Kategorisasi Tema Temuan Hasil Penelitian 1. Profil Subjek

97 kerja ini-kerja ini...jadi kan ketemunya kan banyak, mas..mereka kan diem..aslinya banyak orang pinter di sini nggak mau terbuka. ” KWS 1 – 2. No. 662-686. “Sebetulnya cenderung pada minat setelah mereka lihat..kan sebelumnya kan cuma bayangan, ada formulir ini di isi..apa.kursus meubelair cuma apa ta meubelair itu..apa ta..kan belum tahu..setelah tahu kan banyak yang mau ikut …” KWS 1 – 2. No. 512-519. Subjek 2 D “…dari pihak kursusnya udah bener bantu..bantu tapi yang …yang dikursusin itu yang nggak pada niat .” KWS 2 – 2. No. 648-652. “Sebenarya ya ngganggu..cuma kadang latihan..ada yang sungguh- sungguh ada yang jalan...keluar dari..nggak ada niatnya..tapi kan seharusnya di situ kan duduk, memperhatikan gimana..lha itu ada yang jalan sana-sini .” KWS 2 – 2. No. 676-683. Subjek 3 HH “…yang nggak-yang nggak itu, kan biasanya ada yang nggak mau, ada yang mau .” KWS 3 – 2. No. 741-744. “Udah punya pikiran dihukum aja jenuh kon mikirke ini-mikirke ini kadang sok males gitu .” KWS 3 – 2. No. 749-753. Tema 5 : Evaluasi pelatihan kerja : Yang diberikan bukan yang dibutuhkan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan narapidana Tidak semua narapidana mau dan cenderung malas mengikuti pelatihan kerja karena kejenuhan memikirkan hukuman. Hal ini juga disebabkan oleh tidak adanya informasi pengantar tentang maksud dan tujuan pelatihan kerja sehingga menghambat munculnya minat narapidana untuk mengikuti pelatihan kerja. Meskipun demikian, setelah narapidana mengetahui mengenai pelatihan kerja yang diadakan, mereka akan banyak yang mendaftar untuk mengikuti pelatihan kerja. Masalah yang ada ketika banyak narapidana yang mendatar adalah kuota untuk peserta pelatihan kerja tidak mencukupi. Jumlah narapidana yang ingin ikut pelatihan kerja lebih banyak daripada kuota yang ada sehingga ada narapidana yang mau 98 ikut pelatihan kerja dengan terpaksa tidak dapat mengikuti karena kuota telah penuh. Akan tetapi banyaknya narapidana yang mengikuti pelatihan kerja bukan berarti mereka memilki motivasi untuk menambah keterampilan. Ada narapidana yang mengikuti pelatihan kerja hanya untuk kesibukan menjalani hukuman. Peserta pelatihan kerja yang demikian menjadi tidak kooperatif, tidak serius dan kurang motivasi karena mengikuti pelatihan kerja hanya untuk sekedar mengisi waktu dan keluar kamar sel. Peserta yang tidak serius mengganggu pelatihan kerja karena hanya sekedar ikut tanpa terlibat aktif dan tanpa memberikan umpan balik. Oleh karena itu, perlu adanya seleksi yang lebih ketat agar narapidana yang mengikuti pelatihan kerja benar-benar narapidana yang niat dan bukan sekedar untuk keluar kamar. Subjek 1 YL “Sebetulnya cenderung pada minat setelah mereka lihat..kan sebelumnya kan cuma bayangan, ada formulir ini di isi..apa.kursus meubelair cuma apa ta meubelair itu..apa ta..kan belum tahu..setelah tahu kan banyak yang mau ikut tapi kebetulan kan udah habis, tunggu periode selanjutnya .” KWS 1 – 1. No. 512- 521. “…biasanya kan diikuti sama orang yang cuma ingin keluar, gitu lho mas...mau ke luar kamar …” KWS 1 – 2. No. 940-943. “…orang yang bener-bener rajin mau ikut malah nggak kena, tapi yang cuma pengen untuk keluar malah yang suka ikut, gitu lho .” KWS 1 – 2. No. 947-951. Subjek 2 D “Ya...itu karena nggak ada niatnya…cuma mau main-main…biar bisa keluar dari kamar .” KWS 2 – 2. No. 626-629. “...dari pihak kursusnya udah bener bantu..bantu tapi yang...yang dikursusin itu yang nggak pada niat …” KWS 2 – 2. No. 648-652. “Sebenarya ya ngganggu...cuma kadang latihan...ada yang sungguh-sungguh ada yang jalan...keluar dari...nggak ada niatnya...tapi kan seharusnya di situ kan duduk, memperhatikan gimana...lha itu ada yang jalan sana-sini .” KWS 2 – 2. No. 676-683. Subjek 3 HH “Kalau cuma sepuluh orang dua puluh orang yang punya niat kayak gitu, lainnya nggak...yang nggak-yang nggak itu, kan 99 biasanya ada yang nggak mau, ada yang mau .” KWS 3 – 2. No. 739- 744. “Nggak mau karenanya...ya namanya itu, napi kan kadang sok males gitu lho mas. Udah punya pikiran dihukum aja jenuh kon mikirke ini-mikirke ini kadang sok males gitu,ada... ” KWS 3 – 2. No. 747-753. “…umpamanya kan di sini banyak juga yang cuma buat kesibukan aja, umpamane masak buat kesibukan masak …” KWS 3 – 2. No. 481-484. Dalam pelaksanaannya, peralatan yang digunakan dalam pelatihan kerja kurang memadai. Peralatan yang ada dan dapat digunakan untuk pelatihan kerja tidak digunakan secara optimal. Selain itu, instruktur sebagai pengajar yang bertugas memberikan keterampilan meremehkan peserta pelatihan kerja yang berstatus sebagai narapidana. Kompetensi yang dimiliki oleh instruktur terkadang juga kurang bahkan keterampilan yang dimiliki narapidana melebihi keterampilan yang dimiliki oleh instruktur pelatihan kerja. Pemberian pelatihan kerja juga kurang sesuai dengan rentang masa pidana narapidana. Waktu pemberian pelatihan kerja yang mendekati bebas menyebabkan peserta merasa tergesa-gesa, tidak fokus dan kurang memahami isi pelatihan kerja. Lamanya pemberian pelatihan kerja yang terlalu cepat juga menyebabkan peserta pelatihan kerja kurang memiliki keterampilan yang mendalam,karena tidak ada waktu untuk belajar mempraktekkannya sampai benar-benar bisa. Subjek 1 YL “…karena dari segi fasilitas ya…di sini masih kurang…” KWS 1 – 2. No. 134-136. “...sebenarnya di sini banyak, mas mesin-mesin tu, mesin bubut, mesin potong, cuma tidak berfungsi. ” KWS 1 – 2. No. 273- 276. “Jadi mungkin pengalaman trainernya justru lebih kurang dari napinya sendiri ? Iya. ” KWS 1 – 1. No. 476- 480. “Apakah itu terlalu lama atau terlalu cepat ? Terlalu cepat kayaknya. ” KWS 1 – 1. No. 555-557. “Kan di situ cuma satu bulan, tingkatnya baru tingkat tahu belum tingkat...kualitasnya …masih ini kan…belum bisa sempurna.” KWS 1 – 1. No. 555-558 100 Subjek 3 HH “…yang mengajar itu kadang sok terlalu meremehkan banget gitu lho mas…sama napi itu nggak...terlalu serius ada juga.” KWS 3 – 2. No. 1061- 1065. “pihak LP sini kadang suruh ngajarin jahit tapi kadang orangnya belum begitu apal jahit, kadang sok ngajarnya itu kan sok...sok males-malesan gitu lho mas...membina napi kadang sok males-malesan, kadang sok nggak serius banget gitu lho, karena nggak tahu juga sih..karena apa kita orang hukuman atau gimana kita nggak...nggak tahu juga .” KWS 3 – 2. No. 1077- 1089. “Kalau mepet waktunya malah kita nggak...terlalu tergesa- gesa malah kita nggak fokus gitu lho, kadang nggak nyantel .” KWS 3 – 2. No. 1139-1143 Tema 6 : Rehabilitasi : Idealnya pembinaan, kenyataannya prisonisasi Rehabilitasi narapidana dalam pemikiran subjek merupakan pemberian pembimbingan dan pembinaan dalam bidang agama, kepribadian, kesenian, keterampilan dan pekerjaan menurut bakat dan kemampuan narapidana. Rehabilitasi narapidana tersebut bertujuan untuk memperkuat keimanan supaya menyadari kesalahan, mengubah tingkah laku yang buruk menjadi baik, dan menjalankan aktivitas positif setelah bebas. Subjek 1 YL “Satu dari segi agama kita di sini kan melakukan kalau yang muslim sholat lima waktu wajib.” KWS 1 – 2. No. 20-23. “…butuh itulah pengarahan kerjaan. Ya menurut skillnya masing- masing .” KWS 1 – 2. No. 95-98. Subjek 2 D “Apakah program rehabilitasi di LP ini membantu mas D untuk menyadari kesalahannya, Itu ya udah mencukupi dan menyadari semuanya .” KWS 2 – 3. No. 94-110. Subjek 4 MM “Merubah tingkah laku waktu kita di luar, terus di situ itu biar besok kalau di luar tingkah lakunya biar berubah tidak seperti yang kemarin-kemarin, lebih bagus lagi .” KWS 4 – 2. No. 155-161. “Di sini dibimbing yang benar, dididik yang benar...apa e istilahe ibadah lima waktu, itu menjadikan tambah keimanan, 101 mboten..istilahe mboten gampang keneng, apa..kena goda lagi, kena bujukan rayu sama teman lagi dan bisa menjalankan aktivitas yang positif di luar nanti .” KWS 4 – 3. No. 27-37. Akan tetapi, pelaksanaan rehabilitasi menjadi kurang optimal dan kurang efisien karena oleh adanya prisonisasi sesama narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan selain mengikuti rehabilitasi, narapidana selama menjalani pidana juga menjalin pergaulan dengan narapidana lain dari berbagai latar belakang kriminal dan pergaulan tersebut berlanjut sampai setelah bebas dan cenderung ke arah kriminal. Prisonisasi berawal dari obrolan sesama narapidana tentang dunia kriminal dan lebih mudah diserap karena terjadi dalam suasana santai. Selain itu, prisonisasi lebih mudah diserap oleh narapidana khususnya yang tidak punya dasar ilmu dan keterampilan sehingga lebih memilih meningkatkan kriminalitas dengan cara belajar dari sesama narapidana. Pembicaraan diseputar dunia kriminal berlanjut pada perencanaan kriminal sejak di dalam penjara untuk mencari modal setelah bebas. Hal ini berlanjut dan menjadi keterusan sehingga terjadi pemidanaan berulang. Prisonisasi tidak hanya terjadi di kalangan narapidana kriminal, tetapi juga terjadi di kalangan narapidana narkoba. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pergaulan sesama narapidana narkoba juga menimbulkan kemungkinan untuk kerjasama narkoba setelah bebas. Subjek 1 YL “Biasanya yang negatif mas, yang cepet ditangkep. KWS 1 – 2. No. 764- 765. “...karena mungkin dia dasarnya satu, sudah nggak punya dasar ilmu..ilmu atau keterampilan dulu…” KWS 1 – 2. 102 No. 767- 771. “...dia ngapain juga ikut-ikut yang positif..mendingan yang gini cepet, paling resikonya masuk..itu kan..pikirannya mereka kan gitu, mas..mendingan tingkatin aja e.. .apa…kriminal kita lebih besar…”. KWS 1 – 2. No. 774-782. Subjek 2 D “Di sini kan ada yang kriminal, ada yang nggak. Itu kan kita perkenalannya campur semua. Ada terus kenal yang seperti kriminal-kriminal, kadang kita sebelum pulang, kan udah kenal...udah pulang...pengaruhnya...pengaruhnya terus temen itu main ke rumah, pengaruhnya cuma itu. Pengaruh terus ajak keluar ‘udah ayo kita keluar kerja’. Kerjanya yang nggak bener.” KWS 2 – 3. No. 398-411. Subjek 3 HH “Masalahnya di dalam kamar kan nggak ada cerita lain mas di sini, ngobrolnya cuma itu-itu terus kadang ya..nggak ada bahan cerita untuk alur yang lebih baik itu kan kadang..namanya orang banyak kan kadang ya terus menyimpanglah, ya udah besok teruske ning njobo, gitu .” KWS 3 – 2 No. 545-555. “Yang sesama napi..nangkep...kan kita ngomongnya santai, cuek, sambil ngrokokkan, sambil tiduran, sambil guyonan, lha itu malah bisa meningkat jadi serius mas, dalam arti keseriusan..ya udah besok nek metu tak petuk...kan ya bener kadang ada temen yang jemput, sampai luar nanti minum-minum terus kerja lagi kayak gitu... ” KWS 3 – 2 No. 603-615. “perencanaan jelek itu biasanya berawal dari dalam penjara sini. Perencanaan jelek itu umpamanya, oh sana pabrik kosong gini-gini-gini wis sesuk garap sik wis rampung leren nggo modal, kan gitu kan ada. Kadang cari modal ya...ya kayak gitu...wis sesuk pisan, pisan-pindo leren, gitu ada…tapi karena kerja pisan pindo njuk keterusan ya ada, masuk lagi .” KWS 3 – 2 No. 495-508. Subjek 4 MM “…istilahnya perkenalannya luas gitu lho pak, jadi kenal si A, tadinya nggak kenal sekarang kenal si A, kenal sama A, kenal sama B...besok kalau mau jalan lagi bisa kerja sama .” KWS 4 – 2 No. 671-677. Tema 7 : Rekomendasi : Keberlanjutan pendampingan paska pidana Setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, narapidana berjalan sendiri kembali ke masyarakat. Status sebagai mantan narapidana menimbulkan ketakutan masyarakat karena adanya stigma negatif terhadap mantan narapidana. Hal ini menyebabkan mantan narapidana kehilangan 103 kepercayaan sehingga kesulitan mencari pekerjaan maupun mencari pinjaman modal. Selain itu, stigma negatif masyarakat juga menimbulkan perasaan terasing dan rendah diri bagi mantan narapidana di tengah masyarakat. Berbarengan dengan itu, pergaulan setelah bebas juga mempengaruhi perilaku taat hukum mantan narapidana. Niat untuk berhenti kriminal menjadi sulit dan terhambat akibat pengaruh teman. Rasa solidaritas dan kekeluargaan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang terbawa sampai bebas mendorong tindakan kriminal bersama. Setelah bebas tidak bisa melepaskan diri pergaulan ke arah kriminal dan saling mengajak kriminal karena status yang sama sebagai mantan narapidana dan memiliki kebutuhan yang sama. Mantan narapidana kembali melakukan kriminal karena tidak mendapatkan pekerjaan dan kembali pada kamunitas lamanya di dunia kriminal. Melakukan tindakan kriminal setelah bebas merupakan cara mudah guna mendapatkan modal untuk kerja dan usaha. Hal ini dikarenakan hilangnya kontrol dan pengawasan terhadap mantan narapidana karena pihak Lembaga Pemasyarakatan lepas tangan setelah narapidana bebas. Pola yang terjadi adalah narapidana bebas kemudian di luar saling mempengaruhi dalam pergaulan, terdesak kebutuhan ekonomi dan kesulitan kerja sehingga mendorong untuk melakukan kriminal lagi dan kembali masuk penjara. Subjek 1 YL “..pandangan masyarakat udah negatif dulu kalau sama mantan napi, iya kan...jadi kita mau masuk…mau masuk ke pabrik, kita bisa ngelas, bisa ini..kita mau masuk ke pabrik...di situ kan 104 kita...kepentok oleh ini...oleh status …” KWS 1 – 2 No. 398-406. “...pergaulannya kan komunitasnya sama yang kemarin- kemarin...gitu kan ya, itu mungkin keluar-masuk sini terus, mas. ” KWS 1 – 2 No. 465-469. “Terus terang dari pribadi, satu ekonomi ya. Ekonomi kan kita masih kurang, iya kan. Cari kerjaan juga kesusahan. Larinya kan lagi ke komunitas yang itu lagi mas. ” KWS 1 – 2 No. 547-552. Subjek 2 D “...di sana sih memperngaruhi juga, soalnya kan udah di cap.” KWS 2 – 3 No. 578-580. “Kadang ya sama temen-temen, kan temen-temen yang sesama gitu, jadinya itu..jadi ikut-ikutan lagi .” KWS 2 – 1 No. 124-127. “Waktu tani itu kita pengaruh dari temen. Temen kan biasa main ke rumah, udah keluar nyolong, udah...ngambil...udah .” KWS 2 – 3 No. 530-534. Subjek 3 HH “…mau cari pinjaman orang udah pernah dihukum kan di luar untuk mencari kepercayaan kan sulit gitu lho .” KWS 3 – 2 No. 323-326. “…jadi kita udah kayak orang asing gitu lho, kalau keluar itu kayaknya...kayak kita udah merasa minder sendiri gitu lho. ” KWS 3 – 2 No. 339-343. “Iya pengaruh temen kuat. Kita di dalem kan udah kayak saudara, melebihi saudara mas di sini, melebihi segalanya lah temen itu di sini itu udah kayak saudara kandung di sini mas temen itu. ” KWS 3 – 3 No. 700-706. “Kalau berhenti sih mau berhenti sih berhenti, tapi pengaruhnya temen itu luar biasa .” KWS 3 – 3 No. 731-734. “Sama-sama cari modal lah mas, cari uang yang gede sekalian terus kita bisa berhenti. Pada dasarnya gitu semua. ” KWS 3 – 3 No. 265-269. “Tapi kalau bebas murni ya lepas sudah...cap tiga jari lepas sudah…e…LP udah nggak berhak lagi...gini-gini dan itu udah nggak berhak lagi .” KWS 3 – 2 No. 638-643. Subjek 4 MM “Saya pulang belum ada kerja yang tetap, terus saya..apa..terpengaruh sama teman, jalankan jual-beli narkoba lagi... ” KWS 4 – 1 No. 39-43. Melihat hal itu, maka menjadi penting bahwa program pelatihan kerja tidak hanya berhenti di dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun berlanjut sampai narapidana bebas dengan membantu mengarahkan dan menyalurkan narapidana ke dalam dunia kerja. Keberlanjutan tersebut adalah dengan menyalurkan narapidana setelah bebas ke dalam dunia kerja sesuai dengan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan kerja. Pihak 105 Lembaga Pemasyarakatan diharapkan membantu memberikan jaminan bahwa mantan narapidana sudah bertobat dan siap bekerja serta jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan. Hubungan baik dengan petugas hendaknya juga tetap terjaga supaya tetap memberikan pengarahan agar mantan narapidana tidak terjerumus ke dalam dunia kriminal lagi. Selain itu, perlu adanya penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat agar menerima kembali mantan narapidana dan mendukung mereka supaya tidak mengulangi tindakan kriminal. Subjek 1 YL “…pelatihannya nggak cuma terputus setelah kita keluar,gitu pengennya..kita tetap berhubungan sampai kita bener-bener dapet kerjaan di luar..gitu ya..jangan putus hubungan. ” KWS 1– 2 No. 853- 859. “Pengennya saya gitu, dari sini berani menjamin ya...membantulah...istilahnya membantu untuk menjamin...bahwa anak ini benar-benar sudah baik dan mampu bekerja. ” KWS 1– 2 No. 423- 429. “kita kan pengennya masih berhubungan dengan sini...jadi...sebagai bapak lah...kita kan udah anggap pegawai- pegawai di sini sebagai bapak kita kan ya, yang sering mengarahkan kita, yang sering menuntun kita .” KWS 1 – 2 No. 530-537. Subjek 2 D “Kalau saya...untuk lebih mantab dan percaya dibantu dari sini, ceritanya kayak gitu...dibantu untuk memasukkan kerja tapi dari pihak LP sini .” KWS 2– 3 No. 505-510. Subjek 3 HH “Saran saya sih ya itu...gimana pegawai LP, khususnya LP sini lah, keluar tapi dah bisa ditampung dicarikan kerja…umpamanya kerja apa...ini bisanya orang ini bisanya apa, nah di carikan lapangan kerja. KWS 3 – 2 No. 867-869. “…nah terus pembebasan nanti tapi kita diberi lapangan kerja gitu lho mas, ..” KWS 3 – 2 No. 847-854. Subjek 4 MM “…kalau ada saya setuju kalau diberikan penyuluhan terhadap keluarga .” KWS 4 – 3 No. 461-463. Dengan adanya pendampingan paska pidana dan penyaluran kerja, maka mantan narapidana dapat menghindar dari pergaulan negatif yang 106 mengarah ke perbuatan kriminal serta dapat memperoleh pekerjaan yang mapan. Hal ini dapat mengurangi resiko kemungkinan mantan narapidana kembali mengulang tindak pidana sehingga menekan tingginya angka residivis. Subjek 1 YL “Kerja punya penghasilan dan kalau bisa jauhlah dari komunitas kriminal, kalau bisa lho. Yang penting kerja itu mas, kerja kita udah lupa semuanya kan, karena kita punya penghasilan. ” KWS 1 – 3 No. 712-718. Subjek 3 HH “Iya, dari sini udah dibimbing, keluar...begitu keluar langsung kita bisa kerja, lha itu kita bisa sembuh .” KWS 3 – 3 No. 455-458. “Dibina itu ya dikasih keterampilan gimana caranya sampai bisa bener-bener bisa, bener-bener seratus persen bisa, di luar kita dicarikan tempat yang apa porsinya kita gitu lho, umpamanya kita bisanya jahit ya ditempatkan di yang jahit-jahit, nukang umpanya tukang kayu, tukang apa lha itu ada tempatnya sendiri, nah itu mungkin setiap napi yang tadinya sering keluar-masuk tetep bisa berhenti total gitu lho. ” KWS 3 – 3 No. 513-527 Subjek 4 MM “Kalau mau kita lanjutin narkoba ya masih bisnis narkoba kalau kita nggak mau bisnis narkoba ya kita tinggalkan temen-temen narkoba. Masalahe kalau kita ketemu sama temen narkoba lagi, pasti sembilan puluh persen pasti terjun lagi .” KWS 4 – 2 No. 680-688

C. Pembahasan Umum

Berdasarkan temuan tema-tema penelitian yang sudah dijelaskan sebelumya, dapat diketahui bahwa pelatihan kerja merupakan pemberian modal kepada narapidana untuk menuju bebas dan kembali ke dalam lingkungan masyarakat. Akan tetapi, pelatihan kerja tersebut merupakan modal yang belum sepenuhnya memodali para narapidana untuk menuju bebas dan kembali ke masyarakat. Hal ini dikarenakan narapidana masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas yang 107 berujung pada banyaknya mantan narapidana yang kembali melakukan tindakan kriminal dan mengakibatkan adanya pemenjaraan berulang. Berdasarkan temuan tema-tema penelitian juga dapat diketahui penyebab ketidakberhasilan program pelatihan kerja dalam rehabilitasi narapidana dan belum sepenuhnya memodali narapidana untuk bebas dan kembali ke masyarakat. Sebelum melaksanakan program pelatihan kerja, Lembaga Pemasyarakatan hendaknya perlu melakukan asesmen terlebih dahulu terhadap para narapidana mengenai pelatihan kerja yang tidak hanya sesuai dengan minat namun juga sesuai dengan kebutuhan narapidana. Dengan melibatkan narapidana dalam pengambilan keputusan mengenai program pelatihan kerja yang akan dilaksanakan, maka dengan demikian narapidana memperoleh hak konsitusionalnya. Melibatkan narapidana juga berarti memberi kesempatan kepada narapidana untuk menyumbang pemikiran dan saran-saran dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan untuk merancang dan merencanakan kegiatan pelatihan Nasrul, 2009. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Palmer dan Palmer dalam Bartol, 2004, dengan melibatkan narapidana melalui pemberian hak konstitusionalnya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hal ini akan mendorong kemampuan narapidana untuk merehabilitasi diri mereka sendiri untuk menghindari kemunduran secara fisik, mental dan sosial. Selain itu, narapidana pada nantinya akan memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti pelatihan kerja karena pelatihan kerja yang dilaksanakan sesuai dengan minat dan kebutuhan yang mereka inginkan. 108 Dalam pelaksanaannya, pemberian pelatihan kerja dirasakan kurang sesuai dengan rentang masa pidana narapidana. Waktu pemberian pelatihan kerja yang mendekati bebas menyebabkan peserta merasa tergesa-gesa, tidak fokus dan kurang memahami isi pelatihan kerja. Lamanya pemberian pelatihan kerja yang terlalu cepat juga menyebabkan peserta pelatihan kerja kurang memiliki keterampilan yang mendalam, karena tidak ada waktu untuk belajar mempraktekkannya sampai benar-benar bisa. Sebagaimana dengan prinsip-prinsip yang disampaikan oleh Andrews a t. al’s 1998 dalam Petersilia, 2004 pemberian program harus dilaksanakan secara intensif meskipun tergantung pada kebutuhan, namun setidaknya menggunakan 40- 70 waktu yang dimiliki narapidana selama program pelatihan berlangsung. Selama jangka waktu itu pula perlu diberikan reinforcement yang berdampak positif dengan memberikan intervensi yang mencakup cognitif behavioral dan tekhnik pembelajaran sosial berupa modeling, role playing, penyediaan sumber, saran-saran verbal, dan restrukturisasi kognitif. Supaya hasil pelatihan mempunyai dampak yang signifikan, maka peluang yang kondusif untuk mempraktekkannya dalam pekerjaan sehari-hari perlu diciptakan. Hal ini dikarenakan seringkali ditemukan banyak peserta pelatihan tidak dapat mempraktekkannya yang disebabkan oleh sistem lain yang kurang mendukung. Oleh karena itu, proses refleksi perlu dilakukan secara terus- menerus guna melakukan perbaikan secara bertahap dan berkesinambungan Nasrul, 2009. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model sebagai percontohan dimana model 109 tersebut merupakan mantan narapidana yang berhasil dan sukses dalam menjalankan hasil pelatihan kerja setelah bebas. Pemberian pelatihan kerja merupakan salah satu bentuk rehabilitasi kepada narapidana untuk kembali ke masyarakat. Kehidupan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang cenderung melebihi kapasitas over capacity berimplikasi pada ketersediaan fasilitas yang menjadi terbatas bahkan dapat dikatakan menjadi kurang memadai, meliputi makanan, kondisi ruangan atau kamar sel, fasilitas kesehatan, penerangan, dan sebagainya. Kondisi seperti ini mendorong munculnya perasaan senasib dan sepenanggungan sehingga lambat laun mulai tertanam identitas kolektif dalam diri narapidana Pujileksono, 2010. Munculnya identitas kolektif baru dalam diri para narapidana dalam proses sosialisasi di dalam tembok penjara ini oleh Romli 1982 disebut dengan prisonisasi, yaitu sebagai suatu proses interaksi untuk menjadi lebih kriminil daripada sebelumnya seseorang masuk ke dalam penjara. Dengan demikian, pelaksanaan rehabilitasi menjadi kurang optimal dan kurang efisien karena oleh adanya prisonisasi sesama narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan selain mengikuti rehabilitasi, narapidana selama menjalani pidana juga menjalin pergaulan dengan narapidana lain dari berbagai latar belakang kriminal dan pergaulan tersebut berlanjut sampai setelah bebas yang cenderung ke arah kriminal. Ketika rehabilitasi yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan berbenturan dengan prisonisasi, yang terjadi adalah prisonisasi lebih mudah diserap oleh narapidana khususnya yang tidak punya dasar ilmu dan keterampilan sehingga 110 lebih memilih meningkatkan kriminalitas dengan cara belajar dari sesama narapidana. Prisonisasi berawal dari obrolan sesama narapidana tentang dunia kriminal dan lebih mudah diserap karena terjadi dalam suasana santai. Pembicaraan diseputar dunia kriminal berlanjut pada perencanaan kriminal sejak di dalam penjara untuk mencari modal setelah bebas. Prisonisasi sebagai akibat dari munculnya identitas kolektif para narapidana yang merasa senasib dan sepenanggungan dapat ditekan dengan mengikutsertakan secara aktif narapidana dalam program rehabilitasi. Hal ini kembali pada hak konstitusional yang perlu diberikan kepada narapidana dalam pengambilan keputusan untuk merehabilitasi mereka sebagaimana dengan yang disebutkan dalam prinsip- prinsip Andrews at. al’s 1998 dalam Petersilia, Tanpa tahun Melihat latar belakang narapidana yang berasal dari berbagai kalangan, tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat narapidana yang mempunyai keterampilan khusus untuk bekerja. Mengikutsertakan secara aktif dalam hal ini berarti menjadikan narapidana sebagai guru atau instruktur bagi narapidana lain untuk memberikan pelatihan kerja. Program rehabilitasi menjadi lebih efektif apabila para narapidana saling berbagi ilmu mengenai keterampilan pekerjaan daripada berbagi ilmu kriminalitas. Dengan demikian, setelah bebas nanti narapidana berbekalkan ilmu dan keterampilan yang lebih untuk bekerja bahkan dibandingkan dengan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan dan bukan bebas dengan berbekalkan keterampilan yang lebih untuk meningkatkan kriminalitas mereka.