Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
5
tersebut dirasakan menekan dan menindas sehingga menghambat seorang narapidana menjadi warga yang baik. Hal ini dikarenakan sistem sosial
narapidana yang mendukung dan melindungi narapidana yang mendalami pola tingkah laku kriminal, namun tidak mendukung bahkan menindas yang
dirasakan mengancam narapidana yang menunjukkan loyalitasnya pada dunia non kriminal. Romli 1982 menyatakan bahwa prisonisasi merupakan suatu
proses interaksi antar narapidana untuk menjadi lebih kriminil dari pada sebelumnya narapidana tersebut masuk penjara.
Implikasi negatif dari kelebihan kapasitas turut menyumbang proses prisonisasi dalam kehidupan sosial narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Sedangkan prisonisasi itu sendiri secara potensial menimbulkan dampak negatif karena dengan adanya prisonisasi tujuan
pembinaan kepada narapidana cenderung berbelok ke arah yang menyimpang karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak dan terdapat dalam
interaksi sesama narapidana Didin dalam Azriadi, 2011. Dengan demikian, prisonisasi membukakan pintu munculnya residivis karena selama di dalam
Lembaga Pemasyarakatan narapidana mendalami perilaku kriminal dari sesama penghuni penjara. Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarakatan sebagai
ujung tombak dari proses pemasyarakatan narapidana perlu melakukan pembinaan yang tepat untuk mencegah pengulangan tindak pidana Torkis,
2009. Semua paparan di atas menunjukkan pentingnya kualitas pembinaan
narapidana supaya Lembaga Pemasyarakatan yang juga sebagai penjara tidak
6
menjadi “sekolah tinggi kejahatan” tetapi benar-benar sebagai tempat rehabilitasi bagi narapidana. Beberapa tahun ini pemerintah dan para praktisi
menyadari pentingnya penelitian untuk menentukan tindakan apa yang akan diimplementasikan dalam program pemasyarakatan Visher, 2006. Pada
kenyataannya, setiap narapidana pasti akan dibebaskan dari penjara dan petugas pemasyarakatan kesulitan untuk memfasilitasi proses transisi
narapidana dengan baik Petersilia, 2004. Penelitian mengenai re-entry program beberapa tahun belakangan menurut Travis dalam Visher, 2006
menunjukkan terdapat “banyak rintangan dalam perjalanan dari penjara kembali ke rumah”. Sementara itu, Visher 2006 menyimpulkan bahwa
masih terdapat banyak kendala dalam merancang dan mengimplementasikan intervensi dari re-entry program, sedangkan hasil penelitian-penelitian
tersebut akan melancarkan jalan untuk membantu narapidana keluar dari penjara dan kembali ke rumah. Perhatian dalam bidang re-entry narapidana
telah menimbulkan antusiasme terhadap penemuan baru bagi program rehabilitasi Petersilia, 2004. Para pelaksana pemasyarakatan bekerja keras
untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan program yang mengurangi kasus pelanggaran kembali setelah dari penjara. Selanjutnya Petersilia 2004
juga menjelaskan bahwa pada waktu yang bersamaan kaum akademisi mencoba untuk menghimpun pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi
pedoman bagi para praktisi untuk memilih program. Akan tetapi, tidak jarang dalam pelaksanaannya upaya-upaya ini diwarnai dengan adanya pertentangan
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemikiran-pemikiran akademis
7
belum tentu dapat diterapkan karena berbenturan dengan kebijakan pemerintah. Sebaliknya, kebijakan pemerintah tidak selalu tepat dikarenakan
belum tentu kebijakan tersebut dibangun berdasarkan pada proses penelitian pendahuluan yang memadai. Oleh karena itu, Visher 2006 mengatakan
bahwa sudah saatnya para pelaksana dan peneliti bekerjasama untuk merancang dan mencoba pembaharuan berdasarkan penelitian tentang re-
entry program. Penelitian mengenai re-entry program itu sendiri di Indonesia masih
kurang mendapatkan perhatian. Hal ini seiring dengan masih minimnya penelitian dalam bidang psikologi hukum di Indonesia “Seminar Nasional :
Penelitian Psikologi Hukum”, 2011. Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia Apsifor Yusti Probowati dalam seminar bertema Mengenal
Psiokologi Forensik di Universitas Muhammadiyah Lampung mengatakan penelitian dalam bidang psikologi hukum di luar negeri sudah banyak
dilakukan. Kajian bidang psikologi hukum telah dibagi dalam bidang
psychology and criminology, psychology of court room, investigative psychology, dan correctional psychology yang di dalamnya mencakup kajian
re-entry program. Dalam kesempatan yang sama Yusti juga menambahkan bahwa penerapan Psikologi Hukum di Indonesia belum berkembang seperti
di luar negeri. Meskipun demikian, beberapa kasus kriminal telah diupayakan berbagai pendekatan penyelidikan melalui Psikologi Forensik.
Sebagai salah satu upaya untuk menjawab kebutuhan akan penelitian mengenai correctional psychology, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian
8
ini khususnya akan difokuskan pada topik re-entry program. Saat ini, salah satu bentuk re-entry program yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan bagi narapidana untuk memasyarakatkan kembali narapidana setelah keluar dari penjara
adalah dengan memberikan pelatihan kerja re-entry training kepada narapidana.
Noe mendefinisikan pelatihan dalam Anggraini, 2007 sebagai suatu kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh suatu perusahaan atau
institusi sebagai sarana untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaannya. Kompetensi tersebut meliputi
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dianggap penting untuk mencapai kinerja yang tinggi. Tujuan dari pelatihan tersebut adalah supaya
karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam
kegiatan mereka sehari-hari. Apabila pengertian tersebut diimplementasikan bagi narapidana, maka pelatihan kerja pada narapidana merupakan bentuk
pelatihan kerja yang diberikan kepada narapidana selama menjalani hukuman pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pelatihan kerja tersebut bertujuan
memberikan pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja yang dilatihkan bagi narapidana sebagai upaya untuk mengembalikan mereka ke masyarakat
dalam dunia kerja. Pelaksanaan program tersebut berawal dari pembaharuan sistem pidana di Indonesia dari penjara ke Lembaga Pemasyarakatan yang
dirintis oleh Sahardjo pada tahun 1963 Sujatno, 2004. Sebagai Menteri
9
Kehakiman, Sahardjo menegaskan bahwa terpidana adalah orang tersesat yang perlu untuk dilindungi, dibina, dan dijadikan orang berguna bahkan
menjadi aktif dan produktif di masyarakat Petrus Wiwik, 2008. Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan program tersebut sebagai wujud dari
sistem pemasyarakatan semakin mantap setelah diberlakukannya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 15 UU No. 12 tahun 1995 yang menyebutkan bahwa narapidana wajib mengikuti secara tertib program
pembinaan dan kegiatan tertentu. Menurut wawancara yang dilakukan dengan petugas 16 Januari, 2012, pelatihan kerja yang dilakukan di dalam Lapas
diselenggarakan baik oleh pemerintah, Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri, pihak ketiga atau instansi lain maupun kerjasama di antaranya. Pelaksanaan
program tersebut mengacu pada pasal 9 UU No.12 tahun 1995 bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembimbingan dan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan
penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Pada kesempatan wawancara yang sama, petugas juga menjelaskan bahwa desain program pelatihan kerja yang
di selenggarakan di setiap Lembaga Pemasyarakatan tidak sama karena disesuaikan dengan kemampuan masing-masing Lembaga Pemasyarakatan.
Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang desain pelatihan biasanya dirancang oleh petugas dengan mengikuti pangsa pasar dan kebutuhan
masyarakat yang sesuai dengan kemampuan Lembaga Pemasyarakatan. Pada
10
dasarnya setiap narapidana boleh mengikuti pelatihan kerja yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan, namun diutamakan peserta pelatihan adalah narapidana yang menjelang bebas. Prioritas diberikan
kepada narapidana yang menjelang bebas dengan tujuan agar jeda waktu antara pelatihan dan kebebasan narapidana tidak terlalu lama sehingga
narapidana setelah bebas nanti masih ingat dan paham tentang isi dari pelatihan yang diberikan. Petugas juga menambahkan bahwa lamanya
pelatihan tergantung dari materi dan isi pelatihan yang diberikan, namun pada umumnya sudah diprogram setiap tahun ada tiga kali pelatihan dan masing-
masing pelatihan tersebut diselenggarakan selama satu bulan. Meski program tersebut telah menjadi program wajib sejak
diberlakukan UU No.12 tahun 1995, namun masih jarang dilakukan evaluasi untuk melihat keefektifan program. Evaluasi yang ada biasanya dilakukan
oleh petugas wawancara dengan petugas, 29 Februari 2012. Masyarakat juga diberikan kesempatan untuk memberikan evaluasi dengan mengisi
kuesioner yang diberikan ketika menjadi konsumen dari pekerjaan para narapidana. Namun, isi kuesioner tersebut cenderung pada kepuasan
masyarakat sebagai konsumen atas pelayanan dan hasil kerja narapidana. Sedangkan evaluasi yang diberikan oleh narapidana adalah evaluasi secara
langsung dengan memberikan masukan tentang peralatan yang diperlukan. Evaluasi semacam ini dalam amatan peneliti dinilai kurang efektif karena
tidak menyentuh seluruh bagian dari proses pelatihan kerja yang diberikan dalam rangka memasyarakatkan narapidana dan mencegah kasus
11
pemenjaraan berulang. Narapidana sebagai subjek dan peserta perlu diberikan kesempatan untuk memberikan evaluasi mengenai program pelatihan kerja
secara lebih mendalam. Hal ini dikarenakan pelatihan kerja merupakan kebutuhan narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat setelah
bebas dan habis masa pidananya. Mengingat bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya residivis ditentukan oleh banyak hal, penelitian ini berfokus pada evaluasi
program pelatihan kerja. Fokus penelitan ini dipilih oleh peneliti karena keterbukaan akses pada bidang pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan
serta mengikuti kemampuan kompetensi peneliti yang menempuh pendidikan di tingkat strata satu. Menimbang situasi tersebut, maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan dari perspektif narapidana residivis.Oleh karena itu, untuk
mengkaji permasalahan tersebut secara empiris, peneliti mengambil tema “Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja Narapidana Menurut Perspektif
Narapidana Residivis”.