin ini karena kesulitan kesulitan untuk mendapat kepastian sejauh mana hal itu diperlukan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu hasil dari aksi teror. 2. Menimbulkan korban yang bersifat massal. Perlu dirinci sebanyak apa korban yang diperlukan untuk bisa menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan terorisme. 3 Obyek vital yang strategis. Perlu didaftarkan obyek vital yang dianggap strategis tersebut. Selanjutnya asas yang dianut di dalam UU No. 16 Tahun 2003 ada dikenal dengan asas retroaktif. Asas retroaktif adalah kebalikan dari asas non retroaktif atau asas legalitas,yaitu bahwa asas retroaktif justru memberlakukan secara surut suatu undang-undang. Sifatnya yang bertentangan dengan konstitusi negara dalam UUD 1945 dan asas-asas pemberlakuan undang-undang, mengakibatkan bahwa berlakunya asas retroaktif sampai saat ini masih dalam perdebatan. Bukti konkrit dalam hal ini salah satunya adalah dikabulkannya permohonan uji materil agar dicabutnya asas retroaktif dalam UU No. 16 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Kedudukan Asas Legalitas dalam Tindak pidana Terorisme. di

Tinjau dari berbagai peraturan Perundang-undangan di Indonesia Universitas Sumatera Utara Dengan terjadinya peristiwa 11 september 2001, upaya pemberantasan terorisme telah diangkat menjadi prioritas utama dalam kebijakan politik dan keamanan global. Dua tahun masa war of terrorism yang di motori amerika serikat masih belum menyentuh akar permasalahan. Yang tersisa kini kedudukan keluarga para korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kata kunci dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika serikat hanya mengejar pelaku teeror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris Osama bin Laden dan kawwan-kawan. Mengurai, mengidentifikasi dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internasional, Play ground- nya berskala Internasional. Terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tetapi menjadi masalah seluruh umat manusia. 55 55 Gugun El-Guyanie, Terorisme dan Perdamaian Global. Harian Kompas, edisi Tanggal 11 september 2007. Payung hukum yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme adalah tetap mengacu kepada konstitusi dasar RI, yaitu UUD 1945. berikut ini dapat dilihat beberapa produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutf dengan persetujuan badan legislatif yang berkenaan dengan tindak pidana terorisme antara lain: Universitas Sumatera Utara 1. INPRES No. 4 Tahun 2002 tentang INPRES Perumusan Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Bali 12 Oktober 2002 Dalam INPRES ini Presiden RI Menyatakan : a. bahwa sesuai dengan sifat, bentuk, dan metoda operasi kegiatan terorisme pada umumnya, langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, harus dilakukan pula dengan sfat, bentuk, dan metoda yang cepat dan efektif; b. bahwa untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah operasional yang tepat, sehingga pelaksanaan dan pemberantasannya baik yang berupa tindakan penangkalan atau pelaksanaannya dapat berlangsung dengan cepat dan efektif; c. bahwa berdasarkan ketentuan pasal 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, presiden memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional serta pengendaliannya. Kemudian dalam INPRES No. 4 Tahun 2002 ini juga, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada menteri negara koordintor bidang politik dan keamanan untuk : 1. Merumuskan kebijkan yang komprehensif dan terpadu bagi pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk pada peristiwa peladakan bom di Bali Universitas Sumatera Utara Tanggal 12 Oktober 2002, secara terkoorinasi dengan dan di antara seluruh instansi yang secara fungsional memiliki tugas dan kewenangan di bidang tersebut, serta menyusun-langkah-langkah operasional yang meliputi aspek penyangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian, penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi pemberantasannya oleh instansi- instansi termaksud secara, terpadu dan efektif. 2. Mengajukan kepada dan untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari presiden, seluruh rancangan kebijakan dan langkah-langkah operasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, dalam rangka pengungkapan secara jelas dan tuntas latar belakang dan rencana setiap kegiatan, terorisme, jaringan perencanaan, persiapan dan pelaksanaannya, ataupun bagi penangkapan pelaku dan pihak lain yang tersangkut di dalamnya, serta pengambilan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi penyelesainnya. 3. Mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan selalu berupaya mewujudkan, memelihara kesatuan, keterpaduan dan keharmonisan pelaksanaan kegiatan operasi pemberantasan tindak pidana terorisme yang secara fungsional dilakukan oleh berbagai instansi terkait, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. 4. Menyampaikan laporan pelaksanaan instruksi secara berkala atau sewaktu- waktu kepada presiden. Universitas Sumatera Utara 5. Membentuk sebuah satuan kerja yang berbenuk non struktural dan berada di lingkungan Sekretariat Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas ini, yang susunan dan tata kerjanya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan. 6. Melaksanakan Instruksi presiden ini secar cermat dan menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Presiden.

2. UU No. 15 Tahun 2003 jo UU No.16 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk upaya antisipasi terhadap terorisme pada Tahun 2002, antara lain PERPU No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, PERPU No. 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan PEPRPU No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Di dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengertian tindak pidana yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut teerhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang Universitas Sumatera Utara strateis atau lingkungan hidup atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun. Termasuk juga perbuatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 yaitu : a. Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalulintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut. b. Menyebabkan Hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusak bangunan untuk pengaman lalulintas udara atau gagalnya untuk pengamanan bangunan tersebut. c. Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda atau alat pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat tersebut. d. Karena kealpalaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru. e. Dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. f. Dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. g. Karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak. h. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan, atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungjawabkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungjawabkan muatannya maupun upah yang akan diterima Universitas Sumatera Utara untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan. i. Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan. j. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan ancaman dalam bentuk lainnnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawt udara dalam penerbangan. k. Melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang. l. Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara. m. Dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan. n. Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan. o. Melakukan secara bersama-sama 2 dua orang atau lebih sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n. p. Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbutan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan. q. Di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawt udara dalam penerbangan . Universitas Sumatera Utara r. Di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di pesawat udara dalam penerbangan. Bagi orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat,menerima, mencoba memperoleh menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan ke danatau dari Indonesia suatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledakdan melakukan tundak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun. Bagi merekaorang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang potensial untuk digunakan sebagai bahan peledak. Ternyata bahan-bahan tersebut digunakan dalam tindak pidana terorisme, maka bagi pelaku diancam dengan hukum pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun. Bagi orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan : 1. Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan kepada pelaku tindak pidana terorisme; 2. Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; Universitas Sumatera Utara 3. Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun. Adapun yang dimaksud dengan memberi bantuan adalah tindakan memberi bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan kemudahan adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan. 56 56

M. Faisal Salam. Motivasi Tindakan Terorisme,Mandar Maju, Jakarta, 2005 hal 219.

Putusan mahkamah konstitusi yang secara tersirat dan tersurat mengabulkan permohonan pemohon judicial review terhadap UU No. 16 Tahun 2003 telah menimbulkan pro dan kontra. Alas huku pasa 28I UUD 1945 sebagai ketentuan satu-satunya sebagai dasar putusan MK, dan tidak mengelaborasi secara proporsional Pasal 28J UUD 45, jelas hanya mengutamakan perlindungan hak asasi tersangkaterdakwa tindak pidana terorisme, dan tidak mencerminkan perlindungan korban kegiatan terorisme dan perlindungan NKRI terhadap ancaman dan kegiatan terorisme serta dampak sosial, ekonomi, politik dari putusan tersebut. Sedangkan piagam HAM PBB pasal 29 sudah secara eksplisit mencantumkan pembatasan-pembatasan hak asasi seseorang untuk tujuan menciptakan dan mempertahankan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Dalam UU No. 16 Tahun 2003 yang dibatalkan MK, terorisme didefenisikan sebagai perbuatan yang merupakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban secara massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional. Dari defenisi mengenai terorisme itu, dapat disimpulkan terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan extra ordinary crime against humanity. Ada hal menarik pada pengambilan keputusan oleh majelis hakim MK, yaitu ada empat hakim anggota yang mengajukan dissenting opinion mengenai pembatalan UU No. 16 Tahun 2003, yang intinya, tidak sependapat dengan kelima hakim anggota lainnya bahwa peristiwa bom bali adalah merupakan ordinary crime. Keempat hakim anggota itu berpendapat, peristiwa bom bali merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan extra ordinry crime sehingga harus ditindak dengan pengkhususan tertentu yang dalam hal ini pemberlakuan asas retroaktif. Terorisme sendiri saat ini merupakan masalah ang menghantui dunia sehingga diperlukan kerjasama multilateral untuk menanggulanginya. Jika ditarik ke belakang, yaitu pada tanggal 17 Juli 1998, ketika itu 60 negara meratifikasi Statuta Romayang membentuk International Criminal Court ICC untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Crimes Against Humanity. Universitas Sumatera Utara Bagi extra ordinary Crimes dapat diterapkan pengecualian- pengecualian yang dapat dibenarkan berdasarkan asas lex specialist derogat lex generalis ketentuan khusus harus diutamakan daripada ketentuan umum. Penerapan seperti ini dianut pula bagi pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Asas retroaktif juga pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu pada pengadilan untuk penjahat perang Nuremberg, untuk mengadili anggota Nazi Jerman yang membantai lima juta orang Yahudi semasa perang dunia II. Pembantaian lima juta kaum Yahudi itu, korban teror Twin Tower 3000 orang tewas, dan bom Bali 200 orang tidak bisa dibandingkan secara kuantitatis, tetapi sama kejamnya dan termasuk gross violation of human rights. Kini, Indonesia tidak dapat menghindar dari tantangan dan ancaman bahaya terorisme global, bahkan Indonesia berkali-kali menjadi sasaran teror. Menghadapi hal ini Indonesia harus lebih membuka diri terhadap globalisme hukum transnasional yang memerangi terorisme. Indonesia tidak boleh terjebak konservativisme hukum nasional yang akhirnya akan membahayakan negara sendiri. Saat ini masalah terorisme sudah menjadi masalah dunia bahkan pada tahun 1998 sudah diadakan International Convention for the Suprression of thr Financing of Terrorism. Indonesia mau tidak mau harus mengikuti arus global dalam memerangi terorisme atau akan terkucil dari pergaulan Internasional. Korban terorisme tidak dapat dipisah-pisahkan lagi berdasarkan suku, bangsa dan agama atau Universitas Sumatera Utara kewarganegaraannya. Sebanyak 200 manusia yang menjadi korban bom Bali bukan lagi menjadi kesedihan bagi Australian dan Indonesia saja, tetapi menjadi paranoid dunia. BAB IV PERKEMBANGAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A.Tinjauan Umum Tentang Korupsi 1.Pengertian Korupsi Dan Ruang Lingkupnya Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio atau corruptus, corruptio berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti ialah kebusukan, keburukan, kebjatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt, Prancis yaitu : corruption, dan Belanda yaitu : corruptie dan dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia yaitu : korupsi. Arti kata secara harafiah korupsi itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan bahasa Indonesia disimpulkan Universitas Sumatera Utara dalam kamus besar bahasa indonesia. Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Menurut TranspArency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. 57 Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pegawai Negara yang berjiwa korup menganggap kantor atau instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendpatnya akan diusahakan semaksimal mungkin. Sedangkan L.Bayley mengatakan bahwa perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana- mana. Sejarah membuktikan bahw hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Bagaimana cara penaggulangannya demikian pula berkembang pengertian korupsi. Makna korupsi selalu berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan masyarakat dari sisi negatf. Semua istilah korupsi merupakan istilah yang banyak dipakai dalam ilmu politik, kemudian menjadi sorotan berbagai disiplin ilmu. 57 Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum PIdana Nasional Dan Internasiona. Raja Grafindo, Jakarta. 2006, hal 4. Universitas Sumatera Utara adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. 58 Carl J. Friedrich mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal- hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. M.Mc Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia biasa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Dapat juga berarti menjalankan kebijaksanaanya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. Sedangkan menurut J.S.Nye, korupsi merupakan sebuah perilaku yang menyimpang dari kewjiban-kewjiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti penyuapan, nepotisme maupun penyalahgunaan secara tidak sah sumber penghasilan Negara. 59 58 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001. hal 7-9 59 Ibid hal 9-10 Universitas Sumatera Utara Arrigo dan Claussen misalnya mendefenisikan korupsi sebagai mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Jadi jelas dalam pengertian ini, segala bentuk penggelapan, pencurian terhadap dana publik untuk menguntungakan diri sendiri adalah perbuatan korupsi. Termasuk juga dalam pengertian ini ketika anda menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya kepentingan orang yang memberikannya, Anda dahulukan kepentingan publik diabaikanda, jadi otomatis Anda bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah orang yang menyalahgunakan kekuasaan publik. 60 Definisi korupsi dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untukk kepetingan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. 61 Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan 60 http:himpsijaya.org20080502psikologi korupsi, diakses pada tanggal 5 agustus 2010. 61 Adami Chazawi, Hukum Pidana Formil dan Materil Dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, Hal. 3 Universitas Sumatera Utara kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilwywh hukumnya, ada perbadaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Istlah korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia baru dikenal pertama kali dalam Pengaturan Penguasa Perang kepala Staf Angkatan darat tanggal 16 April 1958 No. PrtPeperpu0131958. Peraturan ini memuat peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang pertama kali di Indonesia. Peraturan perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda termasuk Wvs Hindia Belanda KUHP juga tidak dijumpai istilah korupsi corruptie. Dalam pengaturan penguasa perang tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian istilah korupsi, tetapi hanya dapat dibedakan menjadi korupsi pidana dan korupsi lainnya. Di dalam pasal 1 Peraturan Penguasa Perang kepala Staf Angkatan darat. Tersebut perbuatan korupsi dibedakan menjadi dua yaitu perbuatan korupsi pidana dan korupsi lainnya. 62 Istilah tindak pidana korupsi yang pertama kalli digunakan dalam peraturan perundan-undangan Indonesia adalah Peperpu Peraturan pemerintah pengganti undang-undang yakni Peperpu No.24 tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Peperpu tersebut dulu sering 62 Ibid, hal.7-8 Universitas Sumatera Utara disebut dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi 1960 dan berfungsi sebagai perangkat hukum pidana tentang korupsi untuk menggantikan kedudukan Peraturan Penguasa Perang kepala Staf Angakatan darat. Selanjunya Peperpu No.24 tahun 1960 dengan undang-undang No. 1 tahun 1960 ditetapkan menjadi UU No.24Prp1960. Undang-undang itu berupa undang-undang hukum pidana khusus pertama tentang tindak pidana korupsi yang bersifat definitif di Indonesia, yang pada saat itu populer dengan sebutan undang-undang anti korupsi. Pengertian Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sedangkan menurut UU No.31 tahun 1999 Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 63 1. Perbuatan melawan hukum. 2.Bentuk-Bentuk Korupsi Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garus besar mencakup unsur-unsur sbb: 2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. 3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. 4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 63 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Djambatan, 2004 hal.5 Universitas Sumatera Utara Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal UU No.31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No.20 tahun 2001.Rumusan tersebut yang mempunyai unsur- unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Uraian mengenai bentuk-bentuk tidak pidana korupsi terdapat dalam UU No.31 tahun 1999, sebagai berikut : 64 1. Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang atau korporasi. Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999. 2. Tindak Pidana Korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan atau kedudukan. Pasal 3. 3. Tindak Pidana Korupsi dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu Pasal 5. 4. Tindak Pidana Korupsi suap pada hakim dan advokat Pasal 6. 5. Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI Pasal 7. 6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga Pasal 8 7. Tindak Pidana Korupsi pegaawai negeri dalam hal memalsu buku- buku dan daftar-daftar. Pasal 64 Adami Chazawi, Op.Cit, hal 33 Universitas Sumatera Utara 8. Tindak pegawai negeri merusak barang, akta, surat atau daftar Pasal 10 9. Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenaangan jabatan Pasal 11 10. Korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau haki dan advokat menerima hadiah atau janji, pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara dan turut serta dalam pemborongan Pasal 12 11. Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi Pasal 12 B 12. Tindak Pidana korupsi suap pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan Pasal 13 13. Tindak Pidana yang berhubungan dengan huku acara pemberantasan korupsi Pasal 21, 22 dan pasal 24 65

3. Faktor Penyebab Korupsi

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 66 1. Lemahnya pendidikan agama dan etika. 65 Ibid, hal.34 66 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Sinar Grafika, 2005, hal 34 Universitas Sumatera Utara 2. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidak meenggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. 3. Kurangnya pendidikan, namun kenyataannya kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, 4. Kemiskinan, pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sehingga mereka bukanlah dari kalangan yang kurang mampu melainkan orang yang sangat mampu. 5. Tidak adanya sanksi yang keras. 6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi. 7. Struktur Pemerintahan 8. Perubahan radikal, pada saat sistem mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional. 9. Keadaan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan. 10. Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. 67 67 Ibid, hal.11 Universitas Sumatera Utara

B. Asas Retroaktif Dalam Tindak Pidana Korupsi

Baru-baru ini publik dikacaukan dengan pendapat para pengamat tentang persoalan penggunaan asas retroaktif dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang dilakukan KPK. Hal ini dipicu putusan judicial review terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagian pengamat menyatakan, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK hanya berwewenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara sebelum Undang- Undang UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dibentuk, seyogianya diikuti KPK karena UU KPK No 302002 sama sekali tidak mengatur asas retroaktif. 68 Di pihak lain, para ahli hukum berpendapat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam setiap putusannya tidak mengikat secara umum sehingga tidak perlu diikuti KPK. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sendiri berpendapat, penerapan asas retroaktif dalam UU No 302002 tentang KPK dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang- undang laiknya UU No 262000 tentang Pengadilan HAM. Penerapan asas retroaktif Dari sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya, artinya apabila negara dalam keadaan darurat abnormal dengan prinsip-prinsip 68 Kompas, 24 februari 2005, ditulis oleh Amir Syamsuddin. Universitas Sumatera Utara hukum darurat abnormaal recht, karena itu penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang amat limit, dengan tetap memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur yang dapat dikategorikan abuse of power. Semangat untuk memberlakukan eksistensi asas retroaktif kini bisa dianggap sebagai kemunduran jika dikaitkan dengan asas lex tallionis sebagai sumber primaritas, tetapi semangat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi bagi pelaku yang telah menikmati hasil korupsi di masa lalu bukan sebagai semangat tallionis, tetapi merupakan tindakan pemulihan dan penyelamatan harta kekayaan negara yang telah diselewengkan pelaku korupsi yang tidak bertanggung jawab. Pemberlakuan asas retroaktif untuk kejahatan korupsi yang kami anggap sebagai kejahatan terhadap masyarakat crimes against society adalah suatu hal dimungkinkan selain dapat mematahkan upaya-upaya impunity, juga agar dapat menyelesaikan secara tuntas dan adil tiap kejahatan korupsi yang telah menyengsarakan masyarakat. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang. Apalagi kejahatan korupsi juga merupakan masalah yang muncul sebagai burning issues yang berdimensi luas yang selain dapat merusak tatanan hidup masyarakat, juga Universitas Sumatera Utara dijadikan isu-isu untuk merongrong kewibawaan pemerintah dan alat penegak hukum. 69 Selain itu, aneka perbuatan korupsi masa lalu sering baru dapat diketahui dan ditemukan indikasinya di masa sekarang sehingga pembatasan kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi masa lalu sulit diterima. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi jelas bukan amar putusan diktum yang mengikat umum sehingga tidak mempunyai konsekuensi hukum apa pun jika diikuti atau tidak diikuti. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi hanya dapat dijadikan referensi bagi praktisi dan penegak hukum, termasuk para hakim untuk membuat putusan, tetapi bukan sebuah diktum yang mengikat umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 UU No 242003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi sesuai asas-asas peradilan yang berlaku umum hanya akan memutus apa yang diminta para pemohon untuk diputus sesuai dengan ketentuan UU No 242003 tentang Mahkamah Konstitusi. Persoalan penggunaan asas retroaktif ini akan menjadi semakin sulit apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materiil terhadap UU No 262000 tentang Pengadilan HAM yang menurut para pemohonnya bertentangan dengan Pasal 28i Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 karena memberlakukan asas retroaktif. Apabila ini terjadi berarti Mahkamah Konstitusi telah berpendirian, asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHPidana Noellun Delictum, Noella Poena Sine Praevia Lega Poenali sama sekali tidak dapat disimpangi tuntutan keadilan masyarakat. UU KPK perlu 69 Ibid, Universitas Sumatera Utara direvisi? Sebagaimana dinyatakan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, pengaturan asas retroaktif seharusnya diatur dalam UU No 302002 tentang KPK, khususnya yang menyangkut asas retroaktif, sehingga KPK memiliki kewenangan jelas dan nyata untuk menangani kasus-kasus korupsi masa lalu. Jika kita memakai konstruksi berpikir ilmu hukum, Pengadilan Khusus Korupsi yang diwadahi UU KPK tentu tidak dapat memeriksa kejahatan korupsi yang terjadi sebelum pengadilan terbentuk. Namun, konstruksi berpikir itu tidak dapat dipakai dalam persoalan ini karena persoalan korupsi tak mengenal ruang dan waktu seperti layaknya persoalan HAM yang diatur dalam UU No 262000 tentang Pengadilan HAM. 70 Perbuatan atau kejahatan korupsi masa lalu memiliki akibat yang dirasakan hingga kini sehingga menurut hemat kami KPK sebagai komisi satu- satunya pemberantasan korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi masa lalu. Sementara itu, Pengadilan Korupsi meski baru terbentuk merupakan perpanjangan atau sarana untuk menyelesaikan kasus- kasus korupsi yang ditangani KPK. Meski demikian, argumen kami tidak baku, karena itu sudah selayaknya UU KPK direvisi. Apabila Pengadilan Khusus Korupsi sudah berjalan, eksistensi pengadilan ini tentu akan dipersoalkan masyarakat karena dianggap tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara- perkara korupsi masa lalu. Sejak KPKPN melakukan uji materiil terhadap UU KPK dulu, kami merasakan adanya ketimpangan dalam kebijakan instrumental pembuat undang- undang KPK yang kesannya tergesa-gesa dan tidak fokus pada 70 Ibid, Universitas Sumatera Utara penegakan hukum korupsi secara jernih dan terpadu. Akibatnya, banyak hal yang dilupakan, termasuk mengenai pengaturan asas retroaktif sebagaimana yang dipersoalkan sekarang ini. Dalam UU No 302002 tentang KPK, Pasal 9 dan Pasal 68 UU KPK hanya menyatakan KPK berwenang melanjutkan atau mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang belum selesai dilakukan lembaga penegak hukum lain, tetapi tidak ada ketentuan yang menyatakan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk perkara korupsi masa lalu. Karena itu, menjadi wajar bila Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat bahwa seyogianya KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi masa lalu mengingat keberadaan Pasal 28i Ayat 1 UUD 1945. Dengan demikian, UU KPK perlu direvisi dengan memasukkan asas retroaktif di dalamnya sehingga tidak ada keraguan bagi KPK untuk bertugas mencegah dan memberantas korupsi tanpa harus dibatasi ruang dan waktu. Semangat pemberantasan korupsi merupakan semangat yang dikembangkan berdasar pikiran bahwa kondisi bangsa kita sedang dalam keadaan darurat korupsi sehingga penggunaan asas retroaktif dimungkinkan selain tuntutan keadilan juga merupakan tuntutan negara yang sudah berusaha menyelamatkan keuangan negara yang hilang. Karena itu, setiap prasarana dan sarana pemberantasan korupsi harus diberi dukungan sepenuhnya, termasuk kewenangan KPK untuk terus bekerja menangani kasus-kasus korupsi tanpa dibatasi ruang dan waktu. 71 71 Ibid Universitas Sumatera Utara Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink yang menegaskan bahwa daya kerja surut retroaktif dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat 2 dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. 72 Secara tegas Remmelink halaman 365-366 mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving pembuat perundang-undangan dalam ketentuan KUHP Belanda sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana strafbaarstelling. Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa 72 http:www.transparansi.or.id Universitas Sumatera Utara dari atau melalui perubahan ini undang-undang,pen. harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan kepatutan tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif- restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa. 73 Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka yang secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk Perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait tindak pidana termasuk para koruptor, kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan keistimewaan perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-undang hukum acara pidana. Dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada guru besar hukum pidana, hukum administrasi negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi dan status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas pada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana disatu sisi asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan objeknya dan huku m administrasi negara di sisi lain tidak memahami arti dan makna. 73 Ibid, Universitas Sumatera Utara negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun yang sudah mencapai 50, kiranya sudah dapat ditolerir lagi pendapat yang menyatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa ordinary crimes bukan kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sitematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam bagian menimbang huruf a Undang-undang N0. 20 Tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi…tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitik tolak kepda fakta korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas, pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extra ordinary crimes sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK. 74 Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indoneisa sampai saat 74 Romli Atmasasmita, Penerapan Hukum Pidana dan Asas Non Retroaktif dalam Pemberantasan Korupsi,NTI press Jakarta 2007. yang dikutip dari buku dibalik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap KPK. Universitas Sumatera Utara ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis dan konstitusional serta sosiologis yang kuat teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang berlaku sebelum diberlakukannya UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas dasar uraian diatas maka tidak ada lagi dalih untuk pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlauan Undang-undang tersebut tidak berlaku surut. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dari analisa dan pembahasan materi yang dilakukan. Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah: 1. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas atau Principle of legality atas dasar extra ordinary crimes, seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang dilandasi oleh prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti, baik keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi korban tindak pidana merupakan penyeimbang asas legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan untuk semuanya.Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dengan kondisi-kondisi tertentu, seperti kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara yang selama ini kurang mendapat perlindungan dari asas legaltas dapat diterima guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat. Dimana Asas Universitas Sumatera Utara Retroaktif boleh digunakan apabila telah memenuhi empat syarat akumulatif : a. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya. b. Peradilannya bersifat Internasional, bukan peradilan nasional. c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen. d. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan tingkat destruksinya setara dengannya. 2. Indonesia menganut Asas Legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi:” Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang undangan yang telah ada. Ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung tiga buah asas yang sangat penting yaitu : a. Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis b. Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut dan c. Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana. Universitas Sumatera Utara Kedudukan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia telah banyak mengalami penyimpangan, kareana secara umum para ahli menilai asas legalitas lebih mengutamakan perlindungan hukum individu daripada masyarakat luas. Namun dalam sistem hukum di Indonesia tetap menggunakan asas legalitas sebagai kontrol atau patokan hukum. Maka dengan demikian Indonesia tetap menganut asas legalitas sesuai dengan penganut sistem hukum tertulis lainnya, dimana di Indonesia yang dapat dianggap menjadi asas legalitas tertulis pada pasal 28 I dan J UUD 1945. 3. Korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extra ordinary crimes sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, sehingga salah satunya hal yang dapat di terapkan adalah pemberlakuan asas retroaktif bagi para koruptor. Penerapan asas Retroaktif daalam UU No. 302002 tentang KPK dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang-undang laiknya UU No 262000 tentang Pengadilan HAM. Penerapan asas retroaktif Dari sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya. B. SARAN Berdasarkan beberapa kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka perlu kiranya dicari langkah yang paling tepat untuk menjawab atau mengatasi Universitas Sumatera Utara berbagai permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun saran-saran yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah: 1. Sebaiknya dalam menerapkan asas retroaktif, Hakim dapat melihat lebih jernih mengenai adanya pelanggaran HAM berat atau yang tingkat destruktifnya setara dengan peanggaran Ham berat. Kareana ada kemungkinan penyalahgunaan dalam penerapan asas retroaktif yaitu balas dendam lex Taliaonis. Penerapan asas retroaktif dalam UU No. 30 Tahun 2002 dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang-undang seperti halnya dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. 2. Demikian juga dalam hal penerapan Asas Legalitas, Hakim sebagai perpanjangan Tangan Tuhan dalam sebuah proses peradilan dapat memberikan rasa keadilan bagi orang yang mencari keadilan khususnya. Hakim dapat menerapkan penemuan hukum yang bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap hal-hal yang baru. 3. Dalam penerapan asas retroaktif dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalan UU No. 30 tahun 2002 harusnya dimungkinkan demi keadilan, dengan anggapan bahwa korupsi telah menyebabkan kerugian bagi negara dan penderitaan bagi rakyat Indonesia Universitas Sumatera Utara BAB II PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Pemberlakuan Hukum Pidana.

Apabila membahas pemberlakuan hukum pidana, secara garis besar dapat dibedakan dua jenis pemberlakuan hukum pidana ialah pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat. Pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan. Ilmu hukum pidana menyebut ketentuan ini sebagai asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang mempunyai makna tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Francis Bacon 1561-1626 seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex priusquam feriat undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya, ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni juga mencakup Universitas Sumatera Utara pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya bila ancaman pidana yang tercantum terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegah, maka menghukum dapat dibenarkan. 18

B. Landasan Pemberlakuan Asas Retroaktif.

Kedua, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat, bahwa pemberlakuan hukum pidana selalu terikat pada masalah kewilayahan ialah terbatas pada wilayah negara tertentu. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas atau Principle of legality atas dasar extra ordinary crimes, seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Dengan demikian pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang dilandasi oleh prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti, baik keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi korban tindak pidana merupakan penyeimbang asas legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan untuk semuanya. Sehingga pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dengan kondisi-kondisi tertentu, sseperti kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara yang selama ini kurang mendapat perlindungan dari asas legaltas dapat diterima guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat. 19 Pemberlakuan asas retro aktif sebagai pengecualian dari asas Legalitas merupakan suatu pergeseran paradigma bagi pemberlakuan hukum di Indonesia. 18 Ibid, hal 12 19 Nyoman Sarikat Putra Jaya., Loc.Cit.,hal.23. Universitas Sumatera Utara Dimana pemberlakuan asas retroaktif ini menjadi penting setelah terjadinya peristiwa bom bali pada Tahun 2002. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa asas legalitas itu dibuat intuk melindungi Hak Asasi Manusia, jadi akan menjadi suatu hal yang diharuskan pula apabila Asas Legalitas itu sendiri disimpangi untuk kepentingan Hak asasi manusia juga. Sebagaimana dimaklumi, dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia HAM dinyatakan, bahwa “Pelanggaran HAM yang berat” akan diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 104 . Kemudian, keluar undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya juga mengatur tentang hukum pidana materilnya dan membagi atau merinci pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menjadi dua tindak pidana yaitu: 20 1. Kejahatan Genosida 2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilkukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara : a. Membunuh anggota kelompok b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian 20 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pdana, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003 hal. 1-2 Universitas Sumatera Utara d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa : a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum Internasional f. Penyiksaan g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. i. Penghilangan orang secara paksa, atau Universitas Sumatera Utara j. Kejahatan Apartheid. 21 Masalah retroaktif yang ramai dibicarakan adalah, apakah undang- undang No. 39 tahun 1999 dan undang-undang no 26 tahun 2000 dapat juga diberlakukan terhadap kejahatan hak asasi manusia yang terjadi sebelum keluarnya undang-undang itu. Di Indonesia sendiri, meskipun cacat, amandemen UUD 1945 penting sekali diperhatikan. Pasal 28 I dan J pada dasarnya memberlakukan asas hukum retroaktif yang dapat diterapkan untuk situasi kekacauan yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Apabila kita perhatikan bunyi pasal 28 I maka akan berbunyi sebagai berikut : 1 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 2 Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 3 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionl dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 21 Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 pasal 7A dan B Universitas Sumatera Utara 4 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara,terutama pemerintah. 5 Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. Pasal 28J 1 Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2 Dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 22

C. Makna yang terkandung dalam Asas Retroaktif

Masalah yang perlu mendapat kajian mendalam adalah makna dari retroaktif itu sendiri. Artinya apakah masalah retroaktif hanya berlaku terhadap 22 Undang-undang dasar 1945 Pasal 28 I dan J Universitas Sumatera Utara undang-undang baru yang menciptakan delik baru ataukah juga berlaku terhadap undang-undang baru yang merupakan perubahan dari undang-undang lama, sehingga tidak menciptakan delik baru. Saya sendiri berpendirian bahwa pemberlakuan retroaktif secara sempit ialah terbatas pada undang-undang baru yang menciptakan delik baru saja dan terbatas pada delik baru yang memenuhi kriteria perbuatan-perbuatan yang membahayakan kelangsungan hidup negara, bangsa dan masyarakat. Di sini kepentingan yang harus dilindungi adalah kepentingan kolektif baik kepentingan negara, bangsa maupun masyarakat. Dengan demikian, ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP merupakan aturan peralihan yang bersifat umum. 23 1. Pasal 1 ayat 2 sebenarnya tidak mengatur tentang prinsip retroaktif undang-undang berlau surut tetapi mengatur tentang hukum yang berlaku pada masa transisi dalam hal ada perubahan perundang-undangan dengan prinsip hukum yang diberlakukan dalam masa transisi adalah hukum yang menguntungkanmeringankan terdakwa. Jadi pasal 1 ayat 2 mengandung prinsip, bahwa apabila dalam masa transisi menghadapi dua pilihan perundang-undangan, maka harus diterapkan atau di dahulukan hukum yang menguntungkan atau Barda Nawawi Arief berpendapat, penyebutan asas retroaktif untuk pasal 1 ayat 2 KUHP kurang tepat karena: 23 Nyoman Sarikat Putra Jaya Loc.cit hal 14 Universitas Sumatera Utara meringankan. Jadi dapat dikatakan mengandung asas “Subsidiaritas”. 2. Istilah Retroaktif memberi kesan, bahwa undang-undang yang baru, yang diberlakukan surut. Padahal menurut pasal 1 ayat 2 Undang-undang lamapun tetap dapat diberlakukan apabila menguntungkan atau meringankan terdakawa. 24 Beberapa perundang-undangan selain pasal 1 ayat 1 KUHP yang melarang suatu perundang-undangan pidana berlaku surut, dapat disebutkan sebagai berikut : 1. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. A. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 B. Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 2. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada sidang tahunan tanggal 7-18 Agustus 2000, telah mengadakan perubahan kedua terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Salah satu perubahan terhadap UUD 1945 adalah menambahkan satu bab sesudah Bab X ialah Bab X- A tentang “ Hak Asasi Manusia” Pasal 28A-Pasal 28J. Dari ketentuan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, jelas bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” merupakan hak absolut dari manusia yang tidak dapat dikurangi atau 24 Ibid, hal 15 Universitas Sumatera Utara dibatasi. Pernyataan yang tercantum dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 ialah hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tidak berlaku mutlak, karena sesuai dengan penjelasan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 yang menerangkan: Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengecualian terhadap pernyataan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut seperti tercantum dalam penjelasan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip umum yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang melarang suatu aturan pidana berlaku secara Retroaktif walaupun didalam penjelasan tersebut dibatasi hanya terhadap pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, serta pengecualianseolah-olah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP yang melarang suatu aturan pidana berlaku surut, haruslah dipandang sebagai suatu penyimpangan dan masih di dalam tingkatan undang-undang yang sederajat, sehingga disini berlaku asas lex specialist derogat lex generalis artinya undang-undang yang khusus menyampingkan undang-undang yang umum. Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut menjadi muatan materi dalam Undang- Universitas Sumatera Utara undang Dasar, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 25 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 terdapat beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, dimana salah satunya adalah hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Ini berarti hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan derogable rights sehingga tidak dapat dikurngi atau dibatasi walaupun terdapat ketentuan seperti seperti dalam pasal 28 J UUD 1945 yang seolah-olah memberi peluang untuk menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 menentukan: 2. Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan dalam pasal 28 J ayat2 1945, tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dibatasi atau dikurangi. Apakah ketentuan yang menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang 25 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Bandung. 1990 Universitas Sumatera Utara semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berlaku untuk semua hak-hak yang tercantum dalam ketentuan Bab X A UUD 1945, termasuk ketentuan dalam Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945. Padahal ketentuan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pengecualian sebenarnya harus secara eksplisit ditentukan dalam pasal atau ayat sendiri, seperti apa yang terkandung dalam pasal 18 dari Brisbane Ordonantie yang menentukan “ het bepalde in art.1 van het wetb.v.strafr.wordt voor wat betreft de toepassing van deze ord. buiten werking gesteld. Jadi ini sebetulnya menggarisbawahi ulang dalam konsiderans bahwa Pasal 1 KUHP WvS tidak bisa atau tidak akan diterapkan jadi asas retroaktif dalam sejarah hukum pidana WvS yang masih berlaku bukanlah sesuatu yang baru. Apa yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP bertalian dengan diterapkannya ordonansi ini tidak digunakan.

D. Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia.

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Universitas Sumatera Utara perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie AB S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat 2. Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah : 1. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. 2. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis Teori psicologische dwang dari Anselm von Feurbach. Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat. Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini Universitas Sumatera Utara tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas Retroaktif jika walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyebutkan “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannhya”. Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika : 1. Menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. 2. Menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan Pasal 12 ayat2 Deklarasi Universal HAM Asas Retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat akumulatif : a. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya. b. Peradilannya bersifat Internasional, bukan peradilan nasional. c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen. d. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggip menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan tingkat destruksinya setara dengannya. Universitas Sumatera Utara Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999 khusus yang berkaitan dengan hukum pidana dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003. Polemik tentang perlu-tidaknya Asas Retroaktif ini diberlakukan sangat gamblang terwacanakan terutama saat Mahkamah Konstitusi MK memutuskan untuk membatalkan berlakunya UU No. 162003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali. Keputusan ini ditetapkan dengan dalih utama bahwa Undang-Undang tersebut telah tercemar Asas Retroaktif yang sangat memojokkan tersangka, menetapkannya berarti pengkhianatan atas Asas Legalitas yang kesakralannya nyaris menyeimbangi kesakralan UUD. Di samping mereka juga mengklaim bahwa peledakan bom di Bali tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa extraordinary crime yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif. Betapa sikap Mahkamah Konstitusi saat itu sangat mengejutkan publik, karena selain keputusan itu dilegalkan tepat pasca penghargaan dunia internasional terhadap ketegasan pemerintah Indonesia dalam mengadili para pelaku terorisme bom Bali, keputusan tersebut juga dinilai berbagai pihak sebagai Universitas Sumatera Utara pencederaan terhadap rasa keadilan korban dan keluarganya sekaligus penghangatan kembali kecemasan masyarakat akan impunitas yang kemungkinan besar didapatkan oleh para teroris via keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Di sisi lain, keputusan ini juga kurang mencerminkan penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Bom Bali tersebut. 26 1. Bentuk pelunakan atau penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri yaitu dengan adanya pasal 1 ayat 2 KUHP Dalam sejarah dan praktek hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlkuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan zaman menuntut peranan hukum khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya. Masalah melemahnya atau bergesernya asas legalitas, sebagaimana dimaklumi, asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari atau nilai dasar “kepastian hukum.” Namun, dalam realitanya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan atau penghalusan atau pergeseran atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut : 26 Agus Raharjo Op.Cit, hal 15 Universitas Sumatera Utara 2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel 3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia dalam Undang- undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt. 1951 ; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undan Nomor 35 Tahun 1999 dan konsep KUHP baru, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai Nullum delictum sine ius, atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum. 4. Dalam dokumen Internasional dan KUHP negara lain juga terlihat perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiel lihat pasal 15 ayat 2 International Convention on Civil and Political RightI ICCPR dan KUHP kanada diatas. 5. Di beberapa KUHP negara lain antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal ada ketentuan mengenai “Permaafan atau pengampunan hakim” dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “ Rechterlijk Pardon”, Judicial Pardon” ,”Dispensa de pena”, atau “Nonomposing of Penalty” yang merupakan bentuk “Judicial Corrective to the legality Principal”. 6. Ada perubahan Fundamental di KUHAP Prancis pada Tahun 1975 dengan Undang-undang Nomor.75-624 Tanggal 11 juli 1975 yang menambahkan ketentuan mengenai “ Pernyataan Bersalah Tanpa Universitas Sumatera Utara menjatuhkan pidana” “De Declaration of Guilt without emposing a penalty “ 7. Perkembangan atau perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “Cyber Crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “Lex Certa”, karena dunia maya Cyber- Space bukan dunia riel atau realita atau nyata atau pasti. 27 Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiel dengan mendasarkan pada ketentuan dalam pasal 15 ayat2 ICCPR dan KUHP Kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari konvensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiel sama dengan asas retroaktif. Asas legalitas materiel dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu pasal 5 ayat 3 sub b Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 dan kemudian direspon dalam pasal 1 ayat3 RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas legalitas materiel menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum huku m tertulis itu muncul. 27 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 9-11 Universitas Sumatera Utara Arti asas legalitas materiel bisa menjadi asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertilis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraruran pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlans Indie AB S.1947-23 dan Pasal 1 ayat 1 Wet Boek van Strafrecht KUHP. Kemudian larangan itu muncul dalam konstitusi, yaitu UUDS 1950 pasal 14 ayat 2. Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas nonretroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentng Hak Aasasi Manusia HAM dan Undang- undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara Historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia 1915 belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia-Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, pemerintah Hindia-Belanda di pengasingan mengeluarkan Brsibane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu jepang. Kuatnya Universitas Sumatera Utara keinginan menerapkan asas Retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Stalliones Pembalasan. Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam penjelasan pasal 4, pasal 18 ayat 3 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 khusus yang berkaitan dengan hukum pidana dan pasal 43 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu : 1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam penjelasan pasal 4 dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu pasal 4. Ketentuan dalam pasal 4 menentukan bahwa “ Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang belaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapu dan oleh siapapun”. Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut retroaktif menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama , apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua, apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “Penjelasan”. Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada pasal 4 ditetapkan tentang Hak Absolut dan penjelasannya justru mem atasi hak Universitas Sumatera Utara absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi Hak Relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “Siapaun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana Criminal Justice, yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu atau perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu. 2. Tampaknya penerapan asas retoaktif dalam UU No.39 Tahun 1999 jo.UU No.26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenaipenenganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statua Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asa retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur.Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari pemerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC. Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau Universitas Sumatera Utara peradilan nasional tidak dapat bertindak danatau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungin di adili di dalam negeri. 3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No.39 Tahun 1999 jo UU No.26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran Ham berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan. 28 Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang menjadi Undang-undang No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 yang akhirnya menjadi Undang-undang No. 16 Tahun 2003. 28 Agus Raharjo, Op.Cit, hal 16 Universitas Sumatera Utara Ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 15 Thun 2003 menyatakan : “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri”. Ketentuan ini merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “….dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini…” mengandung indikasi bahwa selain perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 oktober 2002. akankah demikian, tentunya kita lihat perkembangan dari kedua Perpu tersebut. Perpu No. 1 Tahun 2002UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I yaitu Amrozi, Ali Imron, dan Imam Samudera. Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No.2 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiel oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiel hanya Perpu No. 2 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002 UU No.15 Tahun 2003. Salah satu dasar hukum yang paling Relevan dengan persoalan yang dibicarakan disini adalah ketentuan dalam pasal 28 I ayat 1 perubahan kedua Universitas Sumatera Utara amandemen kedua UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No.2 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat 1 menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk yidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat 1 dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan : 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Dalam menjalankan Hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrtis. Universitas Sumatera Utara Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk dari extra ordinary crime , sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana. Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengecualikan asas nonretroaktif, argumen huku m internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Disamping itu, dikemukakan pula bahaya bagi penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas nonretroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik revenge dan sebagainya. 29 1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” Pasal 28 I, terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat; Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013PUU-I2003 tanggal 22 Juli 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut : 2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg 1946, Tokyo 1948, Ad hoc Tribunal di Rwanda dan 29 Romli Atmasasmita Op.Cit, hal 85 Universitas Sumatera Utara Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik,tidak lagi merupakan asas universal; 3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sabab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum; 4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangkaterdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali; 5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam ordinary crime menunjukan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut terlalu dini dan ceroboh. 30 Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa ordinary crime atau luar biasa extra ordinary crime. Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran. Pertama, jumlah korban yang besar , 30 Romli Atmasasmita, Mengkritisi Putusan Mahkamah Konstitusi Hecca Mitra Utama, Jakarta, hal 87-96 Universitas Sumatera Utara kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam, ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh lembaga internasional PBB atau lainnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbedaa satu dengan yang lain. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak pada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan tentang terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali. Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggig di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2002 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Universitas Sumatera Utara Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 UUD 1945. pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum dosmetik dan katentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana retroaktif yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Kenyataannya yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berda di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu larangan penerapan peratuaran pidana secara retroaktif ternyata meninbulkan persoalan yang rumit terutama menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingnya dalam KUHP atau perturan pidana khusus lainnya.

E. Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional.

Pada saat ini, larangan pemberlakuan surut non retroaktif suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam artikel konvensi Jenewa ketiga 12 Agustus 1949, pasal 14 dan pasal 28 konvensi Wina 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organization or between International Organization. Selain itu Universitas Sumatera Utara dapat pula dilihat dalam pasal 11 ayat 2 Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights 1966 ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Right and Fundamental Freedom and Its Eight Protocols, terutama dalam pasal 22-24. 31 Meskipun ketentuan dalm hukum International menentukan demikian, bukan berarti tidak ada pengecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 28 konvensi Wina 1969 dan pasal 28 konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam pasal 103 piagam PBB dan pasal 15 ayat 2 ICCPR yang merupakan pengecualian yang diberlakukan terhadap pasal 15 ayat 1 tersebut. 32 Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada perang dunia II, International Criminal Tribunal 31 Shinta Agustina, Hukum Pidana International dalam Teori dan Praktek, Andalas University press,Padang 2006. hal 62 32 Ibid, Universitas Sumatera Utara for the Former Yugoslavia ICTY dan Internationa Criminal Tribunal for Rwanda ICTR merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “Benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca perang dunia kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana yang terdapat di seluruh dunia. Penolakan dari asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge balas dendam politiksehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionis balas dendam. Larangan akan pemberlaakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas rettroaktif ini merupakan derogable rights hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dikurangi. pemenuhannya oleh negara.meski dalam kondisi darurat sekalipun. 33 1. Sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara. Namun dalam konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik pengecualian non retroaktif dapat dilakukan apabila telah memenuhi persyaratan kumulatif sebagai berikut: 33 Nyoman Sarikat Putra Jaya Loc.cit., hal 8 Universitas Sumatera Utara 2. Penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada dikriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asasl usul sosial. 3. Pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada perserikatn bangsa-bangsa PBB. Pemberlakuan asas retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indoneisa. 34 A. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan pasal 28 J undang-undang dasar Republik Indonesia 1945 Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni: B. Ketentuan Internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, dan Tokyo. C. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun di luar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku kejahatan yang lolos dari jeratan huku m. D. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cermin dari asas keadilan, baik terhadap pelaku maupun korban. 34 Shinta Agustina, Op.Cit, hal 64 Universitas Sumatera Utara E. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa extra ordinary crime. Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan sebelumnya oleh PBB. F. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini smata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana nasional dan internasional. 35 BAB III KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas.

Asas Legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach 1775- 1883, seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine,nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian di kembangkan oleh 35 Romli Atmasasmita, Op.Cit., hal 78 Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masyarakat selalu mengalami perubahan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta adalah hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwa-peristiwa yang sebenarnya merupakan perbuatan melawan hukum tak dapat diatasi hanya karena hukumya tidak atau belum ada. Kondisi ini tercipta karena hukum yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum tertulis, yang pembuatan dan pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek. 1 Perkembangan masyarakat memiliki dampak yang positif berupa meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan kemanusiaan dan dampak negatif berupa munculnya kejahatan yang mengancam kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Meski demikian tidak semua perkembangan masyarakat memiliki perkembangan negatif. Tak dapat di tentukan secara pasti bahwa perubahan masyarakat itu akan menimbulkan kejahatan sebagaimana ditetapkan dalam Forth United Nations congress on the prevention of crime and the treatment of offender ataupun 1 Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika , Jakarta 2008 hal 5-6 Universitas Sumatera Utara sebaliknya perubahan masyarakat mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kongres PBB tersebut mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan. Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi pertambahan penduduk, perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi. 2 Faktor kriminogen dari perkembangan masyarakat itu muncul dalam bentuk kejahatan yang tiada bandingnya dalam KUHP atau dengan kata lain merupakan kejahatan jenis baru. Hukum pidana sebagai sebuah bidang kajian memiliki keterbatasan, yang menyebabkan hukum pidana tak mampu menjangkau sebab-sebab kejahatan yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, dan hukum pidana hanyalah bagian kecil dari sarana kontrol sosial masyarakat yang tak dapat menjadi obat mujarab bagi keseluruhan persoalan kejahatan. 3 Hal ini tentunya adalah suatu keadaan yang menggambarkan keadaan yang tidak baik Dimana penegakan hukum akan sulit tercapai, maka cita-cita luhur bangsa untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, khususnya bagi mereka yang mencari keadilan.akan sulit terealisasi. Jika kita berpegang secara teguh terhdap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP maka konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang belum ada di atur dalam undang-undang sebelumnya maka pelakunya akan bebas dari jerat hukum. Jika dikaitkan dengan persoalan 2 Ibid, hal 7-8 3 Ibid, hal111-12 Universitas Sumatera Utara keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan fungsinya dengan membiarkan ketidak adilan bagi para korban dan menguntungkan para pelaku kejahatan. Perkembangan konsekuensi dari salah satu asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu lex temporis de licti atau yang biasa dikenal dengan asas legalitas khususnya yang berkaitan dengan asas retro aktif berlaku surut. Ketentuan seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung tiga buah asas yang sangat penting yaitu : 4 1. Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis 2. Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut dan 3. Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana. 4 P.A.F. Lamintang,., Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, hal. 140 Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimanakah pemberlakuan asas retroaktif dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia? 2. Bagaimanakah kedudukan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia 3. Bagaimanakah perkembangan asas retroaktif dalam tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan asas retroaktif dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia. 3. Untuk mengetahui Bagaimanakah kebijakan perkembangan asas retroaktif dalam tindak pidana korupsi. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah : Universitas Sumatera Utara 1. Secara teoritis, melalui penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pemikiran serta pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana, baik untuk kalangan mahasiswa sendiri atau para akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. 2. Manfaat praktis, diharapkan pula melalui penulisaan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan proses peradilan yang baik dan tepat, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang mencari keadilan dan dapat memberikan rasa keadilan yang sebesar-besarnya di tengah masyarakat.

D. Keaslian Penulisan Skripsi dengan judul “Pemberlakuan Asas Retroaktif dan Asas

Legalitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia ”, ini diangkat karena penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang paradigma hukum di negara kita yang menganut asas legalitas namun dalam pelaksanaannya telah terjadi perubahan paradigma yaitu dengan menerapkan asas retroaktif yang secara teori bertentangan dengan asas legalitas yang kita anut yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP . Menurut penulis, banyak pembahasan mengenai asas legalitas, namun dalam hal ini penulis menitik beratkan pada pergeseran nilai atau perubahan paradigma yang terjadi dalam pemberlakuan hukum Pidana. Dimana asas legalitas yang kita anut selama ini bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Universitas Sumatera Utara Manusia, namun di lain pihak asas itu harus di simpangi dengan alasan perlindungan Hak Asasi Manusia juga yaitu dengan memberlakukan asas retroaktif yang secara nyata tidak sesuai dengan asas legalitas. Oleh sebab itu, keaslian skripsi ini masih terjamin adanya. Apabila ditemukan tulisan atau judul yang hampir bersamaan dengan skripsi ini, apabila ditinjau pembahasan dan titik berat permasalahannya maka akan ditemuai perbedaan secara nyata yang akan membedakan skripsi ini dengan tulisan atau skripsi yang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif

Seperti yang telah di kemukakan, bahwa dalam dunia akademik fakultas hukum, masalah pemberlakuan retroaktif hanya dibahas sebagai pelengkap pembahasan asas legalitas dalam pasal 1 ayat1 KUHP , namun setelah diterbitkannya Perpu No.1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dimana terkandung dan akan diterapkannya asas retoaktif. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas atau “principle of legality” atas dasar extra ordinary crime seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat . Masalah yang perlu mendapat pengkajian mendalam adalah makna retroaktif itu sendiri, artinya apakah retroaktif hanya berlaku terhadap undang- undang baru yang menciptakan delik baru ataukah juga berlaku terhadap undang- undang baru yang juga merupakan perubahan dari undang-undang lama sehingga Universitas Sumatera Utara tidak menciptakan delik baru. Makna dari pemberlakuan secara retroaktif itu adalah hanya terbatas pada delik baru yang memenuhi kriteria perbuatan- perbuatan yang membahayakan kelangsungan hidup negara, bangsa dan masyarakat. Apabila membahas tentang pemberlakuan hukum pidana, secara garis besar dapat dibedakan dua garis besar pemberlakun hukum pidana yaitu pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat. 5 Ini berarti bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita hanya dapat diberlakukan bagi tindakan-tindakan yang telah dilakukan orang

1.1 Berlakunya Undang-undang Pidana menurut Waktu.

Bila kita membahas tentang Pasal 1 ayat 1 KUHP, dikatakan bahwa ketentuan pidana seperti yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP antara lain mengandung sebuah asas yang mengatakan bahwa undang-undang pidana yang beraku di negara kita tidak dapat diberlakukan secara surut. Asas tersebut ternyata adalah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 2 dari Algemene van Wetgeving voor Indonesia yang mengatakan : “De wet Verbindt alleen voor het toekomende en heeft geene terugwerkende kracht” yang artinya : undang-undang itu hanya mengikat bagi hal-hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan untuk diberlakukan surut. 5 Ibid, hal 151. Universitas Sumatera Utara setelah undang-undang pidana tersebut mempunyai suatu kekuatan hukum untuk diberlakukan sebagai undang-undang. Mengenai saatnya yang tepat tentang bilamana suatu rencana undang- undang itu mulai mempunyai suatu kekuatan hukum untuk diberlakukan secara sah sebagai suatu undang-undang, hal tersebut biasanya ditentukan dalam salah satu pasal dari undang-undang yang bersangkutan. Pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dalam ilmu hukum pidana ketentuan ini disebut sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale yang mempunyai makna tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa di dahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Francis Bacon 1561-1626 seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. 6 Diberlakukannya lex-loci delicti atau undang-undang yang berlaku di tempat tindak pidana itu telah dilakukan terhadap pelakunya, telah dikenal orang sejak abad kesembilan. Sejak abad tersebut diberlakukannya undang-undang pidana suatu negara, baik terhadap warganegaranya sendiri maupun terhadap orang-orang asing yang diketahui telah melakukan suatu tindak pidana di dalam wilayahnya, ataupun diberlakukannya undang-undang pidana suatu negara asing terhadap orang-orang yang sesungguhnya bukan warga negara tersebut,

1.2 Berlakunya undang-undang pidana menurut tempat

6 Moeljatno,Azas-Azas hukum Pidana , Bina Aksara, Jakarta 1987, hal.23. Universitas Sumatera Utara sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing lagi dalam praktek seperti yang tercatat di dalam sejarah hukum pidana. Dari sejarah hukum pidana itu pula, kita mengetahui bahwa sudah sejak lama orang mengenal apa yang oleh MAYER disebut “elementer prinzip”atau yang oleh VAN HAMEL disebut “grondbeginsel”, yang menentukan bawa pada waktu mengedili seseorang yang dituduh telah melakukan suatu tindak pidana itu, hakim tidak dibenarkan memberlakukan undang-undang pidana lain kecuali yang berlaku di negaranya sendiri. 7 7 Ibid. hal 87. Sebagai suatu ketentuan yang bersifat umum, para penulis umumnya tidak menyangkal kebenaran ketentuan seperti yang terdapat dalam asas dasar tersebut diatas. Sungguhpun demkian, orang juga harus mengakui kenyataan, bahwa dewasa ini adalah sulit bagi negara manapun di dunia ini untuk melaksanakan keinginan memberlakukan ketentuan seperti yang terdapat dalam asas dasar tersebut tanpa penyimpangan sedikit pun juga, setidak-tidaknya dengan memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku di negara-negara lain. Asas-asas tentang berlakunya undang-undang pidana menurut tempat atau yang dalam bahasa Belanda disebut “de beginselen van de werking der straafwet naar de plaats. Asas asas tersebut adalah :

a. Asas Teritorial atau territorialiteits beginsel atau yang juga disebut lands

beginsel; Universitas Sumatera Utara

b. Asas Kebangsaan atau nationaliteits beginsel atau yang juga disebut

personaliteits beginsel atau actieve persoonlijkheidsstelsel atau actieve nationaliteits beginsel atau yang juga disebut subjecktionsprinzip;

c. Asas Perlindungan atau universliteits beginsel atau yang juga disebut passief

nationaliteits beginsel atau realprinzip atau schutz prinzip atau yang oleh Profesor SIMONS juga disebut prinzip der beteiligten rechtsordnug dan

d. Asas Persamaan

atau yang juga disebut wetstrafpflege atau yang oleh Profesor van HAMEL juga disebut weltrechtspflege. 8 Het eerrste lid van het eerste artikel van het W.v.S., dat inhoudt, dat geen feit strafbaar is dan uit kracht van een daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling, is een beginsel-artikel

2. Pengertian Asas Legalitas.

9 Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Demikian pula menurut Van Eikema Hommes . Hommes menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap demikian artikel yang dibuat oleh Jonkers. Pada intinya Jonkers menyatakan bahwa menurut pasal I ayat 1 KUHP, tidak ada pidana yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan unadang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit di dalam undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret. . 8 Ibid. hal 89 9 J.E. jonkers, HandboekVan Het Nederlansch-Indische Strafrecht, E.J Bril,Leiden 1946, Hal. 1, yang dikutip dari buku Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Universitas Sumatera Utara sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Bellefroid dan Hommes, Sudikno Mertokusumo kemudian menyimpulkan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturn perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukn dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Ditegaskan lagi oleh Sudikno, bahwa asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkret, melainkan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum atau abstrak. 10 Kembali pada defenisi asas legalitas, kiranya terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa pengertian asas legalitas adalah: “Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. 11 1. Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis . Ketentuan seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung tiga buah asas yang sangat penting yaitu : 2. Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut dan 10 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Sebuah Pengntar,Liberty, Yogyakarta,2001 Hal. 34-35. 11 Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta 2008 Hal. 19. Universitas Sumatera Utara 3. Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana. Perihal sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, Menurut Bambang Poernomo, dengan segala faktor yang mempengaruhinya, terdapat empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas. Yaitu : 1. Asas legalitas hukum pidana yang bertitik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini, menurut G.W Paton, adalah nulla poena sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undng- undang. 2. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah ciptaan Feurbach: nullum delictum,nulla poena sine preavia lege poenale. 3. Asas Legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak sewenang- wenang dalam menjatuhkan pidana. 4. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas di sini bukan hanya didasarkan pada kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, akan Universitas Sumatera Utara tetapi didasarkan pada ketentuan hukum yang berdasarkan ukurannya dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin ada suatu perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Dengan mengutip pendapat Paton, Bambang Poernomo menyatakan bahwa adagium yang dipakai disini adalah nullum crimen sine poena. 12

3. Perkembangan Hukum Pidana