Kajian Tentang Kelahiran Sistem Pemasyarakatan

27 pembinaan-pembinaan, mengalami perubahan-perubahan menjurus dan menjelma sembuh menjadi kehidupan yang positif antara narapidana dengan unsur- unsur dari masyarakat. Setelah berjalan selama tiga puluh lima tahun, barulah pergeseran tujuan pelaksanaan pidana penjara menuju tujuan pemasyarakatan mencapai puncaknya setelah dikeluarkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Sujatno, 2004. Pengertian mengenai sistem pemasyarakatan tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 UU No.12 Tahun 1995 sebagai berikut : Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidanasehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangungan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Secara teknis pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Mengacu pada pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 1999, program pembinaan dan pembimbingan diperuntukkan bagi narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan 28 yang meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian. Sementara itu maksud dan tujuan dari program pembinaan dan pembimbingan diatur dalam pasal 1 PP Nomor 31 Tahun 1999. Pasal tersebut menyatakan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sedangkan pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sikap dan perilaku, prefesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana a. Pemasyarakatan Sebagai Proses

Konsepsi Pemasyarakatan diterjemahkan oleh Achmad dan Romli 1979 bukan hanya sebagai rumusan terhadap tujuan dari pidana penjara, tetapi sebagai suatu sistem pembinaan yang berorientasi luas dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi- potensi yang ada baik dari individu yang bersangkutan maupun ditengah masyarakat sebagai satu keseluruhan. Dengan demikian sistem pemasyarakatan menjadi berbeda dengan sistem berdasarkan rehabilitasi yang mengarahkan treatmen-focus-nya hampir secara eksklusif kepada individu yang bersangkutan. Akan tetapi pada 29 perkembangan selanjutnya sistem rehabilitasi ini melebarkan treatmen- focus-nya kepada masyarakat yang juga disebut sebagai “community based treatment” sehingga memiliki banyak persamaan dengan sistem pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan secara teori berarti kembali ke masyarakat sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna Romli, 1982. Romli 1982 juga menjelaskan bahwa sepuluh prinsip pemasyarakatan secara jelas menunjukkan bahwa pemasyarakatan secara tegas menolak prinsip retributif atau pembalasan bagi nararipada melainkan penerimaan tujuan penghukuman yang bersifat rehabilitatif. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga sebagai salah satu unit pelaksana di lingkungan Departemen Kehakiman yang bertugas melaksanakan pemasyarakatan dan bimbingan kemasyarakatan serta pengentasan anak Achmad dan Romli, 1979 yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh : 1. Direktorat Pemasyarakatan, yang bertugas melaksanakan pembinaan di dalam lembaga. 2. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak BISPA, yang melaksanakan pembinaan baik di dalam maupun di luar lembaga. 3. Sekretariat ditjen Bina Tuna Warga 30 Ketiga unit pelaksana tersebut berada pada tingkat pusat, sedangkan pada tingkat wilayah, pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilakukan oleh : 1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga 2. Kantor Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga 3. Kantor Lembaga-lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi pelaksana di lapangan. Setelah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1979, Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga berubah nama menjadi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Kemudian pada perkembangan selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PR.07.03 tanggal 12 Februari 1997 yang disusul oleh Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No. E.PR.07.03.17 tanggal 7 Maret 1997 BISPA berubah nama menjadi BAPAS. Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada masa itu dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan pada sepuluh prinsip pemasyarakatan masih harus memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut dalam Achmad dan Romli, 1979 : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada pasal-pasal 13, 14, 14a sd f, 15,16, 17, 19, 23, 24, 25, dan 29. 2. Reglemen Penjara Gestichen reglement Stbl. 1917 No. 708 jo. Stbl. 1948 No.77 3. Dwan opvoending Regeling Stbl. 1971 No. 741. 31 Hal ini dikarenakan belum adanya Undang-Undang khusus mengenai Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya di lembaga pemasyarakatan, Departemen Bina Tuna Warga telah melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu untuk melaksanakan pembinaan narapidana. Penyesuaian-penyesuaian tersebut diketahui dengan adanya surat Surat-surat. Edaran dari Mahkamah Agung dan Surat-surat Keputusan Menteri Kehakiman. Hasil penelitian observasi- evaluasi sistem pemasyarakatan yang dilakukan Universitas Padjadjaran tahun 1974-1975 dalam Acmad dan Romli, 1979 menunjukkan bahwa telah dikeluarkan Surat Edaran kurang lebih tiga ratus buah. Selanjutnya, Achmad dan Romli 1979 menjelaskan bahwa Surat Edaran No. KP.10.1331 tanggal 8 Februari 1965 tentang “Pemasyarakatan sebagai Proses” mengemukakan bahwa pembinaan narapidana dewasa dilakukan melalui empat tahap sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yang meliputi : 1. Tahap Pertama Setiap Narapidana yang masuk Lapas diteliti untuk mengetahui segala sesuatu tentang diri narapidana seperti sebab- sebab melakukan pelanggaran hukum dan segala keterangan yang dapat diperoleh dari berbagai pihak mulai dari keluarga, bekas majikan atau atasan, teman sekeja, korban, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya. 32 Sujatno 2004 menjelaskan bahwa pembinaan tahap ini disebut sebagai pembinaan tahap awal yang dilakukan di dalam Lapas dengan pengawasan maksimum maximum security selama sepertiga masa pidana sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana. Tahapan ini merupakan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan dan kemandirian. 2. Tahap Kedua Setelah pembinaan dilakukan paling lama sepertiga masa pidana dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan yang kini berubah nama menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai kemajuan dalam diri narapidana, maka yang bersangkutan memperoleh kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan di Lapas dengan medium security. Kemajuan narapidana yang dimaksud adalah telah menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh terhadap peraturan lembaga. 3. Tahap Ketiga Jika proses pembinaan telah berjalan sampai setengah masa pidana dan menurut Tim Pengawas Pemasyarakatan terdapat kemajuan, baik secara fisik, mental maupun keterampilan, maka wadah pembinaannya diperluas dengan asimilasi dengan masyarakat luar. Dalam proses asimilasi ini, narapidana diberikan kesempatan untuk ikut beribadah atau berolah raga dengan